81 : Babak Terakhir
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Rizwana menghela napas, kini rasanya pria itu tampak lebih rileks dari keadaan sebelumnya. Chandra memicingkan matanya menatap air mata yang turun dari mata Rizwana. "Menangis ketakutan?"
Rizwana tertawa mendengar pertanyaan itu. "Aku harap begitu. Satu hal lagi, sebaiknya kau mundur. Jika tujuanmu adalah Surya, dia tidak di sini."
"Kau pikir aku bodoh?" Chandra menambah kekuatannya untuk membuat Rizwana semakin tertekan.
Merasa tak mampu membalikan keadaan, Rizwana melepas Karara Reksa dan melompat mundur untuk menghindari tekanan tersebut. Namun, Chandra tak membiarkannya lolos, kini Yudistira itu langsung melesat dan menghujam tombaknya mengincar Rizwana.
Rizwana mengambil tombak lainnya untuk menangis Panatagama. "Tarik pasukanmu mundur, sebelum aku berubah pikiran dan merebut Panatagama," ucap Rizwana. "Tujuan utama dari malam Walpurgis adalah ...." Belum selesai Rizwana menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba ia memegangi dadanya dan berlutut di hadapan Chandra. Mulutnya memuntahkan darah.
"Sepertinya kau sedang sakit, Rizwana. Jangan memaksakan diri. Serahkan Surya."
"Surya tidak di sini," jawab Rizwana.
"Omong kosong." Chandra menarik tombak Panatagama dan memutarnya di atas kepala. "Aku akan menyiksamu sampai kau memberikan Surya kembali!" Kini Yudistira itu melesatkan tombaknya secara vertikal membelah udara.
Sebuah lubang misterius muncul dari tebasan Chandra. Angin seakan terhisap masuk ke sana, bahkan Rizwana pun perlahan ikut terhisap.
Rizwana menancapkan tombak yang ia pegang untuk menahan tubuhnya agar tidak terhisap. Black hole?
Panatagama adalah tombak yang merupakan kunci dari tiga dunia. Dunia manusia, Alam Suratma, dan tempat tinggal para Jin. Kini Chandra membelah ruang untuk membuka pintu menuju dunia lain. Apa pun yang masuk ke dalam sana, maka akan terseret ke tempat yang Chandra kehendaki.
Ketika sibuk menahan dirinya agar tetap berpijak, tiba-tiba raut wajah Rizwana berubah. Ia tersenyum menatap Chandra. "Cakra Langit!" Tombak Cakra Langit bergerak, benda itu melesat ke arah Rizwana, hingga berhasil berdiri dalam genggaman pria itu. Rizwana menggoyangkan lonceng yang berada pada tombak Cakra Langit. Sebuah kencana melesat ke arah Chandra.
Chandra menghindari serangan dari kencana itu, tetapi rupanya yang di tuju bukanlah Chandra, melaikan Rizwana.
Namun, ketika melewati lubang ruang milik Panatagama, kencana itu perlahan tertarik mundur. Rizwana melepaskan pegangannya dan melesat terhisap ke dalam lubang tersebut. Pria itu tersenyum, ia menjadikan kencana milik Cakra Langit sebagai pijakan untuk melompati lubang itu. Ketika ia berhasil mendaratkan kaki di belakang lubang itu, Rizwana langsung berlari menerjang Chandra.
Sebuah goresan di pipi menjadi hadiah dari Rizwana pada Chandra. Yudistira itu cepat dalam menentukan pergerakan, jika tidak, mungkin sebuah lubang akan menghiasi wajahnya.
Rizwana mengerahkan segala kemampuannya untuk menyerang Chandra. Kini giliran Chandra yang merasa tertekan akibat serangan beruntuk Rizwana.
"Serahkan Panatagama," ucap Rizwana. "Pusaka itu milik Maheswara."
"Seperti kau yang tidak mengembalikan Surya. Tidak akan pernah aku sudi untuk menyerahkan Panatagama atau apa pun di dalam hidupku."
Senyum itu hilang, Rizwana menatap Chandra dengan sorot mata yang tajam. "Kalo gitu, aku akan merebut paksa."
Jika seorang pengguna tombak mati, maka tombak miliknya akan mengakui si pembunuh untuk menjadi tuannya. Jika Chandra tak ingin menyerahkan Panatagama, ia harus dibunuh agar Rizwana mendapatkan satu tombak yang tersisa.
Rizwana mencabut tombak Karara Mulya, dan menyerang dengan dua tombak sekaligus. "Mati!" Ia menghempaskan Panatagama dengan Cakra Langit dan langsung menghunuskan Karara Mulya pada Chandra.
Kini Rizwana terbelalak mendapati Chandra yang menghentikan mata tombaknya dengan mengapit jari telunjuk dan jempol. Manusia mana yang mampu melakukan pertahanan seperti itu.
Sebuah topeng menghiasi wajah Chandra. "Pada akhirnya tiba saatnya aku menggunakan topeng milik Martawangsa ini," tutur Chandra. Sebuah bola api tercipta dari mulut topeng tersebut. Melihat itu, Rizwana melepas Karara Mulya dan langsung menghindar.
Sebuah ledakan besar terjadi. Api melebur area sekitar Chandra. Sebuah api yang bahkan lebih besar dan lebih kuat dari milik Segoro Geni. "Menarilah, Barong."
Tirta dan Abi tak menduga bahwa Barong akan muncul. Bahkan mereka tak tahu bahwa topeng itu ada. Barong adalah sebuah mitos turun-temurun yang diyakini menjadi simbol dari keadilan dan cahaya. Berbeda dengan topeng Rahwana, siapa pun yang memiliki, serta mampu menggunakan Barong, ia adalah orang yang kuat dan memiliki keadilan yang tinggi.
Sebuah bola-bola cahaya muncul di sekitar Chandra. Ketika Chandra menunjuk ke arah Rizwana, bola-bola itu berubah menjadi pedang cahaya dan melesat mengincar targetnya.
Rizwana berlari untuk menghindari serangan itu, tetapi pedang-pedang milik Chandra mengikutinya. Mereka tak akan berhenti sebelum mengenai targetnya.
Cahaya-cahaya itu berhasil mengejar Rizwana dan menancap di sendi-sendinya. Rizwana yang terkena serangan tersebut langsung terjatuh dan tak mampu menggerakan tubuhnya. Sebuah bola api menghantamnya hingga timbul ledakan kedua.
Chandra berjalan dengan topeng Barong dan tombak Panataga. Ia menghentikan langkahnya ketika tiba di hadapan Rizwana yang tampak berantakan. Zirah Karara Reksa hancur lebur hingga membuat sebagian tubuhnya hangus.
Rizwana berlutut, menatap Chandra dengan sorot mata yang tajam. "Ya, begitu cara menatapku," ucap Chandra.
"Aku sarankan kau mundur, sebelum menyesal. Aku bukanlah musuhmu, Chandra ...." Rizwana terbelalak, ia memuntahkan darah dari mulutnya.
"Tutup mulutmu, katakan di mana Surya?"
Rizwana menggeleng. "Dia tidak di sini."
Panatagama menusuk lengan Rizwana. Mantan ketua SImfoni Hitam itu berteriak kesakitan. Sejujurnya, pemandangan ini begitu mengenaskan. Bahkan, Harits tak mau melihatnya, dan lebih memilih membuang tatap ke laut.
Di sisi lain, Purok terlihat murung. "Sudah selesai, kah?" Melihat Rizwana dan Kencana Selatan yang hancur, membuatnya tak bersemangat.
Ippo hanya diam menatap Arai Purok yang mundur dari medan tempur. "Enggak dikejar?" ucap Reki yang muncul tiba-tiba.
Ippo, Kei, dan Tirta menarik napas lega. "Enggak usah. Untung dia kabur, kalo dilanjut bisa gawat," balas Ippo yang menyadari perbedaan level di antara dirinya dan Arai Purok.
"Bahkan jika orang itu memutuskan bertarung sampai akhir, kita semua bisa mati terbunuh," timpal Kei.
"Sekuat itu kah orang barusan?" tanya Reki.
"Aaaaaa ... begitulah."
"Arai Purok belum serius. Entah, apa yang akan terjadi jika dia benar-benar serius ingin melawan kita yang sudah babak belur begini," timpal Tirta. Reki menguk ludah mendengar ucapan itu. Reki dan para Katarsis memiliki banyak tenaga, tetapi ucapan Tirta bukanlah ucapan orang yang sembarangan membuang komentar, jika ia berkata demikian, maka Arai Purok memanglah sekuat itu. Terbukti dari Ippo yang sudah terlihat lelah, padahal baru saja mulai bertarung.
***
Kevin berhasil menyusul Cakra dan Nada. Namun, bukannya senang melihat Kevin, mereka berdua tampak panik.
Ada apa dengan raut wajah mereka? pikir Kevin.
"Kevin awas!" teriak Nada.
Sekujur badan Kevin merinding. Ia melangkah maju dan melompat ke arah samping. Sejujurnya ia tak paham apa yang berada di belakangnya, tetapi dalam sepersekian detik tadi, ia merasakan bahaya.
Nagara Sailendra, pria itu berdiri menatap Kevin. Ia mengayunkan pisaunya, beruntung Kevin tanggap menangkap respons Nada.
Kevin tak senang dengan kehadiran pria itu. "Aku sudah pastikan kematianmu."
Tangan berbalut perban itu menyentuh lehernya. "ahh ... ini? Benar-benar mengejutkan."
Cakra pun merinding, ia langsung menarik tangan Nada dan bergegas keluar dari area itu.
"Aku punya urusan dengan jalang itu, tapi pertama-tama aku harus membunuhmu. Kau sudah keterlaluan, WIjayakusuma."
"Jalang?" Kevin menatap Nagara dengan mata dinginnya yang terlihat tajam.
Nagara menunjuk ke arah jalur pelarian Cakra dan Nada berlari. "Gadis bersarung tangan hitam itu."
"Tarik ...."
Nagara memicingkan matanya menatap Kevin. Kini Wijayakusuma itu terlihat marah. "Tarik kembali kata-katamu."
"Setelah membunuhmu, aku akan membunuh jalangmu itu."
Kesabaran Kevin sudah habis, ia melempar sesuatu dari kantong jaket merahnya ke udara. Nagara mendongak menatap benda itu, bunga wijaya kusuma berwarna merah. Ketika menoleh kembali, sosok Kevin sudah menghilang dari pandangannya.
Sebuah tusukan menjadi hadiah kedua untuk Nagara. Pisau Kevin menancap pada bagian leher sampingnya. "Aku tidak tau trik apa yang kau gunakan, tapi kali ini aku akan pastikan kematianmu." Kevin mencabut pisaunya. Dengan cepat ia menikam dada kiri Nagara, serta memutus beberapa titik nadinya.
Nagara tak bergerak, napasnya juga telah berhenti. Kali ini Kevin yakin, pria itu benar-benar mati. Kevin menghela napas, lalu beranjak pergi. Namun, perasaan was-wasnya membuatnya kembali menoleh ke arah jasad Nagara. Kevin terbelalak, sosok itu menghilang dari tempat yang seharusnya.
"Mencari sesuatu?"
Nagara lagi-lagi bangkit dari kematian. Ia menarik lengan Kevin, lalu menghantam ulu hati pria tampan itu dengan dengkulnya. Kevin terhentak mundur sambil memuntahkan air dari mulutnya.
"Jangan seenaknya, rasanya sakit tau." Nagara membuat Kevin merinding. "Ajna."
Sosok Nagara hilang dari pandangan Kevin. Rupanya ia masuk ke dalam mode braja dan melesat untuk mendaratkan sebuah pukulan ke wajah Kevin.
Lohia? Kevin berusaha menerka lawan di hadapannya. Pria tampan itu pun menghindar dan kembali menjaga jarak.
Dari jarak yang agak jauh, Nagara melancarkan sebuah pukulan. Kevin terpental akibat pukulan tak kasat mata yang dilancarkan Nagara.
Gardamewa?
Nagara mengambil pisaunya yang tergeletak di tanah. Ia memasangkan badama pada pisau itu dan bersiap untuk menyerang.
Saksana?! Enggak, orang ini bisa gunain semua teknik ini bersamaan ....
Kevin menyadari sesuatu. "Yudistira ... Surya?"
Nagara tersenyum ketika mendengar nama itu. Dengan cepat ia melesat untuk membunuh Kevin. "Selamat tidur, Wijayakusuma!" ucap Nagara.
Sebuah ledakan terjadi di area pertarungan Nagara dan Kevin. Sontak hal itu membuat Nada dan Cakra menoleh. "Kevin ...."
Rava memicingkan matanya. "Sebelum balik kanan, kita harus cek asal-usul ledakan itu." Deva setuju untuk memantau situasi di area ledakan. "Perasaan gua enggak enak."
"Ada siapa di sana? Katarsis mulai bergerak, kan? Di sana jalur larinya Cakra sama Nada," balas Deva.
"Kevin ... Kevin yang pergi ke sana," jawab Rava.
***
Rizwana tampak babak belur di hadapan Chandra. Mata mereka saling bertatapan.
"Berlutut!" tutur Chandra.
Rizwana berlutut di hadapan Chandra. Kali ini mata penguasa akhirnya bisa sepenuhnya berefek pada Rizwana.
Rizwana tersenyum getir. Hanya sampai di sini, ya?
Pandangan Rizwana mulai kabur. Darah yang terlalu banyak keluar, membuat kesadarannya diambang batas. Dari mulutnya, darah segar masih terus mengalir pelan. Ditambah lagi beberapa sayatan dari tombak Panatagama.
Suara-suara deburan ombak dan semilir angin malam tak lagi terdengar. Hanya dengung-dengung kematian yang mengalir lirih dalam gendang telinganya. Perlahan, Rizwana mulai kehilangan sadarnya.
Cakra dan Nada berhasil keluar dari hutan dan tiba di pesisir. Keadaan pantai sudah tak jelas rupanya. Kini mereka berdua disuguhkan pemandangan pimpinan Kencana Selatan yang tunduk di hadapan Yudistira.
"Chandra ...," gumam Nada lirih yang merasa tenang karena Rizwana berhasil dikalahkan.
'Rizwana, jangan tertidur, masih ada yang harus kau lakukan, bukan?'
Rizwana yang sudah hampir kehilangan sadar, kini berusaha untuk tetap terjaga. Ia tersenyum menatap sosok yang berbicara padanya. "Gua pikir siapa ...." Chandra memicingkan matanya ketika Rizwana berbicara sendirian. "Sampai harus repot-repot dateng ke sini buat jemput gua ke akhirat." Rizwana berusaha setengah mati membuka matanya lebar-lebar dan menatap Nada.
"Tidurlah." Chandra memberikannya perintah dengan mata penguasa.
Rizwana menyeringai. "Kau pikir siapa aku?" Ia menangkal kemampuan Chandra dengan tekadnya. "Seorang pimpinan itu harus melindungi bawahannya ...."
Chandra terbelalak mendapati Rizwana yang masih sekuat itu dan berusaha untuk menggerakkan tubuhnya. "Jangan memaksakan dirimu, Rizwana. Kau sudah kalah, kembalikan Surya."
"Rizwana Radja Maheswara, ingat nama itu baik-baik ...." Ia tersenyum pada Chandra. "Sisanya ku serahkan pada kalian ...," ucapnya lirih.
"Kalian?" Chandra meningkatkan kewaspadaan dan menatap sekelilingnya, khawatir Rizwana masih memiliki rekan lain.
Rizwana menggigit lidahnya sendiri hingga putus. Rasa sakit itu membuatnya menitihkan air mata, tetapi efeknya kini Rizwana lepas dari cengkeraman mata penguasa, meskipun ia juga tak bisa berbicara lagi. Rizwana melakukan sebuah pertaruhan. Pendarahan hebat terjadi dari lidahnya yang terpotong.
"Dasar bodoh!" teriak Harits ketika menatap mantan sahabatnya itu masih berusaha mati-matian untuk melawan.
Chandra menusuk lengan Rizwana kembali dengan tombaknya, tetapi Rizwana mencengkeram tombak Panatagama milik Chandra hingga kedua telapak tangannya berdarah.
Rizwana meneteskan darah dari lidahnya pada kedua tangannya yang berdarah. Muncul sebuah tato pada masing-masing punggung tangannya. Tato yin dan yang. Setelah itu, ia saling menempelkan telapak tangannya.
Ini yang terakhir. Desapir and hope ....
Ketika telapak tangan keputusasaan dan harapan disatukan, maka semua makhluk hidup yang sudah terkontaminasi darah Rizwana tak akan bisa bergerak selama beberapa menit. Kemampuan Karara Mulya adalah membuat hujan darah di area yang sudah ditentukan oleh penggunanya, hal itu bukanlah tanpa sebab. Rizwana sudah memperhitungkan semuanya dengan matang. Ini adalah kartu as miliknya. Sementara Rizwana mengolah efek tersebut menjadi sumber kekuatannya. Kini Rizwana menyorot tajam ke arah Nada, lalu berlari cepat ke arah gadis itu dengan tenaga terakhirnya.
Tak ada yang menduga bahwa yang ia incar adalah Nada. Tak ada siapa pun di sekitar Nada, selain Cakra. Bahkan Cakra pun tak bisa bergerak, dan hanya mampu menatap Rizwana yang berlari ke arah mereka. Ingin rasanya Cakra berlari untuk membawa pergi Nada lagi, tetapi sayangnya di medan tempur ini tidak ada satu pun yang tidak terkontak dengan darah Rizwana, meskipun hanya setetes. Tak ada daya dan upaya yang berarti.
"Nada!" teriak Harits yang berusaha mati-matian untuk bergerak. Ia frustasi ketika hanya mampu melihat semua adegan ini. "Segoro Geni!"
Segoro Geni hanya tertawa. "Segel ini tak bisa dirusak dari dalam. Nikmatilah saat-saat pria itu membunuh gadis di sana, Harits," balas Segoro Geni.
Harits berusaha berpikir tenang. Ia bersiul untuk memerintahkan anjing tak kasat mata miliknya untuk menggigit dirinya sendiri. Harits berpikir jika kemampuan Rizwana mirip dengan mata penguasa, maka ia harus menciptakan rasa sakit untuk menggagalkannya. Begitu darah akibat gigitan anjing hitamnya membasahi tanah, Harits segera berlari cepat mengejar Rizwana.
"Rizwana!" teriak Harits.
Harits ... enggak pernah berhenti berjuang demi orang lain ....
Kini Rizwana sudah sampai di hadapan Nada yang hanya mampu bergeming. Rasanya ingin berteriak, tetapi Nada tak mampu, tubuhnya terlalu lemas.
Rizwana, pria itu menarik tangan Nada dan melepaskan sarung tangannya sambil menyematkan senyum. Ia menempelkan tangan Nada ke pipinya sambil menggenggam erat tangan mungil itu. Darah mengalir dari hidung Nada, matanya terbelalak menatap rangkaian memori Rizwana secara paksa. Pria itu kini memasukkan jari telunjuknya sendiri ke dalam mulutnya yang berlumuran darah. Rizwana mengukir sesuatu di lengan Nada menggunakan darahnya.
"Apa yang lu lakuin!" Harits hampir sampai. "Jangan sentuh Nada dengan darah kotor lu!"
Namun, sebelum Harits mampu mengejar mereka berdua, Rizwana tiba-tiba terhentak mundur sambil memuntahkan darah dari mulutnya hingga mengenai sebagian wajah Nada. Cahaya di matanya perlahan pudar, ia terjatuh tepat di pangkuan Nada.
Harits perlahan menghentikan langkahnya, air matanya mengalir. Bagaimana pun juga, Rizwana adalah mantan rekannya. Suka dan duka pernah mereka lewati bersama.
"Jika salah satu dari kita kehilangan arah, jangan pernah memutuskan hubungan ini. Cukup sadarkan dia kembali ke jalan yang benar."
Harits berjalan ke arah Nada yang sedang menangis ketakutan. Ia meraih tangan Nada untuk memastikan sigil apa yang dibuat oleh Rizwana. Matanya terbalalak mendapati ukiran tersebut. Itu bukanlah sebuah sigil satanis, melainkan ukiran kata 'maaf'.
Tangisan yang keluar dari sosok Nada bukanlah tangisan karena rasa takut, melainkan kesedihan.
"Rizwana bukan orang jahat," ucap Nada dengan isak tangisnya. "Dia ... korban yang paling menderita."
Chandra dan semua orang yang berada di sana terbelalak ketika mendengar ucapan Nada. Tentu saja Nada adalah satu-satunya orang yang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, melalui rekam peristiwa yang terjadi.
Harits menatap lengan kiri Rizwana. Pria kecil itu mulai berkaca-kaca, ia berlutut di hadapan jasad Rizwana. Gelang hitam itu masih terpasang di pergelangan tangannya. Tak ada yang berubah, selamanya Rizwana menganggap Harits adalah satu-satunya keluarga yang tersisa.
Pria itu tergeletak dengan senyum puas. Rasanya, ia telah menjalankan tugas terakhirnya dengan sangat baik. Rizwana yakin, Nada mampu merekam semua ingatannya dan menjadi informan berharga untuk menyampaikan apa yang tak dapat ia sampaikan. Selama ini ia mencari Nada untuk menyampaikan apa yang tak dapat ia sampaikan dengan mulutnya sendiri.
Tak ada yang lebih keras dari suara tangisan Harits malam itu. Ia mendekap erat jasad Rizwana. "Kenapa lu enggak pernah bilang apa-apa?! Kenapa malah nanggung semuanya sendiri?! Rizwana! Jawab?!"
Semua kubu yang bertahan menundukan kepala. Melihat Harits yang sangat terpukul membuat mereka tak mampu menahan air matanya. Mereka semua tidak salah. Jika Rizwana mampu mengendalikan dirinya sedari awal, ia akan membunuh dirinya sendiri. Namun, dalang dibalik ini semua membuatnya tak dapat mengontrol dirinya sendiri. Rizwana harus menjalani kesehariannya dengan segala penderitaan dengan membunuh orang-orang tak bersalah. Sesekali Rizwana mampu mengendalikan dirinya, tetapi ia tak mampu melakukan apa pun.
Darah membasahi pakaian Harits, ia tak peduli jika nantinya darah terkutuk itu akan berdampak pada dirinya sendiri. Harits hanya ingin memeluk sosok sahabat, sekaligus pimpinan yang selama ini menjadi tameng untuk semua orang. Menertawakan kematian Kenzie pasti sangat menyakitkan. Jauh di dasar hati Rizwana, pria itu menangis.
Angin tiba-tiba berubah. Semua mata menatap Deva yang muncul membawa Kevin dan Melodi yang tak sadarkan diri menggunakan kemampuan Tumenggung. Tak lama berselang, Rava muncul dengan tubuh penuh luka.
Nada merinding saat menatap Nagara memasuki area pesisir. Gadis itu menunjuk Nagara sambil gemetar.
"Orang itu dalang di balik semuanya?" tanya Harits yang penuh amarah.
Nada mengangguk.
"Orang itu yang membuat Rizwana harus menertawai kematian Ken, orang itu yang membuat Rizwana harus membunuh ayahnya sendiri!"
Nada menarik jaket Harits sambil menggeleng. "Rizwana enggak pernah membunuh ayahnya sendiri ...."
"Apa maksud kamu?" tanya Harits memicingkan matanya.
"Kematian itu adalah langkah awal, dan lagi ...."
Angin kencang membuat perban yang menutupi wajah Nagara terbuka. Efek dari ledakan yang timbul akibat bom rakitan milik Keivn, membuat Nagara harus membuka identitasnya.
Kei, Tirta, Abi, dan seluruh anggota Dharma terkejut, begitu pula dengan Harits dan Deva. Bagaimana tidak? Sosok Septaraja menyeringai menatap mereka semua.
"Ciao," sapa Septa.
"Dan lagi orang yang ada di balik ini semua adalah ayahnya sendiri."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top