85 : Pasukan Laut Selatan
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Chandra bertukar keuntungan dengan Septa. Kini Yudsitira itu telah sempurna setelah Rizwana memberikan kembali jiwa Surya yang ia rebut dari Septa. Rizwana berusaha untuk mengembalikan kepercayaan orang-orang di sekitarnya dengan mendukung Yudistira.
"Apa yang sebenarnya kau rencanakan?" tanya Chandra yang bingung. Bagaimana tidak? Rizwana merebut Surya, dan sekarang dia juga yang mengembalikannya.
"Enggak ada," jawab Rizwana sambil tersenyum.
"Chandra, tidurlah. Waktunya berganti," ucap Surya dalam alam bawah sadar mereka.
Chandra tersenyum menatap kembarannya. "Ya, sekarang giliran lu. Gua capek ...." Mereka melakukan tos sebagai tanda pergantian kendali tubuh. "Surya ... selamat kembali."
Kini sosok Yudistira itu membuka matanya. Ia menyisir rambutnya ke belakang karena tak suka model berponi seperti Chandra. "Ya, seneng bisa pulang ke rumah sendiri."
Di saat kembar satu tubuh itu telah bersatu. Septa pun membuat pentagram menggunakan tombak-tombaknya, lalu memunculkan gerbang kerajaan Laut Selatan menggunakan tombak Alam Jagad Raya, kemudian membuka pintunya dengan Panatagama.
"Aku kecewa ... Rizwana," ucap Septa sambil menatap putranya. "Tapi tak apa. Bahkan Yudistira sekali pun tak akan mampu menggagalkan bencana ini."
"Ini bukan tanggung jawab Yudisitra seorang diri, tapi tugas kami semua," balas Rizwana.
Tirta, Abi, dan Kei masih terpaku menatap sosok Septa. "Apa-apaan ini, Septa! Kau berhutang penjelasan," ucap Tirta.
"Tak perlu penjelasan, Tirta. Aku akan membawa kiamat dengan menenggelamkan bumi."
"Jadi begitu, ya? Kematianmu palsu," balas Kei.
"Dia benar-benar mati," celetuk Rizwana. "Hanya saja ... dia bisa hidup kembali dari kematian."
Kei memicingkan matanya. "Belatung?"
"Jika benar dia adalah belatung dari Alam Suratma. Satu-satunya yang dapat membawanya kembali hanyalah Agha. Bagaimana dengan kondisi, Agha?" tanya Tirta.
"Pendarahannya sudah tertutup, tapi butuh proses pemulihan. Masih bisa hidup saja sudah menjadi suatu keberuntungan. Kita harus memikirkan cara agar bisa memulangkan belatung itu tanpa kekuatan peziarah."
"Ini bukan ranah kita ...," balas Tirta.
"Surya ... fokuslah pada ayahku," ucap Rizwana.
Sosok Rizwana mengejutkan sisa malam Walpurgis. Tiba-tiba saja ia membantu Yudisitra. Hal itu membuat Ganapatih yang masih bisa bertahan melawan Jaya tak senang dengan perbuatannya.
"Ayahmu memanggil Nyi Roro Kidul dan pasukannya," balas Surya.
"Ya, tapi tenang saja. Kau hanya perlu berfokus pada sosok yang kalian kenal dengan nama Septaraja itu." Rizwana menatap Harits. "Harits! Apa tujuan Simfoni Hitam berdiri?!"
Harits menatap pasukan Roro Kidul yang jumlahnya tak karuan itu. "Membantai para iblis yang mengacau di muka bumi." Harits dan Rizwana berjalan sejajar menuju laut. "Jangan seneng dulu. Gua belum maafin lu," ucap Harits.
Rizwana tertawa mendengar itu. "Gua juga belum maafin lu, gimana dong?"
"Hah?! Emangnya gua salah apaan sama lu, sempak?!"
Rizwana terlihat getir. "Kalo sampe lu mati di sini ... gua enggak akan maafin lu selamanya. Tetap hidup, Harits ...."
GIliran Harits yang tertawa. "Ya, mungkin kalo lu bertanggung jawab buat kelarin malapetaka ini, gua bakalan maafin perbuatan lu selama ini. Jangan mati ... masih banyak yang harus lu perbaiki."
"Apa mereka berdua sanggup menghadapi pasukan sebanyak itu?" tanya Reki pada Surya. Sejujurnya, Reki merinding ketika menatap pintu raksasa yang berada di atas laut itu terbuka. Ratu dan pasukan Laut Selatan kini membelah lautan dan bergerak menuju daratan.
"Entah, enggak usah pikirin itu. Sekarang gimana caranya, kita harus bungkam pengkhianat ini. Bersiap, Reki." Surya berjalan ke arah Septa. "Ajna." Mata ketiganya bangkit. "Udah lama gua enggak berantem, meskipun selama ini Chandra rajin olahraga, tapi tetep aja ... rasanya kaku."
Reki terkejut ketika sosok yang ia ikuti menghilang dari pandangannya. Masuk ke dalam mode braja dan menggunakan langkah petir, Surya melesat ke belakang Septa. Sang Yudistira itu langsung menendang Septa hingga terpental ke batu karang besar. "AGNI!" Tanpa basa-basi, pria garang itu menerjang Septa yang terpojok dengan tinju apinya, hingga membuat batu karang di belakang Septa hancur karena tekanan atma dan suhu panasnya.
Reki meneguk ludah melihat itu. 'Apanya yang--kaku?'
"Reki!" Ippo berlari dari tempatnya menuju Septa. Seyan, pria dari keluarga Kusnendar itu muncul tiba-tiba dan melemparkan sebuah tas baseball pada Reki. Dengan cepat, Reki membelah tas itu, dan pedang-pedang kayu melayang berhamburan dalam tayangan lambat. "Badama ...." Tanpa menyentuhnya, Reki melapisi pedang-pedang itu dengan atma.
"Aaaaaa ... nice, Reki, Seyan." Pedang-pedang yang melayang itu tiba-tiba melesat ke arah Septa. Ippo yang menggerakannya dengan kemampuan atmanya. Seketika itu pedang-pedang berbalut badama ini menyerang Septa bertubi-tubi.
"Braja ireng!" Dewa melesat dari atas bagaikan petir hitam. Ia menghantam perut Septa dari atas hingga membuat pria itu memuntahkan darah hitam dari mulutnya.
Namun, Dewa terbelalak ketika Septa menatapnya dengan wajah datar. "Kalian para Katarsis memang berengsek ...."
Merasakan hawa yang mencekam, Dewa memukul wajah Septa, lalu mundur beberapa langkah. Darah hitam yang sempat di muntahkan Septa, kini mengeras dan membentuk cambuk hitam dengan ujung yang runcing. "SAKIT TAHU!" Benda itu melesat mengincar Dewa.
Ippo menghantam cambuk darah hitam itu dengan salah satu pedang badama milik Reki. "Aaaaaa ... kau berhutang seporsi bakso dua kilogram yang ada di Ambarukmo, Dewa."
"Justru lu yang makasih, karena udah gua kasih kesempatan buat nolongin gua. Aaaaaaaa ...," balas Dewa sambil meledek Ippo menggunakan logatnya.
Septa tercengang ketika menatap sebuah meteor jatuh dalam jarak yang dekat. Ia berusaha menghancurkan meteor itu dengan mencabut tombak Panatagama, lalu membelah dimensi untuk mengirim meteor itu ke alam lain.
Namun, tiba-tiba Meteor itu hilang dan berganti seorang pria yang sudah bersiap memukulnya. "Darani saketi!" Riki Kuncoro memukul wajah Septa dengan pengerasan atma yang sanggup membuat kulitnya menjadi sekeras batu. Setelah memukul Septa, Riki menatap seorang pria berhoodie yang sedang duduk sambil menggelumbungkan permen karet di mulutnya.
"Apa yang terjadi?" tanya Reki pada Surya.
"Sebuah ilusi dari Antakesuma," jawab Surya. "Kintan membuat visualisai sebuah meteor yang jatuh. Septa berusaha menghancurkan meteor itu, tetapi sejatinya tak ada meteor. Itu hanyalah sebuah ilusi mata," jawab Surya.
Keluarga kuncoro memiliki tubuh sekeras batu dengan kemampuan atma bertipe tanahnya. Sementara Antakesuma mampu memunculkan sebuah visualisasi yang dapat menipu mata.
"Pukulan gua lebih sakit ketimbang yang punya lu tadi," ucap Riki pada Dewa.
"Justru karena udah kena braja ireng, dia jadi kelihatan lemah," balas Dewa tak mau kalah.
"Jangan senang dulu. Ini belum berakhir," ucap Surya yang menatap Septa bangkit kembali.
***
Di sisi lain Harits memicingkan matanya ke arah pasukan Laut Selatan. "Lu pernah enggak, ngelawan pengguna Karara Reksa?"
Rizwana tersenyum menanggapi pertanyaan Harits. "Bapak gua itu pemilik Karara Reksa yang asli, tapi sampe sejauh ini gua belum pernah ngelawan bapak gua secara langsung sampe hari ini terjadi."
"Nah, lu bakal tau rasanya dalam waktu dekat ini," balas Harits.
"Kenapa?"
Harits menunjuk ke arah laut. "Semua pasukan Nyi Roro Kidul ... pake zirah darah persis Karara Reksa."
Rizwana masih tersenyum sambil membuat teropong dari tangannya. "Wah, wah ... bisa gaswat ini."
"Gaswat biji mata lu kendor," celetuk Harits. "Terus ... harus gimana kita?"
"Sayangnya enggak ada opsi mundur, kita cuma bisa terus maju."
Kei menatap Rizwana dan Harits, kemudian ia menoleh ke arah Abi yang sedang memulihkan Agha. "Kumpulkan semua yang terluka di belakangku," ucapnya pada anggota Trishula. Kei menarik napas panjang. "SEMUA YANG TERLUKA BERADA DI BAWAH PENJAGAANKU! JANGAN MERASA TERBEBANI KARENA HARUS SALING MELINDUNGI. BERTEMPURLAH SAMPAI TITIK DARAH PENGHABISAN!" teriak Kei.
Mendengar teriakan Kei. Cakra, Deva, dan Tirta segera menyusul duo Simfoni Hitam. Kevin yang merasa masih bisa bertempur, kembali berdiri bersama Rava mengikuti Deva. Sebenarnya Kevin dan Rava ingin membantu Katarsis, tetapi saat ini mereka mungkin hanya akan menjadi beban jika bersikukuh melawan Septa.
"Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk memulihkan si mata suratma?" tanya Kei.
"Cukup lama," jawab Abi.
"Maka percepatlah. Atau kita semua akan binasa."
Abi menghela napas, ia menatap Agha yang masih belum siuman meskipun pendarahannya sudah berhenti. "Resonansi jiwa." Ia membaur dengan topeng Ragil Kuning. "Ragil, aku butuh bantuanmu lebih dari sebelumnya." Abimanyu berusaha lebih keras untuk memulihkan Agha.
Tirta menggenggam pedangnya sambil menatap Deva, Cakra, Rava, dan Kevin. "Kalian bisa gunain atma?"
Semuanya mengangguk, kecuali Kevin. Kevin bukannya tak bisa menggunakan atma. Hanya saja cara mayoritas keluarga Wijayakusuma menggunakan atma cukup berbeda. Wijayakusuma menggunakan atma untuk menutupi hawa keberadaan mereka, bukan untuk menyerang. Mereka adalah pembunuh yang mengutamakan kemampuan fisik.
"Dua orang yang berdiri di depan itu berasal dari Simfoni Hitam, divisi khusus yang memang dibentuk untuk memburu setan. Berbeda dengan Dharma yang mengincar dukun dan segala jenis praktik sihir. Simfoni Hitam lebih berpengalaman menghadapi makhluk-makhluk ini," lanjut Tirta.
"Harits bukan orang yang punya kemampuan pure atma, dia itu setengah pengguna ilmu hitam," balas Deva.
"Ilmu hitam juga bisa mengalahkan sesama ilmu hitam. Hal itu seperti adu fisik untuk kita. Siapa yang lebih kuat, dia yang akan menang," timpal Tirta.
Kini mereka semua berdiri sejajar menatap pasukan Laut Selatan. Pasukan itu terdiri dari berbagai macam makhluk. Ada manusia yang setengah badannya ular, ada juga roh-roh manusia yang tenggelam di laut selatan dan menjadi budak Nyi Roro Kidul, bahkan beberapa makhluk seperti naga terbang.
"Gua pikir bakal ada mermaid man," ucap Rava.
"Dan bernacle boy?" timpal Harits.
Mereka berdua tertawa. "Selera humor lu enggak berubah," ucap Harits.
"Lu juga," balas Rava.
Tirta merasa kesal karena semua rokoknya basah akibat terseret tsunami kecil sebelumnya. Kini ia menunjuk ke arah kereta kencana yang mebawa Sang Ratu. "Waktu bercanda sudah selesai," ucap Tirta. "Tunjukan pada mereka, siapa penguasa daratan."
Rava mengenakan topeng Amiluhur dan berjalan maju ke depan. Ia menekan sepanjang area pasukan Laut Selatan. "Kembalilah kalian ke dasar laut!" Para makhluk halus itu serentak diam seolah tertekan oleh sesuatu.
Tak mau kalah, Deva berjalan ke depan Rava dan menyentuh air laut dengan tangannya. "Braja." Ia menggunakan atma dalam julah besar mengalirkan braja ke lautan hingga membuat pasukan ghaib itu tersiksa akibat setruman listrik.
Nyi Roro Kidul menghentakan tombak yang ia pegang. Sontak kemampuan Amiluhur hancur, begitu pun dengan listrik yang tadi menguasai air.
"Badama." Tirta melapisi pedangnya dengan badama, kemudian ia melesatkan badama itu ke arah kereta kencana. Lesatan atma mengarah pada Nyi Roro Kidul, tetapi sebelum menyentuh keretanya, lesatan atma itu hancur seakan mengenai sesuatu. "Ada pelindung ghaib yang melindungi Sang Ratu," ucap Tirta. "Atma yang terlalu lemah tak akan bisa menggores mereka."
Harits mengeluarkan bukunya. Ia memanggil Hara kembali dan pasukan anjing hitamnya yang sudah memulihkan diri.
"Harits ... ke mana topi merah lu?" tanya Rizwana yang mengingat bahwa di awal pertempuran, Harits mengenakan sebuah topi fedora merah.
"Topi itu bukan topi biasa. Ketika manusia mengenakannya, maka benda itu akan menyerap umur pemakainya. Gua cuma pake itu buat memanggil mantan anggota Peti Hitam yang sebelumnya memang udah gua temuin di Alam Suratma dan membuat kontrak."
"Apa mereka bisa dipanggil kembali?"
"Secara teori bisa, tapi enggak ada kontrak. Artinya buat mempertahankan eksistensi mereka, topi itu bakalan makan sisa umur gua terus. Dan enggak ada jaminan, bahwa apa pun yang keluar dari Alam Suratma, adalah sekutu."
"Terlalu banyak berpikir hanya membuang waktu," ucap Rizwana. "Ayo kita hadapi secara langsung."
Harits menatap tajam ke arah kereta kencana. Ia menarik napas panjang. "MAJU! AMBIL KEPALA NYI RORO KIDUL!" teriak Harits. Hara menyeringai mendengar titah dari tuannya. Pasukan anjing hitam Harits menggonggong sambil berlarian ke arah pasukan laut selatan.
"Segoro Geni!"
Raja banaspati menyeringai. "Sebuah reuni melihat nenek tua penguasa laut selatan itu."
"Apa dia kuat?" tanya Harits.
"Tentu saja, dia itu bencana."
"Tapi aku percaya, kau lebih kuat," lanjut Harits.
Segoro Geni tertawa. "Jelas, aku adalah Raja dari seluruh Banaspati," ucap Segoro Geni menyombongkan diri. "Tapi satu hal yang pasti ... api tidak akan menang melawan air."
Wajah Harits seketika menjadi datar.
"Jangan murung begitu. Meskipun tau akan kalah, bukankah manusia tetap berjuang?"
Harits menyeringai. "Tentu saja. Manusia akan benar-benar kalah, ketika mereka sudah berhenti memperjuangkan hidupnya!" Harits menarik cambuk api dari punggugnya dan berlari di belakang pasukannya.
Melihat Harits, Rizwana tertawa dan ikut berlari di belakang Harits, disusul Tirta, Deva, dan Rava. Semenatara itu Cakra sudah melakukan proyeksi astral, ia melesat menuju musuh-musuh yang melayang di udara.
Dengan cambuk benangnya, Hara menghancurkan dinding ghaib yang melindungi pasukan Nyi Roro Kidul. Bentrokan akhirnya terjadi. Hara dan pasukan anjing menghantam barikade pasukan laut selatan.
Air laut setinggi betis itu menghambat pergerakan para manusia, tetapi mereka tak mau menyerah. Harits dengan brutalnya melibas barisan depan pasukan ghaib dengan segoro geni. Api berkobar di lautan.
Segoro geni menguasai kendali atas tubuh Harits. Ia menyeringai menatap kereta kencana Sang Ratu. "Keluar, Roro Kidul! Akan ku bakar lautan mu!"
Ratu Laut Selatan itu keluar dari kereta kencananya. Ia membawa sebilah tombak yang merupakan perwujudan dari ketujuh tombaknya. Roro Kidul mengangkat tangannya, seketika itu juga air laut terangkat ke atas, dan memutar seolah menjadi tornado. Ia mengarahkan tangannya ke arah Harits. Tornado laut itu melesat ke arah Harits.
"Jangan remehkan apiku!" Tujuh bola api muncul di belakang tubuh Harits. Bola-bola api itu melebur menjadi satu dan membentuk naga api. Harits mengarahkan tangannya pada Roro Kidul. Naga api itu bertabrakan dengan tornado laut menciptakan sebuah ledakan astral.
"Biarkan Harits mengurus biangnya, kita akan hadapi para keroco ini!" teriak Rizwana yang sudah menggunakan kuda-kuda bertarungnya. Ketika seekor siluman ular muncul dan melesat ke arah Rizwana, sebuah lesatan tinju menghantam perut siluman itu. "Waringin sungsang!" Merobek perut makhluk itu dan menjadikannya sebuah kepulan asap hitam.
Rupanya bukan hanya mereka yang bertarung. Setelah mengumpulakan semua yang terluka, Trishula juga membantu mereka untuk melawan pasukan Laut Selatan. Wisesa menatap Rizwana yang baru saja melesatkan waringin sungsang. Memang, Wisesa memiliki teknik waringin sungsang yang tinggi, tetapi Rizwana memiliki teknik tertinggi dalam ilmu putih.
"Sepertinya Rizwana lebih kuat, bos," ucap Sura meledek.
Wisesa sepakat. "Dia agak melemah. Mungkin karena terlalu lama tenggelam dalam pekat ilmu hitam."
"Jarang-jarang Wisesa mau ngaku kalah," sambung Sura menatap Ageng.
Ageng menatap datar ke arah Rizwana. "Jelas dia kuat. Rizwana langsung belajar dari sumbernya. Master waringin sungsang, Komandan Taruna Tribuana dari divisi nol."
"Seandainya mereka di sini, semuanya akan menjadi mudah," timpal Sura.
"Divisi nol itu sudah menjadi warisan dunia, wajar jika kekuatan mereka dibutuhkan negara lain. Banyak perang ghaib yang terjadi," balas Wisesa. "Ya, berdoa saja. Semoga mereka sedang berada di Indonesia dan mendapatkan tugas untuk membantu kita. Jika benar Septaraja tidak bisa mati, maka kita di sini hanya membuang-buang waktu dan menunda kematian saja."
"Masih ada Agha," ucap Ageng. "Kita hanya perlu menglur waktu." Para Trishula mengangkat senjata mereka dan berlari menerjang pasukan Laut Selatan.
Memang secara jumlah, mereka kalah. Namun, dari segi kualitas, pihak Harits jauh lebih unggul.
"Kita enggak bisa terus nahan mereka. Jumlahnya terlalu banyak!" ucap Rava.
"Tutup pintunya." Semua mata melirik ke arah Bayu yang berlari sambil membantai pasukan Laut Selatan dengan zirah Asmorobangun. "Kalo enggak ditutup, semakin banyak yang keluar!"
"Gimana cara nutupnya?" tanya Tirta.
"Dengan gerbang lainnya," jawab Bayu.
"Cih! Dasar ...." Harits menggerutu. Ia mundur dari hadapan Roro Kidul. Sebuah topi fedora merah muncul di tangan kanannya. "Enggak usah kode-kode, paman! Kalo emang harus diadu, mari kita adu." Harits mengenakan topi itu. Kabut tipis bermunculan. "Gerbang Suratma!"
Sebuah gerbang raksasa berwarna merah muncul tak jauh dari gerbang yang dibuat oleh Septa. Sebuah tekanan hebat terjadi. Gerbang itu seolah saling menarik satu sama lain. Dari gerbang merah, keluar makhluk-makhluk dari Alam Suratma. Mereka berlarian keluar dan menerjang para pasukan Nyi Roro Kidul. Makhluk-makhluk ini bukanlah sekutu, mereka menerjang apa yang ada di hadapan mereka.
"Percuma kalo gerbangnya ketutup, tapi Ratunya masih di sini," teriak Harits. "Gondrong! Ayo kita dorong Sang Ratu ke pintu."
Deva muncul di samping Harits. Sebelumnya, mereka sempat bertemu di Alam Suratma saat Harits sedang mencari anggota Peti Hitam. Di sana, Deva sedang berlatih dengan Frinza.
"Sekarang banget nih?" tanya Deva.
"Emang mau kapan lagi?"
Mereka berdua tersenyum. Lalu menatap ke arah Nyo Roro Kidul. "Rizwana, gua butuh bantuan."
"Jadi apa yang bisa gua bantu?"
"Tahan mereka. Gua butuh waktu buat satu serangan ini," balas Harits.
"Oke, tapi gua enggak jamin bisa nahan dia selama yang lu butuhin."
Harits dan Deva tak berkomentar. Daripada berdebat soal waktu, mereka berdua melebarkan kaki mereka dan mengokohkan kuda-kuda dengan mata tertutup. Deva dan Harits menarik napas melalui hidung, dan mengeluarkannya lewat mulut. Napas mereka seirama dengan ritme yang selaras.
"Ajna ...."
Semua yang melawan pasukan Laut Selatan terbelalak menatap Harits dan Deva yang bersamaan membuka mata ketiganya. Aura di sekitar mereka menjadi kuat menekan para makhluk halus.
Nyi Roro Kidul tak tinggal diam. Firasatnya tak enak ketika melihat dua orang itu. Namun, Rizwana dan yang lainnya berusaha mehanannya. "Jangan biarkan sehelai rambut pun menyentuh Harits dan Deva!" teriak Rizwana.
Harits dan Deva membuka matanya perlahan.
"Braja!" Deva masuk ke dalam mode braja dan mempertebal aliran listrik di tubuhnya.
"Agni!" Harits masuk ke dalam mode agni dan mempepanas suhu tubuhnya.
Mereka berdua terus mengumpulkan atma dalam skala yang sangat besar. Hal itu juga menarik perhatian Septa. Namun, Septa tak bisa bergerak bebas. Katarsis bertarung dengan sangat baik menahan pergerakannya.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top