92 : Pelipur Lara

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Malam ini Jaya bekerja membawa Petrus dan Isabel. Dua anak itu duduk sembari disajikan es krim. Formasi di dapur kali ini diisi oleh Harits, Jaya, dan Fenri. Deva dan Cakra menjadi waiters dan juga kasir. Sementara dua kembar sedang off.

Namun, Nada dan Melodi malam ini berada di kafe. Mereka duduk sebagai pelanggan di kafe mereka sendiri. Melodi sibuk memperhatikan Nada yang sedang celingak-celingukan.

"Kamu nyariin apa sih?" tanya Melo.

"Cakra bilang kalo dia suka sama seseorang, dan seseorang itu sering dateng ke kafe," jawab Nada. Seketika itu Melodi memasang wajah datar. "Kamu tau ciri-cirinya?" tanya Melodi. Dibalas gelengan kepala oleh Nada. "Terus cara nemuinnya gimana?"

Nada menggaruk kepala. Ia berjalan ke arah Cakra. "Cakra, sebenernya orang yang kamu suka itu ciri-cirinya gimana sih? Dia ada di sini sekarang?"

Cakra menoleh ke spot pelanggan. "Rahasia," jawab Cakra singkat sembari menyematkan senyum.

"Ish! Pelit!" Nada berjalan kembali menuju kursinya dengan wajah jutek. Sementara Melodi hanya menggeleng melihat kembarannya itu. Seandainya Nada sadar, bahwa orang yang Cakra maksud adalah dirinya sendiri.

Di sisi lain, Harits sedang dalam mood yang baik. Ia berdiri di hadapan Jaya. "Lu lagi banyak pikiran, Jay?"

"Iya, Mas. Saya lagi mikirin gimana caranya dapetin penghasilan tambahan," jawab Jaya.

"Yakin, Jay. Setiap masalah ada jalan keluarnya," ucap Harits.

"Makasih, Mas ...."

"Mungkin sekarang belom keliatan. Besok pun belom keliatan, apalagi besoknya lagi. Jadi sebenernya emang enggak ada jalan keluarnya nyahahahaha."

Jaya hanya tersenyum.

"Kalo temen lagi sedih ya dihibur dong, kamu ini gimana sih," celetuk Fenri. "Kamu yang kuat deh Jay, kalo ngobrol sama Harits."

"Santai, Mbak Fen. Saya udah kebal."

Fenri selesai dengan chicken wing dan dua porsi kwetiaw hotplate. Ia membawa menu makanan itu ke Petrus dan Isabel. Kedua anak itu tampak antusias jika dibawa ke Mantra. Makanan-makanan enak selalu disuguhkan oleh rekan-rekan Kakaknya.

Sebenarnya Jaya enggan membawa adik-adiknya ke Mantra, karena ia merasa tak enak. Setiap mereka bertiga mampir, Petrus dan Isabel seperti Raja dan Ratu. Semua memperlakukan mereka sangat baik. Hal itu membuat Jaya tak enak hati.

Menyadari gelagat Jaya, Harits menepuk pundaknya. "Santai, perkara beberapa menu enggak akan buat Mantra Coffee bangkrut. Adek lu juga perlu makan enak kali. Gua tau lu lagi susah, tapi enggak ada salahnya kita semua bantu lu. Emang kita enggak bisa bantu banyak, tapi bikin adek lu seneng juga salah satu kepuasan kita semua kali."

"Makasih, Mas Har ...."

"Oh iya, lu bukannya jadi agennya Dharma?" tanya Harits. "Dari situ juga dapet penghasilan kan lu?"

"Iya, saya ngelanjutin apa yang Ayah saya jalanin. Jadi broker informan dunia gelap. Saya juga jualan kerajinan tangan berupa topeng. Mungkin sekarang pemasukan dan pengeluaran saya belum stabil, tapi dalam waktu dekat semua bakal baik-baik aja kok."

"Adek lu sekolah?" tanya Harits.

"Agak telat sih, tapi Isabel sama Petrus bakal masuk di tahun ajaran baru nanti."

"Sekolah dasar?" lanjut Harits.

"Mereka itu pinter kok. Saya sering ngajarin mereka pelajaran sekolah dasar. Secara kemampuan mereka setara anak-anak di usianya. Jadi saya mau kejar paket buat mereka biar bisa langsung masuk di SMP."

Tiba-tiba Jaya terlihat getir. "Tapi Petrus ... sejak kematian Ayah. Dia enggak mau dipanggil dengan nama itu lagi."

"Lah, terus piye?"

"Isabel yang bilang karena Petrus itu jarang banget ngomong sama orang lain. Dia itu cuma sering ngomong sama Isabel. Dia bilang nama Petrus itu terlalu sakit buat di denger, karena setiap dia denger nama itu, rasanya Petrus inget saat-saat Ayah manggil nama dia."

"Terus kita manggil dia siapa dong?"

"Stefano Petrus Kivandra. Mulai sekarang saya harus membiasakan diri buat manggil dia Fano atau Vandra."

"Mirip sama lu," ucap Harits sambil menyematkan senyum meledek. "Enggak mau dipanggil Emil gara-gara itu nama orang lain. Jadi jangan salahin adek lu karena lu pun begitu."

"Sejujurnya saya udah enggak masalah kalo orang lain mau manggil saya Emil. Saya sudah berdamai dengan diri saya sendiri."

Di tengah percakapan itu. Suara gemerincing lonceng di pintu berbunyi. Reki masuk seorang diri. Melodi memiliki firasat buruk. Ia enggan bertemu dengan Ippo. Namun, kegetirannya tak berlangsung lama. Reki benar-benar datang sendirian.

"Tumben sendiri, Ippo mana?" tanya Nada. Nada senang dengan kehadiran Ippo yang dianggapnya lucu. Jika ada Ippo, Melodi akan mati kutu. Sebuah pemikiran dari seorang kembaran yang jahat.

Ditanya begitu, Reki terdiam. Pertama, karena memang Nada yang bertanya. Kedua, alasannya datang ke Mantra adalah untuk mencari Ippo.

"Loh, Ippo enggak di sini?" tanya Reki balik.

Melodi beranjak dari duduknya, ia menyuruh Reki untuk duduk di kursinya. "Coba ngobrol dulu sama Nada." Gadis itu berpindah kursi, meninggalkan Reki dan Nada berdua dengan senyum iblisnya.

"Kalian biasanya berdua terus? Tumben," balas Nada.

Gelagatnya berubah, Reki salah tingkah duduk semeja dengan Nada. "Enggak tau, udah beberapa hari ini Ippo sering ilang kalo malem. Dia juga enggak mau cerita dan selalu menghindar. Jadi aku pikir dia ada di sini lagi gangguin Melodi."

"Kalian tuh beneran saudara, ya?" Nada masih saja penasaran dengan percakapan tempo hari.

"Dari kecil, kita udah tinggal di Panti yang sama. Bisa dibilang kita saudara," jawab Reki.

"Panti? Panti Asuhan?"

Reki mengangguk.

Nada tiba-tiba saja menjadi canggung. Entah, rasanya gadis itu merasa tak enak hati mengetahui hal itu.

"Santai aja," ucap Reki yang mengetahui gelagat Nada. "Bukan hal yang perlu disembunyiin, karena bukan AIB. Enggak perlu iba juga, karena belum tentu orang yang punya keluarga utuh lebih bahagia dari anak Panti."

Ketika sedang asik mengobrol, atensi mereka kembali teralihkan dengan suara lonceng di pintu. Seorang gadis mungil masuk dan duduk di pinggir kafe. Bibir Melodi sedikit tertekuk ke bawah ketika Deva menghampiri gadis itu. Ya, siapa lagi jika bukan Jashinta.

"Long black sama pisang goreng," ucap Jashinta.

"Kamu kecil-kecil cabe rawit, ya? Jarang-jarang cewek manis pesen kopi hitam," balas Deva.

"Ma-manis?"

"Mungil, punya lesung pipi, ada gingsulnya ... menurutku manis."

Melodi tersenyum asimetris mendengar ucapan Deva. Ia beranjak dari duduknya dan berjalan naik ke atas.

Deva sengaja memuji gadis lain di depan Melodi. Entah, rasanya ia ingin membuat Melodi belajar tentang rasa cemburu. Deva ingin membuat Melodi merasa tak nyaman karena memutuskan hubungan mereka. Mereka berdua sadar jika mereka masih memiliki rasa yang sama. Namun, ego mereka tinggi. Melodi pun ingin mengajari Deva, bahwa semua pikiran negatifnya itu hanyalah asumsi semata. Tak ada pria lain di antara mereka selama ini. Berusaha saling mengajari, tanpa mau menerima.

Melodi turun dengan celana tidur berwarna putih seperti sebelumnya, ia mengenakan kaus putih juga. Bedanya kini tubuhnya ditutupi cardigan kuningnya. Ia juga membawa helm.

"Melo mau ke mana?" tanya Nada.

"Cari makan," jawab Melodi singkat sambil berjalan keluar. Ia naik di atas vespa kuningnya, dan langsung pergi begitu saja meninggalkan Mantra Coffee.

***

Malioboro tampaknya menjadi pelabuhan bagi hati-hati yang separuh karam ditelan gundah. Melodi duduk pada sebuah bola yang tersusun rapi menjadi barisan di depan Benteng Vandeburg. Getir mengiringi setiap hembusan nafasnya.

Entah, Melo hanya ingin sendiri malam ini. Ia menatap bahagia yang terukir pada wajah orang-orang di sekitarnya. Ada yang duduk berkelompok, ada juga pasangan yang sedang bermesraan. Melodi pernah sebahagia mereka, tapi tidak malam ini.

Pada satu kesempatan, Melodi memicingkan matanya. Ia menatap seorang pria dengan dua buah kamera. Pria itu sibuk memotret apa pun yang ada di sekelilingnya dengan kamrea DSLR. Tak jarang ia memotret turis dengan kamera polaroid yang tergantung di lehernya dan mendapatkan sejumlah uang.

Hampir setengah jam berlalu. Merasa diperhatikan, pria itu menoleh ke arah Melodi. Sontak Melodi membuang tatap. Sebuah senyum tipis terukir di wajah pria itu. "Aaaaaa ...." Namun, seketika itu ia merubah raut wajahnya penuh getir. Sejenak ia melempar senyuman diiringi sapaan dengan anggukan kepala. Niatnya urung untuk menghampiri Melodi. Ippo berjalan menjauh. Melodi pun tak terlalu peduli. Ia masih duduk di sana menikmati angin malam dan aroma khas Malioboro.

Satu setengah jam berlalu, dan Melodi masih berada di tempat yang sama. Ia tak pernah bosan dengan suasana Malioboro di malam hari. Hingga sesuatu yang dingin menyentuh tengkuknya, membuat gadis itu kaget setengah mampus. Sontak Melodi menoleh. Dilihatnya Ippo yang membawa botol minuman dingin dengan sunyum khasnya. Senyum yang menurut Melodi menyebalkan.

"Udah hampir dua jam kamu enggak bergerak dari situ. Ini minum dulu," tutur Ippo. Pria itu duduk di bola yang berada di samping Melodi. Ia membawa botol lainnya dan segera melepas dahaganya.

Melodi tak banyak bicara. Ia hanya menerima minuman itu dan segera meminumnya. Ya, sebenarnya Melodi haus, tapi ia enggan beranjak hanya untuk membeli minum. Suasana mendadak hening di antara hingar bingar Malioboro.

"Tumben sendirian?" ucap mereka bersamaan. Sontak membuat keadaan hening kembali. Seperti memberikan isyarat untuk mempersilakan lawan bicaranya untuk menjawab.

"Lagi pengen sendirian aja," jawab Melodi. "Kamu sendiri? Biasanya sama Reki?"

"Aaaaa ... itu ... lagi pengen sendirian juga sih."

Melodi melirik tas kamera milik Ippo. Menyadari itu, Ippo membuka tasnya dan mengeluarkan polaroid. "Ini kerjaan sampingan aja, jualan foto hasil polaroid. Kalo yang DSLR buat iseng ikutan lomba fotografi."

"Oh iya, kamu jurusan fotografi, ya?"

Ippo mengangguk sebagai jawabannya.

"Bedanya apa dua kamera itu? Aku enggak begitu paham. Nada yang suka fotografi."

Ippo memotret Melodi dengan kamera polaroidnya. Sejujurnya Melodi tak suka difoto, apa lagi tanpa izin. Namun, malam ini ia biarkan. Melo sedang malas berdebat. Tak lama berselang, kamera itu memunculkan sebuah kertas yang tercetak keluar. Ippo menggoyangkan kertas putih itu hingga perlahan muncul sebuah gambar. Wajah Melodi terpampang dalam kertas foto itu. Ippo menyodorkannya pada Melodi, tentu saja gadis itu menyambutnya, ia mengambil foto itu dan menatapnya.

"Keren juga, ya. Aku ketinggalan jaman banget berarti, ya? Baru tau kamera model begini," ucap melodi.

"Aaaaa ... itu kamera jadul tahun orang tua kamu masih sekolah maybe ...."

Melodi tiba-tiba saja tertawa. "Anjir, jadul banget. Asli, kurang apdet masalah fotografi."

"Enggak apa-apa, bukan sesuatu yang bermanfaat juga buat diketahui karena enggak berdampak besar." Ippo menyodorkan polaroid itu pada Melo. "Mau coba?"

Melodi meraih kamera itu. Ia tampak bingung cara mengoperasikannya. Ippo membantunya. "Pencet yang ini kalo mau motret."

CEKREK!

Tanpa basa-basi Melodi langsung menekan shutternya. Ippo memasang wajah datar. "Seharusnya diarahin dulu, habis itu baru dipencet kalo udah dapet target fotonya."

Melodi hanya terkekeh. Ia mengambil kertas yang tercetak dan menggoyang-goyangkannya seperti yang Ippo lakukan sebelumnya. Perlahan penampakan wajah Ippo terpampang jelas. Wajah-wajah tak siap difoto itu membuat Melodi tertawa setengah mati.

"Asli parah." Ippo menatap wajahnya yang memang seperti orang beler. "Belum siap. Kalo gini ketampananku enggak keliatan." Mendengar itu Melodi malah semakin terbahak-bahak hingga membuatnya menangis.

"Gitu dong, kamu lebih cantik kalo ketawa."

Pelahan tawa itu reda. Melodi menatap Ippo yang sedang menenteng kamera DSLR nya. Ia memasukan kamera itu beserta kamera polaroidnya. "Kamu naik apa ke sini?" tanya Ippo.

"Naik motor."

"Kalo naik Transjogja, pulangnya aku anterin."

"Jangan berharap, Kak," ledek Melodi.

Ippo terkekeh sambil menggaruk kepalanya. "Kalo gitu aku pamit dulu, ya. Bisa-bisa kalo pulang kemaleman nanti Reki marah-marah."

"Kalian ngekos bareng?" tanya Melodi.

Ippo tersenyum. "Iya."

"Hati-hati pulangnya," ucap Melodi.

Ippo terdiam sejenak. Mungkin itu kali pertama ia mendapatkan ucapan seperti itu. Tak bermakna apa pun untuk Melodi, hanya sekedar ucapan, tapi sangat bermakna untuk Ippo. "Kamu juga hati-hati, semoga selamat sampai ditujuan." Pria itu pergi meninggalkan Melodi sendirian.

Tak berlama-lama, Melodi pun berjalan pergi ke ujung Malioboro yang berada dekat dengan stasiun Yogyakarta untuk menjemput motornya. Setidaknya, seseorang telah menghapus laranya malam ini.

Ippo berbohong pada Melodi. Ia belum pulang. Ippo tidak akan tenang sebelum melihat Melodi benar-benar sampai di tujuan dengan selamat. Diam-diam pria itu mengikuti Melodi, hanya untuk menjamin keselamatannya. Tak perlu diketahui, pria yang tak pernah diingkan kehadirannya itu cukup senang malam ini menjadi penghibur hati yang duka.

.

.

.

TBC





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top