80 : Raja dan Pasukan Matahari Hitam

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Degup jantung memburu seiring langkah beratnya melangkah. "Yang paling merepotkan akhirnya muncul," ucap Rizwana ketika melihat Sang Yudistira turun ke medan tempur dan berjalan ke arahnya.

"Kembalikan Surya," tutur Chandra dengan suara penuh tekanan.

Rizwana tersenyum. "Sayangnya itu mustahil."

Sang Raja menatap tiga orang yang mengikuti langkahnya. "Kalian bantu yang lain, aku urus Rizwana." Kini anggota Katarsis berpencar untuk mengurus sisanya. Dari sekian banyak musuh, hanya Rizwana yang berani menatap mata Chandra. Mungkin karena berhasil merebut jiwa Surya, ia merasa percaya diri dengan kekebalannya terhadap mata penguasa.

"Berlutut." Semua musuh yang menatap mata biru itu seketika berlutut di hadapan Chandra, tetapi Rizwana tidak. Ia masiih berdiri kokoh.

"Kau tidak pernah belajar dari kekalahan, Chandra. Seperti Tantra, kini Katarsis dan kubu lainnya akan aku hancurkan."

Chandra memutar tombak Panatagama. "Terserah." Ia menghentikan putaran itu. "Aku hanya ingin Surya." Chandra menerjang Rizwana dengan tombaknya. Pertarungan antar pengguna tombak pun terjadi, Panatagama dan Karara Reksa kembali beradu. "Ini akan berbeda dari pertemuan terakhir kita di Bandung."

"Oh, ya?" Rizwana masih saja sanggup melempar senyum.

"Akan aku buat kau berhenti tersenyum."

"Aku sangat menantikan itu," balas Rizwana.

Chandra mengayunkan tombak secara vertikal, tetapi Rizwana mampu menahannya. Rizwana berkeringat, saat setengah mata kakinya tertelan oleh pasir akibat menahan serangan Chandra yang terasa sangat berat.

***

Di sisi lain, Ettan bangkit kembali dan berlari menerjang Dewa. Ia seperti zombi yang seakan tak bisa mati. Kini monster itu melesatkan cakarnya mengincar jantung pria di hadapannya. Namun, Dewa mundur satu langkah, sambil menyentil pergelangan Ettan. Suara tulang yang patah langsung terdengar dari pergelangan tangan Ettan.

Dewa melompat sambil memutar tubuhnya, lalu melayangkan kaki kanannya menghantam kepala Ettan. Ettan kembali tersungkur. Tendangan Dewa terlalu berat.

Saat Ettan terjatuh, Dewa mengangkat tangan kanannya ke atas, lalu mengarahkan jari tengah dan jari telunjuk kirinya yang saling menepel itu ke arah Ettan. "Beberapa tahun ini, banyak orang yang bisa nguasain langkah petir, atau manipulasi listrik tubuh menggunakan atma." Dewa menyeringai. "Tapi yang satu ini beda. Jangan pernah samain listrik tubuh yang enggak seberapa itu sama petir asli." Sebuah petir menyambar tangan kanan Dewa yang mengacung ke atas. Dengan cepat, Dewa mengalirkan petir itu melalui syaraf-syarafnya menuju kedua jari kirinya. Sebuah kilatan petir menyambar Ettan dari tangan kiri Dewa.

Ettan terlihat kejang. Belum selesai, Dewa melemparkan sebuah logam ke arah Ettan. Logam yang ia genggam di tangan kanan untuk memancing petir barusan. "Logam punya daya tarik tersendiri buat mancing petir, tapi logam yang ini beda." Logam milik Dewa telah dilapisi gelombang atma khusus. "Gua ini--Dewa." Petir berbondong-bondong menyambar Ettan. Kejadian itu membuat semua yang melihatnya bergidik ngeri. Dewa dengan santai memasukan kedua tangannya ke dalam jaket yang ia pakai.

Namun, Ettan masih sanggup bangkit. Hal itu membuat Dewa tersenyum sambil bersiul memuji ketahanannya. Masih dengan tangan yang besembunyi, Dewa merendahkan posisi tubuhnya. "Cukup pake kaki aja," ucap Dewa meremehkan Ettan. Ia tak berniat menggunakan tangan untuk melawan Rawasura di hadapannya.

Ettan terlihat sangat marah, ia berteriak hingga memecahkan ombak. Dewa tersenyum sambil terus merendahkan posisinya, hingga memberikan tekanan pada kaki kanannya. "Ready ...." anggota Katarsis dari keluarga Lohia itu masuk ke dalam mode braja, tetapi tak seperti kebanyakan Lohia yang ketika masuk ke dalam mode braja, membuat warna rambutnya berubah. Rambut Dewa masih berwarna hitam. Hal itu terjadi karena listrik yang menyelimuti dirinya berwarna hitam. "GO!" Ia melesat dengan kecepatan tinggi ke arah Ettan.

Rawasura itu bersiap-siap untuk menyerang Dewa ketika ia masuk ke dalam jangkauan serangnya. Dalam waktu yang sangat cepat, Dewa menghilang dari pandangan Ettan, tetapi pria Rawasura itu memiliki insting buas dan langsung melesatkan cakar lurus ke depan.

"Bercanda." Dewa berbelok tajam ke kanan, sebelum dirinya masuk ke jangkauan serang Ettan.

"Dasar gila!" Ettan terbelalak ketika pria yang menjadi lawannya itu cermat dalam mengambil pergerakan.

Dewa melesat dengan wujud braja mengelilingi Ettan, hingga menciptakan sebuah pusaran angin. Dalam satu waktu, badai itu menghilang beriringan dengan hilangnya sosok Dewa yang seakan membawa angin di sekitar mereka. Ettan tiba-tiba saja kehilangan pendengarannya, seakan ada yang berdengung di gendang telinganya.

"Apa ini?" Ia tampak bingung dengan keadaan yang seperti hampa udara itu.

"Braja ireng!" Sebuah petir hitam menghantam kepala Ettan. Dewa, pria itu berputar-putar mengitari Ettan untuk menambah kecepatannya. Ketika kecepatan dikombinasikan dengan kekuatan, maka akan menimbulkan daya serang yang besar. Ettan terpental cukup jauh akibat serangan itu. Tubuhnya mengecil hingga seukuran manusia, ia tak sadarkan diri akibat satu tendangan Dewa yang menghantam kepalanya.

Dewi menatap punggung kakaknya yang tangguh. Hanya dengan melihat punggung itu selalu mampu membuatnya tenang. "Enggak ada yang lebih bisa diandalkan daripada orang ini, kan?" Dewa tersenyum menoleh menatap Dewi sambil menunjuk dirinya sendiri dengan jempolnya. "Kamu boleh pergi, bawa Wira ke rumah sakit. Jangan khawatir, mulai dari sini, semuanya baik-baik aja."

***

Benturan senjata itu terdengar sangat nyaring. Harits tak mampu mengikuti pergerakan dua orang itu. Gandring, si ahli pembuat pusaka sedang berhadapan dengan Saksana, si ahli senjata.

"Pusaka ini bisa ngancurin senjata biasa," ucap Gandring yang terus menyerang Reki.

"Di tangan orang yang tepat, senjata terburuk pun bisa jadi mematikan," balas Reki.

Pedang mainan berbalut badama itu mampu mengimbangi keris pusaka milik Gandring. Mereka berdua tampak sengit.

"Dulu, keluarga Gandring selalu menyuplai pusaka untuk Saksana. Hal itu membuat keluarga Saksana kuat dan mampu berdiri sejajar dengan sembilan keluarga kerajaan lain," ucap Gandring. "Berterimakasihlah."

"Sebuah kehormatan, ketika keluarga Saksana mau menggunakan senjata buatan Gandring. Jangan berpikir kami kuat karena sebuah pusaka. Hanya bermodalkan kayu saja, seorang Saksana mampu membelah batu," balas Reki. "Kalian yang harusnya berterimakasih."

Gandring tentunya tak sepakat dengan perkataan Reki, dan sebaliknya. Kini sang penempa pusaka itu menggoreskan lengannya menggunakan keris miliknya. Gandring memberikan minum pusakanya dengan darah. Tatapannya tajam menatap Reki, diiringi aura mistis yang memancar dari kerisnya. "Kita lihat, apakah Saksana yang hebat itu mampu bertahan dari yang satu ini."

Reki tak suka aura kelam yang terpancar dari keris itu. Seperti Tirta, ia melebarkan atmanya. Sebenarnya sangat beresiko, karena pertahanan astralnya hilang, tetapi ia terlalu percaya diri dapat menghindari apa yang hendak Gandring lakukan. Sekali saja ia terkena serangan Gandring, nyawa taruhannya.

"Kau yakin memberikanku waktu untuk mengumpulkan kutukan?" tanya Gandring.

Reki tak menjawab. Matanya tak berkedip menatap keris itu dari balik topeng putihnya. Ia menarik napas panjang, lalu menahannya sambil memasukan pedangnya ke dalam sarung pedang berwarna hitam.

Dengan cepat, Gandring menyambar Reki dengan kerisnya. Ia mengirim santet dari jarak sedekat itu. Sebuah bola api melesat ke arah Reki dengan kecepatan tinggi. "Matilah, Saksana!"

Ketika santet itu melewati zona atma Reki, pria bertopeng itu tak menghindar. Hal itu membuat Gandring tersenyum. Reki membuang napas seiring ia menarik sarung pedangnya yang diarahkan secara vertikal di depan tubuhnya. Saat santet itu berada beberapa inci di hadapannya, Reki sedikit mengangkat pedang miliknya hingga keluar dari sarung. "Badama." Seluruh atma yang menjadi zona deteksi langsung terhisap masuk menyelimuti pedangnya.

"Mustahil!" Gandring membuka mata lebar-lebar ketika bola santet itu terbelah dua, melewati sisi kanan dan kiri kepala Reki. Gandring kehilangan senyumnya, kini Reki langsung melesat dan menyambar kepala Gandring dengan gagang pedang miliknya. Gandring tergeletak hilang kesadaran.

Harits menatap Reki yang baru saja mengalahkan Gandring. Ia tak menduga, bahwa pria yang sering mampir ke kafenya, ternyata memanglah sekuat itu.

***

Sementara Kei dan Tirta terpaku pada Ippo yang mampu mengimbangi Arai Purok seorang diri. Ippo dapat melayangkan benda-benda di sekitarnya bak telekinesis. Hal itu ia lakukan dengan cara mengendalikan atma hingga membentuk sebuah tangan tak kasat mata. Tangan-tangan itu begitu fleksibel dan dapat memanjang. Kini kedua mandau terbang milik Purok bisa ditangani dengan kemampuan Ippo.

"Boleh juga." Purok tertawa ketika mengetahui seseorang yang dapat mematikan pergerakan mandau-mandaunya.

Ippo mengeluarkan satu dek kartu remi  dari kantong jaketnya. Ia lemparkan kartu-kartu itu ke udara. Tombak-tombak darah yang ia gunakan sebagai pertahanan dari mandau milik Purok terjatuh, tetapi di sisi lain kartu-kartu miliknya melesat dari berbagai arah mengincar Purok. Pria Gardamewa itu tersenyum. "Ayo kita saling serang." Ippo benar-benar mengabaikan pertahanan dan berfokus menyerang, yang artinya, kini mandau-mandau Purok kembali mengincar kepalanya.

Gardamewa terkenal lihai dalam pengendalian atma. Di satu sisi Ippo menggerakan kartu-kartunya, ia juga memasang zona atma. Terlebih, tak seperti Reki dan Tirta yang saat memperluas atma, pertahanannya luntur. Benteng pertahanan atma milik Ippo masih kokoh setelah semua yang ia kerahkan.

Katarsis memiliki dua orang dengan peringkat tertinggi di jajaran keluarga agung. Dewa yang berada di posisi kedua di bawah Chandra, dan Ippo yang menempati posisi ketiga. Mereka berdua adalah taring dari Katarsis.

Ippo melakukan gerakan tinju menyamping. Kartu-kartu miliknya menjadi lemas dan jatuh berserakan. Kartu-kartu itu hanya pengalihan, sebuah gelombang atma menghantam Purok dari arah gerakan Ippo, hal itu membuat Arai Purok terpental ke laut. Jika Dewa merupakan petarung frontal, Ippo merupakan petarung yang penuh dengan trik.

Berbeda dengan Dewa dan Reki yang sudah memenangkan pertarungan. Di hadapan Ippo berdiri seorang anggota Satu Darah yang menyandang gelar Catur Sanghara. Tentunya, kemampuan Arai Purok jauh di atas Rizwana. Pria itu bangkit, dan berjalan dari arah laut. Ia menggenggam dua mandaunya. Aura membunuhnya memancar hingga membuat Ippo tertekan, seolah ada sabit malaikat maut yang menempel di lehernya.

"Aaaaaaaa ... curang, gua dapet musuh yang brutal." Ippo menatap Tirta dan Kei sambil tersenyum pasrah. "Bisa tolong cepet pulih? Saya--merinding ...."

"O--oke," balas Tirta.

***

Di sisi lain, Rava masih menekan Radika dengan kemampuannya. "Apa kabar, Dev?"

Deva tak menjawab, ia malah menghilang dari pandangan Rava. "Jangan meleng, Rav," ucap Deva yang menendang payung hitam milik Radika. Payung itu hendak menyerang Rava dari belakang, untungnya Deva cermat, ia langsung membalas budi saudaranya itu di tempat.

"Makasih, bro." Rava tertawa sambil menggaruk kepala atas kecerobohannya. Namun, di tengah sifatnya yang nyeleneh itu, Rava masih menekan Radika, bahkan membuat Kusumadewa itu mencium tanah.

Rava dan Radika saling bertatapan, mereka saling menekan satu sama lain. Radika yang pendiam, kini terlihat marah. Ia menjentikan jarinya, seketika itu sosoknya langsung bangkit dan berlari mengambil payung miliknya, lalu menerjang Rava.

"Hah?!" Rava terkejut. Ia masih menggunakan kemampuan Amiluhur untuk menekan Radika, tetapi Radika dapat bergerak bebas.

Pria berpayung itu membuka payungnya hingga membutakan pandangan Rava terhadapnya. Radika menyembunyikan pisau. Gagang payungnya merupakan pangkal bawah sebuah pisau, ia menarik senjatanya, lalu melesatkan pisau itu ke payung hitamnya.

Deva menarik rambut Rava, hingga kepalanya tertarik ke belakang. Sebuah pisau merobek payung hitam Radika yang berada di hadapan Rava. Beruntung Deva menariknya, jika tidak mungkin wajah Rava sudah tertusuk pisau.

"Orang ini melebur rohnya! Entah lu bisa lihat atau enggak, tapi kita ada di dalem zona aneh," ucap Deva menatap sebuah dinding ghaib yang mengurung mereka.

"Sangkar putih ...," tutur Radika dengan suara tenang. Sangkar putih adalah kemampuan Kusumadewa, yang di mana Radika melebur wujud qorin miliknya menjadi sebuah zona yang menutupi segala jenis kesaktian. Dengan arti lain, semua yang berada di zona ini di netralkan kemampuannya. Radika Kusumadewa memasang kuda-kuda untuk bertarung. Di dalam zona ini, orang yang terjebak hanya bisa mengandalkan kemampuan fisiknya saja.

"Semenjak dia bikin zona putih ini, dia langsung bisa bergerak bebas. Gua juga udah nyoba gunain Tumenggung, atau beraja, tapi nihil. Semua aktivitas ilmu hitam dan atma ditiadakan di dalam sini."

"Bagus dong, kita menang jumlah," balas Rava. "Dan hanya ada pertarungan fisik di antara kita."

Radika berlari mengincar Rava. Ia memiliki akselerasi yang sangat cepat. Deva pun berlari untuk menerjang Radika, tetapi tubuh pria itu begitu lentur, ia juga lincah. Kini Radika mengabaikan Deva, dan langsung melewatinya untuk berlari mengincar Rava.

Pisau itu masih berada di tangan Radika, ia melesatkan serangan lurus ke depan mengincar leher Rava.

"RAVAAAA!" Deva terbelalak ketika sosok Radika sudah berada di depan Rava. Rava Martawangsa bukanlah seorang petarung murni. Ketika di Tantra, hanya Deva dan Surya yang menangani kasus-kasus kekerasan. Sementara Kirana, Kevin, Nada, dan Rava yang menangani kasus lain sesuai kemampuan mereka seperti melacak, melakukan interogasi, menemukan benda hilang, dan kasus-kasus anti tarung lainnya.

"Jangan khawatir, brother ... selama ini gua enggak cuma bersantai di saat pimpinan gua depresi kehilangan kembarannya," balas Rava.

Rava bergerak ke kiri, menghindari lesatan pisau Radika. Ia menangkap tangan Radika yang terjulur menyerangnya, lalu dengan memanfaatkan tenaga lawannya, Rava mengangkat Radika, kemudian membantingnya dengan keras ke tanah.

Sangkar putih luntur seketika saat Radika tak sadarkan diri. Rava langsung mengambil seutas tambang dari saku jaketnya dan mengikat tangan Radika. Setelah mengikat pria itu, Rava menoleh menatap Deva sambil tersenyum. "Tenang aja. Gua bisa baca pikiran lawan yang mau nyerang ke mana, terus tinggal mikirin pergerakan dan antisipasinya. Selama lawan enggak tau kemampuan pembaca pikiran ini, dia enggak akan bisa nipu gua."

Rava berjalan ke arah Deva, ia mengepalkan tangan dan menjulurkannya ke depan. Deva menyambut tos tinju itu sambil tersenyum. "Ya ... semua orang pasti berubah." Rava merangkul saudaranya tersebut sambil tertawa. "Tapi ada yang enggak akan pernah berubah kok," balas Rava diiringi tawa Deva. "Ya ... lu bener."

***

Nada sedang mengobati Cakra dengan plester hansaplastnya. Mereka berdua menatap Kevin yang sedang berhadapan dengan Nagara.

"Nad ... pergi," ucap Kevin.

"Tapi, Kev ...."

"Pergi." Kata-kata Kevin membuat Nada merinding. "Pirang, bawa Nada menjauh dari sini." Kevin meminta Cakra membawa Nada untuk pergi.

Tak seperti Nada, Cakra paham bahwa keberadaan mereka hanyalah pengganggu untuk pria di depannya itu. Secara, Cakra lemah jika menggunakan tubuh fisiknya, minimal ia harus menemukan tempat aman untuk melakukan rogo jiwo untuk membantu Kevin.

"Ayo, Nad." Cakra menggandeng Nada dan pergi menjauh. Nada berjalan dengan pandangan yang masih menatap Kevin.

Berbeda pikiran dengan Cakra, Kevin tak menganggap mereka berdua sebagai pengganggu. Hanya saja, ia tak mau Nada melihatnya membunuh orang. Seperti Wijayakusuma pada umumnya, Kevin melepaskan hasrat membunuhnya. Ia menyadari bahwa Nagara berbeda dengan musuh-musuh lainnya.

"Minggir," ucap Nagara sambil mencabut pisau bedah yang menancap di lengannya.

Kevin hanya menggeleng sambil menatap dengan mata dinginnya. Setelah membuang pisau bedah milik Kevin, Nagara mengacungkan keris pada pria tampan itu. Kevin mencium aroma racun dari kerisnya, sontak kewaspadaannya meningkat. Sedikit saja terluka, mungkin bisa berakibat kematian.

Nagara melesat dan menancapkan kerisnya ke perut Kevin, tetapi rupanya sosok itu hanyalah ilusi. Tanpa Nagara sadari, Kevin sudah memasang langkah bayangan dan bergeser untuk menghindari serangan tersebut. Gerakannya sangat halus, sehingga Nagara tak menyadarinya. Tanpa kata, Kevin maju sambil merogoh saku jaketnya untuk mengambil pisau bedah lagi, ia dengan cepat melakukan tusukan bertubi-tibu pada Nagara, tetapi pria mumi itu juga cepat dan lihat dalam menghindar. Ada momen di mana Nagara memegang kepalanya, ia terlihat kesakitan. Tak ingin menyiakan kesempatan, Kevin kembali mengambil langkah untuk melancarkan serangan kembali.

Sambil menahan sakit kepala, Nagara terus menghindari serangan Kevin. Perban di sekitar hidungnya kini berwarna merah, sepertinya ia mengeluarkan darah dari hidungnya. Namun, Kevin bukanlah orang yang memiliki belas kasihan seperti dahulu kala. Semenjak Tantra dibubarkan, ia benar-benar belajar menjadi seorang pembunuh.

Orang ini enggak terlalu berbahaya, tapi entah kenapa firasat gua bilang kalo gua harus bunuh dia sekarang juga. Begitulah isi pikiran Kevin.

Kevin melempar pisau bedah miliknya tepat ke mata Nagara. Dalam tayangan lambat, Nagara menatap pisau itu dan berusaha mengelak dengan merendahkan tubuhnya, hingga kepalanya mendongak menatap pisau yang melesat di atas wajahnya. Lemparan itu bukanlah serangan asal, Kevin melesat dan langsung menggorok leher Nagara dengan pisau bedah lainnya ketika pria mumi itu sdang berfokus untuk menghindari lemparan pisaunya.

"Selamat malam." Setelah memastikan lawannya itu mati, Kevin berjalan meninggalkan Nagara yang tergeletak tanpa daya. Darah segar mengucur dari lehernya.

.

.

.

TBC







Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top