88 : Sahabat Lama
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
"Sekarang seekor bajingan itu lepas ke dunia. Itu adalah pembelajaran bagi orang-orang yang mengganggap Jiwasakti jahat. Sekarang aku biarkan satu binatang itu bertingkah dan menjadi contoh. Agar dunia tahu alasanku membantai mereka di masa lalu. Kelak mereka semua akan paham bahwa apa yang aku lakukan pada saat itu adalah hal yang benar."
"Apa sebelumnya kau sudah menyadari bahwa orang itu adalah Belatung?" tanya si kucing hitam.
"Sejujurnya baik aku dan Septa, kami tidak saling mengenali satu sama lain. Jangankan dia, aku saja tidak tahu bahwa kau adalah seorang Wijayakusuma sebelum kau mati. Banyak hal yang tidak aku ketahui. Terlebih, dia berbeda dengan para Belatung yang selama ini kami hadapi."
"Berbeda?"
"Normalnya mereka yang abadi karena kembali dari tanah kematian pasti memburu manusia. Sebab jika mereka tidak memakan daging manusia dan memangsa jiwanya, tubuh mereka perlahan akan membusuk. Satu hal yang membedakan Septa dengan Belatung yang lainnya adalah, Septa tumbuh. Raganya semakin hari ikut menua, itu bukanlah hal yang wajar."
"Sebenarnya apa yang telah dia lakukan?" tanya si kucing.
"Sejak Harits berkata bahwa ada seorang Angkhara yang masih hidup, aku menyeledikinya. Wajah orang itu tidak ada dalam pembantaian ratusan tahun silam. Namun, nama Naga Angkhara tak asing terdengar, ia adalah dalang pemberontakan yang membuatku marah. Ia masuk dalam catatan merah Sang Suratma." balas Seta. "Naga menemukan sebuah ilmu terlarang untuk berpindah kesadaran. Pada awalnya, kontrak darah miliknya hanya mampu mengendalikan orang lain, tapi tidak merebut kesadaran."
"Apa yang membuatmu semarah itu hingga membantai satu keluarga tanpa sisa?"
"Naga dan para Angkhara lainnya ingin menjadi Tuhan. Mereka menemukan sebuah ilmu terlarang yang lebih parah daripada yang aku dapatkan. Aku yakin, kemampuannya mirip sepertiku yang mampu berpindah raga menjadi parasit, tetapi orang bernama Naga itu mampu mengendalikan orang lain dengan darah terkutuknya. Ditambah ilmu terlarang yang ia pelajari, entah sudah sebanyak apa orang yang ia kendalikan dan mungkin menjadi kaki tangannya. Ia bisa berpindah dari satu tubuh ke tubuh lainnya. Pada malam itu, Naga dan para Angkhara berencana mengambil jiwa Yudisitra dan juga jiwaku, lalu membuat Dunia bersujud padanya. Tentu saja aku sadar, bahwa manusia hanyalah sebagian kecil eksistensi yang kerdil dan sombong. Mendengar bahwa ia ingin melampaui Tuhan membuatku marah. Aku seolah ingin berkata, bahwa tak butuh Tuhan hanya untuk melumat habis seluruh keluarga Angkhara. Hanya butuh aku, seorang manusia lemah."
"Aku pikir kau tidak percaya pada Tuhan," ledek kucing hitam. "Lalu kau membantai mereka semua tanpa sisa? Bagaimana saat ini? Apa kau tidak berniat untuk membantainya lagi sebelum bencana yang lebih besar datang?"
"Tuhan, ya? Meskipun aku tidak berdo'a, bukan artinya aku tidak percaya Tuhan kekeke." Seta terkekeh. "Aku tidak tahu di mana jiwa aslinya bersembunyi malam itu. Ia dan keluarga Angkahra sangat rapi dalam menyusun rencana ini. Jadi aku menghabisi seluruh keluarga Angkhara beserta keturunannya untuk memastikan kematiannya. Sekaligus mendeklarasikan perang pada mereka yang ingin mempelajari ilmu terlarang tersebut." Seta menyeringai. "Dan lagi ... aku sudah bilang. Sejak aku mengetahui kebenaran tentang Angkhara yang merupakan Belatung ini, aku ingin ia menjadi contoh nyata. Tidak ada manusia yang sedikit pun mampu sejajar dengan Tuhan, apalagi melampauinya."
***
Gintara kini berhadapan dengan Septa satu lawan satu. Ervan membawa Zulham dan juga Taruna pada Kei untuk mendapatkan pertolongan pertama.
"Dari jauh aku sudah mengawasimu," tutur Gintara. "Tepatnya saat dalam perjalanan."
"Klervoyans?" tanya Septa.
"Anggap saja begitu. Selama kau bertarung, aku sudah mempelajari beberapa kemampuanmu dan memberitahu rekan-rekanku. Sayangnya Zulham terlalu cepat. Kecepatannya saat masuk ke dalam mode Braja melebihi kecepatan berpikirnya. Ia tak bisa mundur begitu sudah terlanjur maju. Untungnya ia menahan diri, jadi Taruna tak begitu mendapatkan luka yang serius."
"Aku dengar kau akan ditelan kegilaan saat melepas perangkat di telingamu itu," balas Septa. "Tapi apa ini? Sepertinya kau masih waras."
Gintara terkekeh seperti orang gila. "Saat kegilaan menelan utuh sadarku. Disitulah akhir riwayatmu."
Sambil memainkan pena di tangannya, Gin tiba-tiba berlari menerjang Septa. Jika Gintara terkena serangan darah hitam, ia akan bernasib seperti Bayu. Namun, sebaliknya. Jika mata pena itu berhasil mengenai Septa, maka Septa yang akan kalah. Satu serangan. Hanya butuh satu serangan yang mengenai lawannya untuk bisa memenangkan pertempuran ini.
Tak ada yang mau mengalah. Gin dan Septa lebih fokus untuk menghindar ketimbang menyerang. Mereka sadar posisinya dan membuat tingkat kewaspadaannya meninggi.
Tak seperti dulu, saat ini Gintara mampu mengontrol dengan baik Telinga Tarsah miliknya. Itu yang membuatnya tidak menyerang secara brutal seperti saat pertama kali bertemu dengan Uchul.
***
Walau jumlah bantuan semakin bertambah, tak mengubah fakta bahwa Pasukan Laut Selatan berhasil memukul mundur lawannya hingga ke pesisir.
"Surya!" Ippo hampir kehabisan tenaga. Bukan hanya Ippo, semua kelelahan dan berada di ambang batas kemampuan mereka. Jangankan melawan, untuk terus membuka mata saja rasanya berat.
"Satu-satunya cara agar pasukan ini mundur adalah mengalahkan pemimpinnya!" teriak Surya.
Semua berharap Gintara mampu mengalahkan Septa. Semua sudah merasa frustasi, bahkan veteran Perang Rahwana sekali pun.
***
Septa yang menyadari bahwa pasukannya kini telah naik ke permukaan langsung tersenyum. Ia berpikir bahwa anggota Divisi Nol merupakan lawan yang merepotkan pasukannyaa, mengingat mereka mampu mengirim apa pun ke Alam Suratma. Terutama Gintara. Terbesit pikiran licik untuk menghindari Gintara dan membunuh tiga anggota yang sedang menolong Taruna di tepi pantai.
Tirta dan Rava terbelalak mendengar isi pikiran Septa yang tak sengaja terbesit. "Jaga para anggota Divisi Nol!" teriak Tirta.
Septa benar-benar mundur. Ia keluar dari kepulan kabut dan melesat menuju ke arah Kei dan juga para Divisi Nol. Gintara memasang kembali earphone nya, ia terlihat panik dan berusaha mengejar, tetapi tanpa skateboardnya, ia lambat. Septa melempar tombaknya ke arah Ervan.
Katana Zulham menghantamnya, tetapi tak sepenuhnya bisa ditahan. Pria separuh Jepang itu hanya membelokkan tombak tersebut dan membuat satu lengannya tergores mata tombak. Luka itu cukup parah, melihat darah yang mengucur begitu deras.
Zulham dan Taruna terluka, sementara Ervan bukanlah tipikal petarung terbuka. Namun Ervan kini berusaha untuk melindungi kedua rekannya. Kei berusaha menghajar Septa, tetapi saat ini Septa lebih kuat daripada Kei. Dengan satu hantaman ia menumbangkan Kei ke tanah.
Tak ada lagi yang mampu menghalangi Septa untuk membunuh tiga orang Peziarah itu. Hingga sebuah anak panah melesat dan bersarang menembus leher Septa. Septa menghentikan langkahnya, urung sudah niatnya untuk membunuh tiga orang itu. Kini ia menoleh, menatap Nada dengan busur panah milik Zulham yang sempat tergeletak tak bertuan. Gadis itu tampak menyesal telah memanah Septa, ia tampak gemetar ketika Septa menatapnya dengan wajah marah.
"Nada!" Harits meninggalkan perangnya dan berlari menuju Nada. Sayangnya, bahkan jika ia dalam kondisi fit sekali pun, jarak itu bukanlah jarak yang bisa ditempuh dengan hanya sepuluh langkah saja.
Septa menarik tombaknya hingga kini berada dalam genggamannya kembali. Ia berjalan menuju Nada.
"Nada lari!" teriak Cakra yang juga kehabisan stamina.
Nada tak mampu berlari, kakinya gemetar. Jangankan berlari, bahkan ia tak mampu mendengar apa pun di sekitarnya. Rasa takut sudah menelannya hidup-hidup.
Septa sudah berdiri di hadapan Nada tanpa perlawanan berarti. Ia menatap Nada penuh kebencian. "Berkatmu, Rizwana menemukan secuil harapan. Kau memang pandai sekali mengacau," ucap Septa sambil mengangkat tombaknya. Ia melesatkan tombaknya untuk membunuh Nada. Semua mata terbelalak, darah segar mengucur membasahi pasir pantai.
***
Seta, boca itu memasang wajah datar menatap Septa. Ia membuang kucing hitamnya yang kini tak lagi menarik. "Taruhan model apa yang petaruhnya ikut bermain dalam permainan saat yang ia pertaruhkan hampir kalah?"
***
Sebuah anak panah menembus tenggorokan Septa. Nada dengan sorot mata yang tajam menatap Septa penuh kebencian.
Saat Septa melesatkan tombaknya, Nada secara ajaib mampu menghindarinya dan melancarkan serangan balasan. Tak sampai di situ, Nada menendang kepala Septa, lalu mundur untuk menjaga jarak. Gerakannya sangat terlatih.
"Apa yang terjadi?" gumam Harits menghentikan langkahnya. Ia dan Cakra saling melempar tatap heran.
Septa mencabut anak panah itu dan menatap Nada tak kalah heran. Ia benar-benar sudah membuang senyumnya. Saat ini Septa serius untuk membunuh Nada. Sebaliknya, Nada justru menyeringai lebar menatap Septa. Gadis itu melangkah dengan sebuah ritme, hingga menimbulkan efek ilusi.
"Langkah bayangan?" Septa mengerutkan dahinya.
"Apa semua ini udah lu rencanain sejak lama?" tanya Nada.
Septa paham betul nada bicara itu. "Tara."
Tak mampu melihat putri Aqilla terbunuh, Tara merasuki Nada dan memilih untuk membantu ketimbang hanya menonton dari atas batu karang.
"Jawab! Apa keadilan yang selama ini lu omongin di depan gua cuma sebuah omong kosong belaka?" lanjut Nada. "Dunia tanpa ilmu hitam."
"Enggak ada waktu buat jawab pertanyaan bodoh itu. Gua rasa semua yang lu liat sekarang udah menjawab semua pertanyaan lu," balas Septa tanpa diiringi senyumnya. "Hari ini lu terlalu banyak bicara."
Jika Septa selalu tersenyum untuk menahan diri, dan memasang mimik datar saat benar-benar ingin serius. Maka Tara sebaliknya. Ia selalu memasang wajah datar dan jarang berbicara, tetapi jika ia serius maka seringai kegilaan itu terpampang di wajahnya dengan ocehan yang berusaha menjatuhkan mental lawannya.
"Ahh ... gitu ya. Udah enggak ada yang perlu diomongin lagi ...." Aura di sekitar Nada berubah. Seluruh hewan yang berada di sekitar pantai serempak menjauh. Dari semua yang sudah terjadi di malam Walpurgis, aura membunuh ini adalah yang paling pekat. Menembus tabir ghaib yang menyelubungi area pantai, hingga ke rumah-rumah warga. Membuat anak-anak bayi terbangun dan menangis.
Nada melesat ke arah Septa. Septa menyerang dengan darah hitamnya, tetapi Nada terlalu gesit dan lincah. Tubuhnya yang ramping dengan sangat mudah mampu menghindari itu semua. Kini Nada berada tepat di hadapan Septa, "berlutut!" Ia menotok tubuh Septa hingga membuatnya mati rasa dan berlutut di tanah. Gadis kesurupan itu bertingkah seperti seorang Yudistira.
"Gua emang enggak bisa ngebunuh lu, tapi beda lagi kalo buat ngebunuh pergerakan lu."
Darah-darah hitam menembus kulit Septa dan melesat ke arah Nada. Tentu saja sebagai pilotnya, Tara langsung melompat dan menjadikan kepala Septa sebagai titik tumpu. Ia melompat ke atas sambil mencengkeram kepala Septa, lalu memutarnya hingga suara tulang yang patah terdengar nyaring di telinga Nada. Gaya bertarung yang fleksibel inilah yang membuat Tara menjadi salah satu Ashura dari keluarga WIjayakusuma. Selain mahir menyembunyikan hawa keberadaan, Tara juga mampu mengendalikan atma, serta memainkan beragam jenis senjata. Di tambah lagi gerakan tubuhnya yang tak biasa, membuat lawananya sulit untuk menebak arah serangan Tara.
Baru kali ini Septa merasa terpojok. Ia sama sekali tak diberikan ampun. Sayangnya, Nada memiliki tubuh yang kurus, tentu saja tenaganya juga tak besar. Serangan itu tak mampu memberikan luka dalam untuk Septa. Namun, mampu mengulur waktu hingga Harits, Cakra, Jaya, dan juga Deva berhasil menyusulnya. Mantra mengepung Septa, berusaha melindungi satu dari dua Putri Kembarnya.
"Apa yang bisa dilakukan anak-anak lemah seperti kalian?" ucap Septa yang bangkit kembali.
Sejujurnya para Mantra ini sudah hampir kehabisan napas. Mereka sangat kelelahan, tetapi lawan di hadapannya belum juga kalah. Memaksa mereka harus berjuang lebih keras sejuta kali lipat.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top