83 : Buntu Di Ujung Jalan
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Angin kencang membuat perban yang menutupi wajah Nagara terbuka. Efek dari ledakan yang timbul akibat bom rakitan milik Keivn, membuat Nagara harus membuka identitasnya.
Kei, Tirta, Abi, dan seluruh anggota Dharma terkejut, begitu pula dengan Harits dan Deva. Bagaimana tidak? Sosok Septaraja menyeringai menatap mereka semua. Perlahan ia tertawa, hingga terbahak-bahak. Harusnya sosok itu sudah tewas kurang lebih setahun yang lalu.
Semua bergeming seakan tak percaya dengan pemandangan di hadapan mereka. Septa kini menghela napas. "Sebuah reuni yang unik," ucapnya. "Lama enggak berjumpa ya."
"Apa-apaan ini ...." Tirta menyorot tajam ke arah Septa. "Kau berhutang penjelasan ...."
Dalam keadaan yang aneh itu, Bayu muncul di sebelah Septa dengan topeng Asmorobangun dan langsung melesatkan cakarnya. Namun, tanpa menoleh, Septa menahan serangan itu dengan lengan kirinya. Tatapan Bayu penuh dengan amarah, kini ia menemukan pembunuh dari anak-anaknya.
"Septa, berengsek," tutur Bayu.
"Soal anak-anakmu ... aku minta maaf."
"Maaf? Satu-satunya jalan menuju pintu maaf adalah dengan kematianmu," balas Bayu.
Septa menatap ke arah Jaya. "Maaf, aku belum menuntaskan semuanya. Kali ini aku benar-benar akan mencabut semuanya tanpa sisa."
Jaya merinding ketika sepasang mata itu menatapnya. Dalam waktu yang sangat singkat, sebilah mata tombak berada di depan wajahnya.
Pedang milik Tirta membuat tombak yang dilemparkan Septa meleset. Martawangsa itu cepat dalam mengambil tindakan. Meskipun napasnya hampir habis, tetapi ia masih lumayan gesit.
"APA YANG KAU LAKUKAN, SEPTARAJA!" teriak Bayu yang murka ketika melihat Septa menyerang Jaya.
"Mulai dari sini, semuanya akan menjadi lebih sulit untuk kalian. Rizwana sudah mati, aku tak akan menahan diri. Kesadaranku kembali utuh." Septa yang sedari tadi belum serius, kini memancarkan atma yang begitu besar. "Ajna ...."
Mata ketiganya bangkit. Septa menghilang dari pandangan semua orang, ia menggunakan wujud braja.
"CHANDRA AWAS!" teriak Nada. Nada tak bisa melihat pergerakan Septa, tetapi ia paham. Bahwa Septa sangat mengincar mata milik Chandra dan juga tombak Panatagama. Menurut prediksinya, Chandra adalah incaran utama Septa kali ini.
Chandra terbelalak ketika rambutnya terjambak oleh Septa. Septa membenturkan kepala Chandra pada batu karang di depannya, hingga membuat kepala Yudistira itu berdarah.
Kei terlihat marah. Tanpa kata, ia melesat menuju Septa. Namun, semua terkejut ketika sebilah tombak menancap dari belakang tubuh Kei hingga menembus ke dadanya.
"Aku yang membunuh Rizwana. Tombak-tombak itu ... adalah milikku." Septa mampu menggerakan tombak-tombak Maheswara tanpa menyentuhnya. Ia seperti Arai Purok yang menerbangkan mandau, tetapi bedanya adalah ... Septa menerbangkan enam tombak. Satu tombak miliknya, Karara Reksa, melesat hingga berada dalam genggaman Septa. Ia menatap Chandra yang sedang terpaku menatap ayahnya. "Matilah, keturunan Yudistira." Septa mengangkat Karara Reksa dan melesatkan tombak itu mengarah ke dada Chandra.
"SADAR, CHANDRA!" Sebuah petir hitam menghantam Septa hingga terpental dan menjauh dari Chandra. Dewa dengan sorot mata yang tajam sudah berada dalam mode braja hitamnya. Bukan hanya Dewa, seluruh anggota katarsis, selain Kevin dan Rava juga sudah bersiap untuk menghabisi Septa.
"Katarsis, ya? Menarik ...."
Lima tombak yang tersisa kini mengincar Gardamewa, Saksana, Lohia, Kuncoro, dan Antakesuma. Matanya kini menatap satu anggota yang tersisa dari keluarga Kusnendar. "Kusnendar bukan tipe petarung, kau santai saja dulu. Setelah mereka, baru giliranmu," ucap Septa.
Seyan Atmaja Kusnendar, pria berkacamata itu membetulkan posisi kacamatanya sambil menatap tajam ke arah Septa. "Ya, semoga paman punya waktu untuk itu."
"Ayah ...." Pandangan Chandra semakin buram menatap Kei yang berlumuran darah.
Abimanyu meninggalkan Agha yang sudah melewati masa kritisnya. Ia berlari ke arah Kei. Namun, sebuah kencana melesat dan menabrak Abimanyu. Sebuah tangan keluar dari dalam kencana dan menarik Abi masuk.
"Abi" Tirta berlari untuk menyelamatkan Abi, tetapi dirinya tak secepat tombak-tombak milik Septa yang mundur dari lawannya, dan kini melesat bersamaan menusuk kereta kencana secara bersamaan. Darah mengalir dari gagang tombak-tombak itu. Pintu kencana terbuka dan seonggok mayat dilempar keluar, hingga tergeletak di pasir.
"Jangan hilang fokus!" teriak Dewa. "Kalian bisa mati kapan saja."
Jaya dan Deva melindungi Nada, Melodi, dan semua yang terluka. Sementara itu Harits bersama Trishula mencari celah, selagi anggota Katarsis lagi-lagi disibukkan oleh tombak-tombak itu. Tirta mengambil alih komando dan memerintahkan orang-orang dari kepolisian yang masih selamat, untuk memindahkan jasad Abi, dan Kei yang sekarat.
Bayu menjadi ujung tombak para kubu putih. Ia sudah berhadapan dengan Septa yang menggenggam Karara Reksa. "Zirah darah!" Septa menggores luka untuk menciptakan zirah dari darahnya sendiri.
"Resonansi jiwa!" Tak mau kalah, Bayu juga berbaur dengan Asmorobangun. Kini manusia dengan zirah merah itu mendapati lawan yang sepadan. Bayu dengan zirah putih bernuansa tengkorak itu tak membiarkan Septa bernapas lega.
"Bayu Martawangsa ... kau selalu menjadi penghalang. Enyahlah!"
"Kau yang harusnya enyah dari dunia ini ...." Septa terbelalak ketika Chandra sudah berada di belakangnya dengan tatapan kosong. Chandra memutar tombaknya dan menancapkan tombak Panatagama menembus dada Septa, seperti yang ia lakukan pada Kei. "Membunuhmu saja rasanya belum cukup," lanjut Chandra.
"Sudah berakhir, ya?" Tirta menghela napas panjang dengan tatapan kosong. Ia menggenggam kepalan tinjunya seakan tak puas dengan hasil seperti ini, air matanya menetes. Kei baru saja menyusul Abi mundur dari dunia ini.
"Belum! Orang itu--bisa bangkit dari kematian!" teriak Kevin yang sudah sadar kembali.
Semua mata terbelalak ketika Septa tersenyum sambil menggenggam Panatagama. Satu tangannya melesat ke perut Chandra. Seperti Wijayakusuma yang mampu memanipulasi kuku-kukunya untuk meruncing, Septa menembus perut Chandra dengan tangan kosong. "Sebentar lagi kau akan bertemu ayahmu."
"Chandra!" Reki berlari hendak menolong Chandra, tetapi tombak-tombak itu menghalanginya.
Septa menarik tangannya. Sebuah bola api berwarna biru berada dalam genggamannya. Ia memakan gumpalan bola api biru itu. Seketika itu juga matanya berwarna biru muda. Ia menatap Dewa. "Berlutut."
Keringat dingin keluar dari tubuh Dewa. Ia berlutut menuruti perintah Septa. Kini mata penguasa berhasil direbut. Septa juga mengambil alih Panatagama.
"Ini belum berakhir!" Bayu menerjang Septa dan hendak memenggal lehernya, tetapi Panatagama melesat ke atas secara vertikal membelah zirah Asmorobangun. Karara Reksa yang juga masih berada di tangan kanan, dengan cepat menembus dada Bayu. Septa mengangkat tombaknya hingga Bayu tak lagi menapakkan kakinya di tanah.
Deva kehilangan sosok yang sedari tadi di sampingnya. Jaya dengan penuh amarah langsung masuk ke area serang Septa.
"Harusnya kau itu pergi. Sudah susah-susah diselamatkan, malah datang lagi menjemput maut," ucap Septa.
"Aaaaaa!" Nada berteriak histeris ketika kepala Jaya terputus dari lehernya. Tubuhnya berlutut, dan ambruk tanpa kepala.
"Semuanya jadi sia-sia, kan ...." Kini Septa menatap ke arah Nada. "Sekarang giliranmu. Kau yang paling tidak boleh dibiarkan hidup." Septa melesat ke arah Nada. Hal itu membuat Deva merinding dan tak bisa bergerak.
Tirta muncul menjadi penghalang untuk mereka semua. "Kau sudah keterlaluan, SEPTARAJA!" Ia melesatkan tebasan.
Darah segar mengucur deras. Tangan yang memegang pedang itu terpotong dengan sekali sabet. "Tirta ... saksi hidup perang Rahwana. Akan aku buat kau berpikir, bahwa Rahwana jauh lebih lemah daripada pria yang berdiri di hadapanmu ini. Tidurlah, wahai veteran." Dua tombak di tangan Septa menembus dada Tirta.
Deva tak tinggal diam. Melihat pamannya dibunuh, membuatnya marah, ia kini sudah berada di belakang Septa. Rava juga sudah memasang amiluhur di wajahnya. Pemandangan yang sangat tragis, ketika baru saja siuman, ia langsung disuguhkan kematian ayahnya.
Sebelum Rava menggunakan kemampuan Amiluhur, Septa melempar tombaknya hingga menembus dada pria itu. Satu tombak yang tersisa ia gunakan untuk menusuk Deva.
Rangkaian kematian mengalir mulus. Karena amarah, panik, ketakutan, hal-hal itu membuat manusia tak lagi mementingkan ketenangan.
Cambuk api melesat melebur Septa. Sosok pria jahat itu terbakar api Segoro Geni. Harits juga sudah hilang kesabaran.
"Api Segoro Geni adalah api yang tak bisa padam tanpa izin dari Raja Banaspati, tapi apa ini? Aku pikir panas."
"Harits! Lari!" teriak Nada.
Septa dengan zirah darahnya keluar dari kobaran api itu tanpa luka. Ia berlari ke arah Harits dengan sangat cepat. Harits berusaha menghindar, tetapi kereta kencana menabraknya dan membawaanya ke arah Septa. Mata tombak Panatagama menembus ulu hati Harits hingga membuatnya memuntahkan darah. Satu persatu tokoh-tokoh itu mulai dibantai, dan menimbulkan kengerian. Mental semua orang mulai turun.
Angkhara terakhir itu menarik seluruh tombaknya dan menancapkannya di pasir membentuk pentagram, kecuali tombak Alam Jagad Raya dan Panatagama. Hanya Alam Jagad Raya saja yang belum menunjukkan kemampuannya. Kini Septa memutar tombaknya di atas kepala, lalu menghentakkannya keras ke pasir.
Dari titik poros tombak itu, sebuah retakkan muncul hingga menjalar ke laut.
Semua mata merinding menatap sebuah pintu raksasa yang muncul akibat retakkan itu.
Terakhir, Septa mengayunkan tombak Panatagama ke arah pintu itu. Panatagama merupakan kunci dimensi yang mampu membelah ruang tiga dunia. Seketika itu, pintu raksasa terbuka.
Gemerincing lonceng mengiringi kereta kencana yang membawa Sang Ratu Pantai Selatan. Septa tersenyum dan membungkukkan badan ke arah Nyi Roro Kidul dan bala tentaranya.
Kencananya membelah ombak. Ribuan makhluk halus berjalan di belakang kereta kencana Sang Ratu.
"Aaaaaaa ... game over ...," gumam Ippo lirih. Pria Gardamewa itu sudah kehilangan semangat tempur.
"Nada ... lari, bawa Melodi pergi," ucap Cakra. Cakra berfokus untuk melakukan proyeksi astral. Ketika rohnya keluar, dengan cepat Cakra melesat ke arah Septa.
Septa mampu melihat roh halus, ia menghindari serangan Cakra. "Kau tahu ... Panatagama mampu menebas apa pun, termasuk roh." Septa memutus tali perak yang menghubungkan raga dan roh Cakra. "Bergentayanglah sepuas hati." Tubuh Cakra ambruk.
Nada kehabisan kata-kata. Dadanya sesak meratapi kematian teman-temannya. Namun, tangan mungil itu menggenggamnya. Melodi tersenyum menatap Nada. "Nad, aku udah enggak bisa gerak. Badanku mati rasa ...."
"Kamu juga mau aku lari sendirian?" tanya Nada dengan mata berkaca-kaca.
Melodi menggeleng sambil menggenggam erat tangan Nada. "Kita enggak akan lari lagi. Kita bukan gadis lemah yang melulu minta ditolong dan berharap ada seseorang yang datang nyelamatin kita. Kali ini ... kita yang akan nolongin semuanya."
"Melo ... jangan gunain kemampuan kamu lagi. Kamu bisa mati!"
Melodi tersenyum. Waktu di sekitar mereka seakan melambat "Nad ... cuma kamu harapan kita. Kamu tau semua rahasia Rizwana ... tolong lindungin masa depan kita semua. Maaf karena udah biarin kamu nanggung beban seberat ini, tapi aku cuma bisa percaya sama kamu."
Dari waktu yang melambat, semua orang dan benda seperti bergerak mundur. Melodi menggunakan retrokognision terakhirnya, membawa Nada kembali pada beberapa waktu lalu, untuk mencegah semua bencana ini.
Nada terperangah menatap laut. Semilir angin yang tercipta dari benturan tombak Panatagama milik Chandra dan Karara Reksa milik Rizwana, membelai rambutnya yang terurai. Gadis itu sedang berlari keluar dari hutan digandeng oleh Cakra. Nada menatap ke arah Melodi yang berada dipunggung Deva, tak jauh dari posisinya berada. Kembarannya itu memuntahkan darah dari mulut, hidung, mata, dan telinganya.
"Melo ...." Nada ingin menangis, tetapi ia sadar bahwa dirinya harus tegar. Nada mengepalkan tangannya. Ia menarik tangan yang Cakra gandeng, hingga langkah mereka berhenti dan membuat pria itu menoleh. Tatapnya tajam menatap kedua bola mata Cakra. Tak ada lagi fitur undo dalam pertarungan yang sudah memasuki sudden death ini. Di mata Nada, medan tempur malam Walpurgis terlihat seperti papan catur raksasa. Sekali saja ia salah langkah, maka skakmat.
"Kenapa, Nada?" tanya Cakra.
Nada menghela napas panjang, dan mulai melakukan pergerakan pertamanya dalam memainkan permainan maut ini. "Cakra, aku punya permohonan ...."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top