84 : Pertempuran di Alam Bawah Sadar
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Rizwana tampak babak belur di hadapan Chandra. Mata mereka saling bertatapan.
"Berlutut!" tutur Chandra.
Rizwana berlutut di hadapan Chandra. Kali ini mata penguasa akhirnya bisa sepenuhnya berefek pada Rizwana.
Rizwana tersenyum getir. Hanya sampai di sini, ya?
Pandangan Rizwana mulai kabur. Darah yang terlalu banyak keluar, membuat kesadarannya diambang batas. Dari mulutnya, darah segar masih terus mengalir pelan. Ditambah lagi beberapa sayatan dari tombak Panatagama.
Suara-suara deburan ombak dan semilir angin malam tak lagi terdengar. Hanya dengung-dengung kematian yang mengalir lirih dalam gendang telinganya. Perlahan, Rizwana mulai kehilangan sadarnya.
'Rizwana, jangan tertidur, masih ada yang harus kau lakukan, bukan?'
Rizwana yang sudah hampir kehilangan sadar, kini berusaha untuk tetap terjaga. Ia tersenyum menatap sosok yang berbicara padanya. "Gua pikir siapa ...." Chandra memicingkan matanya ketika Rizwana berbicara sendirian. "Sampai harus repot-repot dateng ke sini buat jemput gua ke akhirat." Rizwana berusaha setengah mati membuka matanya lebar-lebar dan menatap ke arah Nada.
Pemilik tombak Karara Reksa itu menyeringai. "Kau pikir siapa aku?" Ia menangkal kemampuan Chandra dengan tekadnya. "Seorang pimpinan itu harus melindungi bawahannya ...."
Chandra terbelalak mendapati Rizwana yang masih sekuat itu dan berusaha untuk menggerakkan tubuhnya. "Jangan memaksakan dirimu, Rizwana. Kau sudah kalah, kembalikan Surya."
"Rizwana Radja Maheswara, ingat nama itu baik-baik ...." Ia tersenyum pada Chandra. "Sisanya ku serahkan pada kalian ...," ucapnya lirih.
"Kalian?" Chandra meningkatkan kewaspadaan dan menatap sekelilingnya, khawatir Rizwana masih memiliki rekan lain.
Rizwana hendak menggigit lidahnya, tetapi tangan itu merangkulnya. "Ya, serahin sisanya sama gua."
"Harits ...." Rizwana terkejut ketika mendapati Harits muncul dan merangkulnya.
Di sisi lain Chandra menatap Harits penuh tanda tanya besar. "Harits, minggir," ucap Chandra.
"Enggak akan ...," balas Harits.
Jawaban Harits membuat Chandra kesal. "Harits ... minggir," lanjut Chandra.
Harits membalasnya dengan gelengan kepala. Chandra mengerutkan dahinya. "Sebenarnya lu ada dipihak mana?"
"Pihak kebenaran," jawab Harits.
"Terserah." Chandra melesatkan tombaknya mengincar Rizwana, ia tak peduli jika Harits ikut terkena tombaknya.
"Jangan bertingkah sok keren, berengsek!" ucap Rizwana pada Harits. "Harusnya gua yang bilang gitu, bajingan," balas Harits.
Tinggal beberapa senti lagi jarak antara Panatagama dengan Rizwana, tiba-tiba pedang Reki menahan tombak tersebut. "Apa lagi ini ... Reki? Kau pikir ke mana kau mengarahkan pedangmu?"
Reki mengeluarkan keringat dingin. "Chandra, aku minta waktu sebentar,"
"Kita tidak punya banyak waktu, minggir, Rekian Saksana."
Di tengah suasana yang terlihat aneh itu, Rizwana tiba-tiba saja ambruk. Sebuah tali perak terlihat di pandangan mata Harits dan Chandra. Tali perak itu adalah milik Cakra Petang Buana, ia merasuki tubuh Rizwana dan segera menuju pusat alam bawah sadarnya.
Melihat tingkah Harits, Reki, dan Cakra, Chandra menjadi heran. "Sebenarnya apa yang hendak kalian lakukan?"
***
Beberapa menit lalu ....
Nada menghela napas panjang, dan mulai melakukan pergerakan pertamanya dalam memainkan permainan maut ini. "Cakra, aku punya permohonan ...."
"Permohonan apa, Nada?"
"Kamu inget waktu dulu kamu ngelepasin aku dari jerat Rizwana? Kamu bikin aku rileks dan masuk ke alam bawah sadar aku?"
"Ya, aku inget."
"Rizwana bukan orang jahat! Dia ada di sana bukan buat neror aku, tapi sebaliknya. Rizwana ada di dalam alam bawah sadarku jagain aku dari sesuatu yang jahat."
"Apa maksud kamu?" Cakra tampak bingung dengan pernyataan Nada.
Nada melirik ke arah Melodi. Cakra mengikuti lirikan matanya yang berhenti pada satu titik. "Kamu balik ke masa lalu?" tanya Cakra ketika menyadari kondisi Melodi yang cukup parah. Kekuatan besar pasti menimbulkan efek yang besar.
"Aku enggak punya banyak waktu buat jelasin semuanya. Tolong percaya sama aku, Cakra."
Cakra menatap Nada sambil memegang bahunya. "Apa pun itu, aku percaya sama kamu, Nad."
"Makasih, Cakra."
Cakra duduk bersemedi, ia berfokus untuk melakukan proyeksi astral. Selagi Cakra sedang berjuang mengikuti instruksi Nada, Nada kembali mengingat runtutan peristiwa. Ia berlari menuju Reki yang baru saja menumbangkan Gandring. "Reki, aku minta bantuan!"
Reki menatap Nada dengan heran. "A--aku bukan Reki ... aku pria bertopeng biasa." Bisa-bisanya pria itu mati kutu dan berusaha tak mengakui dirinya di depan Nada.
"Aku butuh bantuan kamu!"
Harits yang berada di dekat mereka memutuskan untuk merapat. "Bantuan apa?" tanya Harits.
Nada menatap Harits dan Reki bergantian. "Siapa aja, tolong! Tolong jagain Rizwana."
Harits dan Reki saling bertatapan mendengar ucapan itu. "Dia itu musuh," ucap Harits.
"Harits! Kamu itu keluarganya, kan?"
"Bukan, aku ...."
"Gelang itu! Gelang hitam itu adalah bukti ikatan kalian anggota Simfoni Hitam, kan? Kamu, Rizwana, sama Kenzie."
Harits memicingkan matanya. "Gimana caranya kamu tau tentang gelang itu?"
"Liat tangan Rizwana! Sampai akhir dia enggak pernah ngelepasin itu, meskipun kamu udah enggak pake dan mungkin ngebuang benda itu, tapi Rizwana enggak! Dia selalu nganggap kamu itu satu-satunya keluarga yang dia punya!"
Sontak Harits menatap ke arah pergelangan tangan Rizwana, lalu menoleh ke arah Melodi yang mengalami pendarahan dari berbagai sudut tubuhnya. Kini Harits memahami sesuatu, Nada tak asal bicara.
"Reki ... tolong tahan Chandra," ucap Harits.
"Hah?! Lu gila? Dan lagi, gu--gua bukan Reki."
"Nada enggak mungkin minta tolong hal-hal akward gini tanpa sebab. Dia sendirian, lari masuk ke dalam medan perang mempertaruhkan nyawanya bukan untuk lelucon. Ada sebuah pesan yang dia mau sampaikan, tapi enggak bisa. Waktu kita enggak banyak, Reki. Kita cuma bisa percaya sama Nada." Harits mengulurkan tangannya. "Ikut? Enggak?
Reki meneguk ludah. "Berengsek, Harits ...." Ia menjemput uluran tangan Harits. Kini mereka berdua langsung berlari untuk menolong Rizwana dan menahan Chandra.
***
Di sisi lain Cakra sudah memasuki alam bawah sadar Rizwana. Di dalam sana tampak gelap, dan bau anyir. Cakra melangkah di atas genangan darah. Tempat itu begitu mencekam. Sambil berjaga-jaga, Cakra membuat pedang astral dari kumpulan energinya.
Langkahnya terhenti seiring berakhirnya perjalanan. Cakra terbelalak menatap Rizwana yang sedang berlutut dengan rantai-rantai yang membelenggu tangan dan lehernya. Tubuhnya menampilkan banyak luka sayatan dan tusukan. Darah masih mengalir dari tubuhnya, hingga menggenangi alam bawah sadarnya.
Menyadari seseorang menghampirinya, sosok Rizwana itu mengangkat wajahnya yang tertunduk. Tak ada senyum di wajahnya. Tatapnya tajam menyorot Cakra. "Pergi ...."
Cakra mengabaikan peringatan itu. Ia justru melangkah mendekati Rizwana.
"Pergi ... sebelum dia kembali ...."
Cakra menghentikan langkahnya. "Dia?"
Rizwana terbelalak menatap Cakra, wajahnya penuh ketakutan. "PERGI! KELUAR DARI SINI!"
Cakra menyadari satu hal. Rizwana bukan mengusirnya karena alasan buruk. Pria itu berusaha pemperingati Cakra akan sesuatu yang berbahaya. Sontak Cakra menoleh. Septa berdiri di belakangnya, menatapnya dengan raut wajah marah.
Beruntung Cakra membuat pedang astral. Dengan refleks yang cepat, Cakra menahan sebuah sabetan tombak merah dari Septa. Keluarga Angkhara mampu memanipulasi darah. Alas mereka berpijak yang tergenangi oleh darah Rizwana membuat Septa mampu mengerahkan kemampuannya. Ia menciptakan tombak dari darah itu. Kini alam bawah sadar Rizwana seperti lantai kematian.
"Kau benar-benar tidak bisa dibiarkan hidup," tutur Septa.
Raga asli Cakra mengeluarkan keringat dingin. Pasalnya, rohnya kini berhadapan dengan eksistensi yang kuat dan berbahaya. Memang tubuh ini bukanlah milik Septa, tetapi Cakra menyadari bahwa kuasa Septa sepenuhnya menguasai Rizwana. Kekuatannya sungguh berkali-kali lipat.
Septa menyentuh darah di tempatnya berpijak. Sebuah gelombang muncul dari sana dan membentuk naga yang terbuat dari darah. Naga itu langsung melesat ke arah Cakra.
Cakra lihai menghindari serangan demi serangan yang dilancarkan Septa padanya. Namun, ia mulai kewalahan, hingga dirinya sempat memutuskan untuk keluar dari sana. Lagi-lagi langkahnya terhenti ketika ia mengingat senyum Nada. Nada percaya bahwa Cakra mampu menolong Rizwana. Kini Cakra memutar kembali tubuhnya menghadap ke arah Septa. Ia menciptakan sebulah pedang lagi dengan energinya. Di tangan Cakra terdapat dua bilah pedang astral.
"Sadar tak bisa lari, pada akhirnya memutuskan untuk melawan?" ucap Septa.
"Salah," jawab Cakra dengan tatapan tajam. "Memutuskan masuk ke dalam sini, artinya harus sadar ... tak perlu berlari. Di sini bukan arena balap lari."
"Aku hargai nyalimu." Septa berjalan sambil membentuk tombak dari darah Rizwana. "Tapi itu adalah keputusan yang keliru."
"Rizwana ... jangan biarkan dia semakin kuat. Tubuh ini adalah milikmu," tutur Cakra.
Septa tertawa mendengar ucapan Cakra. "Berusahalah, semangat memberontaknya sudah lama pudar dari matanya!" Septa melesat ke arah Cakra membawa sebilah tombak darah. Melihat Septa yang menuju ke arahnya, Cakra pun mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menghempaskan Septa keluar dari tubuh Rizwana.
Cakra kewalahan menghadapi Septa. Pria itu seakan tak terkalahkan di atas genangan darah Rizwana. Kesadaran Septa terpecah dua, sehingga ia tak optimal dalam menghadapi Cakra yang cukup lihai memainkan wujud rohnya. Namun, di samping itu semua, Septa masih terlalu kuat untuk dihadapi seorang diri.
Sebilah tombak darah melesat menusuk tangan Cakra, disusul tombak lainnya yang menusuk tangan satunya. Seketika, Cakra merasa lemas dan tak mampu melepaskan tombak-tombak itu.
Septa terbahak-bahak menatap Cakra yang berusaha keras melepaskan tombak-tombaknya dengan cara menembuskan tangannya yang berlubang. Kini pria itu berdiri di hadapan Cakra. "Kau tidak akan pernah kembali pada ragamu. Selamat tinggal."
Sebuah payung hitam melesat menembus perut Septa dan terus melesat entah ke mana membawa tubuh pria itu. Dari belakang. Radika berjalan dengan tatapan dingin menatap Cakra.
"Satu pertanyaan ini akan menentukan nasibmu. Apa yang kau lakukan di dalam tubuh Rizwana?"
Cakra tak mampu merkomentar, situasi berbahaya macam apa lagi ini. 'Sial! Kenapa harus sekarang. Dia ngikutin gua masuk ke alam bawah sadar Rizwana.'
"Jawab ...."
Entah apa yang akan dilakukan Radika setelah ini. Namun, Cakra memilih jujur. "Menolong Rizwana."
"Bohong," balas Radika menciptakan sebuah pisau belati dari energinya.
"Orang itu mau membunuh Rizwana, untung aku cepat menyusul ke sini," ucap Septa yang muncul kembali. Ia membawa payung hitam milik Radika.
Radika menatap pakaian yang dikenakan oleh Septa. "Nagara Sailendra? Sejak kapan kau bisa melakukan proyeksi astral?"
"Banyak hal yang tidak kau ketahui, Kusumadewa," balas Septa.
"Maaf karena menyerangmu. Aku tak mengenali wajahmu yang asing. Berikan payung ku, aku akan menghabisinya."
Septa menyeringai, ia melemparkan payung hitam milik Radika. Radika menangkap payung hitamnya, lalu menodong ujungnya yang runcing tepat di depan wajah Cakra. "Berbohong adalah kejahatan terbesar yang pernah ada." Atma hitam terhisap ke moncong payungnya.
"Omong kosong ... orang yang menjadi rekanmu itu yang berbohong," ucap Cakra.
Tak ada komentar dari Radika, ia hanya melempar tatapan dingin pada Cakra. Septa terbahak-bahak menatap Cakra yang masih berusaha melepaskan dirinya dari tombak darah.
Sebuah lesatan atma hitam dengan skala yang cukup besar menghantam Septa. Cakra terbelalak ketika Radika mengganti targetnya. Dengan payung hitamnya, Radika langsung menebas dua tombak yang menancap di tangan Cakra.
Cakra mengerutkan dahinya. "Ke--kenapa?"
Radika mengulurkan tangannya untuk membantu Cakra berdiri. Tak ada kata yang terucap dari mulut pria dingin itu.
Septa masih bisa berdiri meskipun terlihat compang-camping. "Radika Kusumadewa ... apa maksudnya ini?"
"Tali perak," ucap Radika. "Di antara kita bertiga hanya kau yang tak memiliki tali perak. Aku memikirkan seribu satu cara agar bisa masuk ke alam bawah sadar seseorang tanpa proyeksi astral, dan aku tak menemukan cara lain selain mengaitkan hal ini dengan kontrak darah. Aku baru tau bahwa ada hal kelam di dalam diri Rizwana. Memang selama ini aku merasa bahwa terkadang Rizwana memiliki kepribadian yang berbeda. Terkadang ia menangisi musuhnya. Ternyata bukan tanpa sebab, rupanya Rizwana hanyalah wayang dari seorang dalang."
Septa menyeringai mendengar ucapan Radika. "Kalian keluarga terkutuk ingin membalas dendam, bukan? Kalian sepakat untuk mengikuti Angkhara sampai akhir. Makanya kau ada di pihak Kencana Selatan."
"Bukan," jawab Radika. "Aku tidak tertarik dengan apa pun. Hanya saja aku memiliki seorang teman yang memintaku untuk mengikuti langkahnya dan percaya padanya apa pun yang terjadi. Aku berdiri di pihak Kencana Selatan karena Rizwana yang memintanya. Mungkin berbeda cerita dengan keluarga lain yang mengetahui rencana aslimu, atau mengharapkan balas dendam, tapi aku berbeda. Bahkan jika seluruh anggota Kencana Selatan berbalik untuk mengkhianati Rizwana, aku akan tetap di sisinya sampai akhir."
"Anjing yang setia," balas Septa. "Tadinya kalian tujuh keluarga terkutuk akan aku biarkan hidup dalam damai, tapi rupanya aku harus menghabisi beberapa keluarga seperti Kusumadewa dan Sakageni."
Radika menatap Cakra. "Tolong selamatkan Rizwana. Aku akan menahan orang ini. Adalah hal gila memikirkan untuk mengalahkan orang ini di sini. Sekarang, tempat ini adalah rumah baginya. Kita tidak bisa benar-benar mengalahkannya, kecuali Rizwana sendiri yang mengusirnya."
"Orang itu kuat, apa kau yakin bisa menahannya sendirian?"
"Tentu saja, tapi jangan lama-lama. Tak seperti Nagara. Kita memiliki batas energi. Pergilah, jangan membuang waktu!"
Cakra meneguk ludah menatap Rizwana yang berada di belakang Septa. Pria itu tak akan membiarkannya pergi begitu saja.
Radika mengusap payungnya yang tertutup, kemudian ia membuka payung hitamnya hingga terbuka lebar. Ia merapalkan sebuah mantra sambil mencabut gagang payungnya yang merupakan sebuah gagang pedang tersembunyi. Payungnya melebur menjadi atma hitam dan merasukinya. Payung Radika merupakan khodam/wadah jin untuk menyimpan qorinnya. Tak seperti biasanya yang bertarung secara terpisah, kini pria itu melebur menjadi satu dengan qorinnya.
Sebuah sayap hitam mencuat keluar merobek wujud rohnya. Dua bilah tanduk tumbuh di kepalanya. Mata hitam dengan bola mata putih itu menatap tajam ke arah Septa. Sebuah tato dengan ukiran pentagram muncul sebagai simbol satanis di tangan kanannya, lalu simbol ular naga yang menyimbolkan hubungan manusia dan qorin terukir di tangan kirinya.
"Pada akhirnya kau menunjukkan wujud aslimu, Kusumadewa," gumam Septa. "Sayangnya kau memilih lawan yang salah!" Septa melesat sambil menarik darah di tanah dan membentuk dua bilah tombak.
Radika menunjuk ke arah atas. "Archangel, dark angel lend me your light through the veil of death 'til we have heaven in sight ...." Kemudian dengan cepat ia melesatkan tangannya ke bawah secara vertikal. Sebuah salib terbalik raksasa berwarna hitam jatuh menimpa Septa dari langit-langit. Hantaman keras membuat genangan darah di alam bawah sadar Rizwana bergelombang.
Masih merasa belum cukup, Radika merapalkan mantra kembali sambil menggenggam tangannya bak seorang yang sedang berdoa. "The Lord is not my shepherd for i am not a sheep ...." Sebuah patung raksasa muncul di belakangnya diiringi nyanyian-nyanyian rohani dengan lirik dan huruf terbalik.
Hantaman pada serangan Radika barusan hampir mengenai Cakra yang berada dekat dengan Septa. Cakra bergidik ngeri melihat kekuatan asli dari seorang Radika Kusumadewa. Jika saja ia yang berada di posisi Septa, entah apa yang akan terjadi. Namun, Cakra kembali menoleh ke arah Rizwana. Ia berfokus untuk menyelamatkan pemuda itu.
Di sisi lain salib terbalik yang menimpa Septa tiba-tiba retak dan hancur. Septa berdiri sambil menunjukan waut wajah marah. Ia berhenti tersenyum. Sama halnya dengan Radika, ia menatap Septa dengan tatapan dingin. Radika menunjuk ke arah Septa. "Hail, Satan."
Tangan-tangan hitam muncul dari patung raksasa itu beriringan dengan darah yang keluar dari mata patung tersebut. Septa berlari ke arah Radika sambil menghindari tangan-tangan hitam itu. Tempo nyanyian semakin cepat, begitu juga dengan tangan-tangan yang mengincar Septa.
Kecepatan tangan itu akhirnya mampu menangkap Septa. Ia menarik Septa masuk ke dalam patung raksasa. Pada satu titik, tempat itu menjadi hening. Lagu-lagu yang sempat dinyanyikan saat patung itu hadir, kini berhenti sesaat setelah menelan Septa.
Cakra berhasil berdiri di hadapan Rizwana. "Rizwana, bangun," ucap Cakra.
"Pergi dari sini. Bawa Radika keluar dari tempat ini," tutur Rizwana. "Enggak ada yang bisa ngalahin orang itu di sini."
"Radika udah selesai. Orang itu pasti udah ...."
Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Cakra terbelalak. Patung raksasa milik Radika tiba-tiba tenggelam dalam genangan darah. Darah itu melahap segalanya seperti lumpur hidup.
"Jangan nyerah Rizwana! Entah kenapa Nada bisa tahu kalo lu butuh bantuan. Satu hal yang pasti, dia percaya kalo lu bukan orang jahat."
"Nada?" Rizwana mengangkat wajahnya menatap Cakra. "Ya, Nada ...." Sorot mata Rizwana berubah. "Dia harus tahu segalanya."
"Sampein semua yang mau lu omongin sendiri! Pertama-tama lu harus bisa lepas dari belenggun orang itu. Tubuh ini punya lu, kan?!"
Cakra mempertebal pedang cahaya miliknya. Sementara Rizwana berusaha untuk melepaskan belenggunya.
"JANGAN MEMBANGKANG, RIZWANA!" Septa melesat dengan kecepatan penuh ke arah Rizwana. Radika menerjangnya untuk menghentikan Septa, tetapi Septa memindahkan sedarannya secara utuh ke alam bawah sadar Rizwana. Dengan kekuatan penuhnya, Septa menebas Radika dengan tombak darah. Seketika itu, darah hitam mengalir dari tubuh Radika.
Rizwana terbelalak menatap Radika yang dalam tayangan lambat ambruk. "JANGAN LAGI SENTUH TEMAN-TEMANKU, BERENGSEK!" Cakra menebas belenggu pada tangan kanan dan kiri Rizwana. Seketika itu juga Rizwana melepas rantai di lehernya dan melesat cepat ke arah pusat alam bawah sadarnya. Seperti Septa, ia membuat tombak darah dari genangan darahnya sendiri.
"Tangan kanan harapan!" Sebuah ukiran bola putih muncu di tangan kanannya. Rizwana melempar tombak darahnya hingga membuat Septa mau tak mau harus menghindarinya. Hal itu Rizwana lakukan untuk memperlambat gerakan Septa. Ia menyentuh Septa dengan tangan kanannya yang mengeluarkan cahaya.
"Ini belum berakhir, Rizwana." Septa ingin mengakhiri kontrak dengan meremuk jantung Rizwana. Sosok Septa berubah menjadi sebuah paku raksasa. Paku itu berputar seolah sedang melakukan ancang-ancang untuk melesat langsung ke jantung Rizwana.
"Ya, ini belum berakhir ...." Rizwana memasang kuda-kuda tepat sesaat sebelum paku itu meluncur. "Waringin sungsang!" Ia memukul paku itu hingga hancur bekeping-keping.
***
Dalam waktu singkat sebelum Rizwana menghancurkan kontrak darah. Septa sudah kembali pada kesadarannya. Ia muncul bagaikan hantu, langsung di belakang Chandra. Hal ini membuat Harits, Chandra, dan Reki terkejut.
Sebelum mampu bereaksi, Septa menendang Harits dan juga Reki hingga terpental, lalu dengan cepat ia merebut tombak Panatagama dari tangan Chandra.
Nada terbelalak menatap sosok Nagara Sailendra yang wajahnya terekspos. Semua mata membulat utuh menatap kehadiran Septaraja yang muncul dan langsung merebut tombak Panatagama dari tangan Yudistira. Chandra memutar tubuhnya untuk melakukan perlawanan, tetapi Septa sudah siap menusuk Chandra dengan tombak Karara Reksa yang berada di tangan satunya.
"Takdir berubah ...," gumam Nada. "Tapi kenapa dia harus merebut tombak Chandra? Semua udah selesai. Pasukan Nyi Roro Kidul ...." Nada terduduk lemas menatap adegan itu dalam tayangan lambat. "Pada akhirnya selalu berakhir pada titik yang sama."
Sebuah tangan terjulur dari arah belakang Chandra. Tangan itu menempelkan lima jarinya ke perut Septa, lalu di angkatnya tangan itu secara vertikal hingga berada tepat di depan mulut musuhnya. Sebuah bola api seperti matahari keluar dari mulut Septa. Hal itu membuat Septa memuntahkan darah dari mulutnya, sehingga serangannya yang hendak membunuh Chandra menjadi gagal.
Semua mata menatap Rizwana yang menggenggam sebongkah bola api. Rizwana menatap Chandra sambil tersenyum. "Kalo sekarang baru benar-benar ada padaku," ucap Rizwana. "Ambilah, ini separuh jiwamu, kan?" Ia mengembalikan separuh kekuatan Yudisitra yang dahulu ia curi.
Namun, di samping hal baik, selalu ada hal buruk. Memang, kini Chandra mendapatkan kembaran satu tubuhnya kembali, tetapi di satu sisi ... Septa pun berhasil merebut tombak terakhir yang menjadi kunci kerajaan Sang Penguasa Laut Selatan, Nyi Roro Kidul.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top