93 : Kopi Hitam
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Kopi hitam bahkan tak sepahit tatapmu belakangan ini. Dan kita tinggal di bawah atap yang sama tanpa pernah bertukar sapa. Entah sejak kapan semua ini menjadi hambar seperti kopi panas yang dibiarkan menggigil tanpa kata. Aku dan kamu seperti ampas kopi dalam secangkir tubruk. Yang mengendap tanpa pernah menyatu dengan air.
"Apa bedanya long black sama americano?" tanya seorang pelanggan pada Harits yang sedang berdiri di balik bar.
Dibanding Cakra dan Deva, memang Harits bukanlah pria yang tampan, tapi ia manis dan punya daya tarik tersendiri. Matanya yang dingin terlihat memikat jika ia tak sedang bercanda.
"Komposisinya sama-sama pake espresso dan air panas. Cuma beda dicara penyajiannya aja," jawab Harits yang ekspresinya bisa berubah seratus delapan puluh derajat. Kini pria itu tersenyum ramah pada pelanggannya.
"Long black disajikan dengan menyiapkan air panas terlebih dahulu lalu setelah itu baru dituangkan espresso ke dalam air panasnya. Long black identik dengan sisa krema yang berada di permukaan kopi. Karena menuangkan air panas terlebih dahulu sebelum espresso, maka krema yang berada di atas kopi tetap utuh berada di permukaan cangkir."
"Kalo americano sebaliknya, espresso disiapkan terlebih dahulu lalu menambahkan air panas ke dalam espresso. Hasil Americano biasanya nyaris enggak meninggalkan krema di permukaan cangkir. Hal tersebut dikarenakan espresso yang diguyur air panas membuat krema yang ada pada espresso pecah. Ini perbedaan paling jelas antara americano dan long black."
"Makasih banyak penjelasannya, Mas ...." Pelanggan itu menatap ID card milik barista di depannya. "Harits."
Harits kembali tersenyum sembari membersihkan gelas-gelas kaca. "Sama-sama."
"Saya pesan kopi tubruk, pake biji Toraja," ucap pelanggan itu. "Enggak marah kan kalo saya pesan kopi tubruk? Padahal nanyanya tentang americano sama long black."
"Kenapa harus marah? Pelanggan bebas memesan apa pun yang tertera di menu. Lagian, kopi tubruk juga bagian dari keluarga kopi hitam. Bedanya dia ada ampasnya karena disajikan secara manual."
Setelah itu si pelanggan berjalan pergi ke kursi luar. Tampak wajahnya yang puas dan suka dengan perbincangan ringan dengan salah satu top barista Mantra Coffee. Ia seorang gadis, tapi agak disayangkan karena gadis secantiknya ternyata perokok ulung.
Nada mengacungkan jempol andalannya pada Harits. Harits mengerutkan dahinya. "Apa?" Nada membalasnya dengan gelengan kepala. Dalam beberapa keadaan, Nada menganggap Harits itu keren dan dapat diandalkan lebih dari siapa pun. Di luar sifatnya yang kerap meresahkan warganet.
Malam ini cukup syahdu, ditemani live music dari solo lead gitar Deva Martawangsa. Deva membawakan Canon Rock dengan music background dari laptopnya. Bukan lagu santai pada umumnya yang biasa disetel di kafe. Entah, ia ingin sesuatu yang agak berbeda saja malam ini.
https://youtu.be/L007GhpMR3U
Melodi baru saja tiba di kafe. Harusnya malam ini ia yang tampil, mengingat Deva sudah hampir tak pernah lagi tampil musik secara live di Mantra. Melodi ingin mengikuti jejak Aqilla dengan rekustiknya. Malam ini Melodi datang bersama teman dari jurusan musiknya. Setelah putus dengan Deva, Melodi membentuk crew nya sendiri yang terdiri hanya dengan dua orang saja.
Sebenarnya kehadiran Deva di panggung kecil itu hanya untuk menunggu Melodi naik. Setelah selesai dengan lagunya, Deva menaruh gitar dan kembali mengambil apron miliknya.
Zara Irianti namanya, gadis berhijab itu menyiapkan gitar miliknya. Sejenak ia menatap ke arah dapur. "Mel, yang itu namanya siapa?"
"Mana?" Melodi menatap Harits. "Harits. Yang mukanya sok cool, kan?"
"Bukan, yang kepalanya pake bandana," balas Zara.
"Bandana?" Melodi memicingkan matanya. Kini sepasang mata itu menatap Jaya. "Jaya Halilintar?"
"Oh, Jaya."
Melodi menyeringai. "Kenapa nih nanya-nanya? Mau disalamin?"
"Eh--enggak usah. Orang cuma nanya aja." Iya, cuma nanya, tapi pandangannya masih tersangkut pada pria itu.
Merasa diperhatikan, Jaya menoleh. Sontak Zara membuang tatap dengan wajah memerah. "Asli!" gumamnya.
Melodi makin semeringah. "Asli?" Ia menaikan satu alisnya. Wajah iseng itu kini menoleh ke arah Jaya. "Jay, sini deh," ucap Melodi.
Jaya yang penurut segera berjalan menuju Melodi. Jarang-jarang gadis itu memanggilnya. "Ya, kenapa?" tanya Jaya ramah.
"Kenal dia enggak?" Melodi menunjuk Zara.
Sebuah cubitan bersarang di pinggang Melodi hingga membuat Melo memekik. Jaya mengamati gadis itu. "Pernah liat di kampus, tapi enggak kenal."
"Kampus?" Zara memandang Jaya.
"Jaya itu satu kampus sama kita, cuma beda jurusan aja." Melodi kembali menoleh ke Jaya. "Jay, ini namanya Zara temen sekelasku."
"Oh, oke. Salam kenal Zara," ucap Jaya. "Emil Jayasentika." Jaya mengulurkan tangannya untuk besalaman. Sontak Zara menjabat tangannya. "Zara Irianti."
Setelah itu, Jaya beranjak pergi. Zara menatap sinis ke arah Melodi. Melodi tersenyum asimetris. "Kenapa? Seneng, kan? Ngaku!"
"Parah lu mah!" Zara menggeleng. Ia salah tingkah.
Di tengah persiapan mereka berdua. Seperti biasa Ippo datang bagaikan racun. Kali ini gantian, giliran Ippo yang datang tanpa Reki. Ia membawa setangkai bunga mawar merah untuk Melodi. Deva menatap setiap langkahnya dengan tatapan sinis.
Melodi menunduk seolah bersembunyi. Kini giliran Zara yang tertawa. "Cie, didatengin ayang Ippo."
"Bajigur!" ucap Melodi. "Kenapa malah dateng di saat-saat begini sih itu orang?"
"Selamat malam Alunan," sapa Ippo. Ia memberikan mawar itu pada Melodi. "Ini buat kamu."
Dan untuk yang kesekian kalinya, Melodi menolak mawar pemberian Ippo. Ippo tersenyum dan memasukan kembali mawar itu ke dalam kantong jaketnya. "Suatu saat kamu pasti akan merindukan saat-saat di mana aku dateng bawain mawar ini." Pria penuh percaya diri itu berjalan ke bar dan memesan americano.
"Akward banget sumprit!" gerutu Melodi.
Zara tertawa, tetapi persiapannya sudah siap. Ia mulai pemanasan membawakan melodi-melodi ringan.
"Enggak bosen ditolak?" tanya Harits yang berdiri di balik bar. "Dia aja udah nyerah. Entah dari kapan." Harits menunjuk Jaya.
"Ah--Pongki. Santai aja gua beda sama pecundang yang di sana. Menyerah enggak ada dalam kamus catatan Ippo."
"Pongki?" Harits memicingkan matanya.
Ippo mengerutkan dahinya. "Nama lu, kan?"
Cakra juga selalu merasa terhibur dengan kedatangan Ippo. "Cocok sih, Pongki Sagara."
Harits menatap Cakra. "Jaga mulut lu, rambut debu vulkanik," balas Harits.
"Siap, Mas Pongki chibi," ledek Cakra.
"Wah, mulai kurang ajar ini si rambut nenek sihir."
"Keep calm, Pongki. Cakra emang gitu," ucap Ippo.
Harits memasang wajah bodoh penuh amarah. "Kenapa nama dia bener?!"
"Ya, karena dia Cakra. Sesimpel itu," balas Ippo.
Harits menunjuk dirinya sendiri. "Harits! Harits Sagara. Sesimpel itu, bajindul."
Ippo tertawa kecil sembari menggeleng. "Enggak cocok. Kamu pasti bohong, Pongki."
"Wah, emang bener ini. Katarsis isinya kumpulan orang-orang kagak bener."
"Yang enggak bener Ippo doang," ucap Rava yang tiba-tiba muncul dari pintu depan. Ia datang bersama Kevin.
"Lu juga sampe kapan di Jogja?" Harits nampaknya kesal pada Rava.
"Gua sama Kevin kan fokus di Katarsis. Sekarang urusan kita udah beres, jadi mau kuliah. Jadi ya lagi mantau-mantau beberapa kampus aja," balas Rava. Kini ia menatap Nada. "Nada, aku pesen vanilla latte, ya."
Nada mengacungkan jempol andalannya. Sementara Kevin duduk di depan bar, tepat di hadapan Nada. "Aku pesen chamomile."
"Kevin suka teh?" tanya Nada.
Pria dingin itu tersenyum. "Suka." Mereka berdua tampak akrab.
"Hey, tuan tampan." Ippo menatap Kevin dengan wajah yang tak kalah bodoh dengan Harits. Kevin menoleh ke arahnya tanpa kata. "Jaga jarak. Punya Reki."
Aura misterius keluar dari tubuh Kevin. Membuat bulu kuduk para pelanggan seketika merinding. Tatapan tajam itu menyorot Ippo seakan mengancam.
Ippo memang aneh dan terkesan bodoh, tapi dalam urusan aura ia jauh lebih gahar. Ippo menetralkan aura negatif yang Kevin berikan. Ia tak menekan balik, hanya membuat suasana menjadi syahdu kembali. Ippo mengetuk meja bar sebanyak tiga kali. "Ini tempat umum, jangan terang-terangan ngeluarin aura begitu. Paham?" Tak butuh aura. Setiap katanya mengandung tekanan.
"Lupakan," balas Kevin.
"Kalian akrab, ya?" tanya Nada.
Ippo menggeser kursinya hingga menempel dengan Kevin, lalu merangkulnya. "Iya dong, kita kan satu geng."
Nada tersenyum, ia segera membuatkan pesanan Kevin, mengingat hanya Nada yang memiliki keterampilan meracik teh.
Ippo berbisik pada Kevin. "Kalo Reki nyuruh buat ngikutin gua, urungin niat lu. Lu bisa terbunuh. Paham lu?"
Kevin tak bisa ditebak. Ekspresinya tak muncul. Ia tak terlihat takut dengan ucapan Ippo yang mengancam. Ippo mencengkeram bahu Kevin semakin kencang. "Paham lu?"
Ujung matanya melirik Ippo. "Paham. Jadi, lepasin tangan lu sebelum lu terluka." Tangan kanan kevin sudah berada dekat dengan pinggang Ippo, ia menggenggam sebilah pisau. Jaketnya yang panjang dan tebal menutupi gerak-geriknya.
Ippo tersenyum. "Seseorang berpakaian tertutup emang pasti menyembunyikan kejutan, ya?" Ia melepaskan Kevin dan meletakkan sejumlah uang untuk pesanannya di atas bar. Ia pergi tanpa menoleh kembali.
Kevin menelpon Reki. "Barusan Ippo ada di Mantra. Dia sadar diikutin. Sekarang dia pergi. Gua berhenti, Ippo berbahaya." Kevin menutup panggilannya dan melirik ke arah Rava yang juga meliriknya. Rava memberikan kode untuk mengikuti Ippo, tetapi Kevin menggeleng. Rava menghela napas panjang.
***
Terdapat sebuah pabrik di daerah Maguwo, dekat dengan stadion. Area stadion Maguwoharjo memang misterius. Padahal sudah bertahun-tahun, tetapi tetap saja agak sepi dari hingar bingar dunia. Padahal ada beberapa destinasi wisata di tempat itu.
Ippo berjalan masuk ke dalam pabrik itu. Di sana rupanya Ippo tak sendirian. Alex duduk sambil merokok di dalam sana. Beberapa pria berjas hitam lengkap dengan persenjataan juga berdiri di sudut-sudut pabrik.
Tatapannya beringas. Aura tak menyenangkan memancar dari tubuh Ippo. Ia duduk tepat di hadapan Alex dan melempar amplop berisi lima juta rupiah yang pernah Alex berikan.
"Apa ini?" tanya Alex sembari membuang asap dari mulutnya.
"Aku kembalikan uangnya." Begitu Ippo tak menyetujui kontraknya. Semua anggota Ravenous mengarahkan senjatanya pada Ippo. Namun, tak ada gelagat takut dari pria yang kehilangan cahaya di matanya itu. Sorot mata Ippo seperti binatang. Malam ini ia bisa membunuh siapa saja. Hanya karena kedatangan Ippo, hampir seluruh anggota Ravenous berkeringat. Padahal malam ini tidak panas.
Alex mengangkat tangannya, membeirkan kode untuk santai. Sontak para anggota menurunkan senjatanya. Alex mengambil uang itu, lalu menghitungnya. "Totalnya pas lima juta rupiah. Tidak ada sepeserpun yang hilang." Atensinya kembali berpindah pada Ippo. "Yakin?"
"Uang halal jauh lebih baik meskipun sedikit, aku tidak mau menanggung dosa atas uang haram yang digunakan untuk mengisi perut-perut keluargaku. Berani menginjakan kaki di area panti, tak ada ampun. Aku bunuh."
Alex tersenyum. "Sejujurnya selama ini kami selalu memberikan donasi, bahkan menjadi donatur tetap dan menjadi donatur terbesar di Kolong Langit. Kami hanya memutus beberapa aliran dari donatur lain untuk memancingmu ke sini sekarang."
"Untuk apa itu semua?" Ippo mengerutkan dahinya. "Apa tujuan kalian?"
Alex mengulurkan tangannya pada Ippo. "Bergabunglah dengan kami, Riffo Gardamewa."
Ippo beranjak dari duduknya. "Kita tidak pernah menemukan kata sepakat." Ia hendak pergi.
"Baskara," ucap Alex. Satu ucapan singkat itu membuat Ippo terbelalak. Langkahnya berhenti. "Menurutmu kenapa kami mau repot-repot menjadi donatur tetap dengan jumlah donasi tertinggi? Kenapa kami ingin seorang Riffo bergabung dengan kami? Itu berkat Baskara."
"Bas--kara?" Ippo ingat betul nama itu. Nama yang tak akan pernah ia lupakan. Bunda berkata bahwa Ippo datang ke panti berdua kala itu. Dan yang membawanya adalah Baskara, Kakak kandungnya sendiri. Ippo tertawa kehilangan akal sehat. "Apa kau pikir aku akan sepakat dengan ucapan itu? Entah dari mana kau tahu nama Baskara, tapi jika yang kau maksud adalah kakak kandungku, dia sudah mati."
"Ada alasan kenapa selama ini ia bersembunyi. Selama ini ia memantaumu dan juga Kolong Langit, tetapi ada alasan mengapa ia tak pernah kembali ke sana," ucap Alex.
Ippo berbalik. "Apa alasannya?" Emosinya mendadak tak stabil. "Aku beri lima detik untuk menjelaskannya. APA ALASANNYA?!"
"Karena Sofia hampir membunuhku." Suara berat itu membuat Ippo menoleh. Dilihatnya seorang pria berjaket hitam panjang. Ia memegang cerutu di tangan kanannya. Tatapannya dingin menyorot ke arah Ippo dari balik kegelapan. "Sofia hampir membunuhku. Beruntung aku bisa lari malam itu. Aku mengetahui rahasia kelam dari seorang yang kau sebut Bunda itu. Aku mengirim uang dan menjadi donatur dengan nama ini agar dia tahu bahwa aku masih hidup. Selama aku masih bernapas, Sofia tidak akan pernah menyakitimu. Aku berani jamin, ia tak pernah menyinggung soal nama Baskara dalam data transfer di rekeningnya. Selama ini aku menunggu waktu yang tepat untuk bertemu denganmu. Semenjak kejadian Walpurgis, aku melihatmu. Dan aku pikir kau sudah siap untuk ini semua."
"Apa kau pikir aku akan percaya semua kata-katamu?!" bentak Ippo.
Crows berjalan keluar dari kegelapan. Ia menampilkan kalung miliknya. Sebuah kalung yang familiar karena bentuknya persis seperti milik Ippo. "Senang bertemu denganmu, Adiku Riffo Gardamewa."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top