76 : Tamu Tak Diundang
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
"Sebuah reuni yang aneh," ucap Ettan dengan wajah bingung menatap Wengi. "Bagaimana caranya yang mati bisa kembali hidup?"
"Ah ... ini wujud roh. Enggak sekuat dulu sih, tapi cukup buat narik lu ikut ke Alam Suratma," balas Wengi.
Ettan tampak bersemangat. "Atau justru aku akan membunuhmu untuk yang kedua kalinya. Aku penasaran bagaimana jika roh dihancurkan."
"Kau terlalu banyak bicara, Ettan." Wengi tersenyum sambil memasang kuda-kuda.
"Hoo ... kali ini secara frontal?" Ettan membalas senyum itu dengan seringai. Ia hendak maju, tetapi tiba-tiba matanya terbelalak ketika sebuah peluru menghentam kepalanya. Tak ada luka serius, peluru Petrus membuatnya terluka, tetapi tak mampu menembus kulit Ettan Rawasura.
"Meskipun dengan satu tangan, akurasinya bukan main-main loh." Wengi berlari dan memukul perut Ettan yang bergeming setelah tembakan itu. Bukan hanya memukul, dengan cepat Wengi meraba tubuh Ettan. Eits ... bukan untuk hal mesum! Hal ini ia lakukan untuk menemukan jantung dari Rawasura.
"Aku benar-benar akan mencari adik mu itu dan aku buat keadaannya menjadi cacat."
Ettan hendak melangkah, tetapi seseorang menepuk pundaknya hingga membuat Ettan menoleh. Dilihatnya salah satu pengguna ilmu hitam yang tak ia kenali. "Apa?" Namun, orang itu hanya diam dengan tatapan kosong.
"Ah iya ... sebelum menuju ke sini, aku harus melalui banyak orang. Jangan terlalu dekat, orang yang di sana itu--adalah salah satu mahakaryaku ...."
"Mahakarya?" Ettan mencium bau mesiu yang kuat dari orang itu. Ia menatap Wengi dan berusaha menjauh, tetapi ....
"Boom," ucap Wengi sambil menjentikkan jarinya. Orang itu menarik Ettan dan meledakkan dirinya sendiri. Ledakan itu menjadi salah satu sorotan orang-orang yang sedang bertarung di wilayah pantai.
Dari kobaran api, seekor siluman monyet berbulu merah berjalan dengan setengah badan yang terbakar api. "Kau tidak pernah belajar dari masa lalu, Wengi."
"Aku belajar. Ini semua hanyalah pengalihan. Ketika kau sibuk dengan mainanku, aku pun sibuk berbincang dengan adikku. Kami punya kode tertentu untuk saling berkomunikasi di dalam hutan. Kami sudah mengincar momen ini."
Sebuah peluru melesat menghantam bahu kanan Ettan.
"Jantungmu ada di sana, kan?"
***
Di sisi lain Harits kini berhadapan dengan pria bersangkar kosong. Mungkin di mata orang biasa sangkar itu terlihat kosong, tetapi di mata Harits jelas terlihat sebongkah kepala dengan mata merah menyala. Entah makhluk apa itu, yang jelas giginya terlihat runcing dan besar.
Rasanya Harits tak mampu memalingkan pandangan dari makhluk di dalam sangkar. Ada sesuatu yang membuatnya terus menatap makhluk menyeramkan itu. Harits mendengar lirih suara yang begitu familiar, memanggil namanya. "Harits ...."
Harits menoleh, dilihatnya sosok rekannya yang sudah gugur, Kenzie. "Ken ...."
Kenzie tersenyum, ia berlari ke arah Harits. Tentu saja bahagia bukan main ketika melihat sahabatnya yang sudah mati dan tak bisa ia temukan di Alam Suratma, kini berada di hadapannya. "Kenzie!"
Ketika posisi mereka dekat, sebuah tangan menarik Harits. Beruntung Harits ditarik, jika tidak mungkin ia sudah mati. Kenzie membawa sebilah pisau untuk membunuh Harits. "Kau bilang akan menyembuhkanku, tapi apa, Harits?" ucap Kenzie.
"Ken ...."
"Sadarlah, bocah."
Suara Mikail menyadarkan Harits dari semua ketidaknyataan tersebut. Tak ada Ken di sana. Hanya seorang pria yang menenteng sangkar dan pisau di tangan satunya.
"Makhluk itu bisa membaca ingatan dan memanfaatkan sisi lemah manusia, lalu menciptakan ilusi, berdasarkan kelemahan kita," ucap Mikail. "Kau bisa mati tanpa sadar."
"Meskipun sudah mati, instingmu tetap tajam ya, Mikail Sagara," ucap pria itu.
"Kau kenal siapa orang ini, paman?" tanya Harits.
"Tidak, tapi dari auranya dia berbahaya."
Di malam ini memang banyak pengguna ilmu hitam. Ada yang lemah, dan ada juga yang kuat. Mereka semua bersatu untuk kematian Jayasentika dan menghapus era Peti Hitam. Bukan hal aneh, jika mereka mengenal para anggota Peti Hitam yang melegenda, apa lagi Mikail.
Harits menatap Bayu, kemudian melirik Emil yang sedang melawan Alex. 'Om bayu sempet ngimbangin si mafia itu dan si tukang kandang ini sekaligus. Dia ada di tingkat yang berbeda.'
"Bagaimana cara melawan orang ini?" tanya Harits.
"Jangan menatap mata dari makhluk yang ia bawa," jawab Mikail singkat.
Tentu saja itu hal yang sulit. Pasalnya pria itu menggerakkan sangkarnya ketika bergerak dan bisa sewaktu-waktu memposisikan jin peliharaannya dengan mata lawannya. Ia juga cerdik, terlihat dari gerakannya yang efektif menjaga jarak, dan tau kapan harus memposisikan sangkarnya.
"Jangan sampai hilang kesadaran," tutur Mikail. "Seandainya kau hilang sadar, kontrak kita berakhir. Kami semua akan terseret paksa ke Alam Suratma lagi."
"Ya, aku pastikan itu tidak akan terjadi. Bisa rugi kalo kehilangan kekuatan tempur," balas Harits. "Setelah ini semua berakhir, kalian baru boleh pergi."
Pria dengan sangkar tiba-tiba berlari memutari Harits dan Mikail. Ia mengarahkan sangkarnya di depan. Sejujurnya Harits serba salah, jika ia memperhatikan orang itu, bisa saja ia malah menatap makhluk di sangkar. Namun, jika Harits terlalu mengabaikan penggunanya, maka pria itu yang mungkin saja melukai Harits karena pergerakannya yang meminimalisir pandangan Harits.
"Aku ini buta. Aku melihat dengan telinga dan hidungku, setidaknya ilusi itu tidak akan berpengaruh padaku. Aku akan menghentikan pergerakannya, sementara itu kau urus sisanya, bocah," ucap Mikail.
Harits mencengkeram pundak Mikail. "Paman, kau urus saja pria berpakaian hitam yang sedang membuat anggotamu babak belur." Memang, Radika yang telah dirasuki qorinnya kini berada di atas angin. Ia mendominasi tiga orang anggota Peti Hitam, yaitu Wengi, Suro, dan Ronggeng. "Biar aku urus yang ini."
"Kau yakin? Sekali saja kau terjebak ilusinya, tidak ada kesempatan kedua."
"Serahkan pada Harits Sagara yang hebat ini nyahaha."
Tanpa banyak basa-basi, Mikail sepakat dan berjalan menuju rekan-rekannya. Pria dengan sangkar menyeringai. "Kau membuat kesalahan yang fatal."
Harits tak gentar, ia membalas senyum pria itu dengan wajah menyebalkannya. "Tidak butuh dua orang untuk menhadapi cecunguk, kan?"
"Cecunguk?"
"Ya, cecunguk. Aku ke sini untuk Rizwana, bukan untuk orang sepertimu." Harits kini menumpahkan darah dan membasahi bukunya. "Bukan hanya kau yang punya peliharaan." Muncul bayang-bayang yang membentuk perwujudan makhluk. Gonggongan anjing terdengar memeriahkan suasana. "Kebetulan peliharaanku lapar." Ia menyeringai menatap pria bersangkar.
Pria dengan sangkar kosong itu terbelalak menatap pasukan anjing hitam milik Harits. Bau busuk menjadi aroma di tempat ini. Namun, bukannya panik, pria itu tetap tenang. "Tadinya aku tidak ingin menggunakan makhluk ini lebih dari sekedar ilusi, tetapi ternyata aku memang terpaksa harus melepaskan makhluk ini deh." Aura di sekitarnya berubah derastis ketika ia membuka sangkarnya. Kepala itu tiba-tiba melesat keluar dengan cepat dan menggigit anjing-anjing Harits. Satu persatu anjing-anjing miliknya sirna menjadi kepulan asap hitam. Kepala itu begitu liar dalam memburu mangsanya.
"Apa itu? Gerakannya cepat!" Harits tak mampu mengikuti pergerakan makhluk yang membantai anjing-anjingnya.
"Setelah menghabisi peliharaanmu, makhluk itu akan membunuhmu!"
Harits memasang wajah panik."A-apa?!" Namun, Harits merubah raut wajahnya, kini ia menyeringai. "Bercanda." Gerakan kepala buntung yang mengamuk itu terhenti. Kini ia bagaikan seekor serangga yang terjerat perangkap laba-laba.
"Apa yang terjadi?!" ucap pria itu.
"Dia mungkin sedang terluka, tetapi luka itu membuatnya lapar. Dia juga sedang marah, karena harga dirinya ternoda," balas Harits.
Hara. Bocah kecil itu berjalan dengan tatapan kosong ke arah kepala buntung. Ia mengkencangkan jeratnya hingga membuat kepala itu terluka dan mengeluarkan darah. "Aku ... Sang Ashura Widyatama ... terpaksa mundur melawan si mandau itu?" tutur Hara yang sedang meratapi kekalahannya. "JANGAN BERCANDA!" Darah berceceran ketika Hara menarik benangnya dengan kekuatan penuh. Ia menatap pria yang menjadi lawannya. Pria itu gemetar ketika peliharaannya tergeletak tanpa daya begitu saja. Kini pria itu menatap Harits dengan gemetar. "Bocah ... aku mengaku kalah ... singkirkan makhluk itu dari hadapanku."
Harits menutup mata sambil menarik napas panjang. Ia berjalan pergi memunggungi pria itu. Pria itu menatap punggung Harits yang perlahan menjauh. Dalam tayangan lambat, tubuhnya tercabik-cabik oleh cambuk benang yang mengamuk. Harits menggigit bibir bawahnya dengan gemetar sambil terus berjalan. "Aku juga tidak berani memerintahnya ketika dia marah."
***
Suro dan Ronggeng telah menghilang. Karena terlalu banyak menggunakan kemampuannya di dunia nyata, mereka kehabisan energi.
"Wengi, sampai kapan kau mampu mempertahankan wujud itu?" tutur Mikail.
"Masih lama."
Dari semua anggota Peti Hitam. Wengi merupakan anggota yang paling cerdas dalam menyiasati suasana. Ia paham jika terlalu banyak menguras energi, maka ia tak akan mampu mempertahankan wujudnya. Karena untuk menampakkan diri saja, makhluk halus membutuhkan banyak energi. Apa lagi bertarung. Bukan arwah sembarangan yang bisa menunjukkan wujudnya sambil bertarung habis-habisan.
"Ronggeng terlalu banyak memanggil pasukan jinnya. Suro juga sudah terlalu banyak menerima luka untuk melindungi kami. Sudah sewajarnya mereka kehabisa energi," lanjut Wengi. "Pilihan kita hanya tiga. Pulang secara paksa karena bocah Sagara itu hilang sadar, kehabisan energi dan kehilangan wujud untuk bertarung, atau musnah oleh musuh."
Radika yang telah dirasuki qorinnya benar-benar kuat. Tak seperti ketika sosok aslinya yang bertarung mengandalkan kecepatan, kali ini raganya benar-benar tahan banting dan mendapatkan kekuatan berkali-kali lipat.
"Tinggal dua," ucap Radika.
"Simpan kekuatanmu, Wengi. Bantu Emil, lalu setelah membereskan musuh, kalian bantu Bayu menyelamatkan putranya."
"Kau yakin, ketua? Orang di depan mu ini kuat. Dia juga tidak akan membiarkanku pergi begitu saja," balas Wengi. "Melawan orang-orang ini memang harus membuang banyak energi."
"Setidaknya, seret paksa satu Komandan Kencana Selatan," balas Mikail. "Tak mengapa kita kehabisan energi. Setidaknya seret satu orang komandan ke Alam Suratma."
"Oke." Wengi berlari ke arah Emil yang sedang bertarung dengan Alex. Radika hendak menyerangnya, tetapi Mikail dengan cepat muncul di hadapannya dan menahan serangan Radika.
"Aku pikir kau buta?" tanya Radika sambil menyeringai menatap Mikail.
Mikail membalas seringai itu dengan seringai yang lebih mengerikan. "Memang," balasnya. Ia melesatkan pukulan telapak tangan ke ulu hati Radika, hingga membuat pria itu terpental.
Radika kemudian bangkit kembali, ia tampaknya akan habis-habisan dengan mantan pimpinan Peti Hitam itu.
"Ketika kau kehilangan satu indramu, maka indra lain akan menajam. Mataku memang buta, tetapi aku mampu melihat suara dan aroma. Aku melihatmu jelas, Kusumadewa."
Radika berlari menerjang Mikail, ia melesatkan pukulan ke arah wajah Mikail. Dalam tayangan lambat, Mikail merasakan gelombang suara dari gesekan angin di sekitarnya. Dengan mudah pria berpakaian ala-ala pastur itu mengelak. Lagi-lagi Mikail berhasil mendaratkan serangan pada Radika. "Jangan terlalu santai menghadapi orang buta ini. Ayo, serius ... atau kau akan menyesal selamanya."
Pria bernuansa hitam itu memejamkan matanya. 'Kita bertukar.' Saat membuka matanya kembali, kini sosok Asli Radika yang akan menghadapi Mikail. Ia tampak tenang. Payungnya tiba-tiba terbang mengincar Mikail. Tentu saja menghindari payung itu sangat mudah, tetapi tiba-tiba sebuah tendangan berhasil mendarat di lehernya.
Orang ini bermain dengan payungnya, sehingga suara langkah dan pergerakan lainnya teralihkan. Gerakan payungnya yang liar dan cepat membuat ritme angin berantakan. Dia cerdas. Aku benar-benar buta akan pergerakannya.
Kini giliran Mikail yang dihajar habis-habisan oleh Radika Kusumadewa. Pria itu membuat Wengi dan Emil kehilangan fokus karena memperhatikan Mikail. Hal ini membuat Alex dapat mengungguli mereka berdua.
Bukan hanya mereka, bahkan tim yang sedang bertempur di hutan pun merasa kesulitan menghadapi Rawasura. Begitu pun Bayu, sedari tadi ia menghadapi tiga orang sekaligus. Memang, Radika sudah pergi, tetapi masih ada Gandring dan Ganapatih. Resonansi jiwa lebih dari satu topeng, di tambah menggunakan efek topeng lain di luar resonansi, tentu saja itu membebani tubuhnya sendiri.
Ganapatih menyeringai. Sedari tadi memang tak ada perlawanan yang berarti dari Kencana Selatan, tetapi itu sudah termasuk rencana mereka untuk membuat lawannya kehabisan napas. Di luar Kencana Selatan, Bayu dan kawan-kawan juga harus menghadapi pasukan ilmu hitam yang jumlahnya terus bertambah.
Rizwana tersenyum menonton pertempuran dari singasananya. "Serangan balik dimulai."
Bukan hanya Bayu dan Peti Hitam saja yang kehilangan banyak stamina. Rupanya Dharma juga. Menang jumlah tak membuat sedikit pun rasa sulit untuk Arai Purok. Selama mandaunya bergerak bebas, semua bisa mati kapan saja.
Tirta memang tak bisa memprediksi masa depan seperti Dirga, tetapi ia mampu membaca pikiran lawannya. Hanya saja yang membuatnya heran, dari awal pertarungan hingga berada di titik ini, Arai Purok sama sekali tak memikirkan apa pun. Ia bergerak murni karena insting membunuh.
Di luar kedua mandaunya, Purok juga mahir pertarungan jarak dekat dengan tangan kosong. Hal ini membuat pupus harapan Tirta. Ia pikir, Purok adalah tipe petarung jarak jauh, mengingat ia menyerang dengan mandau terbang. Ternyata pemikiran itu terlalu naif. Purok adalah petarung gila yang tak bisa sedikit pun diprediksi pergerakannya. Ia bisa membunuh dari jarak jauh dan dekat.
Kei berdiri dengan mata sayunya mengamati Purok. Hanya Kei yang masih bersantai tanpa pergerakan. Mandau-mandau itu beberapa kali mengenai Kei, tetapi tak mampu menembus selimut dari sisik naga besukih miliknya.
"Daya tahan selimut baru ini jauh lebih lemah dari selimutku yang dulu," tutur Kei sambil menghela napas. "Kualitasnya benar-benar berkurang jauh." Ia berjalan santai ke arah Purok.
Siapa orang ini? Bisa-bisanya dia berjalan santai di tengah tarian kematian, batin Purok.
"Sejujurnya tubuh ini sudah tua. Bahkan aku kehilangan seluruh kemampuan Yudistira," ucap Kei sambil mengusap tengkuknya yang merinding. "Jangan terlalu keras pada orang tua ini, ya." Ia melesat ke arah Purok dan menutupi pandangan Purok dengan melempar selimutnya. "Waringin Sungsang." Kei memukul Purok dari balik selimut hingga membuat pria itu Terhentak dan jatuh. Kemudian ia menarik selimutnya dan melilitkan kembali di tubuhnya.
"Orang tua? Apanya yang orang tua, berengsek. Tinjumu itu yang paling sakit sejauh ini tau," balas Arai Purok sambil berdiri kembali.
"Abi, sembuhkan pasukan yang terluka. Trishula, bantu Bayu menyelamatkan Jayasentika. Tirta, pulihkan tenagamu. Agha, buka pintu Alam Suratma seluas yang kau bisa."
Semua terbelalak mendengar perintah Kei pada Agha. "Seluruh tempat ini?" ucap Tirta.
"Apa kau sanggup?" tanya Kei, mengabaikan Tirta.
"Kei! Udah gila ...."
"Sanggup," jawab Agha memotong ucapan Tirta.
"Agha!"
"Tirta ...." Kini Tirta menoleh menatap Kei. "Percayalah pada bawahanmu sendiri."
"Berapa banyak orang yang akan terseret?" balas Tirta.
"Aku punya firasat buruk tentang hujan darah ini. Rizwana belum bergerak. Prioritas kita adalah menggagalkan rencana terselubung di balik malam Walpurgis!" timpal Kei. "Kita pikirkan rencana lain setelah itu. Intinya, Rizwana harus dihentikan secepatnya."
"Yes, Sir!" ucap semua anggota yang mulai bergerak sesuai instruksi dari Kei.
"Nah, sekarang kita tinggal satu lawan satu. Jangan menahan diri," ucap Kei sambil menatap Purok. "Keluarkan kemampuan terbaikmu."
Purok menyeringai lebar. "Kau memang hidangan terbaik malam ini." Purok memanggil kedua mandaunya hingga berada dalam genggaman tangannya, lalu berlari menerjang Kei.
***
Mengetahui letak jantung Ettan, tak membuat Rawasura itu gentar, justru ia semakin beringas. Petrus mulai hilang ketajamannya, pasalnya tembakannya mulai sering meleset. Ya, di samping bahu kirinya terluka, Ettan pun mampu membaca pola srangan Petrus, dan semakin waspada terhadap segala jenis serangan yang mengincar jantungnya.
Wengi yang menyadari itu mulai terlihat panik. Di sisi lain, ia juga telah banyak menggunakan banyak energi untuk menahan pergerakan Ettan, tetapi sejauh ini belum ada dampak serius.
"Aku kecewa," ucap Ettan. "Rupanya tidak ada perubahan."
Sebenarnya Wengi paham, bahwa mereka bertiga tak akan bisa menang, mengingat peluru-peluru Petrus tak mampu memberikan dampak serius pada Ettan. Selama ini ia hanya mengulur waktu untuk Petrus dan Isabel agar bisa kabur. Tembakan pertama awalnya hanya pengalihan saja, yang diharapkan menjadi pengecoh untuk Ettan dan membuatnya berpikir Petrus masih berada di hutan. Tembakan kedua dibuat untuk membuat Ettan semakin yakin bahwa Peti Hitam sedang melawan.
Namun, Petrus tak sepakat. Bukannya lari, ia justru terus menembak dan berusaha melubangi jantung Ettan dengan pelurunya. Luka di bahu kirinya semakin menjadi-jadi. Hal itu membuat Ettan tertawa. "Adik kecilmu itu bisa mati kehabisan darah. Memang seranganku bukan serangan yang fatal, tetapi tetap saja cukup dalam. Jika tak mendapatkan pertolongan, mungkin saja dia akan mati."
"Petrus itu kuat, dia tidak akan mati semudah itu," balas Wengi.
"Ya, aku paham. Makanya ...." Ettan menyeringai menatap hutan. "Aku sendiri yang akan membunuhnya. Aroma lezatnya semakin kental."
"Sial!" Wengi terbelalak ketika Ettan melesat cepat masuk ke dalam hutan mengabaikannya. "Petrus! Lari!"
Di dalam hutan Petrus sedang tertatih. Memang, Isabel membuat banyak replika Petrus, tetapi hal itu tak mampu mempengaruhi aroma darah dari Petrus yang asli. Begitu pun Sewandana, topeng itu pun tak bisa menyembunyikan aroma darah Petrus.
Petrus terlihat marah pada Isabel yang tiba-tiba datang dan menopang tubuhnya dan membantunya berjalan. "Aku enggak akan ninggalin kamu," ucap Isabel yang paham arti dari sorot mata Petrus.
"Pergi, Isabel. Kamu harus tetap hidup," ucap Petrus.
"Enggak akan ada yang mati lagi," balas Isabel. "Aku enggak mau tinggal sendirian."
"Mengharukan sekali." Isabel dan Petrus menoleh ke arah sebuah semak yang bergerak. Dari balik semak itu muncul Ettan. "Yo, anak iblis." Ucapan itu ia lontarkan pada Petrus yang sangat merepotkan.
"Isabel, lari!" teriak Petrus, tetapi Isabel tak melepaskan Petrus dan masih membantunya berjalan. Ia tersenyum menatap Petrus. "Kamu hari ini banyak ngomong ya. Semoga kedepannya kamu sering ngomong kayak gini. Jangan malu-malu lagi, kita keluarga, kan?" balas Isabel.
Petrus merogoh sebuah pistol dari balik pakaiannya. Ia sudah membuang senapan laras panjang miliknya akibat teralu berat. Kini Petrus mengarahkan pistol itu pada Ettan yang berjalan hampir menyusul mereka.
Dor ... dor ... dor
Peluru-peluru itu tak melukai Ettan. "Sepertinya kau putus asa sekali ya? Aku akan membunuh gadis itu terlebih dahulu sebelum membunuhmu."
"Jangan sentuh Isabel!" ucap Petrus.
Ettan berlari ke arah mereka. Ia sudah bersiap untuk mencabik-cabik Isabel terlebih dahulu. Petrus mendorong Isabel agar serangan Ettan mengenainya, tetapi Ettan tak sebodoh itu, ia memutar tubuhnya dan mengincar Isabel.
"ISABEEEEL!" teriak Petrus sambil melihat dalam tayangan lambat detik-detik Ettan mencabik adiknya. "TOLOOONG!"
Petrus terbelalak ketika seorang pria berlari melewatinya. Saat melewati Petrus, pria itu sempat berbisik. "Doamu didengar."
"Agni." Sebuah tinju bersarang di pinggang kanan Ettan hingga ia memuntahkan darah dan terpental.
Disusul seorang wanita yang tiba-tiba datang, dan langsung menggendong Petrus sambil meraih Isabel dengan mode braja. Setelah mengangkut mereka, wanita itu melesat keluar dari hutan dan membawa kedua anak ini ke pinggir jalan. Ada sebuah mobil pick up di sana. "Bawa anak-anak ini ke rumah sakit, Horse."
"Oke." Pria dengan tato kuda di lengan itu mematikan rokoknya, dan memasang sabuk pengaman, lalu menignjak gas pergi dari lokasi Walpurgis. Setelah itu, si wanita kembali masuk ke hutan.
Di sisi lain, Ettan menatap lawan di depannya dengan wajah tak senang. "Berengsek ...."
"Sebuah reuni mengharukan, ya?"
"Tutup mulutmu, Wira Sakageni," balas Ettan yang terlihat sangat marah.
***
Saat semua mulai terpojok, Radika semakin mebuat kubu putih semakin tak karuan. Ia memang orang yang paling tenang dalam perang ini. Ketika Bayu mulai kelelahan, ia mengirim payungnya untuk membunuh Jayasentika.
"Tidak akan ku biarkan!" Bayu hendak mengejar payung hitam yang melesat cepat itu, tetapi rantai-rantai Gandring mengikat kakinya sehingga Bayu tak bisa bergerak leluasa. Bukan hal sulit untuk lepas, tetapi rantai itu memperlambat respons Bayu dalam mengejar payung milik Radika.
Ganapatih tertawa, ketika tak ada satu pun orang yang mampu mengejar payung itu. Bahkan Harits hanya bisa bergeming menatapnya. Jaya memberontak, ia menatap payung hitam dengan ujung runcing yang mengarah tepat di hadapannya. Ganapatih membentangkan tangannya. "Era ini adalah era Kencana Selatan."
Mikail yang kini tak lagi terkecoh, langsung menerjang raga asli Radika. Tangannya berubah menjadi hitam seperti tangan iblis. Namun, ternyata Radika lihai dalam menghindar. "Meskipun kau membunuh raga ini, kematian Jayasentika tak bisa dihindarkan," ucap Radika.
Tiba-tiba payung milik Radika terjatuh. Hal itu membuang tawa Ganapatih dan para pasukan Kencana Selatan, beserta pengguna ilmu hitam lain. Sebuah pedang menembus dada qorin Radika.
"Urusan kita belum selesai." Cakra dengan wujud rohnya datang dan menjadi penghenti kematian Jaya.
Harits tak bisa menahan bahagianya saat Jaya berhasil diselamatkan.
"Dan untuk Harits Sagara ...," lanjut Cakra menyorot Harits dengan tatapan tajam. "Jangan pikir bisa nanggung semua beban sendirian. Itu tindakan bodoh."
Kubu Mantra telah hadir. Bahkan Melodi dan Nada pun ikut. Hal itu bukan tanpa sebab. Sebenarnya pertarungan sudah terjadi di Mantra. Pasalnya, ketidakhadiran Nagara di tempat ini adalah karena ia bergerak untuk membunuh Nada.
Retrokognision. Dengan kemampuan Melodi, ia harus mengulang waktu untuk mencari solusi terbaik, dan inilah jawabannya. Mereka berdua ikut hadir ditemani para bawahan Wira.
Ratusan pedang astral mulai terlihat. "Ini bukan pedang asli, jadi tenang aja. Kalian enggak akan mati." Hujan pedang turun dengan kehendak Cakra. Mantra hadir sebagai tamu tak diundang dalam perayaan malam Walpurgis.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top