86 : Para Pengguna Ajna

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Di saat Harits dan Deva masih mengumpulkan atma untuk satu serangan terkuat mereka. Jaya masih bekutat dengan Ganapatih.

"Pemimpinmu sudah putar haluan," ucap Jay.

Ganapatih tertawa mendengar itu. "Dia bukan lagi pemimpin. Nagara sudah menunjukan siapa dirinya."

"Apa sedari awal kamu udah tau tentang Nagara?"

"Kira-kira begitu. Aku dipercaya untuk mengamati pergerakan Rizwana." Ketika Ganapatih hendak menyerang, payung hitam tiba-tiba saja menghantamnya dan menusuk bagian bahunya. "Radika ...." Pawang ular itu menatap Radika yang muncul dari arah hutan.

Jaya terheran menatap Radika yang menyerang Ganapatih. Pria dengan nuansa dark itu menyorot ke arah Jaya. "Pergi, Ganapatih urusanku."

"Apa yang kau lakukan ... Radika!" teriak Ganapatih.

Atensinya teralihkan ke arah Ganapatih. Radika tak suka jika seseorang berteriak padanya. "Kita bukan lagi sekutu. Memerangi Rizwana berarti jalan kita bersebrangan," balas Radika.

Ganapatih mencabut payung hitam itu, dan mematahkannya. "Kau akan menyesali ini, Radika Kusumadewa."

Di sisi lain Septa semakin panik melihat Harits dan Deva mengumpulkan atma dalam skala yang besar. Ia takut jika rencananya akan gagal. "Enggak ada jalan lain ...." Septa tiba-tiba menepuk tangannya seraya dengan merapalkan sebuah mantra, kemudian ia menusuk dada menggunakan tangannya sendiri. Hal itu membuat para Katarsis terheran-heran. Tiba-tiba darah hitam mengalir dari dadanya yang berlubang, serasi dengan mata yang menghitam utuh.

"Apa yang dia lakukan?" tanya Reki yang dilanda kebingunan, tetapi tak mengendurkan pertahanan.

"REKI AWAS!" teriak Ippo.

Septa tiba-tiba saja muncul di samping Reki, sontak Reki melepaskan sabetan pedang ke lehernya, tetapi Septa menahannya dengan lengan kanan.

"Apa yang kau lakukan, Reki?" Dewa terluka akibat tebasan badama Reki. Di situ Reki terbelalak, bahwa yang di hadapannya adalah Dewa, bukan Septa. Tentu saja semua melihat dengan jelas bahwa tadi yang ada di posisi itu adalah Septa, tapi kenapa tiba-tiba sosok itu berubah menjadi Dewa?

Menyadari sebuah pergerakan, Reki menoleh ke arah Ippo. "Ippo, minggir!" teriak Reki yang melihat Septa kini berpindah tepat di sebelah Ippo.

Menyadari kehadiran Septa, Ippo sontak mundur menjaga jarak dan menghantamnya keras dengan tinju atmanya. Namun, lagi-lagi hal aneh terjadi. Bukan septa yang terkena serangan itu, melainkan Riki Kuncoro.

"Ippo berengsek ...," gumam Riki yang jatuh terhempas akibat serangan Ippo.

"Aaaaaa ... gomen, gomen," balas Ippo merasa bersalah.

Surya memicingkan matanya menoleh ke arah pria yang berdiri dibalut hoodie hitam. "Kintan ...."

"Orang ini bermain-main dengan ilusi," ucap Kintan yang merupakan salah satu anggota keluarga Antakesuma. Antakesuma sendiri merupakan keluarga penyihir yang mampu memanipulasi visualisasi orang lain dengan ilusi. Makanya Septa sempat melihat meteor jatuh sebelumnya, itu hanyalah sebuah efek visualisasi fana yang diciptakan oleh Kintan. "Septa bermain-main dengan kita, dia ingin kita saling menyerang satu sama lain. Bahayanya, ada kemungkinan di saat kita mengabaikannya, dia justru datang dan membunuh kita."

"Bahkan pakar ilusi sekalipun tidak mampu memecahkan ilusi ini?" tanya Surya.

Kintan hanya menggeleng sebagai balasannya. Ia tak mampu menemukan celah pada teknik yang Septa gunakan.

Namun, ada yang janggal. Surya tak merasakan aura kehadiran Septa. Orang itu pandai bersembunyi, atau ... ia memang tak berada di sana. Sontak Surya menoleh ke arah Harits dan Deva. "Septaraja mengincar Harits dan Deva!" teriak Surya yang sadar dengan tujuan Septa.

Benar saja, Septa muncul di belakang Harits dan Deva dengan mata hitam pekat. Ia tersenyum dan mengayunkan tombak Cakra Langit untuk membunuh mereka berdua, tetapi Rizwana datang dan menangkisnya dengan tombak darah yang ia pungut dari hujan tombak beberapa waktu lalu.

"Kau lahir sebagai penerus Angkhara, kenapa malah berkhianat?"

Rizwana menatap Septa. "Aku punya pilihan!"

Septa terbahak mendengar itu. "Kau memang punya pilihan, tapi keadaan punya kenyataan!" Ia menghempaskan Rizwana dengan satu sabetan.

"Rizwana, fokuslah melindungi mereka berdua," tutur roh Cakra. "Yang lain silakan lawan pasukan Laut Selatan. Biar aku yang urus Nyi Roro Kidul."

"Itu namanya bunuh diri," timpal Bayu. "Yang ada kau hanya akan diseret ke dasar laut dan dikurung sebagai budaknya."

"Jangan khawatir, paman," balas Cakra. "Aku ini kuat."

Mengingat kembali saat para Mantra generasi kedua kembali ke era Mantra sebelumnya dengan retrokognision Melodi. Ajay berkata akan mengajarkan sesuatu pada Cakra. Sesuatu yang Ajay sembunyikan selama ini dari semua orang.

Potensi mata ketiga begitu mengerikan ketika seseorang mengaktifkannya, tetapi bagaimana jika roh makhluk hidup yang mengaktifkan mata ketiga?

Ketika imajinasi berbaur dengan realita.

Aura di sekitar raga Cakra yang sedang bermeditasi berubah. Perlahan ia mengeluarkan cahaya dari keningnya. Matanya terbuka dengan bola mata berwarna putih total tanpa kesadaran. Energi itu tersalur lewat tali perak menuju rohnya. Kini roh Cakra mengeluarkan cahaya keemasan, sebuah mata muncul di keningnya.

"Ajna."

Semua yang dapat menyaksikan itu terpaku pada satu titik. Cakra mengeluarkan sebilah pedang emas dari dadanya. Ia mengacungkan pedangnya ke arah Nyi Roro Kidul. "Entah dengan ini aku bisa membunuhmu atau tidak. Yang terpenting adalah, menahanmu sampai dua orang di belakangku ini selesai dengan urusannya."

Semua mata membulat diiringi merinding ketika sosok Cakra tiba-tiba menghilang dari pandangan mereka. Ia melesat begitu cepat ke arah Ratu Pantai Selatan. Namun, Nyi Roro Kidul dapat melihat gerakan Cakra. Ia menahan sabetan pedang beratma emas itu dengan tombak utamanya. Gelombang angin dari hasil benturan dua makhluk astral itu membuat ombak semakin berutal tak karuan.

Kembali pada pertarungan Rizwana dan Septa. Kedua orang ini gigih akan tujuan mereka. Yang satu ingin membunuh Harits dan Deva, sementara yang satunya ingin melindungi dua orang itu.

Septa membuat paku-paku dari darah hitamnya. "Tertusuk paku darah ini artinya kontrak darah. Darah terkutuk langsung menyebar lewat pembuluh dan meracuni jantung!"

Rizwana menyeringai. Ia menepuk kedua tangannya. Sontak Septa tak dapat menggerakan tubuhnya. Ada darah Rizwana yang menempel pada darah hitam Septa. "Aku tidak mengabaikan fakta bahwa aku adalah seorang Angkhara. Kekuatan ini bukan hanya bisa mengutuk, tapi juga melindungi! Tangan kanan harapan dan tangan kiri keputus asaan."

Berbeda dengan jenis keluarga lain. Setiap keturunan Angkhara memiliki kemampuan yang berbeda. Rizwana dapat menghentikan pergerakan semua makhluk hidup yang sudah terkontaminasi dengan darahnya. Sementara Septa mampu memanipulasi pikiran orang yang terkontaminasi dengan kontrak darah. Selain itu Septa juga mampu masuk ke dalam mode iblis dengan darahnya dan mengontrol darah terkutuk menjadi senjata.

Senyum itu terukir di wajah Septa. "Mencoba menghentikan pergerakanku, heh?" Septa menepuk kedua tangannya.

Darah-darah hitam keluar dan menusuk kulit hingga menembus tubuh Septa. Darah itu mengeras dan melesat ke arah Rizwana seperti cambuk berujung runcing. Sebenarnya darah hitam milik Septa bertekstur seperti pedang, tetapi elastis dan lentur seperti cambuk.

Deva melihat sekelibat visualisasi masa depan. Rizwana beserta dirinya dan Harits akan mati tercabik-cabik darah hitam Septa.

"Fokus!" tutur Harits membentak. Dalam mode ajna, Harits juga melihat visual yang serupa. Namun, ia memilih untuk melanjutkan apa yang ia mulai. Harits memperpanas atma apinya. Berbeda seperti Wira, Harits memiliki khodam api yang mampu meredam panas tubuhnya, tetapi khodam merupakan ilmu hitam, sementara agni adalah atma. Keduanya saling bertolak belakang dan melukai Harits dari dalam.

Deva pun meningkatkan fokusnya. Semakin tinggi fokusnya, maka semakin gila sengatan listrik yang berdampak pada tubuhnya. Atma dengan aura besar yang terpancar dari tubuh Harits dan Deva tentu saja bukan hal yang main-main. Hal ini pun dapat menjadi pisau bermata dua, seperti yang Wira lakukan.

Sementara mereka berdua masih mengumpulkan atma untuk satu serangan penghabis. Rizwana terperangah menatap serangan Septa yang melesat ke arahnya.  Rizwana bisa saja menghindar, tetapi tepat di belakangnya berdiri Harits dan Deva.

"Ini benar-benar melelahkan ... apa hanya sampai di sini?" gumam Rizwana.

"Masih belum!" Jaya datang dengan wujud resonansi jiwa dan menjadi tameng untuk mereka semua. "Ini tidak akan pernah berakhir sebelum Septaraja mati. Dia akan membayar semua yang ia telah perbuat pada keluarga saya." Jaya mematahkan serangan Septa dan berlari ke arahnya.

Melihat Jaya yang berlari ke arahnya, Septa menempelkan kembali telapak tangannya. Darah-darah itu muncul keluar dari tubuh Septa kembali dan melesat ke arah Jaya. Tentu saja Jaya berusaha menghindari itu semua sambil berusaha mendekat.

"Menghindarlah! Satu goresan akan menjadi akhir!" teriak Septa sambil terkekeh.

"Apanya yang lucu?" Rizwana muncul dari titik buta Septa, ia sudah memasang kuda-kuda waringin sungsang. Tanpa basa-basi ia pukul pinggang kanan Septa hingga rusuknya patah.

Septa memuntahkan darah hitam, tetapi dampak yang ia terima seperti tak terlalu membuatnya tertekan. "Waringin sungsang milik mu masih terlalu lemah. Apa orang itu benar-benar mengajarimu?"

Rizwana melesatkan pukulan kedua, tetapi kali ini Septa tak tinggal diam. Ia menangkap tangan pemuda itu dan mencengkeramnya kuat-kuat hingga kukunya menembus kulit Rizwana.

Bukannya memasang ekspresi kekalahan, Rizwana tersenyum seakan-akan ia sudah menang. "Apa yang lucu?" tanya Septa.

Sebuah tangan menembus dadanya. Jaya berhasil mendekat dan melesatkan serangan dengan tangan Bapang menembus punggung lawannya. "Sudah berakhir ...," gumam Jaya.

Namun, tangan itu dicengkeram oleh Septa dari depan. Pria dengan dada berlubang itu menoleh ke arah Jaya. "Usaha yang bagus, tapi apa Rizwana tidak memberitahumu? Aku abadi!"

Jaya terbelalak ketika merasakan aura mencekam yang menyelimutinya. Septa menepuk kembali tangannya. "Kau benar, bocah ... ini adalah akhirmu."

Jaya berusaha melepaskan tangannya dari Septa, tetapi cengkeraman Septa begitu kuat sehingga Jaya tak mampu melepaskan dirinya.

"Hentikan!" teriak Rizwana.

"Aku akan membunuh semuanya! Kau akan melihat semua orang-orang ini mati. Itu adalah hukuman untuk anak durhaka sepertimu," balas Septa sambil terkekeh.

Darah-darah hitam Septa muncul kembali dan menusuk apa pun yang berada di belakangnya. Jaya terbelalak tanpa kata. Dunianya seakan runtuh. Darah segar dan darah-darah hitam itu membaur bersama air laut.

Jaya terhempas dalam tayangan lambat. Ia menatap sosok Bayu yang menariknya dan melindunginya dari serangan Septa. Kini sosok Bayu tergeletak di laut dangkal dengan tubuh penuh luka. Mungkin serangan itu bukanlah serangan yang fatal secara fisik, tetapi sayangnya darah terkutuk dengan jumlah yang besar sudah menyebar dalam tubuh Bayu, mengalir mengarungi pembuluh dan mengendap di jantung. Bayu mencoba bangkit, tetapi tak bisa, ia justru memuntahkan darah dari mulutnya.

"Ayah!" teriak Jaya yang hendak mendekat.

"Jangan mendekat!" teriak Bayu membentak. Ia sadar, jaya pun memiliki banyak luka. Dirinya tak mau ada darah terkutuk yang ikut bercampur dengan Jaya. Bayu tersenyum menatap Jaya, tubuhnya kian menghitam seperti membusuk perlahan. Iblis-iblis yang bersemayam di dalam diri Bayu berusaha menghentikan laju darah terkutuk, tetapi karena terlalu banyak, mereka tak mampu membendungnya. Satu persatu topeng milik Bayu retak dan pecah.

"Barusan kau memanggilku apa? Ayah?" Bayu tertawa mendengar itu. Namun, perlahan tawa itu sirna menjadi sebuah ekspresi sendu. "Apa aku layak disebut begitu?"

Waktu benar-benar melambat untuk Jaya dan Bayu. Jaya hendak mendekat, tetapi Bayu memasang aura membunuh hingga membuat Jaya gemetar.

Bayu menatap ke arah topeng Bapang "Aku tinggalkan sahabat pemarahku padamu. Dia yang akan menggantikan amarah dalam dirimu. Jangan pernah marah, karena kau adalah orang yang mudah mengamuk dan hilang kendali. Jangan pernah membenci dunia, sebab dunia sudah memberikan banyak orang-orang baik yang menyayangimu ...." Samar-samar bayu mengingat semua kenangan bahagia bersama para Peti Hitam generasinya. Pria itu sempat terpuruk ketika rekan-rekannya meninggal, tetapi lagi-lagi ia menemukan makna kehidupan dari seorang anak bayi yang ia temukan di tengah hutan dan memilih bersusah payah merawat anak itu, ketimbang mengabaikannya. Tanpa sadar ... ia jatuh cinta pada anak-anak yang ia rawat di Hutan Larangan. Tumbuh kasih sayang di hati pria bengis pemburu Martawangsa itu.

Kembali ke beberapa tahun lalu. Bayu ingat saat ia memarahi Jaya karena tak ingin Jaya keluar dari hutan dan hidup dengan normal. Saat itu Jaya selalu berbuat ulah dan berusaha kabur dari hutan. Namun, Bayu selalu menggagalkan aksi anak itu. Bayu ingin mereka semua melanjutkan apa yang telah Bayu mulai, yaitu menjaga topeng para Martawangsa agar tidak disalahgunakan.

Malam itu Dirga berkunjung ke sana untuk menginap. Dirga memang kerap menemani Bayu, ia takut jika Bayu menjadi gila karena kesepian. Lucu memang pemikiran seorang Dirga Martawangsa. Malam itu mereka berdua menikmati secangkir kopi ditemani celoteh Bayu di pelataran rumah. Jarang sekali penggawa Peti Hitam itu mengeluh. Dirga terkekeh, seumur-umur baru kali ini Bayu mengeluhkan sesuatu yang berada di luar konteks Martawangsa.

"Menurut gua ya, mending lu kasih anak-anak lu ini kebebasan," ucap Dirga.

"Enggak bisa gitu," balas Bayu. "Harus ada orang yang jagain topeng-topeng ini. Kelak gua akan menua dan mati. Sampai saat itu tiba, gua harus mempersiapkan semuanya."

"Bay, mereka ini manusia. Bukan hewan peliharaan yang bisa lu kurung. Mereka punya hasrat dan mimpi," balas Dirga. "Enggak ada siapa pun yang memaksa kita buat memerangi Martawangsa dulu. Kita sendiri yang menentukan ke arah mana hidup kita."

Bayu terdiam sejenak, ia tersenyum, tetapi senyumnya menyiratkan sebuah getir. Dirga paham makna dibalik senyum itu.

"Cepat atau lambat mereka akan dewasa, Bay. Siapa pun yang mau tinggal, silakan, tapi siapa pun yang mau punya kehidupan di luar sana juga ya ... silakan. Jangan takut kehilangan," ucap Dirga.

Bayu tak mengizinkan mereka semua pergi karena sebuah rasa takut. Bukan takut tak ada lagi yang menjaga topeng-topeng ini. Melainkan takut kehilangan. Kehilangan gelak tawa anak-anak yang selalu memenuhi setiap sudut ruang rumah kayu ini. Rumah kayu yang biasanya selalu dingin dan hampa selama bertahun-tahun. Kehilangan kebersamaan yang sempat hilang dari hidupnya. Bayu takut kembali sendirian dan kehilangan semua rasa hangat ini.

"Gua belum siap kehilangan lagi ...," gumam Bayu dengan nada sendu.

"Lu enggak akan kehilangan siapa pun kok. Percaya sama gua deh. Mereka yang pergi selalu pulang ke rumah. Biar mereka yang menilai sendiri dengan mata kepala mereka tentang dunia ini."

"Jaya ... anak itu yang paling punya hasrat buat keluar. Gua merasa dia ... benci sama gua karena selalu ngelarang dia dan gagalin semua usahanya buat kabur."

Dirga memberikan sebuah amplop pada Bayu. "Ini gaji gua bulan ini. Lu pake dah semua. Lu ajak tuh anak-anak lu keluar hutan. Beliin mereka baju bagus. Lu bawa ke tempat makan enak. Minimal mie ayam dah. Masa tiap hari makan hasil bumi dan buruan terus. Kali-kali kasih mecin biar paham nikmat dunia."

"Ya, dalam waktu dekat ini gua coba buat ngelakuin yang terbaik," balas Bayu. "Meskipun secara ikatan darah mereka semua bukan siapa-siapa, tapi secara perasaan ... gua ini ayahnya. Kami ini keluarga."

"Jangan malu-malu! Jujur aja sama mereka. Lu kan dari dulu kaku banget, makanya jomblo terus. Mereka harus tau, betapa berharganya mereka di mata lu."

Kembali pada penghujung Walpurgis. "Jangan marah ...." Suara Bayu semakin lirih serasi dengan sosoknya yang membusuk hampir ke seluruh tubuh. Tatapnya semakin buram menyorot Jaya. Bayu tersenyum sambil bergumam. "Tetap hidup ... anakku."

Jaya tak peduli, ia berusaha meraih Bayu. Kali ini tak ada upaya mencegah. Bayu tersenyum menatap Jaya dengan senyuman yang tak pernah Jaya lihat selama ini. "Apa selama ini kamu bahagia?" gumam Bayu lirih.

Sederhana, tapi menikam.

Jaya mendekap tubuh yang tak berdaya itu sambil menangis. Ia mengangguk. "Saya bahagia. Saya bahagia karena dibuang oleh orang tua saya dan merasakan jadi anak seorang Bayu Martawangsa. Saya mau membuktikan bahwa saya bisa hidup di luar dan membalas semua kasih sayang yang ayah berikan pada saya. Tolong tetap hidup sampai saya bisa membuat ayah bangga."

Bayu mengingat kembali saat-saat merawat bayi seorang Emil Jayasentika. Ia tak memiliki pengetahuan tentang cara merawat bayi. Namun, Bayu belajar melalui buku-buku yang ia titip pada Dirga saat Dirga berkunjung. Pernah ia berpikiran untuk membuang Jaya ketika bayi itu mencret. "Bangsatlah, segala berak ini bocah, et ... gimana ini dah?!" gumam Bayu kala itu sambil memeper pantat Jaya ke pohon jati. Ia selalu mengeluh, tetapi tetap mengurus Jaya tanpa lelah. Tentunya hal itu sangatlah berat. Menjadi sosok ibu dan ayah secara bersamaan. Ketika Jaya sakit, Bayu membawanya berlari ke rumah sakit yang berada di luar hutan dan mengabaikan topeng-topeng yang ia jaga selama ini. Rasanya ia bisa membunuh siapa pun yang mencuri topeng-topeng itu, tetapi pembunuh berdarah dingin dari Peti Hitam itu tak sanggup melihat anak yang ia rawat tersiksa. Bayu takut jika hal yang tak diinginkan terjadi pada bayi Jaya.

Sejenak ia terkekeh di tengah getirnya Jaya. "Terimakasih karena muncul di kehidupan ayah ... kalian adalah anugerah terindah yang Tuhan berikan ...."

Bayu meraih pipi Jaya dan mengusapnya air matanya dengan tangannya yang hitam dan mengkerut. Cahaya di mata Bayu  perlahan pudar seiring dengan membusuknya seluruh tubuh akibat penyebaran darah terkutuk. Dalam waktu singkat tangan itu terjatuh dari wajah Jaya, terkapar dan mengambang di laut.

Memejamkan mata sejenak, Bayu kembali membuka mata. Ia bangkit dan menatap ke depan. Dilihatnya sosok Emil, Wengi, Suro, Ronggeng, dan Mikail. Emil menjulurkan tangannya pada Bayu. "Jangan sedih, seenggaknya lu enggak sendirian lagi, kan?" Bayu tersenyum dan meraih tangan itu. Ia telah kembali pada keluarganya.

***

Semua mata tak percaya dengan apa yang disuguhkan. Jaya berteriak sekeras-kerasnya diiringi aura membunuh yang sangat kental memancar keluar hingga membuat semua mata itu menoleh ke arahnya. Perlahan kesadarannya mulai pudar termakasn emosi, tetapi Bapang muncul dan menepuk bahunya. "Jangan marah. Itu pesan ayahmu."

Jaya melawan amarahnya sendiri dan kembali pada sadarnya. Ia menangis terisak-isak sambil memeluk tubuh Bayu, tak peduli dengan segala kutukan yang bisa saja menular padanya.

"Silakan menangis, biar aku yang menjadi amarah mu," tutur Bapang.

"Aku mengandalkanmu, Bapang."

Bapang mengambill alih kesadaran Jaya secara utuh. Warisan Bayu itu tak akan membiarkan Jaya ditelan kegelapan. Ia meresonansi raga Jaya dengan tubuh aslinya. Tak seperti wujud resonansi sebelumnya yang penuh dengan kristal merah. Kini Jaya berkulit kemerahan dengan kuku-kuku tajam yang mampu merobek apa pun. Ia menatap tajam ke arah Septa sambil menunjuk ke arahnya.

"Mati."

Bulu kuduk Septa merinding. Jaya menghilang dari pandangannya. Ia muncul di belakang Septa dan mencabik-cabik pria itu dengan kukunya yang tajam.

"Aku akui kau itu kuat, tapi sayangnya aku tidak bisa mati," tutur Septa.

"Ada hal yang lebih mengerikan dari kematian. Aku juga iblis sepertimu, tapi aku mengakui bahwa kematian merupakan salah satu kasih sayang Tuhan."

Pertempuran kedua manusia setengah iblis itu berlangsung berat sebelah. Bapang mendominasi jalannya pertarungan. Rizwana tak mampu berbuat banyak. Ia sadar, bahwa kehadirannya hanya akan menjadi beban untuk Jaya jika berusaha membantunya.

***

Cakra masih bertarung sengit dengan Roro Kidul. Sang Ratu mengarahkan tangannya pada Cakra. Seketika itu gelombang laut naik dan membentuk sebuah naga air. Naga itu melesat ke arah Cakra.

Cakra mengibaskan pedangnya dengan sekali hentakkan. Naga-naga itu buyar menjadi hujan. Mata mereka saling beradu tatap berusaha memberikan tekanan. Sorot mata Cakra penuh dengan amarah. Ayah dari sahabatnya baru saja terbunuh dalam perang ini.

Roro Kidul merupakan roh kuno. Ia hidup ribuan tahun dan menjadi ratu lautan. Tentu saja ia kuat. Bisa dibilang bahwa Nyi Roro Kidul merupakan iblis. Makhluk yang memiliki hierarki tertinggi dalam dunia ghaib.

Sang Ratu menghentakkan tombaknya. Badai semakin brutal hingga membuat ombak menjadi besar. Para pasukan laut selatan memukul mundur para pejuang. Katarsis ikut memeriahkan perang itu. Kini mereka semua sibuk mempertaruhkan hari esok.

Di tengah badai hebat itu, suasana mendadak hening. Seperti hampa udara. Harits dan Deva membuka matanya perlahan secara bersamaan. Seluruh atma itu terhisap ke masing-masing tinju mereka dan lenyap.

Cakra menyadari bahwa mereka berdua akan menyerang dengan kekuatan penuh, tetapi Cakra tak berusaha menjauh. Ia takut jika Roro Kidul akan ikut menjauh. Pria berambut abu-abu itu mati-matian menahan Roro Kidul dan mempertaruhkan nyawanya untuk mengalahkan makhluk itu.

"Lebur Saketi."

"Brajamusti."

Gelombang api dan petir melesat dari tinju Harits dan Deva. Kedua atma itu membaur menjadi sebuah badai api dan menghantam Nyi Roro Kidul beserta Cakra.

Sontak Cakra terbangun. Ia berdiri menatap pemandangan itu. Sesaat sebelum atma mematikan itu menghantamnya, Cakra menarik rohnya kembali.

Deva dan Harits berteriak sambil terus mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Terlihat Nyi Roro Kidul yang terpukul mundur menuju gerbang suratma buatan Harits.

Namun, sesuatu yang tak bisa diprediksi terjadi. Septa berdiri merangkul mereka berdua. Sosok Jaya dan Rizwana sudah terkapar di laut. Harits dan Deva kehilangan fokusnya, mereka menoleh menatap Septa yang sedang tersenyum sambil menatap Nyi Roro Kidul.

"Ibu dari Rizwana itu adalah seorang Maheswara, tapi aku bukan bagian dari keluarga itu. Aku adalah Angkhara yang berpura-pura menjadi Maheswara. Tujuan asliku memanggil Roro Kidul adalah untuk mengambil kekuatannya. Makanya aku merancang sekenario menghapuskan keberadaan keluarga Maheswara yang menjadi abdi dari makhluk itu. Tentu saja ingatan yang ada di dalam otak Rizwana adalah sebuah kobohongan yang aku ciptakan. Aku selalu berada selangkah di depan kalian. Tujuan asliku adalah memakan jiwa makhluk-makhluk terkuat seperti Nyi Roro Kidul, Jiwasakti, Yudisitra, dan masih banyak lagi. Aku akan melampaui Tuhan. Terimakasih karena sudah melemahkan Ratu Pantai Selatan itu."

Septa berlari melesat ke arah Roro Kidul diikuti ketujuh tombaknya. Ia mengincar Nyi Roro Kidul yang sudah kehabisan banyak energi karena serangan Harits dan Deva. Pria Angkhara itu menancapkan tujuh tombak Maheswara ke jantung Roro Kidul. Nyi Roro Kidul memuntahkan darah hitam sambil menatap tajam ke arah Septa. Ia tak mengira bahwa Septa akan mengkhianatinya. "Selamat tidur, Ratu penguasa Laut Selatan." Septa membuat sosok Nyi Roro Kidul menjadi sebuah bongkahan jiwa berbentuk bola. Ia tersenyum menatap semua yang masih hidup. "Selamat makan." Septa memakan jiwa Roro Kidul.

Pria itu tampak kesakitan menahan jiwa Nyi Roro Kidul, tetapi itu tak berlangsung lama. Kini ketujuh tombak itu bergabung dan menjadi satu tombak besar bermata tiga. Aura di sekitar Septa berubah. Kini seluruh pasukan laut selatan berada dalam komandonya.

"Berikutnya giliran mu." Septa menunjuk ke arah Yudistira.

Surya terbelalak ketika tiba-tiba saja Septa muncul dan mencengkeram wajahnya. Ia menarik paksa jiwa Yudisitra itu keluar.

Di tengah keadaan yang mencekam itu waktu seolah melambat. Sebuah kapal jet meluncur di atas langit mereka menerobos badai dengan ketinggian yang tak terlalu tinggi. Seorang pria terjun dari atas dan terjatuh di belakang Septa. Septa menoleh ke arah pria itu, tetapi waktu benar-benar melambat. Sebuah pukulan bersarang di punggungnya hingga membuat Septa terhempas jauh dari Yudistira.

"Maaf terlambat. Aku kesulitan mencari orang-orang ini," tutur pria yang mengenakan topeng Panji. Dari atas terjun empat orang lagi dan berdiri di belakang pria itu. "Gemma Martawangsa dan para peziarah sudah tiba."

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top