70 : Berita Besar dan Rencana Gila
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Malam ini Mantra Coffee kembali normal. Untuk melangsungkan hidup, tentu saja para anggota Mantra butuh uang. Melodi, Nada, Cakra, dan Abet yang menjaga toko pada kesempatan kali ini. Semenjak kembali, Deva hanya sekali pulang untuk mengambil pakaian, setelah itu ia bagaikan ditelan bumi. Nomornya pun tak bisa dihubungi, Deva benar-benar seperti hantu.
"Kamu pasti khawatir sama Deva, kan?" tanya Nada.
Melodi menatap Nada. "Dia udah gede, enggak perlu dikhawatirin." Setelah bicara begitu, Melodi agak menjauh dari Nada. Ia tak ingin diajak bicara. Mungkin mulutnya bisa bicara begitu, tetapi raut wajahnya terlalu mudah dibaca, Melo khawatir.
Gemerincing lonceng membuat Nada menoleh, dilihatnya Harits yang baru saja pulang. "Ketemu sama Deva?" tanya Nada yang sengaja bertanya dengan suara keras sebagai informasi untuk Melodi. Mudah-mudahan kabar bagus. Namun, sayangnya Harits hanya menjawab dengan gelengan kepala.
Cakra dan Harits merasa bersalah, seandainya mereka datang lebih cepat, mungkin takdir Dirga akan lebih beruntung. Mereka berdua sama sekali tak bersalah. Namun, takdir juga tak dapat disalahkan, percuma menyesal. Dari balik meja kasir, Cakra yang seharian mencari keberadaan Deva dengan wujud rohnya, kini menatap Wira yang baru saja datang bersama Dewi.
"Ada berita baik dan berita buruk," ucap Wira yang langsung duduk di salah satu kursi kafe, setelah pengunjung terakhir Mantra Coffee keluar.
Cakra berjalan ke pintu dan membalik gantungan penanda kafe menjadi tutup. "Berita baik," timpal Harits.
"Keberadaan Emil Jayasentika berhasil ditemukan," jawab Wira.
"Berita buruknya?" lanjut Harits.
"Dia ada di tangan Kencana Selatan." Wira membuka sebuah selembaran. "Ini informasi dari dunia gelap, malam jum'at kliwon ini, Kencana Selatan berencana mengadakan pesta besar-besaran. Pesta ini dinamakan malam walpurgis."
"Perayaan malam penyihir?" tutur Cakra.
"Apa itu?" Nada tampak heran dengan informasi Wira.
"Menurut cerita rakyat di Jerman, malam Walpurgis adalah sebuah malam ketika para penyihir berpesta dan menari, bersenang-senang dengan Iblis. Mereka biasanya menyalakan api unggun besar dan melakukan ritual pengorbanan," jelas Cakra.
"Dan Jaya bergabung dengan mereka?" tanya Melodi.
Wira menggeleng. "Jayasentika bukan orang yang menerima undangan pesta. Justru dia adalah tumbal di pesta tersebut."
"Menangkap dan membunuh pimpinan Peti Hitam pasti akan membuat nama Kencana Selatan semakin melejit. Dunia kegelapan mungkin akan tunduk ketika Peti Hitam, raksasa dari era lama dimusnahkan," celetuk Harits. "Kapan? Di mana?"
"Empat hari dari besok, daerah Parang Tritis," jawab Wira.
"EMPAT HARI?!" Nada terkejut mendengar jawaban Wira. Ia terlihat murung. "Aku enggak mau Jaya ...."
"Biarin aja si mati." Kali ini giliran Harits yang menjadi sorotan utama. Ia beranjak naik ke atas seakan tak peduli. "Terlalu banyak yang dia sembunyiin. Dia enggak pernah nganggap kita itu temen, apa lagi keluarga."
"Harits!" Melodi yang tak terlalu suka pada Jaya, kini angkat bicara. Menurutnya Harits sudah keterlaluan. Bagaimana pun, Jaya itu sudah menjadi bagian dari Mantra. "Dulu siapa yang narik Jaya ke sini? Sekarang kenapa malah enggak bertanggung jawab sih? Dasar bocah!"
Harits tak tertarik, ia berjalan ke atas meninggalkan semua orang. Nada paham, Harits adalah orang yang paling khawatir, tetapi ia tak ingin beradu arguman, jadi Nada memutuskan untuk diam tak membela Harits.
"Martawangsa mana?" tanya Wira yang berusaha mencari keberadaan Deva.
"Deva ilang, dia enggak pernah pulang. Di rumah sakit pun enggak ada," jawab Cakra.
"Jadi Walpurgis ini dihadiri sama para pengguna ilmu hitam?" potong Abet.
"Kira-kira begitu."
"Dari mana dapet info begini?" Abet melanjutkan pertanyannya.
Wira menyeringai. "Sakageni adalah keluarga terkutuk, tentu saja info mencolok begini enggak akan pernah luput."
"Bisa jadi ini jebakan," tutur Dewi. "Rizwana berharap kita datang menyelamatkan Jayasentika, dan sebagai gantinya--kamu yang dibunuh, Wir."
"Ya, bisa jadi begitu. So, ada yang mau nyelamatin Jayasentika? Jujur aku enggak punya urusan sama dia dan enggak peduli, tapi kalian punya hubungan. Aku sengaja ke sini karena aku tau itu. Tentukan pilihan kalian. Kalo kalian ikut, aku akan bantu."
"Ngeliat kondisi Dirga, ini terlalu berbahaya. Mas punya anak yang harus mas besarkan. Maaf, mas Abet enggak bisa bantu." Abet memilih mundur.
"Mas Abet!" Nada beranjak dari duduknya. "Jaya ...."
"Aku ikut," ucap Cakra. Kini Nada tersenyum, setidaknya ada orang yang terang-terangan ingin menolong Jaya. "Dengan syarat, kalian berdua enggak boleh ikut."
"Kenapa gitu? Aku sama Melo juga ...."
"Kalian beban," tutur Wira. "Begikan, tuan rambut pirang?"
Cakra membuang muka. Ia tak mau berkomentar tentang pernyataan Wira barusan.
"Beban?" Nada memicingkan matanya.
"Ketika kalian dihadapkan dengan situasi berbahaya di mana kalian harus bertempur. Apa yang kalian lakukan?" tanya Wira. "Anggap semua orang sibuk mempertahankan nyawanya sendiri dan enggak bisa nolong kalian. Apa yang kalian lakukan? Ketika kita bertempur sambil menkhawatirkan punggung rekan kita yang rapuh di medan tempur, kita mati."
Nada terdiam. Melodi menepuk punggung Nada. "Nad, ini bukan ranah kita." Kemudian Melodi menatap Wira. "Ini emang bukan ranah kita, tapi kalo ada yang bisa kita bantu, tolong bilang. Kita akan bantu."
"Cakra ...."
Cakra menoleh ke arah Nada. "Tolongin Jaya, dia pasti takut." Nada menutup mata dengan sikunya. Cakra membelai rambut Nada. "Ya, kita pasti bisa tolongin semuanya. Itu alasan kita kembali ke sini, kan?" Nada menggenggam tangan Cakra. "Makasih Cakra, maaf aku enggak bisa bantu banyak."
"So, udah diputusin jawaban kalian?" tanya Wira.
Cakra menatap Wira dengan sorot mata yang tajam. "Ya, kita selamatkan Jayasentika."
"Oke, bagus. Ini akan jadi medan tempur terbesar," balas Wira.
"Kita cuma bertiga, kalah jumlah. Kita butuh rencana super."
Wira memicingkan matanya. "Bertiga?"
"Dewi, lu, gua. Apa jangan-jangan Dewi enggak ikut? Kita cuma berdua?"
"Tau tentang Shio?" tanya Wira.
Cakra mengerutkan dahinya. "Tahun China?"
"Yups, dua belas hewan keberuntungan," lanjut Wira.
"Tikus, ular, kuda, banteng, naga, harimau ...."
Nada terdiam beberapa detik dengan tatapan kosong. "Naga ... harimau." Ia menoleh ke leher Wira dan juga dada bagian atas Dewi.
"Bukan bertiga." Wira menyeringai. "Tapi bertiga belas. Kalian pikir, bagaimana caranya aku masih hidup setelah mengkhianati Kencana Selatan? Apa kalian pikir aku cukup kuat untuk menahan mereka sendirian? The answer is NO! Aku punya pasukan. Para bawahanku ketika berada di Kencana Selatan. Mereka semua adalah pengikut setia. NO! Bukan pengikut, mereka adalah teman yang tinggi rasa solidaritas."
"Akhirnya hari ini tiba, Wira," ucap Dewi.
Hawa di Mantra menjadi panas. "Waktunya serangan kejutan!"
***
Di atap rumah sakit, Deva berbaring menatap langit tak berbintang milik Jogja. "Kata ayah, dulu Jogja ada bintangnya." Seiring dengan berkembangnya teknologi, bintang-bintang mulai pudar ditelan gemerlap lampu kota.
Sambil menghela napas, Deva memposisikan dirinya untuk duduk dan berkonsentrasi. Ia bermeditasi untuk menjernihkan pikirannya. Matanya terbelalak ketika prekognitifnya aktif secara tiba-tiba.
Kepala Jaya terputus dari lehernya tertebas tombak. Darahnya menjadi minuman dari sebuah pesta para penyihir, sementara jasadnya dibakar di api unggun besar.
Malam begitu sunyi, dalam waktu sepersekian detik, keadaan di atap menjadi sunyi tanpa siapa pun di sana. Deva menghilang bersama hembusan angin malam.
***
Genangan darah menjadi hiasan di lantai kamar Harits. Sebuah simbol Heptagram (bintang segi tujuh) terlukis indah di tengah-tengah ruangan. Harits berdiri tanpa pakaian bagian atas. Darah mengalir dari setiap bagian tubuhnya yang tersayat benda tajam. Ia menggambar heptagram itu dengan darahnya sendiri.
"Aku sudah mengingat semuanya." Setelah pulang ke eranya, Harits mengingat semua ingatan yang pernah dihapus oleh Chandra. Lilin-lilin juga terpasang di setiap ujung sisi heptagram. Kini Harits duduk bersila di sana sambil menutup mata. Kondisi kamar sangat gelap mencekam, hanya ada penerangan dari lilin-lilin kecil.
"Takdir semakin gelap, segelap hati, segelap asa, segelap impian. Ke mana aku harus mencari cahaya? Darah dan air mata menjadi selimut bagi jiwa, terjebak dalam jurang tanpa dasar. Jikalau memang satu-satunya cara menyelamatkan dunia adalah dengan menjual jiwa, aku akan menjual jiwaku. Aku lelah berjuang, aku lelah tertatih--aku mulai lelah berdoa. Datanglah, aku tau kau mendengar, mari kita bertransaksi, Jiwasakti."
Bau anyir mulai mengisi ruangan kamar Harits, perlahan Harits membuka matanya. Ia dihadapkan dengan padang rumput yang basah oleh embun darah. Langit berwarna merah dihiasi para burung pemakan bangkai yang menari di angkasa.
"Kau tidak tahu siapa yang kau panggil." Seorang pria berpakaian putih lusuh dengan sedikit noda-noda darah berdiri membelakangi Harits. Rambutnya berwarna abu-abu pucat, seperti orang sakit. "Maaf, bukan siapa, tapi apa."
Harits memicingkan matanya menatap pria itu.
"Hanya orang gila yang sudi bertransaksi dengan 'dia' yang kau sebutkan namanya itu," lanjutnya sambil menatap getir salah satu burung pemakan bangkai. "Harganya terlalu mahal untuk bisa disebut sebagai transaksi."
Harits berjalan hingga sejajar dengan orang itu, menoleh menatap wajahnya yang pucat dengan bola mata berbeda antara kanan dan kiri. "Lantas, mengapa dahulu kau bertransaksi dengannya? Ba'it terakhir Mantra, Zahran Utomo."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top