71 : Tujuh Titik Cakra
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
"Hanya orang gila yang sudi bertransaksi dengan 'dia' yang kau sebutkan namanya itu," lanjutnya sambil menatap getir salah satu burung pemakan bangkai. "Harganya terlalu mahal untuk bisa disebut sebagai transaksi."
Harits berjalan hingga sejajar dengan orang itu, menoleh menatap wajahnya yang pucat dengan bola mata berbeda antara kanan dan kiri. "Lantas, mengapa dahulu kau bertransaksi dengannya? Ba'it terakhir Mantra, Zahran Utomo."
"Semua karena keadaan. Aku tidak pernah menyesal, tapi yang harus kau ketahui adalah dia bukanlah solusi atas apa yang kau cari."
"Wah, wah, wah ... kenapa kau berkata seperti itu pada client ku, Tomo." Sebuah tangan merangkul Harits dan Tomo, sosok yang bernama Jiwasakti itu kini berada di tengah mereka. Harits terkejut dengan kemunculannya, tetapi tak begitu dengan Tomo.
"Jauhi anak ini, Uchul. Kau boleh bertransaksi dengan semua orang, kecuali Andis dan keturunannya. Aku tidak akan pernah membiarkanmu."
"Kekeke ... menarik." Uchul berpindah posisi, ia kini berhadapan dengan Harits. "Dan tebak siapa siapa yang datang mencariku? Harits Sagara, putra dari Andis. Jadi ada apa gerangan?"
Nada Uchul yang seakan meledek, ditambah seringainya membuat Harits sedikit kesal. Kalau saja bukan karena kebutuhan, ia tak akan sudi menemui Jiwasakti. "Aku butuh kekuatan. Kekuatan yang bisa menghentikan perang."
"Kekeke ... KEKEKEKE ...." Uchul tertawa terbahak-bahak. "Terakhir kali aku bertransaksi dengan manusia, orang itu malah mati, padahal ada aku di dalam raganya. Kau pikir aku sekuat itu?"
"Jiwasakti adalah eksistensi yang mengubur tujuh keluarga terkutuk dan membunuh seluruh keturunan Angkhara. Aku datang bukan karena aku bodoh, aku tahu cerita tentangmu."
Uchul masih tertawa sambil bertepuk tangan. "Jangan kecewa, tapi pria bermata jengjot itu melarangku menyentuhmu."
"Kenapa harus mendengarkan orang itu?"
Jiwasakti merubah raut wajahnya, kini wajah itu datar tanpa ekspresi. "Aku sudah hidup selama ribuan tahun. Selama itu, aku melihat peperangan, kebencian, dendam, amarah, tapi baru pertama kali ada manusia yang menerimaku hanya karena sebuah rasa kesepian. Dari seluruh raga yang aku pernah aku singgahi, hanya dia yang sudi menjadi temanku tanpa meminta banyak kekuatan. Hiduplah ribuan tahun, agar kau mengerti bahwa seorang teman lebih berharga ketimbang seluruh kekuatan yang ada di jagad raya semesta ini."
"Uchul terlalu kuat," celetuk Tomo. "Hanya karena rasa bosan, dia sudi merasuki raga yang sakit. Jika dia menggunakan seluruh kekuatannya, ragaku pasti akan hancur karena ketidakberdayaanku. Selama ada di dalam tubuhku, dia hanya menggunakan dua puluh persen kekuatannya untuk menjaga tubuh ini agar tidak rusak. Dia akan mengambil kesadaran wadahnya. Menerimanya, sama saja kau membuang dirimu. Kau itu kuat, kau tidak memerlukan Jiwasakti."
"Aku kuat? Seandainya memang aku sekuat itu, aku tidak akan pernah berdiri di sini dan memohon!" balas Harits.
"Bocah ...."
Harits menatap ke arah Uchul. "Apa yang akan kau lakukan, jika aku membunuh semua orang di sekitarmu saat singgah dalam ragamu? Aku tidak sebaik yang kau pikirkan. Aku membentuk tujuh keluarga terkutuk untuk memulai sebuah peperangan. Tak ada ada jaminan, bahwa ketika aku memberikanmu kekuatan, aku akan bergerak sesuai kehendakmu. Aku tidak pernah tunduk pada setiap jiwa yang ku rebut raganya."
"Ekhmm ...." Tomo berdehem.
"Hey! Aku tidak tunduk padamu, ini hanyalah sikap respect, Bung Tomo," balas Uchul.
"Pada satu kesempatan harusnya Uchul bisa menyelamatkan nyawa seseorang, tapi karena ia menganggap bahwa kematian itu menarik, Uchul membiarkan orang tersebut mati," timpal Tomo. "Saat itu aku memegang kendali penuh atas sadarku, menonton saat-saat orang itu mati. Sementara makhluk yang kau sebut Jiwasakti itu sedang duduk dalam pikiranku sambil tertawa terbahak-bahak. Dia bukanlah makhluk yang pantas kau sembah, dia bukan juru selamat. Dia hanyalah makhluk gila yang tak bisa diprediksi."
"Musuh kami terlalu kuat. Bahkan Dirga Martawangsa mampu dilumpuhkan. Mereka juga menangkap Emil Jayasentika." Harits sebenarnya frustasi. Ia merasa kecewa pada dirinya sendiri karena tak mampu berkutik. Rasanya benar-benar putus asa karena rasa takut pada musuhnya. "Aku hanya ingin melindungi senyum mereka semua ...."
Uchul hanya menggeleng. Namun, Harits masih berusaha. "Bagaimana jika masih ada keturunan Angkhara yang masih hidup? Apa jawabanmu, Jiwasakti? Pasti ada alasan kenapa kau membunuh seluruh keluarga itu, bukan?"
Uchul agak tersentak mendengar itu. "Kekeke ... bukannya aku tidak berminat, tapi masalahnya adalah janjiku tentang tidak merasuki Andis dan keturunannya adalah harga mati dari sebuah transaksi antara aku dan Tomo. Aku tidak akan pernah mengkhianati kesepakatan yang sudah aku buat." Uchul memasangkan topi fedora merahnya di kepala Harits. Tak ada seringai, ia tersenyum getir. "Percaya dirilah, bocah. Jika dirimu sendiri tidak mampu mempercayai dirimu sendiri, maka siapa lagi yang akan percaya pada dirimu?" Jiwasakti menjentikkan jarinya. Seketika itu juga Harits menghilang dari pandangannya.
Saat tersadar, Harits sudah berada di kamarnya. Ia merasa kecewa karena gagal bernegoisasi dengan Jiwasakti. Sambil memukul lantai, ia menahan isaknya. Namun, sudut matanya menangkap sesuatu yang seharusnya tak berada di kamarnya, sebuah benda yang seingatnya tak pernah ia miliki. Sebuah topi fedora merah yang Uchul kenakan, tidak--sebuah topi fedora yang para dewa kematian gunakan.
Sementara itu di Alam Suratma ....
"Apa tidak apa-apa?" tanya Tomo.
"Kekeke janjiku sudah terpenuhi untuk tidak memberikan dia kekuatanku."
"Dan kau memberikannya seluruh kemampuan Dewa Kematian? Bisa-bisa Sang Suratma memburu kita. Itu bukan hal yang benar."
"Benar dan salah itu tergantung dari sisi mana kita melihat, Tomo. Di era ini, banyak jiwa-jiwa tersesat yang kembali ke bumi. Aku yakin benar, bahwa seluruh keluarga Angkhara sudah tewas tanpa sisa. Ada pengkhianat di antara para Dewan yang membiarkan jiwa terkutuk itu lolos. Jika populasi para belatung bertambah, setidaknya kita juga butuh peziarah untuk memulangkan mereka ke alam yang seharusnya, bukan?"
"Ya, sekali-kali tak masalah berjalan di jalan yang salah. Sebab kebenaran belum tentu bersifat baik."
"Ya, kita awasi saja mereka kekeke."
"Ngomong-ngomong--tumben kata-katamu manis." Tomo tersenyum ketika mengingat Jiwasakti berbicara perihal seorang teman.
"Kekeke jangan mudah percaya. Aku itu pembohong ulung." Hanya suaranya saja yang terdengar. Uchul pergi meninggalkan Tomo sendirian.
Tomo tersenyum. Jiwasakti memang pembohon ulung, tetapi Tomo mengenalnya dengan baik. Saat wajahnya serius, Jiwasakti sedang berkata jujur.
***
Di sisi lain, Deva sedang duduk bersama Abimanyu. Mata mereka menatap gagang pintu yang bergerak. Agha baru saja datang, ia beradu tatap dengan Deva. "Ada yang nyariin," ucap Abi sambil beranjak dari duduknya dan berjalan keluar melewati Agha.
"Apa?" tanya Agha datar.
"Gua punya informasi," jawab Deva.
"Dan enggak gratis," timpal Agha.
"Bawa gua ke Alam Suratma," tegas Deva.
Agha menghela napas, ia tak suka dengan manusia yang menganggapnya sebagai pintu, atau jembatan penghubung antara Alam Dunia dan Alam Suratma. Baru saja hendak memutar tubuh, Deva menggebrak meja. "Atasan lu, ayah gua, Dirga Martawangsa punya kemampuan prekognision. Prekognision adalah kemampuan untuk melihat masa depan, dan itu nurun ke gua. Informasi yang gua bawa ini penting buat unit Dharma, dan tentunya buat gua juga. Gua enggak akan mau ke sini, kalo semua ini enggak berhubungan. Sesuatu yang kelam sedang mengintai dari sudut-sudut malam Jogja."
Agha mengurungkan niatnya, ia menutup pintu dan berjalan mendekat pada Deva. Agha menarik bangku dan duduk di sebrang meja Deva. Ia tak berkomentar, tetapi sorot matanya menunggu.
"Pengguna ilmu hitam akan berkumpul, jumlahnya banyak," tutur Deva. "Jika Dharma bergerak, pasti akan jadi pertumpahan darah, tapi seandainya Dharma memilih diam, entah apa yang akan terjadi, yang jelas itu mendatangkan malapetaka."
"Di mana? Kapan?"
"Daerah Pantai. Berdasarkan informasi beberapa hari lalu, pasti daerah Parang Tritis. Di sana pernah ada gua tempat persembunyian Maheswara."
"Kapan?" tanya Agha lagi.
Deva memejamkan matanya sejenak, kemudian ia mengambil ponsel dan melihat kalender. Deva tak tau kapan kejadian itu, tetapi ia dapat menerka. "Malam jum'at kliwon ini."
Agha melemparkan sebuah lonceng kecil pada Deva. Deva refleks menangkapnya dan sibuk memperhatikannya. "Apa ini?" Ketika ia menatap ke depan, mereka berdua bukan lagi berada di ruangan kantor polisi. Agha sudah membuka penutup matanya, ia membawa Deva, beserta kursi dan meja mereka.
"Seandainya urusanmu sudah selesai di sini, bunyikan saja tiga kali. Nanti seorang pria berjubah yang menenteng lentera merah akan datang menjemput. Ikuti dia, tapi jangan tatap wajahnya saat ia menatapmu, jangan membalas semua ucapannya ketika ia berbicara, dan jangan pernah sekali pun menjawab pertanyaan yang ia lontarkan. Cukup ikuti saja."
Belum sempat Deva bertanya kembali perihal pria dengan lentera merah, Agha menghilang meninggalkannya di kursi. "Mata Suratma benar-benar menyeramkan. Beruntungnya orang itu ada di pihak baik." Deva beranjak dari duduknya dan berjalan pergi.
Deva berjalan dan menjumpai persimpangan. Setiap ia memilih jalan, selalu ada persimpangan lainnya yang berujung pada persimpangan lagi. Sepertinya ia disesatkan oleh Alam Suratma.
"Yo, sedang mencari apa?"
Di tengah rasa bingungnya, Deva menoleh pada salah satu persimpangan. Dari balik kabut, seorang pria berjalan dengan jubah putih yang sepertinya adalah kain kafan. Namun, Deva tak takut, ia justru tersenyum.
"Aku butuh bantuanmu, Paman Frinza."
***
"Jadi begitu, ya. Dirga koma karena dihajar musuh. Hmm ... mereka pasti kuat, mengingat Dirga merupakan salah satu orang terkuat dalam perang Rahwana," tutur Frinza ketika mendengarkan situasi di dunia dari Deva. "Jadi, jadi, jadi--apa yang bisa aku bantu?"
"Aku ingin menjadi lebih kuat. Cukup kuat untuk menggendong semua beban perang ini di pundakku," jawab Deva.
Frinza menyeringai. "Kau datang pada orang yang tepat."
"Aku pernah dengar, bahwa paman merupakan orang yang mampu meniru kemampuan beberapa keluarga. Meskipun enggak punya topeng, paman Frinza digadang-gadang menjadi salah satu yang terkuat di internal keluarga Martawangsa pada era itu, dan berdiri di atas beberapa Dasamuka."
"Meniru, ya?" Frinza tampak berpikir. "Meniru itu adalah cikal bakal terbentuknya sebuah inovasi." Deva diam mendengarkan Frinza. "Aku dan Tirta merupakan orang yang mempelajari atma, sementara Dirga dan Gemma adalah orang yang lebih melatih fisik mereka."
"Tapi kemampuan Om Frinza lebih kuat daripada Om Tirta."
"Tadi udah bener-bener manggilnya pake paman, kenapa sekarang jadi om dah?" Frinza agak risih karena dia bukan om-om. "Kesampingkan itu, setiap manusia itu punya tujuh titik cakra. Setiap teknik memerlukan pengetahuan tentang kombinasi dari titik-titik itu. Ketika Lohia menggunkan braja, dan ketika Kuncoro mengeraskan fisiknya. Mereka mengombinasikan titik-titik yang berbeda, sehingga menciptakan teknik yang berbeda pula."
"Tujuh titik cakra?" Deva baru mendengar ini.
"Muladhara, Svadhisthana, Manipura, Anahata, Visuddhi, Ajna, dan terakhir Sahasrara."
"Ajna itu mata ketiga, kan?" tanya Deva.
"Ya, itu yang disebut sebagai indra keenam."
Deva memicingkan matanya. "Lalu Sahasrara?"
Frinza tersenyum sambil memegang kepala Deva. "Sahasrara itu adalah mahkota. Bisa dibilang, cakra ini merupakan cakra tertinggi, tapi sayangnya kita tidak akan mengulik lebih jauh soal cakra ketujuh itu. Aku hanya akan mengajarimu dasar-dasar atma, dan cara mengombinasikan mereka sehingga mampu memvariasikan banyak teknik. Ketika kau menguasai ini, kau akan mampu mengimbangi seorang Yudistira."
"Mengimbangi Yudistira?"
"Ya, kau akan melanjutkan perjuanganku, menjadi manusia pertama yang mampu menguasai tujuh titik cakra dan menggunakan seluruh teknik atma."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top