89 : Para Pembunuh Keabadian

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Nada memiliki tubuh yang kurus, tentu saja tenaganya juga tak besar. Serangan itu tak mampu memberikan luka dalam untuk Septa. Namun, mampu mengulur waktu hingga Harits, Cakra, Jaya, dan juga Deva berhasil menyusulnya. Mantra mengepung Septa, berusaha melindungi satu dari dua Putri Kembarnya.

"Apa yang bisa dilakukan anak-anak lemah seperti kalian?" ucap Septa yang bangkit kembali.

Sejujurnya para Mantra ini sudah hampir kehabisan napas. Mereka sangat kelelahan, tetapi lawan di hadapannya belum juga kalah. Memaksa mereka harus berjuang lebih keras sejuta kali lipat.

"Jangan tidur, Cel," seru Deva pada Harits.

Untuk kali pertama Harits terkekeh ketika dipanggil boncel. Matanya memang sudah berat, rasanya ia ingin duduk dan bersantai, tapi tak mungkin dalam kondisi seperti ini. "Urus diri lu sendiri, Drong!" Kini Harits menatap Jaya. "Masih sanggup gelut, kan? Cah Ndeso?!"

"Kalo saya enggak sanggup, gimana nasib kalian?" ledek Jaya. "Saya mungkin capek, tapi masih ada utang yang belum saya bayar. Saya masih harus bekerja."

"Guys ...." Cakra menatap ke arah Septa yang sudah mengambil ancang-ancang kembali. Hal itu membuat mereka semua menoleh dan memasang kuda-kuda.

"Jagain Nada, Cak!" seru Harits yang melesat bersama Deva.

Cakra menatap Nada. Gadis itu sepertinya tak butuh dijaga. Nada membalas tatapan Cakra dengan ekspresi datar. "Ada pisau?"

Cakra menggeleng sebagai jawabannya. Nada menghela napas dan berjalan ke tempat aman. Setelah membawa Nada menjauh dari Septa, Tara keluar dari tubuh Nada dan kembali pada kucing hitam yang sedang tertidur tak jauh dari tempat Seta duduk.

"Curang!" seru Seta.

"Semua yang ada di sini boleh mati, kecuali Nada dan Melodi," jawab Tara dengan ekspresi datar.

Kembali pada pertarungan Mantra dan Septa. Harits dan Deva bekerjasama mengalahkan Septa dengan segala yang mereka bisa. Jaya juga sedang mempersiapkan diri. Ia membiarkan Bapang kembali mengamuk. Begitu juga dengan Cakra yang mencoba bermeditasi kembali untuk melakukan proyeksi astral.

Tanpa isyarat, Harits dan Deva mundur, kini giliran Jaya yang melesat maju bersama roh Cakra. Harits dan Deva beristirahat sejenak sambil menjaga raga Cakra. Mereka melakukan pergerakan yang selaras, hanya bermodalkan kepercayaan.

"Buku lu ... kita butuh buku lu," tutur Deva terengah-engah.

"Apa yang bisa dilakukan Penjara Jiwa?" tanya Harits.

"Dari pertarungan Rizwana beberapa waktu lalu ngelawan Septa, gua duga Rizwana lagi mempersiapkan sesuatu."

"Apa itu?"

"Awalnya gua enggak yakin, tapi mbak dari Divisi Nol itu sempet mukul Septa pake Waringin Sungsang dan saat itu juga roh Septa keluar dari raganya. Masalahnya, cuma butuh sepersekian detik buat roh itu balik ke raganya. Intinya adalah, Waringin Sungsang dan Penjara Jiwa bisa jadi kombinasi buat membunuh keabadian. Rizwana sadar akan hal itu, tapi dia enggak percaya diri karena gagal mentalin roh ayahnya."

"Sejujurnya, ngunci roh ke dalam buku ini tuh enggak segampang yang lu kira. Bisa gua bilang, pemilik sebelum gua, Mikail Sagara. Dia berhasil ngurung sosok Hara Wijayakusuma dengan kemampuannya yang emang udah enggak diragukan lagi. Dia juga jadi pemilik buku itu sejak ratusan tahun," balas Harits.

"Dan sekarang lu harus bisa ngurung dia, atau enggak akan ada lagi hari esok."

"Ngomong emang gampang ...."

"Gua bakal pukul dia pake Waringin Sungsang dan buat rohnya mental keluar. Gunain waktu itu seoptimal mungkin," potong Deva.

"Apa?! Lu mau ngapain? Waringin Sungsang? Lu kan sama sekali enggak pernah belajar bela diri gituan." Harits bingung dengan ucapan Deva yang seolah-olah menggampangkan dua kombinasi itu.

"Kita enggak tahu sebelum dicoba, Cel!"

Harits menggeleng. "Ya, gimana cobanya? Gua mungkin aja bisa gunain buku Penjara Jiwa buat nyegel roh jahat, tapi lu? Waringin Sungsang? Really?"

Deva menyimpan Tumenggung. "Mulai dari sini, gua bakal serius."

"Gondrong! Sejujurnya, lu tanpa Tumenggung itu ...." Harits menghentikan ucapannya menatap sorot mata Deva yang sangat serius. Sejenak Harits menghela napas. Sebuah buku hitam tiba-tiba saja sudah berada di dalam genggaman Harits. "Oke, kita coba."

Mereka berdua berdiri sejajar. Harits mengenakan kembali topi merahnya yang sempat ia lepaskan. "Ajna ...," ucap mereka bersamaan. Harits dan Deva mengaktifkan mata ketiga.

Buku hitam yang Harits pegang mengeluarkan aura mencekam. Entah karena angin atau ada sesuatu yang lain. Buku itu terbuka dengan sendirinya dan berhenti pada satu halaman kosong. Harits menarik kembali arwah yang ia keluarkan, termasuk Hara. Ia ingin berkonsentrasi penuh dalam ritual penyegelan Septa. Sejujurnya, jika Deva gagal, maka semua akan sia-sia. Penjara Jiwa tak bisa merengut sesuatu yang masih hidup.

Sejenak Deva menatap Rizwana dan juga anggota Trishula. Ia menyimak dengan cermat setiap pergerakan mereka dalam bertarung, lalu mengikuti kuda-kudanya. Deva tidak mempelajari Waringin Sungsang. Ia tak tahu dasar-dasar ilmu putih itu, beserta juga gerakannya. Hanya mengikuti insting dan juga mencontoh pergerakan orang lain. Sejujurnya ia tidak percaya diri, tetapi keadaan ini harus membuatnya keluar dari zona nyaman. Gagal dan kalah adalah ujung terbaik, ketimbang tidak melakukan apa-apa dan menyesal.

Jaya dapat mengimbangi Septa seorang diri, tetapi tentu saja Septa masih di atas angin. Kemunculan Deva mampu meringankan bebannya, tetapi ada yang berbeda dari Deva kali ini. Ia menyerang tanpa menggunakan Tumenggung.

Sebuah pukulan bersarang di perut Septa, tetapi sepertinya pukulan itu sama sekali tak berdampak apa pun. Deva mundur dan kembali mencermati para pengguna Waringin Sungsang, sementara Jaya mengambill alih kembali. Kemudian Deva kembali melakukan percobaan berikutnya. Lagi dan lagi. Harits hanya menatap Deva sambil berjalan memutari Septa, menunggu Deva berhasil mementalkan roh makhluk buas itu.

Cakra tak terlalu membantu banyak dalam penyerangan. Ia bertugas untuk menggagalkan setiap serangan Septa. Setiap kali Septa hendak menyerang rekan-rekannya, Cakra segera melemparkan pedang astral untuk memperlambat gerakan Septa.

Pada momen itu, Deva terus menerus memberikan pukulan tak berarti. Ia terus mencoba meniru Waringin Sungsang.

"Kau yang paling menjijikan ...," gumam Septa. "Kau sebut ini berjuang? Pukulan ini adalah yang paling lemah dalam perang ini."

Namun, Deva tak peduli. Ia terus mundur dan kembali dengan serangan yang sama. Mungkin bagi Septa hal itu terlihat lucu, tapi Septa menyadari sesuatu. Makin lama, pukulan itu semakin berat dirasa.

***

Di sisi lain Nada tersadar setelah sempat kerasukan. Gadis itu mengambil busur panah yang sempat terjatuh, dan mencari anak panah untuk membantu rekan-rekannya yang sedang mengeroyok Septa. Merasa tak menemukan apa pun, Nada berlari menuju rombongan para Divisi Nol dan juga Melodi.

Sesampainya di sana, Nada merinding ketika melihat tangan Gintara yang menghitam setengahnya. Sejenak ia mengurungkan niatnya untuk meminta anak panah Zulham.

"Potong," seru Gintara sambil mengulurkan tangannya yang menghitam.

Zulham tampak ragu. "Ini masih bisa dicari alternatif buat pengobatannya, kan?"

"Mungkin ada, tapi enggak sekarang. Sekarang lu harus pilih, mau kehilangan nyawa gua atau setengan tangan kanan gua?" balas Gintara.

"Gin ...." Taruna yang masih mampu bertahan menatap Gintara. 

"Padahal cuma segores, tapi gua enggak nyangka bisa separah ini," balas Gintara yang ternyata mendapatkan luka dari darah hitam Septa. Makanya Septa meninggalkan Gintara yang akan mati secara perlahan.

"Kalo penyebarannya terus berlanjut, Gintara pasti mati," celetuk Abi.

"Coba lu sembuhin dia pake Ragil Kuning lu." Ervan mencoba untuk membujuk Abi untuk menolong Gintara.

Namun, Abi menggeleng. "Itu bukan penyakit. Itu kutukan."

Zulham memejamkan matanya. Ia menghela napas sambil menatap lengan Gintara yang perlahan menghitam. Penyebarannya tak secepat Bayu, tapi hanya permainan waktu saja sampai seluruh darah hitam itu mengutuk organ dan pembuluh darah.

Satu tebasan itu memutus separuh lengan Gintara. Tampak pria itu mengerang kesakitan. Abi langsung mencoba untuk menutup pendarahannya.

"AYAH!" Kevin berlari ke pantai. Baru kali ini anak-anak Katarsis melihat pria tampan pendiam itu berteriak dengan wajah penuh getir.

Gintara menatap Nada. Ia menyodorkan pulpen itu pada Nada. Semua mata menatap heran aksi Gintara itu.

"Apa-apaan ini?" celetuk Ervan.

Gintara abaikan segalanya. Ia masih menatap Nada. "Ambil ...." Ya, Gintara ingin Nada menjadi tali penyambung dari Pena Suratma.

"Gintara!" Zulham paham. Lantara bukan Gintara yang gila, tetapi pena itu. Pena itu yang membuat Gintara tersiksa dengan semua bisikan-bisikan lirih yang merengut sadarnya. Tentu saja Zulham tak ingin gadis lugu seperti Nada yang menjadi penerus dari pena itu.

"Pena itu bukan milik manusia! Siapa pun yang menyentuhnya akan ditelan kegilaan!" Taruna ikut menimpali.

"Pena ini memilih tuannya ...." Gintara melepaskan perangkat di telinganya. Semua menjadi waspada. Dalam mode itu, Gintara bisa saja membunuh siapa pun yang berada di dekatnya. "Ia berbisik lirih ... ia ingin gadis ini."

"Apa dengan pena itu saya bisa membantu teman-teman saya?" tanya Nada.

Gintara tersenyum mendengar nyali gadis itu. "Kamu bisa membantu dunia ...."

"Jangan sentuh!" teriak Ervan, tapi terlambat. Nada meraih pena itu.

Nada terbelalak. Matanya perlahan menghitam. Semuanya gelap. Ia mendengar bisikan-bisikan yang entah dari mana asalnya. Semua bisikan itu datang dari berbagai penjuru. Gadis itu memancarkan sebuah aura misterius yang membuat semua bergidik ngeri.

"Apa kegunaannya?"

Semua mulut mengaga. Lantaran Nada mampu bertanya kegunaan dari pena itu. Seolah-olah tak terjadi apa pun. Semua aura mencekam itu terhisap masuk ke dalam tubuh Nada dan lenyap menyisakan senyap.

Gintara tertawa. "Pena itu tunduk pada anak ini." Kemudian sorot matanya menjadi serius. "Pena itu mampu membunuh. Membunuh mereka yang abadi."

Gin menjulurkan tangan kirinya ke arah Zulham. "Masih ada anak panah?" Zulham yang masih merasa aneh dengan keadaan ini, sontak memberikan satu anak panah terakhirnya pada Gin. Gintara menatap Nada. "Anak ini pandai memanah. Aku melihatnya sendiri. Tanpa gentar, ia melesatkan anak panah ke leher bajingan itu."

Kevin tiba di hadapan Nada dan Gintara. "Ayah ...." Ia menatap Gintara yang baru saja kehilangan separuh lengannya.

"Jangan murung! Bagaimana ceritanya jika generasi yang akan memikul era ini bermuram durja?!" Gintara adalah ayah yang tegas. Ia tak mengajarkan Kevin untuk menjadi cengeng. "Kami sudah tua ... era kami sudah habis ... menangkan perang ini. Jalan kalian masih panjang." Pria gondrong itu merebahkan dirinya di pantai sambil menatap bulan, dan berusaha meraihnya dengan satu tangan. "Setelah ini, aku akan pensiun. Ternyata aku memang merindukan rumah."

"Paman istirahat aja," balas Nada. "Kalo paman mau pulang, silakan pulang. Malam mungkin masih panjang, tapi semua kekacauan ini akan segera berakhir."

"Satu serangan. Kamu cuma perlu satu serangan buat ngalahin Septa. Jangan meleset. Nasib dunia ini ada di satu tembakan kamu," balas Gintara.

Nada sebenarnya takut. Ia seakan memikul dunia di pundaknya. Jika ia adalah Nada yang dulu, sudah pasti gadis itu akan kabur dari tanggung jawabnya. Namun, Nada bukanlah Nada yang dulu. Semua orang berubah. Apalagi ketika Nada menatap Melodi yang babak belur. Melodi sudah mengorbankan nyawanya hanya untuk membawa Nada mundur kembali, tepat sebelum semuanya berakhir tragis.

Gadis dengan sarung tangan hitam itu mengambil satu anak panah terakhir milik Zulham dan mengikatkan Pena Suratma di ujungnya. Mata pena itu adalah harapan jika Deva dan Harits gagal menghabisi Septa.

"Nada ...." Kevin tampak khawatir pada Nada.

Sejenak Nada tersenyum pada Kevin dengan senyum polosnya. "Enggak apa-apa, Kev. Aku yang sekarang ini ... kuat." Ekspersi itu tiba-tiba berubah. Ia membidik ke arah Septa dengan sorot mata yang tajam.

***

Jaya berlumuran darah. Ia sudah mencapai batasnya. Bapang tak mampu menahan lebih lanjut serangan-serangan Septa lebih dari ini.

"Mundur ...." tutur Deva lirih.

Mungkin Jaya gemetar, tetapi ia masih ingin berjuang.

"Mundur, Jay." Ucapan Deva tiba-tiba membuat Jaya merinding. Seolah Deva memperingatkan Jaya untuk tindak mengganggunya. Melihat tekad kuat itu Jaya mundur, ia menuju raga Cakra yang sedang bermeditasi.

Deva menarik napas sambil memejamkan matanya. Ia membuang napas melalui mulut secara teratur sambil mengingat apa yang Frinza ajarkan.

"Jangan kau cari dia, karena dia tidak akan datang pada siapa pun yang mencarinya," ucap Frinza.

"Bagaimana caranya aku mendapatkan sesuatu tanpa harus mencarinya?" balas Deva.

"Kau hidup tanpa kau meminta untuk dilahirkan. Kau mati tanpa kau mengharapkan kematian. Kau bernapas tanpa pernah mencari benda yang membuat paru-parumu bekerja. Kau terbangun tanpa harus repot-repot mencari pintu keluar dari ruang mimpi. Tidak semua yang ada di dunia ini ada karena dicari. Banyak hal yang masih menjadi misteri ilahi. Jangan mencarinya, tapi biarkan ia menemukanmu."

Deva membuang napas melalui mulut seraya ia keluar dari mode Ajna. Harits langsung terbelalak menatap Deva tanpa Tumenggung, dan tanpa Ajna. Di hadapan Septa, ia hanya seperti seorang anak bayi yang tak mampu melawan.

"Bodoh! Apa yang lu pikirin?!" teriak Harits.

Harits berteriak begitu kencang, tetapi Deva tak mendengar teriakannya. Ia seperti tenggelam dalam sesuatu yang ia tak pahami. Dalam tempat yang aneh itu, Deva berjalan. Raganya mengikuti kesadaran di bawah alam bawah sadarnya. Deva bergerak untuk mengenali semua bagian tubuhnya, ia merasakan tanah yang ia jadikan tempat berpijak. Sesaat ia tampak diam, ketika sosok Deva yang berada di alam bawah sadar itu duduk bersila sambil menempelkan jari telunjuk dan jempolnya, "LAM." Ia merapalkan sesuatu yang bahkan ia sendiri tak ketahui. Semuanya terbesit begitu saja dalam benaknya sambil ia berfokus pada Cakra Dasar.

Deva membuang semua emosinya yang berupa badai kelam, dan membuang pikiran-pikiran yang membebaninya. Ia merubah posisi tangannya ke bawah dan saling menempelkan jari-jarinya. "VAM." Lagi-lagi ia meracau tak jelas.

Setelah itu, Deva merubah kembali posisi tangannya. Ia meletakkan tangan di depan perut, sejajar dengan pusar. Deva mempertemukan jari-jari di bagian atas, semua mengarah ke depan, membelakangi tubuhnya, seraya menyilangkan jempol dan mengeratkan jari-jarinya. Kini Deva berkonsentrasi membuka Cakra Pusarnya "RAM."

Lalu Deva merubah posisi jarinya seperti pada gerakan pertama yang menempelkan jari telunjuk dan jempolnya. Bedanya, ia meletakkan tangan kiri di atas lutut kiri dan tangan kanan di depan bagian dada. Sejajar dengan jantung. Deva berkonsentrasi pada Cakra Jantung. "YAM."

Lanjut, Deva menyilangkan jari-jarinya ke dalam tangan, tanpa kedua jempol, membiarkan jempolnya saling bersentuhan di bagian atas, dan menariknya sedikit ke atas. Deva berkonsentrasi pada Cakra Tenggorokan. "HAM."

Setelah itu Deva meletakkan kedua tangan di bawah dada. Jari tengahnya tegak dan saling menempel ke arah depan. Jari-jari lain ditekuk dan bersentuhan pada kedua tulang jari. Kedua jempol menunjuk ke dalam dan bertemu di bagian atas. Pada kondisi ini Deva mengaktifkan kembali Ajna. "OHM."

Pada titik ini, Deva merasa sangat rileks. Seolah alam menyatu dengannya. Tak pernah ia rasakan kenyamanan seperti saat ini. Deva meletakkan kedua tangan di depan perut. Membiarkan jari kelingking menghadap ke atas dan mengacung ke depan, menyentuh bagian atas sambil menyilangkan jari-jari lain dengan jempol kiri berada di bawah jempol kanan. Tak seperti pada enam titik Cakra yang sebelumnya. Konsentrasi Deva tertuju pada kepalanya. Ia tak merapalkan sesuatu seperti sebelumnya. Kali ini ia hanya mengeluarkan suara dengung dari mulutnya.

Dalam waktu yang cukup lama di alam bawah sadarnya itu, rupanya hanya berkisar beberapa detik saja di dunia luar. Deva membuka matanya perlahan. Ia tak memancarkan aura yang kuat seperti Tara. Bahkan tak ada aura yang keluar dari tubuhnya, tetapi Septa merasakan firasat buruk. Sebab Sang Penguasa Laut Selatan yang baru itu baru saja bergidik ngeri. Tanpa berlama-lama, Septa menerjang ke arah Deva yang masih diam tanpa kuda-kuda.

"Gondrong, kabur!" teriak Harits.

Sebelum Septa menghujam tombaknya, Deva sudah menggeser kepalanya sedikit ke kanan. Mata tombak itu gagal membunuhnya. Dalam sepersekian detik, mereka saling bertatapan. Deva tak memiliki ekspresi, tetapi ia membisikan sesuatu yang membuat Septa terbelalak. "Sahasrara ...." Deva mengarahkan tangannya tepat di depan kening Septa, lalu menyentilnya. Septa terpental hingga ke laut. Tak ada yang paham apa yang sebenarnya terjadi.

Namun, ada satu orang yang paham tentang apa yang sebenarnya terjadi. Kei tak percaya dengan apa yang ia lihat di penghujung Walpurgis. "Ini benar-benar mengejutkan," tuturnya menatap Deva. "Dirga ... sebenarnya apa yang anakmu lakukan selama ini?"

"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Taruna.

"Muladhara, Svadhisthana, Manipura, Anahata, Visuddhi, Ajna, Sahasrara. Itu adalah tujuh titik cakra manusia. Mungkin kalian sering mendengar tentang indra keenam," tutur Kei. Mantan Yudistira itu menoleh pada Taruna. "Tapi apakah kau pernah mendengar tentang indra ketujuh?"

"Indra ketujuh?" Zulham memicingkan matanya.

"Itu hanyalah dongeng turun temurun. Konon dahulu kala manusia berperang dengan tiga ras lain. Garuda, Wanara, dan Denawa. Tentu saja manusia adalah makhluk yang paling lemah dan miskin ilmu. Menurut kalian bagaimana manusia di era terdahulu dapat bertahan hidup dan mampu memenangkan perang itu? Bertahan hingga berdiri merajai Bumi."

"Licik? Merampas senjata ras lain dan menipu mereka?" jawab Gintara.

"Mungkin itu ada benarnya, tapi bukan solusi memenangkan perang," balas Kei. "Manusia memiliki sebuah potensi yang bahkan mereka tak sadari. Sebuah kekuatan yang membuatnya mampu bersaing dalam perang maut itu. Sahasrara ... bukan sesuatu yang bisa dibuka sesuka hati. Bahkan kemampuan Yudistira pun ada berkat sebuah kontrak kuno. Hanya keturunan si pembuat kontraklah yang mewarisi kemampuan ini, tapi Deva ... ia mendobrak pintu itu secara paksa. Tidak ... bukan itu. Dia tidak membuka pintu Cakra itu secara paksa. Pintu itulah yang sudi terbuka untuknya."

***

Septa bangkit dan menatap sinis ke arah Deva. "Sahasrara? Jangan bercanda! Selama ini aku mempelajari itu dan tak mendapatkannya. Bahkan Jiwasakti pun tak bisa menyentuhnya!"

"Kalian yang mencari, tak akan pernah ditemukan," gumam Deva dengan wajah datar. Deva mengarahkan tangannya dan memberikan kode pada Septa untuk maju. "Datanglah, aku akan mengajarkanmu tentang kematian."

"KURANG AJAR!" Septa melesat dengan tombaknya. Ia menghujani Deva dengan mata tombaknya, tetapi tanpa kesulitan Deva menghindari setiap serangannya.

Septa menyadari sesuatu. Ini bukan seutuhnya kemampuan prekognision. Prokognision hanya memprediksi masa depan, tetapi gerakan Deva berkata seolah ia tahu masa depan.

"Angin ...," tutur Septa sambil menghentikan serangannya. "Kau mampu merasakan pergesekan saat angin berubah karena gerakan ku dan membuat simulasi dengan prekognision untuk menentukan langkah berikutnya."

Septa tiba-tiba tertawa. Ia diam-diam menyerang Deva dengan darah hitam. Namun, tawanya sirna. Darah hitam tak mampu menembus kulitnya.

"Bumi," tutur Deva. "Aku adalah bagian dari bumi. Darah hitam itu tidak akan bisa menggoresku."

Deva Martawangsa. Tenang sepeti angin, tetapi marah penuh kobaran api. Bertekad sekeras bumi namun, menghanyutkan seperti air. Saat ia mulai bergerak ... ia bagai gemuruh.

Deva melebarkan kedua kakinya dan menarik tangan terkuatnya hingga sejajar dengan pinggang. Satu tangannya yang mengganggur ia gunakan untuk meraih dan mencengkeram pakaian Septa. Membuat pria itu tak bisa ke mana-mana. Dari semua kepulan senyap itu, aura mencekam keluar dari tubuh Deva, membuat ombak dan Pasukan Laut Selatan terdorong mundur. Atma meluap-luap menyelimuti dirinya. Ketika telapak tangannya melesat menghantam perut Septa, ia alirkan semua letupan atma itu ke telapak tangannya hinga tak bersisa. "Antari." Deva memutar telapak tangannya sambil menghempaskan seluruh atmanya keluar lewat telapak tangan bersama angin. Seketika itu sebuah gelombang kuat keluar dari tubuh Septa bersamaan dengan rohnya.

Roh Septa terpental beberapa meter dari tubuhnya. Lebih jauh daripada serangan terkuat Taruna Tribuana. Suasana kembali normal. Deva tiba-tiba terkapar di pasir. Ia pingsan setelah mengerahkan tenaga terakhirnya. Septa segera melesat menuju tubuhnya kembali, tetapi tiba-tiba ia tersentak ketika kakinya tertahan oleh sesuatu yang menariknya.

Sebuah rantai terjulur dan mengikat kakinya. Harits memutari roh Septa sambil merapalkan sebuah mantra. Rantai-tantai itu terus keluar dari buku hitam si pria bertopi merah yang berusaha membelenggu Septa.

"Kau pikir bisa menangkapku?!" Septa berusaha melepaskan diri.

Harits paham. Semakin kuat suatu eksistensi, maka akan semakin sukar untuk ditangkap. Dalam kasus ini, Harits seperti sedang berusaha membelenggu Nyi Roro Kidul. Perlahan ia mengeluarkan darah dari mata dan mulutnya. Namun, Harits masih berusaha. Ia tak akan menyia-nyiakan perjuangan Deva.

"Hentikan ini! Aku akan membiarkanmu hidup, Harits!" teriak Septa.

Harits tak menggubris ucapan pria itu. Ia berkonsentrasi penuh dalam penyegelan roh jahat ini. Semua anggota Divisi Nol dan yang lainnya menatap penuh harap. Harits dengan bukunya merupakan generasi Peziarah baru.

Hal yang mengejutkan terjadi. Sebuah lingkaran dengan bola mata di tengahnya muncul di bawah raga Septa. Sontak membuat Septa menatap ke arah Agha Wardana yang sedang berdiri dibantu oleh Kei. Mata kirinya mengeluarkan darah. Agha membuat sebuah portal untuk membawa raga Septa ke Alam Suratma.

"Bajingan!" Septa semakin memberontak.

Semua mata terbelalak ketika rantai-rantai yang membelenggunya terputus. Kini Septa telah kembali ke raganya dan melompat keluar dari lingkaran portal yang belum sempurna itu.

"Panah sekarang!" seru Taruna.

"Belum," balas Nada yang masih membidik targetnya.

"Tidak ada kesempatan lagi! Sebelum ia bergerak leluasa!" sambung Zulham.

"Masih belum." Nada masih belum juga melepaskan anak panahnya.

"Apa yang kau tunggu?!" ucap Ervan.

"Aku ini lemah. Seorang gadis kurus yang tidak memiliki tenaga seperti kalian. Dari jarak ini aku tidak bisa mengenainya," balas Nada.

Semua lutut itu tiba-tiba lemas mendengar ucapan pesimis Nada. Melodi yang sudah siuman menatap kembarannya yang masih membidik target. "Nada ...."

"Tapi ayah bilang, aku enggak sendiri," lanjut Nada. Ia berkonsentrasi penuh membidik targetnya. Sejenak ia memejamkan mata sambil mengatur ritme napas. 'Belum ... masih belum ... aku enggak bisa lepasin anak panah ini ... belum waktunya.'

"Sial!" gumam Agha yang memegangi matanya. Ia dan Harits gagal membawa Septa ke Alam Suratma.

"Kali ini kalian benar-benar akan mati!" ucap Septa yang benar-benar marah. Hampir saja ia kalah.

Desir angin berhembus melewati telinga Nada hingga membuat rambutnya menjuntai lurus ke arah depan. Nada sontak membuka matanya. "Angin selalu bersama kita." Ia melepaskan anak panahnya. Menjadikan angin sebagai pendorong, menggantikan tenaganya.

Tepat menghujam sasaran. Panah itu menembus dada Septa. Membuat pria itu kembali menatap Nada. "Nada!" Ia hendak menjadikan Nada target utamanya. Tentu saja panah di dada bukanlah sesuatu yang berarti bagi Septa dengan segala keabadiannya. Namun, lutut itu enggan berdiri.

"Hah?" Septa menatap kedua tangannya yang perlahan mengering. Seluruh tubuhnya berkeriput, membuatnya seperti orang tua. Bola kristal hitam keluar dari mulutnya dan pecah, mengeluarkan sosok Nyi Roro Kidul. Tak merasa punya kepentingan, Nyi Roro Kidul kembali ke laut, membawa seluruh pasukannya. Perlahan, Septa melebur menjadi debu yang terhempas angin laut, entah terbawa ke mana.

Tepat pada mata panah itu. Pena Suratma terlihat gagah berdiri. Nada mengeluarkan air mata. Itu kali pertamanya ia membunuh seseorang. Perlahan tubuhnya gemetar.

Melodi menyelimuti Nada dengan cardigan miliknya, sambil mengusap punggung kembarannya yang kini justru terlihat rapuh. "Dia bukan manusia, jangan merasa bersalah. Banyak nyawa yang udah kamu selamatkan."

Radika berjalan membawa jasad Ganapatih, dan meletakkannya bersamaan dengan jasad para korban yang gugur di malam Walpurgis. Ia melenyapkan tabir ghaib yang menyelimuti area Walpurgis. Sebuah tabir yang memisahkan antara dunia nyata dan dunia yang hanya bisa dimasuki oleh orang-orang tertentu.

***

Setelah tabir itu luruh. Polisi datang dengan jumlah yang banyak. Tak ada yang mengira bahwa di tempat itu sudah terjadi perang besar-besaran. Lautan mayat manusia menjadi pemandangan yang mengerikan untuk semua orang yang tiba di tempat perkara kejadian.

Rizwana dan Ettan Rawasura ditangkap atas tuduhan dalang di balik peristiwa ini. Sementara keberadaan Radika menghilang bak ditelan bumi.

Jaya berdiri di hadapan Ettan yang sedang berjalan di belakang seorang polisi. Kini kedua tangannya rapat terborgol. Ettan tersenyum getir. "Kau mau balas dendam atas kematian Wengi? Bunuh saja aku ... itu lebih baik daripada hidup di dalam jeruji besi, seperti hewan."

"Saya sangat ingin membunuh kamu, tapi Wengi tidak mau saya jadi pembunuh. Ayah juga tidak mau saya marah. Bukan artinya saya memaafkan kamu atas segala yang terjadi, tapi kalo kamu merasa bersalah dan berniat untuk menebus dosa. Jadilah orang baik. Kamu emang siluman, tapi kamu bisa jadi manusia, kamu punya sisi manusia, kan? Saya enggak akan pernah maafin kamu, tapi saya berharap kamu bisa jadi orang baik yang ngelindungi orang-orang lemah."

Ettan tertawa. "Pahlawan? Menjijikan ...."

"Sampai suatu saat nanti saya melihat kamu membunuh lagi. Saya yang akan mengotori tangan saya sendiri dengan darah kamu."

Polisi itu membawa Ettan masuk ke dalam sebuah mobil. Beberapa polisi pergi membawa Ettan dan Rizwana di mobil yang berbeda. Sementara yang lainnya melakukan evakuasi. Tim forensik juga terjun dan menyelami identitas-identitas para jenazah ini. Semua korban yang terluka dilarikan ke rumah sakit terdekat.

***

Sesampainya semua korban yang terluka di rumah sakit terdekat. Cakra dan Nada melihat Dewi dan seorang  bawahan Wira yang selamat di sana. Hanya Cakra dan Nada yang berkeliling, mengingat luka mereka adalah yang paling ringan dan tak membutuhkan pertolongan medis. Sebenarnya Jaya juga ada di sana, tetapi ia berjalan di belakang Cakra dan Nada. Jaya berjalan ditemani seorang perawat menuju ruang perawatan.

"Gimana keadaan Mas Wira?" tanya Cakra.

Dewi menutup matanya dengan telapak tangan. Gadis itu enggan bicara.

"Wira koma. Keadaannya parah karena beberapa organnya tak berfungsi dengan baik. Banyak pembuluh darah yang pecah juga. Harapan hidupnya kecil," ucap seorang bawahan Wira, si pria bertato kuda. Semua tertunduk diam, tak tau apa yang harus dilakukan.

Dari ruangan sebelah, dua orang anak kecil berlari keluar. Petrus dan Isabel berdiri menatap Jaya. "Jaya!" Isabel dan Petrus berlari ke arah kakaknya. Jaya berjongkok dan memeluk mereka berdua.

"Ayah mana?" Isabel celingak-celinguk mencari keberadaan Bayu. "Ayah?"

Tubuh Jaya gemetar. Ia semakin erat memeluk kedua adiknya.

"Ayah mana?" Pertanyaan itu terulang hingga membuat Jaya tak kuasa menahan air mata.

Isabel mendorong Jaya hingga terbebas dari pelukannya. Gadis itu berjalan mencari keberadaan Bayu di antara orang-orang yang terluka. "Ayah?"

Nada dan Cakra saling bertatapan. Mereka pun tak kuasa menahan air matanya menatap gadis kecil yang sedang mencari kehampaan itu.

Isabel berlari menyusuri rumah sakit sambil berteriak memanggil ayahnya hingga ia kembali lagi ke hadapan Jaya dengan mata berkaca-kaca.

"Jaya, ayah mana?"

"Isabel ...." Petrus menggenggam tangan mungil itu sambil menggeleng. "Cuma kita yang tersisa."

Isabel paham. Hanya saja, ia tak mau menerima kenyataan itu dan berharap menemukan Bayu di antara kerumunan orang ini.

"Maaf ...." Jaya memeluk Isabel kembali.

Kini gadis kecil itu terisak ketika berusaha menerima kenyataan. Sontak Jaya menarik Petrus dan memeluknya juga. "Kamu enggak harus bersikap sok kuat. Kalo mau nangis enggak apa-apa." Jaya paham. Petrus bukanlah anak yang tak punya perasaan. Bocah itu hanya menyimpan emosinya, dan meluapkannya ketika tak ada yang melihat. Namun, begitu Jaya memeluknya sambil berkata demikian. Isaknya menjadi yang paling keras mengisi ruangan rumah sakit ini.

Malam Walpurgis menyisakan duka lara. Sebanyak seratus tujuh belas orang dari berbagai kubu menjadi korban kengerian pesta para penyihir. Lebih dari lima puluh orang terluka parah, dan lima belas orang mengalami luka ringan. Tak ada yang berani bicara, semua memlilih bungkam menutup rapat-rapat peristiwa kelam yang tak seharusnya tercatat sebagai sejarah.

ARC WALPURGIS END

.

.

.

TBC









Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top