90 : Permainan Cemburu
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Satu minggu berlalu setelah insiden berdarah di Parang Tritis. Dirga, Dharma dan korban yang terluka di malam itu semuanya sudah meninggalkan Jogja. Namun, berbeda dengan Wira Sakageni. Pria itu seperti orang yang berbeda. Luka bakar hampir membuat dirinya tak mudah dikenali. Bukan hanya dari segi fisik saja. Wira tak lagi mampu menggunakan atma.
Malam ini suasa Mantra kembali normal. Jaya baru saja kembali dari kampungnya. Bayu dikuburkan di Hutan Larangan. Setidaknya, itu menjadi alasan Jaya dan kedua Peti Hitam yang tersisa untuk pulang. Karena tak ada lagi yang tersisa di sana selain kenangan. Tak ada lagi topeng untuk mereka jaga.
Jaya menatap dapur yang entah sudah berapa lama ia tinggalkan. Aroma kopi membuat senyum tipis itu terukir di wajahnya.
"Nostalgia?" ucap Harits.
Jaya tak berani menatap Harits. "Saya berpikir, apa saya masih pantas ada di sini?"
Harits berjalan mendekat. Ia meninju perut Jaya, membuat Jaya memekik. Tinjunya tidak keras, hanya saja mengagetkan. "Kalo enggak pantes, enggak ada satu pun yang akan dateng malam itu ...." Harits menghentikan ucapannya. Ia paham, tak seharusnya Harits mengungkit malam itu lagi. Ketika Jaya kehilangan sosok Ayahnya. "Intinya, enggak ada istilah pantes atau enggak buat seorang keluarga, kan?"
"Makasih buat semuanya, Mas. Saya berhutang banyak."
"Jaya!" Nada tiba-tiba saja memanggil pria dengan perban di keningnya itu. Membuat Jaya menoleh. "Kita ini keluarga. Kalo ada masalah bilang, ya!"
Jaya tersenyum. "Ya, lain kali saya akan cerita."
Di tengah bincang-bincang ringan itu, Ippo bersama Reki, Rava, dan Kevin masuk ke dalam kafe. Melihat itu sontak Nada meninggalkan dapur. Ini kali pertama ia bertemu teman-teman Tantra di luar medan tempur.
"Rabaaaaa, Kebiiiiin ...," sapa Nada dengan mata berkaca kaca sambil menggembungkan pipinya.
"Raba? Kebin?" tanya Ippo yang heran.
"Rava, Kevin," sambung Rava sambil terkekeh.
Reki terdiam. Ia sering memperhatikan Nada, tetapi jarang-jarang gadis itu terlihat lucu seperti ini. Mungkin, karena Nada adalah tipikal gadis pendiam. Namun, Nada bisa berubah seratus delapan puluh derajat menjadi gadis cerewet saat bersama dengan teman-teman dekatnya.
Ippo menyadari tatapan Reki, ia mengeluarkan senyum aneh sembari menyenggol sohibnya itu hingga membuat Reki menoleh. "Apa?" tanya Reki datar. Namun, Ippo tak menjawab pertanyaan itu. Ia hanya tersenyum.
Rava menatap Reki. Ia mendengar suara batin Ippo yang mengatakan bahwa Reki suka dengan Nada. Sontak Rava tersenyum sembari merangkul Reki dan berbisik. "Langkahi dulu mayat, Kevin ...."
Reki terbelalak. Tak ada pria yang tak insecure jika bersaing memperebutkan hati seorang gadis dengan Kevin Wijayakusuma.
"Kevin udah ngincer Nada dari jaman SMA," lanjut Rava.
"Persetan!" Ippo membela Reki. "Melodi sama aku, Reki sama Nada. Kita bakal jadi saudara."
Rava tiba-tiba saja tersenyum, lalu senyum itu berubah jadi tawa. Lantaran Ippo berkata seperti itu dengan suara yang lantang dan tepat di depan Nada. Bocah Martawangsa itu menatap Nada. "Melodi sama aku, Reki sama Nada. Kita bakal jadi saudara." Ia mengikuti ucapan dan juga intonasi Ippo.
Ippo mengerutkan dahinya. "Rava ... si kurang ajar."
"Kalian bersaudara?" ucap Nada sambil menunjuk Ippo dan Reki bergantian. Untungnya otak gadis itu agak sedikit bergeser beberapa inci dari posisi normal.
"Iya," jawab Reki dengan wajah datar, terlihat tenang, tetapi berkeringat dingin.
Menyadari bahwa Kevin menatapnya, Reki membalas tatapan itu. Kedua sorot mata dingin itu saling beradu dalam senyap.
"Nada, apa kabar?" tanya Rava.
"Ya ... gitu deh."
Mereka sibuk berbincang ala-ala teman yang sudah lama tak berjumpa. Hingga pada satu kesempatan Rava celingak-celinguk mencari keberadaan seseorang. "Deva mana?"
"Dia belum pulang ngampus," jawab Nada.
***
Deva berdiri di depan meja kasir Indomarried sambil bermain ponsel. Ia membeli beberapa stok permen lolipop dan juga kebutuhan lainnya.
"Totalnya lima puluh tujuh ribu," ucap gadis penjaga kasir.
Deva mengeluarkan uang dari dompetnya. Setelah membayar, ia berjalan pergi menuju sepeda yang terparkir di depan dan segera mengayuh sepedanya menuju Mantra.
"Jas, belanjaan siapa ini?" tanya pegawai pria pada gadis penjaga kasir.
Jashinta namanya. Gadis mungil dengan rambut dikuncir itu menatap kantong plastik belanjaan milik Deva yang tertinggal. "Punya mas yang tadi."
"Wah ketinggalan, ya?"
Jashinta mengambil plastik itu dan berjalan cepat keluar.
"Mau ke mana, Jas?"
"Ngejar masnya, siapa tahu belum jauh." Jashinta keluar toko dan berjalan lebih cepat mengejar sepeda milik Deva yang masih terlihat dari kejauhan.
Tak butuh waktu lama, Deva sudah sampai di Mantra. Setelah ia memarkirkan sepeda, Deva langsung masuk ke dalam.
"Drong, ada barang titipan gua?" seru Harits yang menitip mie instan. Maklum, uangnya sudah habis terbuang untuk mengisi amplop gaji Jaya. Kini mie instan adalah sahabat baiknya.
Deva terdiam seperti mencari sesuatu. "Mana belanjaan gua, ya?"
"Lah, mana gua tau," jawab Harits. "Lu udah beli belom? Jangan beralibi."
"Barusan gua dari Indomarried," balas Deva.
"Lah ... lu bayar doang dong?" Harits menggelengkan kepala. Memang, semenjak putus dengan Melodi, Deva jadi sering blank.
Kini Deva berjalan keluar lagi. Ketika ia hendak menarik sepedanya, seorang gadis yang ukurannya mini muncul di hadapannya dengan napas terengah-engah. Deva menatap gadis yang terlihat tak asing itu. Jashinta namanya, terlihat dari nametag nya.
"Ketinggalan ...." Jashinta menyodorkan plastik itu.
"Mbak jauh-jauh ngejar dari Indomarried?"
"Iya ...."
"Pulangnya jalan lagi dong?" tanya Deva.
"Iya, jalan aja. Saya capek lari."
"Tunggu sebentar, ya. Jangan ke mana-mana." Deva berlari kecil masuk ke dalam kafe. Ia berbicara pada Harits. Tak lama berselang, ia keluar membawa kunci motor dan juga sebotol vanilla latte. Deva memberikannya botol itu pada Jashinta. "Buat Mbak nih."
"Enggak usah, Mas," balas Jashinta.
"Udah, ambil. Itung-itung buat gantiin capeknya Mbak." Mungkin karena Deva memaksa, Jashinta mengambil botol itu.
"Kebetulan saya mau ke Indomarried lagi, ada yang ketinggalan. Bareng aja."
"Eh--enggak apa-apa?"
"Iya, yuk buruan." Jashinta naik di belakang Deva. Mereka menuju Indomarried kembali. Melodi sedari tadi memperhatikan Deva yang pergi berboncengan bersama gadis itu dengan sepasang mata sinis dan ekspresi yang kurang bersahabat.
Sesampainya di toko, Jashinta turun dari motor, tetapi tidak dengan Deva. Pria itu tak turun dari motornya.
"Mas enggak jadi beli yang ketinggalan?"
Deva tersenyum menanggapi pertanyaa gadis itu seraya menggeleng. Ia menunjuk Jashinta. "Yang ketinggalan itu kamu. Kamu ketinggalan di kafe saya, sekarang saya balikin. Makasih ya udah repot-repot ngejar saya buat bawain belanjaan saya yang ketinggalan."
"Loh?" Jashinta membalas senyum itu, tetapi sambil mengerutkan dahinya. "Saya jadi eggak enak nih malah dianterin."
"Yaudah, utang saya impas, ya? Saya enggak suka berhutang budi."
"Makasih sekali lagi, Mas. Saya masuk ke dalam dulu, ya." Jashinta masuk ke dalam toko, meninggalkan Deva yang juga langsung tancap gas menuju Mantra.
Saya, saya, saya. Mereka seperti sepasang JAYA.
***
Waktu menunjukan pukul setengah sepuluh. Biasanya di jam ini hampir tidak ada pelanggan yang datang, khususnya malam-malam weekday.
Pelanggan juga tak begitu banyak saat ini. Tinggal beberapa kursi saja yang masih terhuni.
Lonceng di pintu berbunyi. Seorang gadis mungil memakai jaket hijau muda masuk ke dalam kafe. Deva menghampirinya membawa daftar menu dan catatan.
"Pulang kerja masih sempet aja mampir," ucap Deva.
Jashinta terkekeh. "Malam masih panjang, aku butuh kafein lebih buat perang sama tugas kuliah." Jashinta memesan Vietnam Drip untuk membunuh dinginnya malam.
Tak butuh waktu lama, Deva datang membawa secangkir Vietnam Drip.
"Boleh temenin aku ngobrol?" tanya Jashinta.
Deva menatap kafe yang sudah tak lagi sibuk. Ia pun mengangguk dan duduk di meja yang sama.
"Kuat ya, kerja sambil kuliah?" ucap Deva.
Jashinta menggeleng kecil sembari menampilkan senyumnya. "Kamu enggak ngaca?"
"Ya, ini kan kerjaan ringan," jawab Deva.
"Sama aja sih kurang lebih," balas Jashinta. "Eh, ngomong-ngomong kamu kuliah di mana?"
"Kok tau aku kuliah?" tanya Deva.
"Tadi pas belanja kamu bawa tas. Kamu juga bukan kali pertama belanja di tempat aku jaga. Aku familiar sama muka kamu loh."
Deva terkekeh. "Aku Sastra Jepang UGM."
"Oh ya? Kita satu fakultas dong. Aku jurusan Sejarah UGM. Semester empat."
"Kakak tingkat berarti," balas Deva. "Aku masih semester satu."
Melodi tak suka suasana malam hari ini. Ia berjalan keluar meninggalkan posisinya. Entah, ia hanya butuh udara segar.
Sepasang bola mata memperhatikan gelagat Melodi. "Gua ngerokok dulu di luar." Ippo meninggalkan anak-anak Katarsis yang masih duduk di dalam. Pria itu berjalan ke tempat akustik dan meminjam gitar pada Cakra yang berada di dekat situ.
"Sejak kapan Ippo ngerokok?" tanya Rava.
"Rokok itu sifatnya candu. Ippo enggak ngerokok, itu tadi cuma kiasan. Dia kecanduan sesuatu yang lain," balas Reki.
Genjrengan gitar membuyarkan lamunan Melodi. Gadis itu menoleh, kemudian menoleh lagi ke posisi semula karena moodnya semakin rusak melihat kedatangan Ippo.
Ippo paham hal itu. Ia pun diam dan hanya meletakkan gitar itu di samping Melodi, lalu berjalan pergi kembali.
"Mau ke mana?" tanya Melodi tanpa menoleh. "Kenapa letakin gitar di sini?"
Ippo tersenyum getir menatap kedua kakinya. "Aku tau kamu cemburu, dan aku tau cemburu itu enggak enak. Aku pun sadar kalo aku adalah seseorang yang paling tidak kamu harapkan kehadirannya, tapi aku juga tau kalo kamu enggak suka sendirian. Aku suka musik, aku suka permainan kamu bermusik. Setiap petikan yang aku denger ketika kamu main, adalah nada-nada yang jujur. Gitar enggak pernah bohong, apa yang kamu mainkan adalah apa yang kamu rasakan. Kalo kamu merasa sedih, jangan menangis. Luapin semua dalam permainan indah itu. Kamu punya jari-jari yang merdu."
"Kalo menurut kamu jari-jariku adalah pelantun ulung, sebaiknya kamu duduk di sini sekarang. Mereka butuh pendengar," balas Melodi. Ia meraih gitar itu dan mulai meluapkan perasaannya. Emosinya perlahan sirna dilumat alunan senar.
"Jika sebuah lagu hanya satu notasi, maka tak ada nada yang sumbang ...."
Ippo tersenyum mendengar Melodi bernyanyi.
"Jika sebuah lagu hanya satu notasi, maka tak akan ada hidup yang bergelombang...."
Kini giliran Melodi yang melirik Ippo. Tak ia duga bahwa pria bersuara berat itu mengetahui lagu yang ia bawakan. Sebab itu adalah lagu jadul tahun 2018. Satu Notasi dari Hyndia.
https://youtu.be/50gHXjuAl9k
Deva merasa tak tenang. Dalam setiap percakapannya dengan Jashinta, ia terus melirik ke arah luar Mantra. Mengawasi Melodi dan Ippo yang sedang bernyanyi bersama. Mereka berdua tampak menikmati lagu itu. Deva tak suka.
Rumit memang. Entah siapa yang akan menang dalam permainan cemburu ini.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top