75 : Dharma Muda

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Namun, mandau itu bukan menghantam leher Harits, melainkan sebatang besi badama berbalut atma. Kepulan asap membaur dengan semilir angin laut. Arai menatap pria yang menahan mandaunya hanya dengan satu tangan yang tersisa di tubuhnya. Sebatang rokok menempel di antara bibirnya. Ia berkata dengan suara yang kurang jelas karena menahan rokoknya agar tidak terjauh. "Aku sedang banyak pikiran karena kembaranku sekarat. Jangan tambahkan beban lain dengan membunuh keponakanku. Kalian memang benar-benar kelewatan."

Tirta Martawangsa masuk ke medan tempur. Ia menahan mandau terbang yang menebas puluhan kepala hanya dengan besi yang digenggam dengan satu tangan. Hal itu membuat Arai menyeringai. Ia menemukan mangsa yang layak dibunuh.

"Kita lihat sampai sejauh mana kemampuanmu itu." Arai hendak melayangkan tinju, tetapi Tirta bergerak mundur dan menendang bahu Arai sehingga pria bertato itu mundur dan tak jadi memukul. Dipentalkannya mandau terbang milik Arai, dan langsung menerjang dengan kuda-kuda yang memang sudah ia persiapkan ketika mundur tadi. Tirta menyabet leher Arai Purok dengan besi badama.

Arai terbelalak. Ia hampir terjatuh, tetapi kakinya berusaha sekuat tenaga menahan bobot tubuhnya agar tidak terjatuh. Arai terkejut dengan serangan balik Tirta, tetapi lagi-lagi ia malah terlihat senang. Mandaunya yang terpental kini melesat berputar-putar mengincar leher Tirta. "Mandau ini sekarang hanya akan mengincar satu kepala!" ucap Arai. "Dengan tangan satu itu apa kau bisa menghadapi mandau liar dan penggunanya sekaligus?"

"Siapa yang tahu." Tirta meniup kencang rokok di mulutnya hingga terpental mengenai wajah Arai sambil melempar senjatanya, membentur mandau terbang. Dalam waktu sepersekian detik itu, Tirta sudah berada di hadapan Arai sambil memasang kuda-kuda waringin sungsang. Arai tak mampu mengelak karena pergerakan Tirta yang cepat. Perutnya dihantam tinju waringin sungsang oleh Tirta hingga memuntahkan darah hitam.

"Harits, pergi," ucap Tirta yang baru saja membuat Arai bertekuk lutut. "Selamatkan Emil Jayasentika."

Harits meneguk ludah menatap Tirta yang mampu mengungguli Arai. Ia bergegas membantu Bayu untuk menyelamatkan Jaya.

"Nah, kita lihat sampai sejauh mana kemampuanmu itu." Tirta membalas perkataan Arai dengan kalimat yang sama.

Arai bangkit, ia menyeringai menatap Tirta. Tak ada raut wajah tertekan, sejujurnya hal itu membuat Tirta merinding. Bagaimana tidak? Beberapa serangan Tirta seharusnya menjadi serangan telak, tetapi pria itu masih bisa berdiri dan mampu memamerkan seringainya seolah-olah tak terjadi apa-apa. Tiba-tiba ia menempelkan jari telunjuk ke bibirnya. "Sssttt ... jangan bilang siapa-siapa." Satu tangannya lagi mencabut satu mandau yang masih bersarang di sarungnya.

"Masih ada lagi?" Tirta terbelalak. Pasalnya ia tak menyadari keberadaan mandau tersebut.

Arai Purok memegang mandau itu dan menekan sisi tajamnya ke mulut secara horizontal hingga melukai kedua pinggir bibirnya. Ia meletakkan mandau tersebut di tanah, lalu dengan gerakan menari, Arai menerbangkan mandau kedua miliknya. Berbeda dengan mandau pertama yang bergerak begitu saja, mandau kedua ini bergerak dengan tariannya.

Mandau pertama kembali melesat mengincar leher Tirta, tetapi lagi-lagi Tirta menangkisnya. Ketika ia sibuk menahan mandau pertama, tiba-tiba mandau kedua melesat ke lehernya. Tirta mementalkan mandau pertama dan lompat secara dramatis menghindari mandau kedua. "Oh ... masih lihai rupanya."

"Komandan!" beberapa orang dari kepolisian yang baru saja tiba langsung berusaha membantu Tirta.

"JANGAN MENDEKAT!" Tirta berteriak, tetapi rupanya mandau kedua milik Arai sudah menerbangkan kepala-kepala bawahannya.

"Sial!" Tirta tak berkutik menatap bawahannya terbantai begitu saja tanpa perlawanan. "Ringkus yang lain! Jangan ada yang mendekat ke area saya!" Memang, unit Dharma bukanlah divisi yang memiliki banyak sumber daya manusia, sehingga pada misi kali ini beberapa polisi dari unit lain ikut turun membantu.

"Jangan berpaling. Mandauku itu liar."

Tirta kehilangan fokus. Dalam sekejap keadaan berbalik. Waktu seakan melambat untuk Tirta, kedua mandau Purok berada di sisi kanan dan kiri leher Tirta hampir mengapitnya. "Ah, sial ...."

"MATI!" Teriak Arai.

Darah bercucuran di tanah. Harits yang baru saja ingin membantu Bayu, tiba-tiba menghentikan langkahnya dan terbelalak ke arah Tirta seolah tak percaya.

Sebuah gada menghantam mandau yang berada di kiri Tirta. Sementara di sebelah kanannya ada kujang yang membuat mandau satunya bergeming. Di sisi lain Arai kembali memuntahkan darah akibat pukulan telapak tangan seorang pemuda dengan rambut terurai angin. Keadaan hening seketika. "Antari." Kini Arai terpental cukup jauh akibat serangan pria itu.

Harits menyeringai menatap tiga orang pemuda seusianya yang baru saja datang dan menyelamatkan Tirta dari kematian. "Tiga orang gila yang terlambat," tutur Harits sambil menoleh kembali menatap Jaya, lalu melanjutkan langkahnya.

Jika Septa membentuk Simfoni Hitam yang beranggotakan Rizwana, Harits, dan Kenzie. Tirta juga membentuk para Dhama muda.

Pemuda yang berhasil membuat Arai tepental itu kini menoleh ke arah Tirta. "Maaf terlambat, Komandan."

Tirta tersenyum. "Selamat datang, Trishula."

Trishula. Seperti namanya. Sebuah tim yang diharapkan menjadi ujung tombak regenerasi Dharma. Ageng Suganda, pemuda bertubuh tinggi agak berisi itu memiliki sebuah gada. Wajahnya ramah menatap Tirta. Sementara di sebelah kiri Tirta ada pemuda yang tingginya tak begitu berbeda jauh dengan Harits, Sura Nataprawira namanya. Wajah dan sikapnya tak mencerminkan kebaikan, karena memang pemuda itu yang paling sulit diatur dan tergila-gila pada pertarungan. Dua bilah kujang mengisi kekosongan pada kedua tangannya. Terakhir pemuda dengan tangan telanjang yang berhasil mendaratkan tinju telapak tangan khas waringin sungsang dan dikombinasikan dengan atma bertipe angin. Ia adalah ketua dari Trishula. Memiliki tatapan dingin dan karisma yang memancar, Wisesa Kertarajasa.

Di samping itu, Kei berjalan diikuti Abimanyu dan Agha. Kini mereka semua berdiri mengepung si pria dayak itu. "Arai Purok, namamu tercatat menjadi salah satu buronan Dharma dengan harga kepala tertinggi. Sungguh beruntung bisa bertemu denganmu di sini. Salam kenal," ucap Kei.

Arai bangkit dan menatap Kei dengan sorot mata yang tajam dibalut seringai yang belum sedikit pun memudar. "Nah, harusnya begini. Enggak perlu repot-repot mencari keberadaan kalian satu per satu. Dengan kalian berkumpul seperti ini, ini akan memudahkanku membawa kepala kalian semua. Di dunia gelap, kepala kalian cukup mahal loh," balas Arai. "Aku akan sedikit serius." Ia mempercepat tariannya sehingga kedua mandaunya bergerak semakin liar dan cepat mengincar kepala-kepala unit Dharma. Tekanan yang diberikan Arai Purok mampu membuat hampir seluruh orang di malam walpurgis bergidik ngeri. Hawa membunuhnya bukan main-main.

Arai Purok, salah satu dari empat orang pembawa kiamat itu kini akan menghadapi unit Dharma seorang diri. Hal ini membuat Rizwana tak perlu repot-repot ikut campur perkara polisi khusus itu. Berbeda dengan wajah Arai yang selalu saja memberikan tekanan dengan seringainya, Rizwana memasang wajah cemberut ketika menatap Bayu yang mampu menyudutkan rekan-rekannya.

"Radika, pasang payungmu jika tidak ingin pakaianmu menjadi kotor." Rizwana menggores lengan kirinya dengan pisau sehingga mengeluarkan darah yang mengucur membasahi tanahnya berpijak. "Karara Mulya." Tombak Karara Mulya muncul dari darah tersebut. Rizwana memutar tombak itu dan melakukan gestur membelah langit. Kemudian ia menghentakkan pangkal tombak ke genangan darahnya sendiri. Tanpa permisi, hujan turun mengguyur pantai Parang Tritis. Hujan ini bukan hujan biasa, melaikan hujan darah.

"Kau tidak membuka payungmu?" ucap Rizwana yang mendapati Radika tak membuka payungnya. "Biasanya kau benci kotor."

"Aku harus pergi." Kini pria dengan pakaian serba hitam itu memejamkan matanya. Tiba-tiba payungnya terbang sendiri dan melesat ke arah Jaya. Di waktu yang sama, Radika membuka matanya dan berjalan santai mengikuti arah payungnya. Ekspresi kalemnya berubah, Radika tampak menyeringai menatap Jaya.

"Ini dia yang aku suka dari kemampuan keluarga Kusumadewa," tutur Rizwana. "Berteman dengan qorinnya sendiri, sehingga saat melakukan proyeksi astral, tubuh aslinya tetap bergerak dan ikut bertarung dengan qorin sebagai pengisi kekosongan raganya. Dalam satu waktu, seorang Kusumadewa mampu bertarung dengan roh dan raganya."

Qorin merupakan makhluk yang lahir ketika seorang manusia terlahir. Ia selalu mendampingi manusia itu dan memiliki perawakan yang persis seperti orang tersebut. Qorin sendiri merupakan eksistensi jin yang disebut-sebut sebagai kembaran kita, tetapi memiliki sifat yang sangat bertolak belakang dengan manusianya.

Tak seperti Radika yang pendiam, kini raganya menyisir rambut ke belakang. Ia menyeringai sambil sesekali menjilat hujan darah yang mendarat di sekitar mulutnya. Raut wajahnya menampilkan semangat bertarung.

***

Petrus dan Isabel tak bisa membantu banyak. Kini mereka berdua sibuk lari dan bersembunyi dari Rawasura. Kedua bocah itu memang berbahaya, tetapi lemah dalam pertarungan secara frontal.

Petrus memiliki indra yang sangat tajam. Meskipun jaraknya dan Isabel berjauhan, ia mampu mendengar beberapa kode yang diberikan oleh Isabel, seperti ketukan atau siulan. Petrus pun mampu meniru suara burung, sehingga ia berkomunikasi dengan kode itu.

Rupanya bocah itu tidak benar-benar bisa menghindari serangan Ettan sebelumnya. Ia terluka di bagian lengan kiri. Itu hanyalah luka kecil yang tak meninggalkan bekas darah pada cakar Ettan, tetapi cukup pekat aroma darahnya pada hidung siluman.

Petrus merinding, secara perlahan Ettan mengikutinya dengan mengandalkan penciuman. "Aku tau kau masih di sini bocah," ucap Ettan sambil tersenyum. "Aku tidak akan membunuh rekanmu jika kau mau menyerahkan diri."

Petrus terus bergerak dan berusaha menjaga jarak dengan Ettan. Ia tak peduli dengan kata-kata lawannya itu.

"Ahh ... begitu. Rupanya Peti Hitam hanyalah sekumpulan pengecut yang bersembunyi," ucap Rawasura. "Aku ingat betul, Wengi juga begini sebelum ku penggal kepalanya."

Langkah Petrus terhenti. Kata-kata Ettan membuatnya mengetahui kebenaran bahwa yang membunuh kakaknya adalah orang ini.

Ettan terbelalak ketika sebilah belati menancap di dadanya. Perlahan wujud Petrus mulai terlihat. "AKU AKAN MEMBUNUHMU!" Pada akhirnya bocah itu mengeluarkan suaranya dibalut mata berkaca yang menyorot Ettan tajam penuh dendam.

"PETRUS JANGAN!" Isabel yang sedari tadi bersembunyi sambil mengawasi langkah Ettan, kini juga menampakkan dirinya ketika Petrus terpancing oleh ucapan Ettan Rawasura.

Ettan menyeringai. "Setelah membunuhmu, aku akan membunuh gadis itu."

"JANGAN SENTUH ISABEL!"

Darah mengucur. Ettan menusuk Petrus dengan kuku tajamnya. Beruntung Petrus cepat, ia masih bisa menghindar sehingga tusukan Ettan yang mengarah ke jantung agak meleset mengoyak bahunya.

"Usaha yang cukup bagus, tapi sudah berakhir." Ettan menatap datar pada Petrus yang sudah mati langkah. "MATI!" Ettan melepaskan serangan berikutnya.

Mulut itu robek hingga darahnya mengucur deras. Sebuah bambu runcing menembus kepala Ettan hingga setengah bagiannya keluar melewati mulut.

"Jangan berpikir kau bisa merebut apa pun dariku, selain nyawaku, Ettan. Seorang kakak tidak akan pernah membiarkan adiknya terluka. Aku akan kembali dan terus kembali dari alam kematian ketika itu terjadi. Kau boleh membunuh semua orang di dunia, kecuali keluargaku. Camkan itu baik-baik."

Petrus dan Isabel berkaca-kaca mendapati Wengi yang muncul dan menolong mereka.

"Pertempuran belum berakhir. Ini adalah daerah hutan, kita unggul di sini!" ucap Wengi. "Buat jarak dan bunuh orang ini! Aku akan mengulur waktu untuk kalian. Berdiri Petrus, itu hanya luka kecil! Apa kau masih sanggup bertarung?"

"Selama aku masih memiliki tangan yang bisa bergerak. Itu sudah cukup," balas Petrus. Ia bangkit sambil menggenggam senapannya dengan tangan kanan, lalu berlari mencari tempat untuk kembali menyerang.

"Wengi ...." Ettan melepaskan diri dari Wengi. Lukanya kembali pulih.

"Aku belajar banyak hal setelah mati. Cara membunuh kalian para Rawasura adalah dengan menghancurkan jantung kalian. Masalahnya hanya satu, kalian pandai memindahkan organ tubuh kalian. Ya, tak apa. Kami hanya perlu menghancurkanmu lagi dan lagi hingga membuatmu merasa bahwa mati jauh lebih baik daripada berhadapan dengan Peti Hitam."

.

.

.

TBC






Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top