72 : Menuju Walpurgis

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Malam ini suasana Mantra cukup ramai diisi oleh para pejuang skripsi. Ippo dan Reki baru saja datang. Sebenarnya, semenjak Melodi mengusir Ippo dari kehidupannya, Ippo sama sekali tak pernah datang berkunjung lagi, tapi karena sudah berbaikan, kini pria itu kembali hadir mengisi ruangan beraroma kopi ini.

"Melo, ada Ippo," ledek Nada.

"Ya terus kenapa? Biarin aja, yang penting dia bayar."

"Kamu udah enggak takut sama dia?"

"Enggak tuh, biasa aja." Melodi teringat sesuatu. "Eh, kamu enggak dichat Reki?"

"Enggak tuh, kenapa?"

Wah, beneran cuma modus si Ippo, batin Melodi.

"Serius? Apa ada chat masuk, tapi kamu kacangin?" lanjut Melodi.

"Yang sering chat aku cuma kamu sama Cakra kok, udah."

"Selamat malam, Alunan," sapa Ippo.

Melodi tersenyum. Bukan untuk membalas sapaannya, hanya bersikap profesional dalam pekerjaan. "Mau pesen apa?" Melo menyodorkan daftar menu pada Ippo.

"Biasa, signature," balas Ippo. "Lu apa, Rek?"

Reki membaca daftar menu. "Vanilla latte deh."

Melodi mencatat pesanan mereka. "Oke, Mantra coffee satu dan Vanilla latte satu ya, kak." Ia berjalan menghampiri Nada, lalu memberikan pesanan Ippo dan Reki. Reki sesekali melirik Nada. Mungkin karena merasa diperhatikan, Nada menatap ke arah Reki. Ada momen di mana mereka saling beradu tatap. Reki membuang tatap, lalu berjalan di belakang Ippo menuju kursi pojok.

"Gua punya tantangan buat lu, kalo lu bisa. Gua yang bayar kali ini," ucap Ippo.

"Apa?"

"Minta nomor Nada gih," ucap Ippo Reki sambil tersenyum.

"Mending gua yang bayarin lu," balas Reki.

"Deal! Bayarin gua."

"Ah sial, jebakan Ippo."

"Hahaha bercanda. Nih."

Sebuah pesan masuk ke ponsel Reki. "Lu ngirim apaan?"

"Liat aja sendiri." Rupanya Ippo memberikan kontak Nada yang tempo hari diberikan Melodi. Ia lupa memberikannya pada Reki, dan baru ingat setelah melihat Nada.

"Ini nomor baru lu, kan? Lu pasti mau ngejebak gua."

"Yeh, gua enggak sejahat itu ngisengin jomblo, Rek."

Reki hanya menggeleng tanpa peduli pada kontak yang dikirim oleh Ippo. Begitulah Reki, penuh kehati-hatian terhadap tindakan Ippo.

Malam ini Deva dan Harits tak terlihat di kafe. Hanya ada Fenri, Nada, dan Abet di barisan dapur, Cakra di balik meja kasir, dan Melodi yang siap menyambut para pelanggan.

"Si cebol malah ilang, padahal kafe lagi ribet," gerutu Melodi.

"Sabar, Melo. Mantan kamu juga ilang," balas Nada.

"Deva itu beda, Nada. Ayahnya kena musibah, dan dia pasti tertekan mengingat di masa lalu yang lama, ayahnya meninggal."

"Harits juga gitu. Dia emang keliatan biasa aja, tapi pasti dia juga tertekan. Selama ini dia yang paling deket sama Jaya. Tau Jaya bakal dieksekusi di malam walpurgis, Harits pasti enggak akan tinggal diem."

"Aaaaaa ... kenapa harus sekarang?" ucap Ippo dengan nada yang tegas, hingga ia menjadi sorotan di Mantra. Reki memicingkan matanya. "Apa?" Namun, Ippo tak menjawab. Ia beranjak dari duduknya dengan raut wajah datar. "Lu mau ke mana?" tanya Reki.

"Sebentar, gua ada urusan. Lu di sini aja, nanti gua ke sini lagi." Ippo berjalan keluar Mantra. Ippo, pria itu cukup mengerikan, ia memiliki ketajaman indra di atas rata-rata. Meskipun tidak setajam Jaya, Ippo mampu mendengar suara bisik-bisik dari radius yang cukup jauh, dan memilah suara secara terpisah antara satu orang dan orang lainnya. Sifatnya memang begitu, tetapi ia jenius. Mendengar istilah walpurgis dan Jayasentika yang tertangkap, tentu saja kabar ini harus diketahui oleh Sang Raja.

***

"Kamu yakin enggak apa-apa?" tanya Sekar yang khawatir dengan Harits. Belakangan ini wajahnya kusam, jelas terbaca bahwa ia banyak pikiran.

Harits mengelus pipi Sekar sambil tersenyum. "Saat ini aku enggak baik-baik aja, tapi tenang aja karena semuanya akan baik-baik aja nantinya."

"Kalo kamu punya masalah cerita, ya. Jangan pikul dunia di pundak kamu sendirian."

"Ada waktunya aku akan cerita tentang masalah-masalahku, tapi bukan sekarang."

"Oke, enggak apa-apa. Semakin kenal kamu, semakin aku tau kalo kamu diam itu bukan karena kamu enggak mau cerita, tapi karena kamu lagi nunggu waktu yang tepat buat cerita. Semoga masalah kamu cepet selesai ya."

"Makasih ya, Sekar." Harits mendekap tubuh gadis itu. "Dalam waktu dekat, kita enggak bisa ketemu. Tunggu aku ya, aku enggak akan lama-lama perginya."

Sekar membalas dekapan Harits. "Jaga diri kamu baik-baik ya, pahlawan." Harits perlahan melepaskan dekapan itu diikuti sebuah senyum manis yang tak pernah ia tunjukkan di depan siapa pun. "Aku pergi dulu." Kini ia memutar arah tanpa menoleh kembali, berjalan menuju motornya dan pergi tanpa kejelasan untuk Sekar.

Harits masih berkeliaran di Jalan Magelang dekat kampusnya. Ada sebuah tempat sepi yang diduga angker. Harits menuju tempat itu, dan memarkirkan motornya di pinggir jalan. Suasana tampak begitu sepi, kabut tipis menyelimuti area itu, tetapi tak ada apa pun di sana, Harits tak merasakan aura negatif yang mengancam.

Dari tangan kanannya, sebuah topi fedora merah muncul. Cara kerja pemanggilannya sama seperti buku penjara jiwa miliknya yang direbut Jaya. Harits memakai topi itu. Ketika topinya terpasang, mata kirinya berubah menjadi hitam dengan iris merah. Suasana berubah menjadi padang gersang dengan langit merah yang bertahta di atasnya.

Sesosok makhluk menyeramkan dengan rambut panjang dan seringai yang penuh kengerian menatapnya dari kejauhan. Makhluk itu tampak mendekat dengan gestur jalan yang aneh. Harits mentapnya datar sambil menghampirinya juga.

Perlahan makhluk itu semakin cepat seakan ingin menerjang Harits. Dengan tawanya yang menggema, ia melebarkan kuku-kuku tajamnya. Namun, dalam waktu singkat, tubuhnya ambruk di tanah, sementara kepalanya berada di tangan kanan harits.

Meskipun kepalanya putus, matanya masih bisa melirik ke arah Harits. Harits menatapnya dengan raut wajahnya dulu, ketika gemar membantai setan. "Kalian makhluk rendahan memang selalu membuat masalah." Harits membanting kepala itu, dan menginjaknya hingga pecah. Ia melanjutkan ekspedisinya di Alam Suratma.

***

Dharma sedang memutuskan langkah yang akan mereka ambil. Sekarang mereka semua sedang mengadakan rapat secara online. "Apa prekognision Deva bisa dipercaya?" tanya Abi.

"Seandainya itu cuma pandangan buta, enggak ada salahnya kita berjaga. Seumpama kita menyepelekan dan pengelihatan itu benar, mampuslah kita," timpal Tirta. "Kei, jawabanmu?"

"Aku menarik para anggota divisi nol hanya untuk sebuah spekulasi semata. Benar apa yang Tirta bilang, seumpama kita menyepelekan kemampuan Deva dalam menerawang masa depan dan justru hal itu terjadi. Kita sudah ketinggalan langkah, atau malah sudah skakmat."

"Divisi nol? Bukankah itu terlalu berlebihan?" timpal Gemma.

"Kita tidak tau orang gila macam apa yang akan berkumpul di sana. Ada kemungkinan Satu Darah ikut dalam parade walpurgis. Kita tidak akan maju setengah-setengah. Semua anggota harus turun ...," tutur Kei. "Termasuk aku."

"Apa Agha juga akan terlibat dalam penyergapan kali ini?" tanya Abi.

"Ya, kita butuh Mata Suratma," jawab Kei.

Agha masih duduk sambil mendengarkan. Ia memang jarang berbicara, jadi Agha hanya menonton rapat itu lewat perangkat milik Abimanyu.

"Agha, kau dengar aku?" ucap Kei.

"Ya, Inspektur," jawab Agha.

"Kau adalah kunci dalam penyergapan ini. Jika mereka menginginkan neraka, berikan mereka neraka. Bawa mereka semua ke Alam Suratma. Apa kau sanggup?"

"Siap! Sanggup Inspektur. Meskipun saya harus buta karena kehilangan kedua mata saya, saya tidak akan mengecewakan unit Dharma!" jawab Agha dengan suara lantang. "Jika mereka semua memang harus diadili, maka saya akan antarkan mereka semua menuju Sang Suratma."

"Bagus, itu baru semangat muda," balas Kei. "Dan untuk kalian semua. Ini bukan pertarungan Agha seorang diri! Tangkap cecunguk yang tersisa. Jangan biarkan satu pun lolos."

"Siap, Inspektur!" jawab semuanya.

***

Di sisi lain, Bayu duduk di atas tubuh mayat. Ia memegang selembaran kertas berisi tentang malam walpurgis yang akan diselanggarakan dalam waktu dekat. Seorang pria yang membawa parang mengendap dari belakang dan hendak menebas Bayu, tetapi tiba-tiba sebuah peluru menembus kepalanya.

"Jangan buang pelurumu, Petrus. Aku bisa urus diriku sendiri. Kau butuh banyak amunisi untuk perayaan walpurgis. Jika ini cara mereka bermain, kita mainkan. Darah dibayar darah, nyawa dibayar nyawa," ucap Bayu penuh amarah.

Petrus keluar dari tempat persembunyiannya membawa senapan laras panjang berwarna hitam legam. Isabela berada di sampingnya, gadis itu memeluk lengan kiri Petrus sambil menatap banjir darah yang Bayu ciptakan untuk mengorek sebuah informasi. Mayat-mayat para dukun bergeletakan bagai sampah.

"Ketika waktunya tiba, kalian boleh bertingkah bebas. Lepas pembatas yang pernah aku tanamkan dalam benak kalian. Ini pertempuran terakhir kita. Bersenang-senanglah," lanjut Bayu sambil beranjak dari posisinya. "Era Peti Hitam tak akan pernah berakhir. Tunjukan pada mereka, siapa Rajanya. Meskipun itu adalah Satu Darah, bunuh mereka semua."

.

.

.

TBC



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top