73 : Pesta Para Penyihir

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Yogyakarta, 2040

Dentuman ombak yang memecah karang menjadi instrumen pada malam hari ini. Obor-obor menjadi penerangan pantai Parangtritis yang gulita. Ada batu karang berukuran besar yang dijadikan sebuah panggung. Jayasentika duduk  dalam posisi tangan dibentangkan secara terikat. Wajahnya masih penuh dengan luka akibat pertempurannya melawan Rawasura. Hatinya lebih sakit ketimbang fisiknya, ia dihajar habis-habisan oleh Rawasura malam itu. Seharusnya Jaya sudah membunuh si pembunuh Wengi, jika tak ada bantuan yang datang.

Rizwana, Kusumadewa, Rawasura, Gandring, Ganapatih, dan juga Alex berdiri di atas karang itu, tanpa Nagara. "Era lama telah usai! Waktunya generasi baru untuk berjaya!" teriak Rizwana. "Orang ini adalah Emil Jayasentika, pimpinan Peti Hitam generasi keempat. Setelah kepalanya terpenggal, maka dimulailah era baru."

Tawa dan sorak-sorak para dukun menjadi pemeriah suasana. Lemparan batu dilontarkan pada Jaya yang tak berdaya. Beberapa batu membentur kepalanya hingga mengeluarkan darah segar. Namun, Jaya tetap bergeming.

Rizwana turun dari sana menyisakan Gandring yang sedang menatap Jaya sambil membawa sebuah keris dan pedang. Gandring adalah algojo yang akan mengeksekusi Jaya. Sementara itu Rizwana berjalan menuju kursi kehormatan. Di mana, dari kursi itu ia akan menyaksikan eksekusi tersebut.

Namun, jeritan yang keras terdengar dari barisan belakang. Semua sontak menoleh, bagian belakang tampak ketar-ketir hingga pasukan Kencana Selatan memicingkan matanya menatap ke arah belakang.

Belasan orang tumbang terkapar tanpa nyawa. Rizwana tesenyum mendapati kehadiran seseorang dari era lama. "Bayu Martawangsa."

Bayu menghela napas panjang, lalu membuangnya lewat mulut. "MELAWAN BERARTI MATI!" teriak Bayu.

Jaya terbelalak mendapati sosok Bayu yang datang seorang diri. Ia pikir Bayu tak akan pernah datang, mengingat ucapannya belum lama ini telah menikam perasaan seseorang yang menyebut dirinya ayah.

"Benar apa yang kau bilang waktu itu, Emil Jayasentika. Aku bukan ayahmu!" tutur Bayu. "Aku hanya seorang kriminal yang bersembunyi di dalam hutan, lalu menemukanmu dan merawatmu hingga besar. Aku hanyalah seorang pria menyedihkan yang ingin memiliki keluarga, karena tak pernah merasakan hangatnya kekeluargaan. Aku tau malam ini kau sedang ketakutan! Jangan takut lagi, ayahmu memang tidak di sini! Tapi aku di sini ... aku di sini. Aku tidak akan pernah membuangmu."

Jaya sudah pasrah, ia sudah tak peduli jika dirinya mati. Namun, sosok yang berdiri cukup jauh darinya itu membuat matanya berkaca-kaca. Sekuat-kuatnya seorang pria, ketika ia terluka, ia akan mencari sosok ayahnya sebagai tempat berlindung.

Tentu saja mendengar ucapan Bayu yang melankolis membuat para dukun-dukun ini tertawa. Menurut mereka, Peti Hitam hanyalah sekumpulan kelompok pelawak sekarang. Tanpa Mikail, mereka bukan apa-apa.

"Tertawalah ... nikmati malam ini." Bayu menyeringai dengan aura membunuh yang sangat kental. Burung-burung gagak yang ketakutan, mulai beterbangan menghiasi langit malam walpurgis. "Sebab malam ini adalah malam terakhir kalian bisa tertawa riang gembira. Ini pesata bukan? Mari kita berpesta, para bajingan! MALAM MASIH PANJANG HAHAHA!" Bayu mengenakan topeng Asmorobangun dan langsung menerjang lurus kedepan.

Pemandangan mengerikan itu membuat seluruh tawa menghilang seketika. Kepala-kepala berterbangan dari lehernya. Siapa pun yang berada tepat di hadapan Bayu, maka ia penggal tanpa ampun.

"Kalian pikir kalian kebal? HAHAHA. Di hadapanku, kalian hanyalah sekumpulan sayuran! Ilmu hitam kalian masih terlalu berwarna."

Rizwana mengisyaratkan Gandring untuk memenggal kepala Jaya. Gandring menangkap kodenya, ia mengambil ancang-ancang sambil berkomat-kamit. Tepat di bawah kepala Jaya ada sebuah mangkuk untuk menampung darah yang nantinya akan diminum oleh Rizwana. Ketika tangannya melesat untuk menebas leher Jaya, tiba-tiba pedang miliknya terpental. Tangan Gandring menerima luka tembakan.

'Petrus ....' batin Jaya.

"Dia tidak sendiri," tutur Rizwana. "Peti Hitam yang tersisa berkumpul di sini. Cari penembak jitu itu." Rawasura berjalan meninggalkan barisan. Ia yang akan turun berburu penembak jitu.

Di sisi lain, Petrus sedang memantau posisi Jaya dan juga melindungi punggung Bayu dengan senapan laras panjangnya. Kini sosoknya tak terlihat, Petrus mengenakan topeng Sewandana untuk bersembunyi. Sementara Isabel berada di sampingnya dengan topeng Sekartaji. Ia membuat salinan Petrus dengan ilusinya untuk membingungkan orang yang bertugas memburu mereka.

"Arah jam empat, lima, sembilan," tutur Isabel.

Petrus menarik pelatuknya sebanyak tiga kali. Senapannya memiliki sistem automatic, sehingga bisa menembak beberapa kali secara beruntun sebelum akhirnya mengokang senapan. Tiga butir pelurunya berhasil bersarang di kepala tiga orang yang berusaha mengincar Bayu. Petrus adalah orang yang ahli dalam menembak. Sementara Isabel adalah orang yang memberikan kordinat musuhnya. Isabel sendiri memiliki kemampuan mirip Mikail dan Harits. Ketika gagak-gagak itu terbang karena aura membunuh Bayu. Isabel dapat memindahkan visualisasi dan melihat lewat pandangan burung-burung tersebut. Kini jangkauan pandangan Isabel sangat luas dan mampu melihat setiap sudut area, termasuk pergerakan Rawasura.

"Kenapa malah Rawasura yang mencari? Bayu Martawangsa begitu gila, sejauh ini belum ada yang berhasil menggoresnya," ujar Ganapatih. "Seharusnya si bar-bar itu yang turun."

"Kau di sini untuk hal seperti ini, bukan?" Rizwana melirik ke arah Alex.

Alex menatap Rizwana, dan berjalan tanpa kata menuju Bayu, menyisakan Ganapatih dan Kusumadewa di samping Rizwana.

Beberapa dari dukun-dukun ini memang merepotkan, tetapi kebanyakan langsung tewas sekali tebas dengan tangan putih seperti tulang milik Asmorobangun. Hingga pada satu momen, tangan itu membentur sebuah tangan telanjang yang mampu menahannya.

"Sejujurnya kita tidak punya masalah, dan aku tidak tertarik pada malam ini. Namun, uang tetaplah uang, client kami meminta untuk membersihkanmu. Jadi, maaf ...," ucap Alex yang kini sudah face to face dengan Bayu.

Sementara Bayu berurusan dengan tangan kanan dari mafia Ravenous. Gandring kini turun dari batu untuk berlindung. Ia tak tahu dari arah mana peluru-peluru ini datang. Seolah ia memang sedang menghadapi banyak penembak jitu dari berbagai arah.

Petrus juga bisa mengendalikan benda yang sudah ia mantrai. Peluru-peluru miliknya berpencar ketika keluar dari senapan. Hal ini guna menipu musuh perihal keberadaan aslinya. Bukan hanya gandring, Rawasura pun tertipu dan mulai kesal karena hanya mendapati tubuh ilusi.

"Aku akan membiarkanmu hidup jika menyingkir sekarang," tutur Bayu pada Alex. Tiap kalimatnya memberikan tekanan hingga membuat Alex merinding. Namun, itu semua belum cukup untuk membuat Alex mengyingkir dari hadapannya.

Bayu merasakan sesuatu dari arah kiri, ia menoleh dan mendapati sebuah sangkar kosong yang ditenteng  oleh seorang pria berblangkon. Seketika itu juga Bayu seakan hilang kesadaran, tetapi tekadnya terlalu kuat, Bayu menusuk paha dengan tangannya sendiri untuk menghilangkan efek ilusi. Rasa sakit yang timbul akan menjadi lebih dominan ketimbang efek ilusi yang diberikan.

Namun, baru saja ingin menghajarnya, Bayu terkena hantaman di ulu hatinya. Alex memukulnya hingga mundur beberapa langkah. "Mulai dari sini langkahmu, tidak akan mudah," ucap Alex.

Ketegangan ini semakin menjadi-jadi, pasalnya dari arah belakang muncul kabut misterius diiringi turunnya suhu di area itu. Aroma anyir semerbak mengisi penciuman semua orang yang berada di sana. Rizwana merubah raut wajahnya seperti kurang senang dengan kehadiran ini.

Seorang pria kecil berjalan dengan kedua tangan yang bersembunyi di dalam kantong jaket biru dongkernya. Pria itu menatap tajam lurus pada Jaya.

"Mas Harits ...."

Harits Sagara berjalan dengan santainya ke area walpurgis. "Urusan kita belum selesai, Jaya," tuturnya dengan raut wajah yang tampaknya tak begitu senang.

Memang, sebelum pergi, Jaya menghajar habis-habisan Harits dan Deva. Kala itu perbandingan kemampuan mereka terlalu jauh. Harits masih merasa memiliki urusan yang belum tuntas dengan Jaya.

"Datang ke sini sama saja kau membuang nyawamu, Harits!" teriak Rizwana.

"Urusanku dengan orang yang akan segera kau bunuh itu belum selesai Rizwana. Jangan mengganggu," balas Harits tanpa menoleh dan masih menyorot Jaya. "Oi, berengsek! Lagi ngapain lu di situ? Urusan kita belum selesai!"

Jaya tersenyum getir. Ia tak menyangka bahwa selama ini Harits mencarinya untuk membalas dendam. "Saya rasa urusan kita akan segera berakhir!" balas Jaya berteriak.

Dari dalam kantongnya, Harits mengeluarkan sebuah amplop dan melemparnya ke tanah. "Itu seluruh gaji lu yang udah dipotong absen. Belakangan ini toko selalu rame. Cepet berdiri, masih banyak pesanan yang belum lu buat."

Lagi-lagi Jaya tak mampu menahan sesaknya, rasa ingin bebas semakin terpancar dari beberapa usahanya untuk melepaskan rantai-rantai itu. Rasanya ia senang karena Peti Hitam dan Mantra masih peduli dan berusaha membebaskannya, tetapi di sisi lain Jaya khawatir melihat jumlah musuh-musuh mereka yang justru malah semakin bertambah.

"Jangan terlalu percaya diri. Gua dateng bukan buat nolongin lu. Kebetulan gua punya urusan lain yang belum selesai," ucap Harits memindahkan tatap ke arah Rizwana, lalu menatap kerumunan orang yang berusaha menghentikan Bayu. Harits berjalan dengan topi fedora merahnya, perlahan ia mengenakannya. Mata merahnya menyala dalam kegelapan. "Bukan gua yang bakal nolongin lu, tapi Peti Hitam sendirilah yang akan menyelamatkan generasinya." Dari kabut-kabut tebal yang mengikuti Harits, aura mencekam semakin merambat.

Angin laut mengikis kabut-kabut itu hingga menipis. Rupanya Harits tidak berjalan sendirian. Ada siluet gerombolan orang yang mengikuti setiap langkahnya. Harits menyeringai. "Jika kalian ingin menghancurkan Peti Hitam, sekarang waktu yang tepat. Sebab aku membawa mereka dari jurang kematian."

Mikail Sagara, Emil Wijayakusuma, Ronggeng, Lembu Suro, dan Wengi berjalan dengan santainya. Harits membawa Peti Hitam generasi kedua dari Alam Suratma. Bukan hanya mereka, bahkan Wengi generasi keempat pun hadir.

"Wengi ...." Jaya tak percaya melihat pemandangan itu. Orang yang kepalanya sudah terpenggal itu kini kembali utuh dengan senyum hangatnya.

"Kurang satu lagi pemeriahnya." Harits memusatkan fokus pada tangan kirinya. Ia mengarahkannya pada Jaya, lalu seakan melakukan gerakan menarik. Jaya merasa mual, ia muntah di tempat. Sebuah buku hitam keluar dari perut Jaya dan terbang melesat ke tangan Harits.

Rizwana memicingkan matanya. "Penjara jiwa."

Harits melukai tangannya dan memberikan darah pada selembar halaman. Dari bayangannya muncul seorang anak kecil dengan jubah hitam bergambar Peti Hitam. Auranya adalah yang paling mengerikan dari semuanya. "Harits ... sudah berapa lama kau tidak memanggilku?"

"Maaf, bukuku dicuri."

"Aku kelaparan ...," ucap anak itu dengan tatapan kosong.

"Kebetulan, aku punya banyak makanan untukmu. Nikmatilah."

Widyatama menatap kerumunan orang yang berada di tempat itu. "Boleh aku bunuh mereka semua?"

"Ya, malam ini adalah pesta besar-besaran. Bersenang-senanglah, Hara."

.

.

.

TBC


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top