74 : Parade Kepala Buntung
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Para dukun-dukun di pesta walpurgis meneguk ludah ketika Peti Hitam yang seharusnya sudah meninggal, kini berdiri menjadi musuh mereka. Namun, sebagian malah bergairah dan bersemangat.
Seorang pria berjubah lengkap dengan tudung hitam menatap Rizwana. Tampak sang tuan rumah begitu tenang, padahal hanya dengan Bayu Martawangsa seorang diri, hampir menumbangkan setengah kerumunan ini. Seolah Rizwana tak begitu menganggap mereka semua pengganggu.
"Anggota satu darah memang berbeda," tutur pria itu sambil menyeringai.
Peti Hitam yang muncul bukanlah makhluk fisik. Mereka adalah arwah yang dibawa dari Alam Suratma tanpa raga. Kemampuan bertarung mereka seharusnya turun hingga setengahnya, tetapi wajah-wajah itu masih tampak percaya diri.
Di sisi lain Bayu sedang kesulitan. Alex bukan masalah besar, tetapi pria dengan sangkar kosong membuatnya kesulitan. Bayu selalu benci tipikal hal yang berbau ilusi, mengingat pertarungan dengan kakaknya dahulu yang memiliki topeng Sekartaji.
Di tengah kesulitan itu, seorang pria yang familiar datang dan menendang si pembawa sangkar kosong. "Butuh bantuan, kawan?"
Bayu tersenyum. Senyum yang tak pernah ia tampakkan di hadapan Jaya dan anak-anak lainnya. "Bocah Sagara, aku berhutang banyak padamu atas reuni ini."
Kombinasi ujung tombak Peti Hitam Bayu dan Emil bersatu kembali. Jaya baru pertama kali melihat kedua orang ini bertarung bersama. "Jangan membuang waktu, kepala anak itu bisa terpenggal kapan saja," tutur Mikail. "Pergilah. Biar kami urus sisanya."
Gandring masih bersembunyi dari peluru-peluru Petrus. Jika bukan karena Petrus, mungkin Jaya sudah tak bernyawa sekarang. Bayu menatap lurus ke depan, tentu saja melihat Rizwana yang belum juga bergerak membuatnya merasa was-was.
Emil merubah dirinya menjadi cindaku. "Butuh tumpangan kawan?" Bayu naik ke punggung harimau itu. Namun, Alex tak membiarkan mereka lewat semudah itu, ia langsung menerjang Emil dan Bayu, tetapi rupanya Lembu Suro menabraknya hingga terpental. "BUKA JALAN UNTUK BAYU DAN EMIL!" teriak Suro.
Ronggeng mulai menari sambil bersenandung dengan kidungnya. Perlahan orang-orang disekitarnya seakan terhipnotis dan bertingkah tak normal. Mereka saling menyerang satu sama lain. Sementara itu, Wengi dengan kedua guntingnya berlarian dan memberikan luka ringan. Ketika orang yang terluka dengan guntingnya semakin banyak, Wengi menjilat guntingnya sendiri, lebih tepatnya menjilat darah yang menempel di sana. "Selamat berpesta," tutur Wengi dengan suara seraknya. "Pesta bunuh diri." Seketika itu orang-orang yang sempat dilukai Wengi membunuh diri mereka sendiri.
Di pinggir laut, beberapa bagian tubuh berceceran di pasir. Beberapa tergantung melayang pada benang tajam yang terbuat dari atma. Widyatama duduk di tumpukan jenazah sambil menjilat darah yang menempel di tangannya. Dari semua monster yang lepas dari Alam Suratma, bocah kecil ini adalah yang paling dijauhi oleh mayoritas para pengguna ilmu hitam.
Parang Tritis menyajikan pemandangan yang mengerikan malam ini, di mana banyak kepala tak bertubuh. Pasir berwarna merah bermandikan darah. Bau anyir menjadi aroma utama, membunuh aroma khas laut yang segar bercampur bau garam.
Rizwana menoleh ke arah Radika Kusumadewa yang berbicara menggunakan bahasa isyarat. Ia berkata bahwa payungnya telah menemukan si penembak jitu. Payung Radika melayang dan terbuka di atas Petrus.
"Petrus, benda apa itu?" tanya Isabel.
Petrus berbicara menggunakan bahasa isyarat. Ia menyuruh Isabel untuk bersembunyi di hutan yang mengelilingi pantai.
"Bagaimana denganmu?"
"Aku bisa bersembunyi dengan baik." Begitulah isyarat yang diberikan oleh Petrus. Isabel mengangguk dan berlari masuk ke hutan meninggalkan Petrus. Payung itu hendak melayang mengikuti Isabel, tetapi Petrus menampakkan diri dan menembak payung itu.
"Fungsi payung itu bukan untuk mencelakaimu," tutur Rawasura yang tiba-tiba muncul. "Tetapi untuk membantuku menemukan lokasi aslimu, bocah nakal."
Petrus mengarahkan senapan laras panjangnya menodong Rawasura, lalu menembaknya. Namun, Rawasura mampu menghindari peluru itu. Bahkan jika tertembak pun, mungkin ia tak akan begitu menerima dampak kerusakan yang besar, mengingat tubuhnya agak kebal dan cepat beregenerasi.
Dengan cepat Petrus mereload senapan dan kembali menembak, tetapi Rawasura lagi-lagi dengan mudah menghindari beberapa peluru itu, bahkan sengaja mengorbankan tangannya untuk menahan peluru-peluru Petrus. Petrus membuang senjatanya, lalu menggunakan kemampuan Sewandana untuk menjadi tak kasat mata.
Mulai memahami fungsi topeng Martawangsa di hadapannya, Ettan berlari menerjang Petrus, tetapi cakarannya hanya mampu menggores angin. "Cih! Ke mana perginya bocah itu. Para pengguna topeng benar-benar menyebalkan."
Gandring kembali naik untuk melanjutkan eksekusinya. Ketika ia hendak menebas leher Jaya, sebuah peluru lagi-lagi bersarang di lengannya. Namun, kali ini bukan peluru Petrus, melaikan kuku-kuku Asmorobangun.
"Radika Kusumadewa, Arya Ganapatih, bantu Gandring untuk mempercepat eksekusi Jayasentika," tutur Rizwana. Radika langsung duduk bermeditasi, seketika itu juga payungnya yang memiciliki ujung runcing melesat cepat menuju Jaya. Tak mau kalah, Ganapatih melepaskan ular-ular putihnya untuk meracuni Jaya.
"Resonansi jiwa ...." Bayu melakukan resonansi jiwa dengan Asmorobangun. Tulang benulangnya keluar dari tubuhnya dan membentuk zirah berwarna putih. Tulang belakangnya keluar dan membentuk sebuah pedang. Tulang-tulang itu seakan beregenerasi mengisi kembali tubuh Bayu. Bayu masih bisa berdiri tanpa rasa sakit, itulah kemampuan Asmorobangun. Kemudian ia mengenakan topeng Rumyang dan melayang di udara.
Bayu yang melayang, kini menatap Radika yang rupanya melakukan rogo jiwo, atau proyeksi astral. Radika tampak dengan pakaian serba hitam dan membawa payung sebagai senjatanya.
Sementara Bayu menghadapi Radika, kini Emil berhadapan dengan Ganapatih. Pria berkacamata itu tampak begitu licik. "Tidak seharusnya kau di sini, Emil Wijayakusuma. Aku akan mengantarmu pulang."
Emil tertawa. "Coba saja. Sebelum Peti Hitam menang, aku tidak akan pernah kembali."
Bayu, Emil, dan anggota Peti Hitam lain disibukkan dengan musuh-musuh tangguh. Harits pun mulai bergerak. Ia berjalan menuju Rizwana. Namun, aura membunuh yang sangat tinggi membuat atensinya teralihkan. Bukan hanya Harits, bahkan Hara pun merasakan marabahaya dari pria berjubah yang perlahan menghampiri Harits.
"Sensasi ini ...." Samar-samar Hara mulai mengingat sensasi membunuh yang ia rasakan dari orang itu. Tiba-tiba matanya terbelalak. "Harits! Menjauh, dia bukan sembarang orang!"
Dalam waktu singkat, orang itu sudah berada di hadapan Harits. Wajahnya dipenuhi dengan tato. Tangan kanannya memegang mandau dan hendak menebas Harits. Dalam gerak lambat, Harits menatap wajahnya yang menyeringai. Entah, Harits tak mampu bergerak, ia ketakutan. Dengan sangat cepat orang itu menyabet Harits dengan mandaunya.
Darah bercucuran di pasir, sebuah tangan terlempar dari tempatnya menempel. Hara menarik Harits, dan mengorbankan lengannya. Menebas arwah hingga tangannya terputus, tentu saja orang ini bukan sembarangan orang.
"Mandau yang tercabut dari sarungnya harus menelan korban," tutur Hara sambil mundur beberapa langkah. Bocah itu sudah memegang tangannya yang terputus. Ketika ia mundur, Hara mengaitkan benang pada lengannya, kemudian menariknya. "Harits, maaf mengecewakanmu, tapi orang ini adalah lawan yang terburuk. Rizwana masih jauh lebih baik dariapda orang ini."
"Kau kenal orang ini?" tanya Harits.
"Mandau adalah senjata khas suku Dayak. Orang ini adalah pengkhianat sukunya sendiri. Tidak seharusnya seorang Dayak menyerang. Mandau adalah senjata yang digunakan untuk melindungi harkat dan martabat Dayak. Orang ini punya hasrat membunuh yang gila. Dia menggunakan mandau untuk membunuh, bukan untuk melindungi."
"Sebuah kehormatan karena dikenal baik oleh seorang pembunuh berantai seperti anda, Sang Ashura termuda dalam sejarah keluarga Wijayakusuma. Saya benar-benar suka dengan cerita dari tanah Jawa dan memutuskan untuk merantau. Saya ingin mencicipi darah orang-orang seperti anda, tapi sayangnya anda sudah tewas beberapa tahun lalu. Rasanya kurang menyenangkan bertarung dengan arwah."
Widyatama menyeringai. "Kau tidak akan kecewa. Setengah kekuatanku sudah lebih dari cukup untuk membunuhmu." Hara, si bocah mantan Ashura itu berbisik pada Harits. "Aku butuh senjataku ...."
Resiko yang sangat besar ketika memberikan Widyatama senjata pusakanya. Harits dilema, tetapi sepertinya tak ada pilihan lain. Melihat Hara yang meminta senjatanya, berarti lawan yang ia hadapi pun bukan main-main. Di tambah masih banyak musuh yang harus ditumbangkan. Bahkan Rizwana masih belum bergerak dari singgasananya.
Harits menghela napas, kemudian memberi minum darah pada halaman lain buku penjara jiwa. Sebuah pisau besar muncul dari bayangannya. Hara semakin menyeringai hingga membuat Harits selaku tuannya merinding. "Terimakasih Harits," ucap Hara yang menggenggam pisau badik.
Pria berjubah tertawa. "Pisau badik? Menarik. Ayo hibur aku." Ia melesat menerjang Hara. Benang-benang yang sudah disiapkan untuk menjerat pria itu terputus. Hanya dengan auranya saja, atma berbentuk benang milik Hara menjadi tak berguna.
Harits menjauh dari pertarungan dua makhluk paling mematikan itu. Ia ingin menghajar Rizwana, tetapi Gandring yang tanpa penjaggan kini hendak melakukan percobaan berikutnya. Harits terlalu jauh untuk bisa sampai ke sana.
"JANGAN BERCANDA!" Bayu mengamuk dan melakukan resonansi dengan tiga topeng, yakni Asmorobangun, Rumyang, dan Samba. Juga mengenakan topeng Gunung Sari di wajahnya. Sungguh pemandangan yang baru pertama kali terjadi, ketika seorang manusia melakukan resonansi bersama tiga topeng. Bayu yang bisa melayang dengan bebas karena kekuatan Rumyang langsung menerjang Gandring dan menendangnya hingga terjatuh dari batu karang besar.
Bayu lalu mengarahkan pedangnya pada payung Radika. Dengan kemampuan topeng Samba, ia mampu menggerakkan benda tanpa disentuh. Kini roh Radika sedang beradu dengan kemampuan Bayu. Bisa dibilang, Bayu adalah orang terkuat di perang walpurgis ini.
Namun, statement itu terbantahkan. Puluhan kepala terjatuh dari leher-leher mereka. Sebuah mandau melayang dan menebas setiap leher yang ia temui. Dari semua pemandangan yang terjadi, ini benar-benar yang terburuk. Secara misterius kepala-kepala itu terputus tanpa kejelasan siapa yang membunuhnya.
"Mandau terbang ...." Rizwana mengerutkan dahinya sambil mencari pusatnya. Matanya terbelalak mendapati seorang pria yang sekujur tubuhnya dihiasi tato terung. "Apa yang dia lakukan di sini?"
"HARAAA!" teriak Harits.
Dalam waktu singkat, Widyatama tergeletak penuh luka. Pria bertato yang jubahnya telah robek itu menatap Hara dengan tatapan kecewa. "Kan ... mengecewakan." Ia hendak menghabisi Hara dengan tangan kosong. Ketika ia mengumpulkan atma hitam di kepalan tangan kanannya dan hendak menghabisi Hara. Harits datang menjadi samsak untuk melindungi pelayannya.
Radika membuka matanya. "Siapa pria itu?" tutur pria hemat bicara itu pada Rizwana.
"Kau tertarik? Jarang sekali kau berbicara," balas Rizwana. "Orang itu adalah petinggi Satu Darah. Salah satu dari empat komandan tertinggi yang identitasnya diketahui. Sang Panglima Burung dari suku Dayak, Arai Purok. Dia tidak memikirkan kawan dan lawan. Ketika mandaunya tercabut, parade kepala buntung dimulai."
Harits memuntahkan darah akibat punggungnya terkena tinju Arai. Parahnya, Harits tak mampu menggerakkan tubuhnya seolah syaraf-syarafnya tak mau merespons kehendaknya.
"Harits ... lari," ucap Hara yang sudah tak berdaya. "Aku sudah mati, tidak ada gunanya melindungiku."
"Lari?" ucap Arai. "Tidak akan ada yang bisa lari dari mandauku." Mandau terbang milik Arai melesat cepat mengarah ke leher Harits.
"Mas Harits!" Jaya berusaha melepaskan rantai-rantai yang membelenggunya hingga pergelangan tangannya terluka, tetapi tak ada reaksi bahwa rantai itu akan terputus.
Namun, mandau itu bukan menghantam leher Harits, melainkan sebatang besi badama berbalut atma. Kepulan asap membaur dengan semilir angin laut. Arai menatap pria yang menahan mandaunya hanya dengan satu tangan yang tersisa di tubuhnya. Sebatang rokok menempel di antara bibirnya. Ia berkata dengan suara yang kurang jelas karena menahan rokoknya agar tidak terjauh. "Aku sedang banyak pikiran karena kembaranku sekarat. Jangan tambahkan beban lain dengan membunuh keponakanku. Kalian memang benar-benar kelewatan."
Tirta Martawangsa masuk ke medan tempur. Ia menahan mandau terbang yang menebas puluhan kepala hanya dengan besi yang digenggam dengan satu tangan. Hal itu membuat Arai menyeringai. Ia menemukan mangsa yang layak dibunuh.
Dari kejauhan, beberapa helikopter terlihat sedang menuju lokasi walpurgis. Seorang pria berambut ikal dengan mata sayu berdiri di pintu helikopter dengan satu kaki yang menopang tubuhnya, sementara satu kaki lainnya melayang tanpa tumpuan.
"Kalian semua ditangkap," tuturnya menggunakan pengeras suara. "Selamat bermukim di penjara dalam waktu dekat."
Beberapa orang turun menggunakan tali yang dilemparkan ke bawah. Unit Dharma telah bergabung dalam pesta berdarah.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top