77 : Badai Pembawa Petir

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Gelagar petir melengkapi instrumen pertempuran di malam Walpurgis. Cakra menatap qorin milik Radika yang masih sanggup memulihkan diri. "Pertarungan baru saja dimulai," ucap Cakra. Benturan hebat antara Cakra dan Radika membuat angin laut semakin menggila.

Di sisi lain Harits kini berdiri di depan Rizwana. "Rizwana, hentikan ini semua," ucap Harits.

Rizwana membalas ucapan Harits dengan sebuah senyum. "Lu harus berusaha keras buat itu sih."

Harits sangat marah, tetapi ia mampu mengontrol emosinya menjadi sebuah kekuatan. "Oke, malam ini semua selesai."

Rizwana bangkit dari singgasananya. "Ada satu hal yang mau gua tanya sebelum lu dan kubu lu semua mati malem ini," ucap Rizwana. "Apa kita masih saudara?"

Harits memicingkan matanya, ia menatap Rizwana penuh dengan kebencian. "Enggak."

"Berarti tukeran cawan waktu ...."

"Lu yang pertama menodai janji itu sama tindakan lu selama ini! Jangan pernah nyebut diri lu bagian dari Simfoni Hitam. Lu itu cuma aib dari masa lalu," potong Harits.

Menyisir rambutnya ke belakang, Rizwana tampak lega mendengar itu semua. Ia masih memasang senyumnya. "Bagus. Kalo gitu enggak boleh ragu buat bunuh gua." Kini sorot matanya berubah diiringi aura di sekitarnya. Rizwana merapalkan sebuah mantra, sambil menggores lengannya dengan tombak karara mulya.

Bumi bergetar diiringi ombak yang semakin kencang. Cakra Langit, Karara Reksa, Karara Mulya, Tulungagung, Punjul Wilayah, dan Alam Jagad Raya muncul mengitari Rizwana. Enam tombak milik keluarga Maheswara hadir tanpa Panatagama milik Sang Yudistira.

Muncul pilar raksasa yang membentuk masing-masing dari tombak Maheswara. Pertempuran sejenak berhenti. Semua menatap apa yang dilakukan Rizwana, termasuk Purok dan juga Kei.

"Seorang diri memanggil enam tombak sekaligus? Ini benar-benar gila. Lebih dari Bayu Martawangsa yang menggunakan empat topeng," ucap Kei.

Di tengah kehebohan yang ditimbulkan Rizwana, sebongkah mata raksasa muncul dari pasir pantai dengan titik pusatnya yang berada di bawah kaki Agha Wardana. Sebuah mata raksasa yang luasnya mencangkup seluruh daerah pantai itu mencuri seluruh perhatian orang-orang. "Ingat pusat penelitian di Lembang yang menghilang secara misterius beberapa tahun lalu?" gumam Agha. "Kejadian persis akan terulang kembali. Gerbang Suratma!"

"Oi, oi ... kalo begini kita semua bisa keseret masuk Alam Suratma, kan?" ucap Emil. "Kalo kita sih enggak apa-apa, tapi gimana yang masih hidup?"

"Begitu lebih baik. Kita tidak akan pernah tau apa yang akan direncanakan seorang Maheswara dengan memanggil enam tombak sekaligus," balas Wengi. "Dharma benar-benar penuh toleransi sekarang. Bisa-bisanya mereka menyimpan monster begini dengan kemampuan hitam sepekat ini!"

Agha sedang memusatkan fokus untuk menyempurnakan gerbang suratma dan membawa apa pun yang berada di wilayah ini. Darah mengalir dari bola matanya. Sejujurnya matanya hampir hancur karena luas dari gerbang yang ia buat jauh lebih luas dari kejadiaan saat di Lembang. Kemampuan yang bahkan Uchul, si pengguna Mata Suratma sebelumnya tidak pernah lakukan.

Sebuah kejanggalan terjadi. Gerbang suratma mengeluarkan darah. Semua mata terbelalak ketika sebuah tombak menembus perut Agha. Semua terjadi begitu cepat. Rizwana melempar salah satu tombaknya.

"Agha! Bertahan! Abimanyu!" teriak Kei yang terkejut melihat bawahannya tertusuk tombak.

Namun, Agha tak kuat menahan beban dari mata suratma dan juga luka di perutnya. Gerbang suratma tertutup kembali bertepatan saat tubuh Agha tumbang. Abi datang mengenakan topeng Ragil Kuning, ia langsung mencabut tombak itu dan mati-matian menutup pendarahan Agha.

"Rizwana!" Harits berlari menerjang Rizwana dengan amarah yang mencuat. "Agni!" Ia melayangkan tinju ke wajah Rizwana. Namun, itu bukanlah hal yang berarti bagi Rizwana, ia menghindari pukulan Harits dengan wajah kecewa, dan langsung mencabut tombak karara reksa yang menancap di pasir.

"Mengecewakan ...." Ia menghujam tombak itu mengincar dada Harits, tetapi gada milik Ageng menahannya.

Dari sebelah kanan, hawa membunuh membuat Rizwana merinding. Dengan cepat ia membuat zirah darah dengan kemampuan karara reksa. Dua bilah kujang milik Sura terlambat. Jika saja Rizwana lambat merespons, tentunya pria bar-bar itu sudah berhasil membunuhnya. "Cih!" gerutu Sura.

Namun, sebuah telapak tangan mendarat di perut Rizwana. Matanya bertatapan langsung dengan pimpinan Trishula. "Wisesa!"

"Waringin Sungsang." Rizwana terpental akibat daya dari serangan Wisesa. Zirahnya hancur pada bagian Wisesa menyerangnya. Darah segar mengalir dari mulutnya. Kini mantan ketua Simfoni Hitam itu akan berhadapan dengan ketua Trishula.

"Dulu kita sering sparing dan kita selalu seimbang. Sekarang pukulan lu semakin gila," ucap Rizwana memuji serangan Wisesa.

"Waringin Sungsang berdampak berat bagi pengguna ilmu hitam. Semakin pekat lawannya, maka akan semakin kuat daya serangnya. Gua enggak berkembang sepesat itu. Kalo waringin sungsang gua berhasil ngelukain lu sesakit itu, tanya diri lu sendiri. Apa yang udah lu lakuin selama ini sampe pukulan yang gua lancarkan bisa sekuat yang lu rasa?"

Wisesa melirik Harits. "Masih bisa bertempur?"

"Jangan remehkan warisan simfoni hitam," balas Harits.

"Bagus. Kita hajar orang ini habis-habisan. Sura, buat celah agar aku bisa mendaratkan serangan! Ageng, fokus bertahan, jangan remehkan lawan, kita butuh tameng! Dan Harits ... jangan ragu, dia bukan Rizwana yang kita kenal dahulu," lanjut Wisesa.

Keadaan hening seketika. Hingga Sura tiba-tiba menyeringai dan berlari ke kanan, memutari Rizwana. Tentu saja hal itu membuat fokus Rizwana terpecah. Harits berlari ke arah sebaliknya. Kini dua orang berlari mencari celah dengan cara mengitari Rizwana. Ketika Rizwana lengah mengamati kedua orang ini, dari tengah Wisesa mulai bergerak.

Sura hendak maju, tetapi itu hanya pancingan. Saat Rizwana berpikir bahwa ia akan menyerang, justru Wisesa yang menyerangnya pada titik luka sebelumnya. "Waringin sungsang!" Rizwana terdorong, tetapi firasat buruk menghantui Wisesa ketika Harits dan Sura hendak melancarkan serangan lanjutan.

"Menunduk!" teriak Wisesa.

Benar saja, Rizwana mundur ke arah salah satu tombaknya. Ia mencabut tombak itu, lalu memutarnya, membuat sebuah serangan acak dengan dua tombak di tangannya.

Beruntung Ageng adalah pengamat yang baik, gadanya lagi-lagi menyelamatkan Harits. Sura memiliki insting yang kuat, ia berhasil menangkis mata tombak dengan kujangnya. Sementara Wisesa berhasil mematahkan serangan Rizwana dengan menunduk dan memukul tombak Rizwana ke atas.

Rizwana menggerakkan tombak yang terangkat hingga mengeluarkan suara lonceng. Kabut mulai muncul menyelimuti area pertarungan. "Datanglah, kencana tanpa kepala."

Sebuah kereta kencana yang ditarik dua kuda tanpa kepala tiba-tiba muncul dari balik kabut dan menabrak Ageng.

"Ageng!" Sura yang menatap Ageng, dikejutkan oleh mata tombak yang menusuk bahu kirinya.

"Jangan memalingkan wajah dari musuh, Sura," ucap Rizwana.

Wisesa melesat untuk melepaskan tombak itu, dan menarik Sura mundur. Sementara Harits langsung menolong Ageng dan mengamankannya. Bukan luka serius, tetapi gerakan Sura dan Ageng pasti akan melambat akibat rasa sakit yang mereka rasakan.

"Ada sebuah alasan kenapa gua jadi salah satu anggota Satu Darah," ucap Rizwana. "Cuma orang-orang kuat dan berbahaya yang bisa duduk di kursi itu! Bukan cuma Arai Purok, di sini ada monster lain yang harusnya kalian pertimbangkan. Kemampuan gua jauh melebihi ketika masih ada di Simfoni Hitam."

Wisesa dan Harits kembali memasang kuda-kuda setelah menyelamatkan Ageng dan Sura. "Kebajikan enggak akan pernah kalah dari kebatilan. Itu prinsip Dharma," ucap Wisesa.

"Malam ini hukum itu berubah. Kegelapan itu jauh lebihh kuat daripada cahaya," balas Rizwana.

"Harits." Wisesa melempar tatap pada Harits. "Jangan mati."

"Ya, mulai dari sini nyawa kita sendiri jadi prioritasnya. Jangan terlalu agresif menyerang. Rizwana paham kapan harus menyerang balik."

***

Bayu yang mengamuk tentunya sangat merepotkan Ganapatih dan Gandring. Namun, di satu sisi Bayu merasa heran, mereka berdua sejauh ini kalah telak, tetapi masih sanggup bertahan seolah mengulur waktu.

"Apa yang kalian rencanakan?" tanya Bayu.

"Membunuh Jayasentika," jawab Ganapatih.

"Hanya itu? Kalau hanya itu, kalian menang jumlah. Bahkan pimpinan kalian baru mulai bergerak. Jika kalian ingin mengeksekusi Emil, kalian harusnya punya kapasitas itu sejak awal pertempuran," lanjut Bayu. "Kalian tangguh, tapi tidak berbahaya. Kalian seperti menyembunyikan sesuatu."

"Bayu Martawangsa yang sekarang itu sangat kuat. Sejujurnya kami berdua merinding ketika tau harus menghadapimu. Saling menyerang bukanlah solusi. Kami hanya bersabar hingga kekuatanmu itu menggerogoti tubuhmu sendiri. Tentu saja bebanmu sangat berat, kan?" balas Ganapatih.

"Kami hanya perlu mengulur waktu sampai topeng-topengmu menyerap habis atma dalam dirimu," timpal Gandring dengan wajah tenang.

Ganapatih dan Gandring hanya berfokus pada pertahanan. Jika Bayu lengah, salah satu dari mereka akan melancarkan serangan pada Jaya. Bayu harus fokus menyerang dan bertahan dalam satu waktu yang sama. Di sisi lain pikirannya mulai tak karuan memikirkan rencana terselubung para Kencana Selatan.

"Jangan melamun saat menghadapi keluarga terkutuk, paman." Ganapatih melesat membawa sebilah pisau. Ia menyerang Bayu secara membabi buta. Di sisi lainnya, Gandring membawa keris dan mengincar punggung Bayu yang tak terjaga. Namun, Bayu tetaplah Bayu. Ia memusatkan pengerasan Asmorobangun dan Gunung Sari pada bagian belakangnya. Keris Gandring tak mampu melukainya, tetapi berbeda dengan Ganapatih. Ia bisa menorehkan luka pada Bayu. Sesaat Ganapatih menyeringai, lalu mundur.

"Raut wajahmu berkata seperti kau sudah berhasil membunuhku, padahal hanya goresan tipis yang kau berikan," ucap Bayu memperhatikan lengannya.

"Segores luka sudah cukup, paman. Pisau ini mengandung racun," balas Ganapatih.

"Racun? Kau pikir bisa ...." Tiba-tiba Bayu memuntahkan darah dari mulutnya. Ia tak mampu lagi menahan Gunung Sari, Rumyang, dan Samba. Kini ia keluar dari mode resonansi jiwa dan hanya meninggalkan Asmorobangun yang terjatuh di pasir.

"AYAH!!" Jay semakin memberontak hingga tubuhnya terluka akibat memaksakan diri untuk lepas.

Bayu melirik ke arah Rizwana yang tersenyum sambil melirik ke arahnya juga. Ganapatih tertawa. "Benar. Racun ini adalah darah terkutuk Angkhara! Dalam waktu dekat, kau akan dalam kendalinya."

Bayu menyeringai. "Tidak ada seorang pun yang bisa mengendalikan Bayu Martawangsa ini." Ia bangkit dan langsung menerjang Ganapatih tanpa topengnya. Ganapatih terkejut, kepalanya terkena tendangan telak dari Bayu, hingga membuatnya langsung tersungkur di tanah.

"Ganapatih!"

Setelah menjatuhkan Ganapatih, Bayu langsung berpindah target melesat ke arah Gandring. Ia mengambil kuda-kuda untuk meninju. Waktu seakan melambat untuk Gandring. Aura kelam berkumpul seolah tersedot masuk ke dalam tinju milik Bayu.

Tanpa topeng pun dia sekuat ini?! batin Gandring.

Bayu menghantam Gandring dengan kepalan tinjunya yang telah menyerap atma hitam. Seperti Ganapatih, Gandring juga tersungkur di tanah. Namun, ketika hendak menghabisi mereka berdua, dua buah pisau menancap di kakinya hingga Bayu kesulitan untuk berjalan.

Kirana menyeringai. "Aku sudah boleh keluar, kan?"

Pasukan dark indigo dari Kencana Selatan kini mulai bangkit. "Perang ini dimulai dari para pengguna ilmu hitam di luar Kencana Selatan. Mereka hanyalah tumbal untuk menghabiskan tenaga kalian," lanjut Kirana.

Bukan hanya itu, kini pasukan dari Ravenous pun hadir. Bukan hanya Dharma dan Mantra yang datang sebagai tamu, kini bala bantuan lawan pun bertambah.

"Aku lihat kau kesulitan, Alex? Kau semakin tumpul!" ucap orang nomor tiga di dalam kelmpok mafia Ravenous. Ia menatap Alex dengan tatapan rendah. Memang, ada konflik tersendiri di antara para mafia ini. Mereka seperti sikut menyikut dalam jabatan. "Tapi tenang saja, aku akan membantumu dan mengambil posisimu itu!" Danial namanya, atau yang kerap dipanggil Doni. Pria itu mengeluarkan sebuah senjata berat dan menembak membabi buta sambil terbahak-bahak.

Bayu melompat untuk mengambil Asmorobangun. Ia menyelimuti tubuhnya dengan zirah putih milik Asmorobangun, tetapi rupanya zirah itu tak cukup kuat menahan peluru-peluru Doni. Bayu banyak menerima luka.

"Hentikan berengsek!" Jaya berteriak dari tempat eksekusi.

Doni menatap ke arahnya. "Oh ya, yang harusnya mati kenapa malah berteriak?" Ia meninggalkan senjatanya, lalu menggantinya dengan senapan laras panjang.

Crows tiba-tiba berjalan masuk ke medan tempur. Ia membuang asap cerutu yang ia hisap sambil menatap Rizwana. "Boleh kami bantu habisi Jayasentika?" tanya Crows.

Rizwana tersenyum. "Terserah." Setelah mendengar jawaban Rizwana, Doni langsung membidik Jaya dengan senatap laras panjangnya.

Harits terbelalak menatap eksekusi kali ini, ia menyerahkan Rizwana pada Wisesa dan berlari ke arah Doni yang sedang membidik kepala Jaya. "HENTIKAN!" teriak Harits.

"Harits jangan!" Wisesa mencoba mengejar Harits, tetapi jaraknya terlalu jauh.

Pada satu titik, harits menyadari bawah maut sedang mengintainya. Rizwana tak membiarkan Harits pergi begitu saja. Kini ia berada tepat di belakang Harits.

"Enggak pernah berubah," tutur Rizwana memandang rendah Harits. "Demi orang lain, lu bahkan hilang fokus gini. Enggak pernah berubah." Dari belakang, ia menusuk perut Harits dengan Karara Reksa. "Selamat tidur, kawan lama."

Air mata keluar dari mata Jaya ketika menatap Harits tertusuk tombak Rizwana dari belakang. Bukan hanya Jaya. Nada, Melodi, Cakra, bahkan seluruh kubu putih terkejut. Abimanyu dilema, hanya dia tenaga medis yang ada di sana. Berkat kemampuan Ragil Kuning dan kemampuan dokter miliknya, Agha bisa terhindar dari kematian, tetapi saat ini Agha butuh waktu pemulihan. Abi tak bisa meninggalkan Agha.

Doni menarik pelatuknya. Sebuah peluru melesat ke arah kepala Jaya. Suara tembakan itu membuat kubu putih semakin tertekan. Bahkan Bayu hanya bisa diam menatap detik-detik peluru itu akan menembus kepala Jaya.

Harits bernapas dengan sesak, pandangannya mulai kabur. Ia menatap dunia yang bergerak lambat. Bahkan peluru yang hendak membunuh Jaya. Sekumpulan burung pemakan bangkai menari-nari di atas langit. Entah, dunia seakan membaur dengan Alam Suratma.

Mati? Gua ... mati?

 Hartis terlihat getir sambil berusaha menerima keadaannya.

"Kau ingin hidup?" Samar-samar suara lirih terdengar berbicara dengan Harits.

"Siapa pula yang mau mati, pantek," balas Harits.

Suara itu tertawa terbahak-bahak. "Kita pernah bertarung bersama. Apa kau lupa? Jika kau ingin hidup, pangil dan serulah namaku. Kita terikat. Yang harus kau lakukan hanya ... menerimaku."

Harits terkapar menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Detak jantungnya semakin lemah secara derastis. Darahnya mengucur bagaikan arus sungai. Langit semakin gelap akibat hujan deras yang bercampur hujan darah. Memang gelagar petir menjadi instrumen tambahan pada perang ini. Hingga ....

Sebuah petir menghantam menara eksekusi hingga menimbulkan ledakan.

"JAYAAAA!" teriak Bayu.

Doni menurunkan senapannya. Menara itu penuh kobaran api. Semua wajah-wajah baik termenung meratapi kegagalan mereka. Selain gagal menyelamatkan Jaya, mereka juga kehilangan Harits Sagara dalam waktu bersamaan. Keadaan hening seketika.

Di tengah keheningan itu, tiba-tiba sebuah teriakan terdengar dari puncak menara. Teriakan yang membuat bumi seakan berhenti berputar. Dari kobaran api, terlihat siluet orang yang berlari keluar dari menara. Ia melompat dari ketinggian itu dan mendarat tanpa rasa sakit. Teriakan itu adalah teriakan kebebasan. Emil Jayasentika berdiri di tengah-tengah mereka semua menggunakan topeng Bapang, membuat seluruh musuhnya merinding.

Keadaan Harits memaksa Mikail dan pasukan Peti Hitam yang tersisa menghilang tertarik paksa ke Alam Suratma. Harits sudah kehilangan sadar.

Namun, anehnya sebuah ledakan juga terjadi di sekitar Harits. Membuat sekelilingnya juga ikut terbakar seperti kobaran api di puncak menara eksekusi. Tiba-tiba mata itu terbuka lebar sambil menyeringai. Harits bangkit secara tidak normal. Ia mencabut tombak milik Rizwana dan menekan bagian tubuhnya yang mengalami pendarahan. Ia tertawa sambil berteriak kesakitan. Kepulan asap keluar dari luka yang ia sentuh

"Apa-apaan ini?" Rizwana memicingkan mata sambil melirik mereka secara bergantian.

Harits menatap Rizwana. Tujuh bola api tiba-tiba muncul mengitari Harits, disusul sebuah cambuk api yang ia tarik dari punggungnya. "Segoro Geni." Raja Banaspati itu kini benar-benar memutus hubungan dengan Andis dan berpindah tangan pada anaknya. Kemampuannya mampu membakar luka untuk menghentikan pendarahan.

Mengenai petir yang menghantam menara eksekusi. Petir tadi bukanlah petir biasa. Di atas menara masih ada seorang lagi. Ia berdiri menatap semua orang yang berada di bawah. Sambil melepas topengnya, ia membuka bungkusan permen lolipop dan memasukannya ke mulut. Jaket jeans yang digunakannya sebagai penutup leher bak syal, kini berkobar diterpa angin laut.

Deva Martawangsa melesat dengan braja, ia keluar dari Alam Suratma dan langsung terjun menghantam rantai-rantai yang membelenggu Jaya dengan tendangan keras. Kekuatan dan kecepatan, hal itu mampu memutus rantai sakti yang dibuat oleh Gandring.

Harits dan Deva bergerak menuju tempat Jaya berdiri. Bukan hanya mereka, bahkan kini roh Cakra juga ikut merapat.

Tirta tersenyum menatap mereka berempat. Dalam waktu singkat ia melihat Andis, Ajay, dan Dirga dalam sosok anak-anak mereka.

"Masih bisa jalan?" tanya Deva pada Harits.

"Hah?! Jangankan jalan. Push up sambil joging juga bisa! Jangan remehkan Harits Sagara nyahahaha." Harits mengambil sadar dari dekapan Segoro Geni. Hal yang tak mampu Andis lakukan.

"Seneng bisa liat kalian," ucap Cakra.

"Saya yang harusnya bilang gitu. Makasih ya semua, saya berhutang banyak," balas Jaya.

"Bukan banyak lagi! Utang lu udah enggak mungkin bisa dilunasin. Cuma ada satu cara buat lunasin itu semua."

Jaya menatap Harits. "Apa itu?"

"Pengabdian."

Jaya tersenyum membalas jawaban Harits. "Ya, saya janji. Saya enggak akan pernah pergi lagi dan nyakitin keluarga saya untuk yang kedua kalinya."

Deva berjalan hingga ia berdiri di depan mereka bertiga. Pria dengan sorot mata tajam itu menunjuk Rizwana tanpa gemetar. "Waktunya para penjahat bersedih. Tokoh utama dalam cerita ini udah tiba."

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top