78 : Semakin Meriah
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
"Wisesa ... mundur," ucap Harits.
"Harits, sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Wisesa yang terkejut. Di satu sisi ia senang bahwa Harits masih hidup dan baik-baik saja, tetapi di sisi lain ia merinding.
"Mundur ...." Raut wajah Harits berubah. Ia menyeringai seperti bukan dirinya.
Kecepatan mata Wisesa tak dapat mengimbangi gerakan Harits dan Deva yang melesat melewatinya, menerjang Rizawana. Harits dan Deva menendang Rizwana, tetapi pria itu mampu menahannya dengan gagang tombak-tombak miliknya.
Harits menjadikan gagang tombak itu sebagai tumpuan. Ia melompat ke belakang dan menyabet Rizwana dengan cambuk api milik Raja Banaspati.
Rizwana melompat untuk menghindari cambuk api Harits. "Pada akhirnya lu ngejual diri lu sama iblis," ucap Rizwana tersenyum.
"Ya, itu masih jauh lebih baik. Seenggaknya gua cuma mengkhianati diri gua sendiri, bukan mengkhianati orang-orang di sekitar gua," balas Harits.
"Semua orang punya alasan tersendiri," timpal Rizwana sambil bersiap menyerang kembali. "Begitu juga dengan gua." Ia melempar satu tombaknya ke atas, lalu memutar tombak yang tersisa di tangannya hingga membuat angin di sekitarnya terhisap. "Tunjukan kengerianmu, Punjul Wilayah." Rizwana menghentakkan pangkal tombak Punjul Wilayah di pasir, seketika itu juga angin mulai tak karuan di area itu.
Harits dan Deva berusaha untuk tidak tersedot masuk ke dalam pusaran angin yang diciptakan Rizwana. "Apa-apaan ini!" teriak Harits saat melihat belasan angin puting beliung di area laut dan pantai.
"Oi ... oi ... oi ... apa kau berniat membunuhku juga?" Arai Purok berdiri seolah tak lagi tertarik pada pada pertarungannya. Semua orang di area itu sibuk berlari dan menyelamatkan diri dari badai yang diciptakan Rizwana.
"Cakra langit dapat memanggil kereta kencana Nyi Roro Kidul, Karara Reksa mampu membuat zirah pasukan laut selatan dari darah penggunanya, Karara Mulya sanggup menurunkan hujan darah, Punjul Wilayah memanggil badai yang mahadahsyat, dan dia masih memiliki dua tombak yang belum dikeluarkan kemampuannya," tutur Kei. "Jika Panatagama berhasil direbut, selesai sudah. Rizwana Maheswara, aku mulai paham apa yang kau rencanakan. Semua yang kau persiapkan pada malam Walpurgis, bukanlah menghapus eksistensi Peti Hitam, tetapi menciptakan pertumpahan darah, lalu memanggil Roro Kidul naik ke permukaan untuk menghancurkan segalanya."
Kei hendak membantu Harits dan rekan-rekannya, tetapi Purok berubah pikiran. Pria itu mengacungkan mandau pada Kei. "Jangan lari, urusan kita belum selesai."
"Astaga, orang bar-bar ini enggak bisa baca situasi," balas Kei dengan wajah datar. Ia menghela napas, lalu tiba-tiba berlari cepat ke arah Purok sambil melancarkan pukulan dari jarak yang cukup jauh.
Arai Purok bukanlah manusia biasa, ia mampu melihat atma berbentuk naga yang melesat dari tinju Kei mengarah padanya. Purok menyeringai, ia melempar kedua mandaunya ke samping kanan dan kiri, lalu ia sendiri menerjang atma berbentuk naga milik Kei.
Kei melompat sambil berputar menyamping, menghindari kedua mandau Purok yang melesat di atas dan bawah tubuhnya. Ketika kakinya menapak, ia langsung menahan pukulan Purok yang telah melebur serangan atmanya. "Astaga ini orang." Kei menatap Purok dengan tatapan sayu.
***
Di sisi lain, Rizwana melesat ke arah Deva dan langsung menghujam lurus tombaknya, mengincar dada. Namun, Jaya yang masuk ke mode resonansi jiwa, menarik Deva, lalu menahan tombak Rizwana dengan lengan merah bertekstur kristalnya. Harits pandai membaca situasi, ia melesatkan Segoro Geni secara vertikal ke bawah, tetapi Rizwana dengan cepat melompat untuk menghindari cambuk api tersebut.
"Gerakan lu masih licin juga ternyata!" Harits menarik cambuknya kembali. "Minggir semua!"
Deva dan Jaya mundur menjauhi Rizwana. Kini pria dengan tombak di tangan itu kehilangan senyumnya. Ia merasakan aura mengerikan dari belakang tubuhnya. Rupanya Hara sudah berada di sana, siap menyabet dengan sekumpulan benang tajam yang membentuk cambuk.
Hara dan Harits yang dirasuki Segoro Geni terbahak-bahak seperti iblis sambil membabi buta melancarkan sabetan cambuk. "Mati! Mati! Mati!" ucap mereka bersamaan.
Rizwana yang mendapatkan beberapa luka dari serangan itu, segera melesat keluar dari area serang mereka, dan menyipratkan darah ke tubuh Harits. Setelah itu, ia berbelok mengambil tombak Karara Mulya yang menancap di pasir setelah beberapa saat lalu ia lemparkan ke atas. Rizwana melempar kembali tombak milikinya ke atas, sambil dengan cepat menepuk tangannya.
Harits tiba-tiba berhenti bergerak. Tubuhnya mati rasa. Melihat itu Rizwana tersenyum. Ia melakukan sebuah gerakan dengan pergelangan tangannya. "Sewu tumbak." Karara Mulya melebur dengan hujan darah dan membentuk seribu tombak darah.
Ganapatih, Radika, dan Gandring langsung mundur. Rizwana yang sekarang, tak peduli dengan kawan dan lawan. "Inilah alasan mengapa tujuh keluarga terkutuk mau mengikutinya. Rizwana benar-benar mengerikan," ujar Ganapatih yang merinding. "Persilangan antara dua keluarga terkuat, Angkhara dan Maheswara."
Kini hujan darah, berubah menjadi hujan tombak. Berbeda dengan hujan pedang milik Cakra yang tak begitu berdampak pada manusia. Tombak-tombak ini sekuat zirah Karara Reksa dan mampu melubangi tubuh fisik.
Abimanyu menatap tombak-tombak yang turun bagaikan hujan. Ia tak mampu menghindar, karena sedang berfokus menyembuhkan Agha. "Sial ...."
"Fokus, Abi!" Tirta menarik napas panjang sambil menutup matanya. Fokusnya begitu tinggi, dengan sebuah kuda-kuda siap menyerang. Atma yang menyelimuti dirinya perlahan melebar. Memang, itu akan berdampak pada pertahanan astralnya, tetapi di sisi lain Tirta memperluas zona atma. Kini, pergerakan apa pun yang masuk ke dalam lingkup zona tersebut, akan langsung terdeteksi. Ia membuka matanya kembali saat sebuah tombak masuk ke dalam zonanya. "Aku akan melindungi kalian." Dengan satu tangan, Tirta menyabet semua tombak yang mengarah ke arah mereka secara cepat.
Sementara itu, Deva keluar dari zona hujan seribu tombak dengan kemampuan Tumenggung. "Cih." Ia kesal karena tak mampu melakukan apa-apa. Siapa pun pasti akan memilih mundur. Ia mengamati sekelilingnya sambil memikirkan sebuah cara, sebuah cara untuk mengakhiri pertempuran ini.
Tak seperti Deva yang mampu keluar dari zona, Jay menyerang dan menghindari tombak-tombak yang mengarah padanya. Begitu pun dengan Bayu, beserta anggota Trishula.
Harits dengan gila mengibaskan Segoro Geni untuk melindungi dirinya. Api mulai berkobar di area pertempuran.
"Sampai kapan kalian bisa bertahan dari hujan ini?" ucap Rizwana yang muncul di belakang Harits. Hujan tombak ini membunuh banyak unit polisi dan juga para pengguna ilmu hitam, bahkan beberapa keroco Kencana Selatan. Namun, hujan ini hanyalah sebuah pengalihan untuk menyibukkan mereka semua. Rizwana mengincar Harits sebagai korban pertamanya. "Keajaiban enggak akan datang dua kali. Kali ini gua pastiin tombak ini mengoyak jantung lu!"
Harits hendak menyabet Rizwana, tetapi tiba-tiba Rizwana menempelkan kembali kedua telapak tangannya, yang mengakibatkan Harits berhenti bergerak. Harits terbelalak, ketika ia hanya bisa menyaksikan Rizwana yang akan menusuknya kembali.
Namun, tiba-tiba seseorang datang dan mendorong Rizwana hingga lesatan tombaknya meleset jauh, tak mengenai tubuh Harits. Setelah itu, orang ini berjongkok sambil ketakutan. Harits tebelalak menatap orang yang baru saja menolongnya. "Melodi ...." Dengan cepat, Harits langsung berlari, dan menarik lengan Melodi, berusaha menuntunnya keluar dari area ini. "Hara! Lindungi kami!" teriak Harits.
Sejujurnya Melodi tak secepat Harits. Karena itu, tiba-tiba Harits menggendongnya di depan, dan lanjut berlari. "Bego! Ngapain sih?" ucap Harits.
Melodi tak menjawab, ia sibuk menangis ketakutan. Hindungnya mengeluarkan darah. Satu hal yang Harits pahami, ketika hidung Nada berdarah, ia terlalu sering menggunakan psikometri. Hal serupa mungkin terjadi pada Melodi.
"Yang barusan, gua pasti mati beneran, kan?" tanya Harits yang sadar jika Melodi telah menggunakan Retrokognision. Tak mungkin gadis itu menggila masuk ke medan perang.
Namun, bulu kuduk Harits merinding ketika Rizwana berhasil mengejarnya. Kini ia tak memiliki pertahanan, bahkan Hara sedang sibuk menyapu hujan tombak yang mengarah pada mereka. Rizwana tersenyum. "Berarti ada Nada juga, kan?" Ia memutar tombaknya dan hendak menebas kepala Harits.
Gerakannya terhenti, ketika dua kepalan tangan menghantam wajahnya. "Jangan sentuh Melodi!" ucap Jaya dan Deva yang muncul untuk melindungi tuan putrinya.
Hujan tombak tiba-tiba berhenti. Rupanya Cakra sedari tadi berusaha untuk membuat awan pembawa hujan bergerak menjauhi area pertempuran. Hingga sebuah lonceng terdengar di telinganya, Cakra kembali ke dalam raganya.
Matanya terbuka sambil menatap Nada dan beberapa rekan Wira yang menjaga raganya. "Terus bergerak, seseorang pasti sibuk mencari kita. Kita tidak boleh berlama-lama di satu tempat," ucap salah satu rekan Wira. Nada dan Cakra mengikutinya untuk mencari tempat yang lebih aman. Sambil berjalan, Nada terlihat getir, ia khawatir dengan Melodi yang tiba-tiba saja berlari dan masuk ke daerah pantai.
Mungkin menurut beberapa orang, Melodi dan Nada hanyalah penghambat di perang ini, tetapi jika bukan karena Melodi. Nada, Cakra, dan pasukan Wira sudah tewas di tangan Nagara. Melodi terus dan terus mengulang kejadian untuk memutuskan pergerakan mereka selanjutnya. Makanya mereka semua terlambat datang ke medan tempur, hal itu karena kejadian yang terus berubah.
"Harits, bawa Melodi pergi," ucap Deva.
Harits berlari, tetapi Alex tiba-tiba muncul di hadapannya. Harits bersiul, seekor anjing hitam miliknya yang masih selamat berlari menghampirinya. Dengan cepat, Harits melempar Melodi ke atas anjing itu. "Hara! Lindungi gadis ini sampai ke tujuannya."
Hara tampak kesal. Ia lebih suka menyerang ketimbang tugas-tugas bertahan dan melindungi, tetapi ia tak punya pilihan lain.
Ganapatih, Gandring, dan Radika juga muncul di sana untuk mengincar Melodi. Namun, Wisesa, Ageng, dan Sura muncul untuk melindungi gadis itu.
"Abis perang ini, gua mau nembak cewek itu," ucap Sura. "Dia cantik."
"Sura! Fokus!" Wisesa membentak Sura yang gemar bercanda.
"Oke, oke." Kini Sura berhadapan dengan Ganapatih. "Kenapa senyum-senyum?" tanya Sura pada Ganapatih.
"Kau sendiri mengapa menyeringai seperti itu? Aku jadi tidak tau mana tokoh yang baik dan mana tokoh yang jahat," balas Ganapatih.
Ageng berhadapan dengan Gandring sang pembuat pusaka. Dua orang yang tenang dan tak begitu suka dengan pertarungan ini, harus bertarung demi kebenaran yang mereka genggam.
Sementara itu, tatapan dingin antara Wisesa dan Radika beradu. Dalam diam, mereka saling membaca pergerakan lawannya.
***
Di sisi lain, Wira masih sengit berhadapan dengan Ettan. Dua kawan lama ini, saling bertukar tinju dan mencari celah untuk menghabisi lawannya.
"Kembalilah ke jalan yang benar, Ettan," ucap Wira.
"Jangan merasa benar, Wira!" balas Ettan. "Gimana kalo lu aja yang balik ke Kencana Selatan?"
"Enggak akan pernah!" Wira melesat dan meninju wajah Ettan. Sambil terkena pukulan, Ettan melesatkan cakarnya, tetapi Wira langsung mundur dan menangkis serangan Ettan dengan lengan kirinya. Kembali, Wira mendaratkan telapak tangan kanannya pada perut Ettan. Membuat Ettan memuntahkan darah.
"Lu masih punya kesempatan, sebelum lu mati dan menyesali perbuatan lu di neraka," ucap Wira.
Ettan menyeka darah di mulutnya, ia tertawa mendengar perkataan Wira. "Gua enggak pernah gunain seratus persen kemampuan gua, tapi kali ini gua harus habis-habisan. Kita pernah ada di sisi yang sama, tapi enggak sekali pun gua pernah nunjukin wujud ini ke siapa pun. Merasa terhormatlah, Wira Sakageni." Ettan berteriak, diiringi aura kelam yang memancar, hingga membuat hewan-hewan yang berada di sekitarnya lari menjauh karena merasa terancam.
"Holly shit ...." Wira tercengang menatap perubahan Ettan. Kini sosoknya berubah menjadi kera besar berbulu merah. Tingginya mungkin melebihi pohon-pohon di hutan. Taringnya panjang melengkung seperti tanduk domba.
"Groaaaaaah!" Ettan berteriak hingga memaksa Wira dan pasukannya yang bersembunyi di hutan serempak menutup telinga. Bukan hanya itu, bahkan para manusia yang sedang bertarung di pantai pun merinding mendengar teriakannya.
Ketika Wira berusaha mencerna apa yang ada di hadapannya, tiba-tiba lengan Ettan menghantam Wira hingga terpental jauh keluar dari hutan. Hal itu disebabkan Wira yang menahan serangan Ettan dengan atmanya, sehingga terjadi benturan atma yang sangat keras.
"Wira!" Dewi terlihat khawatir dengan serangan barusan. Ettan menoleh, dilihatnya Dewi yang sedang berdiri. Ia segera mengganti targetnya.
"Dewi, lari!" teriak salah satu pasukan binatang buas dengan tato banteng di lengannya.
Sementara itu, Wira terkapar menatap langit malam. Pasir menjadi alasnya. Ia terlempar hingga ke area pantai. Sejenak tubuhnya mati rasa, tetapi perlahan ia mulai bangkit. Dadanya terasa sakit akibat serangan barusan.
"Oi ... apa yang terjadi?" tanya Tirta pada Wira yang berada tak jauh darinya.
"Ra--Rawasura mengamuk ...," balas Wira terbata-bata.
Dewi tiba-tiba muncul dengan wujud braja. Ia memeluk Wira sambil menangis. "Tenang, aku enggak apa-apa," ucap Wira.
Namun, Wira merasakan sesuatu mengalir di lengannya. Rupanya Dewi terluka, ia berdarah cukup dalam. "Dewi, kamu kena serang?" Dewi tak menjawab. Seketika itu tatapan Wira kosong. "Mana empat orang lain yang sembunyi di hutan?" Dewi semakin mengeraskan isaknya.
Bumi bergetar saat Ettan melangkah keluar dari hutan. Setiap orang yang menatapnya langsung merinding. Ia menyeret dua pria yang berlumuran darah. Di taringnya, seseorang tertancap dan sama sekali tidak bergerak. Puncaknya, Ettan membuang sesuatu dari mulutnya, yang di mana itu adalah kepala.
Wira merasakan suatu kehampaan dalam dirinya. Tatapannya kosong menatap empat rekannya yang tewas terbunuh. Ia melepaskan Dewi dari tubuhnya. "Minggir ...." Wira berjalan ke arah Ettan dengan aura yang tak kalah ngeri.
Udara di sekitar pantai kian memanas. Wira kini berhenti dan hanya menatap Ettan dari jarak yang agak jauh. "Awalnya ... gua enggak mau bunuh siapa-siapa," tutur Wira. "Tapi lihat apa ini?"
Ettan terbahak-bahak. "Selanjutnya memangsa naga."
Wira mencabut salah satu tombak darah yang menancap di pasir, lalu melemparnya ke arah Ettan, tetapi dengan mudah Ettan menangkap tombak itu. "Putus asa?" ledek Ettan.
Tiba-tiba saja Dewi muncul dan mengguyur Ettan dengan sebuah cairan, lalu melesat pergi dengan cepat. Ettan terbelalak mencium aroma cairan ini. "Etanol?"
Wira mengeluarkan sebuah korek gas zippo dari kantong celananya. Ia membuka penutup korek dan mengarahkannya ke Ettan sambil mengeluarkan apinya. Sakageni bermakna 'dari api'. Nama belakang mereka begitu bukan tanpa sebab. Sakageni selalu terhubung dengan api. Wira mengalirkan api asli itu dengan atmanya, menyambar dan membakar wujud Ettan hingga menimbulkan ledakan yang cukup besar.
Tatapnya kosong, tetapi begitu tajam menyorot Ettan yang terbakar. "Naga bukan malhkuk yang diburu, tetapi memburu!" Raut wajahnya berubah menjadi marah. Wira melakukan hal yang sama berulang kali, membakar dan terus membakar Ettan hingga Rawasura di hadapannya merasa bahwa mati jauh lebih baik.
Suasana malam ini begitu mencekam di daerah Parang Tritis. Deretan angin puting beliung bercampur ledakan, seolah-olah membuat mereka semua berada di dalam badai api.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top