7 : Kena Batunya
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Tak terasa kini sudah berada di penghujung minggu. Besok, Harits, Deva, dan Nada sudah mulai dengan ospek mereka masing-masing.
"Selamat datang hari pembantaian!" ucap Melodi diiringi tawa renyah. "Apa lagi Harits, pasti dibantai sama kakak pembimbing. Secara, Harits kan anak nakal."
"Biarin aja, bantai aja. Paling besoknya enggak masuk dia. Aku kirimin setan biar digangguin semaleman," balas Harits sambil mencoba mesin barunya. Sebuah mesin yang berisi banyak pasir, alat khas untuk membuat turkish coffee.
Gemerincing lonceng berbunyi, Jay datang ke Mantra dan duduk dipojok ruangan. Semua mata keempat pegawai Mantra menoleh ke arahnya. Deva berjalan ke arahnya membawakan menu.
"Yang paling murah," ucap Jay sambil tersenyum.
Deva menoleh ke arah Harits. Sudah paham tentang pesanan orang itu, Harits sudah selesai membuat pesanan Jay, bahkan sebelum pria itu duduk di kursinya. Deva mengambil menu espresso shot milik Jaya.
"Mantepkan, prekognision gua," ledek Harits.
Deva hanya memasang wajah datar sambil menggelengkan kepala. Di tengah aktivitasnya, tiba-tiba sebuah visualisasi terpampang dalam benaknya. Seorang nenek-nenek yang sedang lewat di depan kafe, dan seorang pria berjaket hitam. Pria itu menarik paksa tas belanja nenek itu dan membawanya pergi bersamaan dengan dompet yang ada di dalamnya. Deva kembali dengan kesadarannya. Ia menoleh ke arah luar, dilihatnya seorang nenek yang sedang berjalan.
Melangkah cepat ke arah Melodi, Deva memberikan pesanan itu pada Melodi. "Ini pesenan temen kamu, tolong diurus dulu." Padahal Deva sengaja mengurus pesanan Jay karena ia tak ingin cemburu, tetapi kali ini ia justru meminta Melodi yang mengurusnya langsung.
Deva berjalan keluar diikuti tatapan heran Nada, Melodi, dan Harits. Matanya terfokus pada pria berjaket hitam yang mendekat ke arah nenek. Belum sempat nenek itu berteriak karena seseorang menarik paksa tas belanja miliknya, Deva sudah berdiri di belakang pria itu, menutup jalur kaburnya. Dengan sangat keras, Deva meninju pria itu tepat di wajahnya. One hit knock out, orang itu terkapar dengan satu pukulan. Deva mengambil tas milik nenek.
"Ini, Nek tasnya. Lain kali hati-hati, ya nek. Udah malem, jangan jalan sendirian," tutur Deva halus sambil memberikan tas itu.
"Makasih ya, nak. Entah, nenek makan apa besok kalo kamu enggak nolongin nenek. Di tas ini ada bahan belanjaan dan dompet nenek."
"Sama-sama, nek. Rumah nenek di mana? Biar saya antar pulang."
"Enggak jauh kok. Nenek bisa sendiri, terimakasih banyak."
Setelah itu, Deva kembali masuk ke dalam kafe. Ia menadapat sorak-sorak pujian dari beberapa pelanggan yang mengisi Mantra malam ini. Ia berjalan ke arah Harits. "Mantepkan, prekognision gua," balas Deva sambil terkekeh.
"Cih ...."
"Keren! Satu suap es krim buat pacarku yang keren!" Melodi menyuapi Deva es krim vanilla yang ia ambil dari kulkas.
Harits menatap Jaya. Pria itu sedang memperhatikan Deva dan Melodi yang tampak bahagia. Tak seperti langit malam ini yang cerah, raut wajahnya menyiratkan luka. Hanya bermodalkan minuman seharga lima ribu rupiah, Jaya berada di Mantra Coffee hingga menjadi pelanggan terakhir.
"Maaf, Jay. Kita mau tutup," ucap Melodi.
Jaya tampak canggung, ia tak berani menatap mata Melodi. "Di sini ada lowongan kerja enggak? Saya mau kalo ada."
Deva berjalan ke arah pria itu. Sejujurnya, saat ini Mantra tak mampu membayar pegawai baru. Mengingat omset mereka yang masih belum stabil. Baru saja Deva hendak menolak mentah-mentah lamaran pekerjaan Jay. Suara itu lebih dulu keluar dari mulut Harits.
"Ada." Semua mata menatap Harits. Termasuk Abet. "Buat part time ada. Besok ke sini lagi ya, bawa jadwal kuliah. Nanti kita cocokin jadwal," lanjut Harits tanpa menoleh ke arah teman-temannya.
Jay tersenyum getir. Ia menundukan kepala pada Harits sebagai rasa terimakasih. Kemudian berjalan keluar Mantra dan pulang.
"Har, kamu tau kan omset kita belum stabil?" tanya Abet.
"Tau," jawab Hartis ketus.
"Lah, gimana itu?" Deva memprotes kelakuan Harits.
"Kok enggak ngambil keputusan bareng sih? Main putusin sendiri aja?" timpal Melodi. Sementara Nada tak berkomentar.
Harits melepas apronnya. "Setengah-setengah aja sama gaji gua, ribet," jawabnya sambil berjalan keluar.
"Kok kumat lagi sih?! Egois banget."
Abet berjalan mengikuti Harits. Pria bertopi ala-ala Craig Tucker itu duduk di depan kafe ambil menyalakan rokoknya. "Mau, bang?" Ia menawarkan rokok pada Abet. Abet mengambil sebatang.
"Kenapa begitu?" tanya Abet.
"Setiap dia ke sini, dia pasti pesen menu yang paling murah. Liat motornya juga udah keliatan, dia orang yang ekonominya kurang bagus. Dia patah hati," jawab Harits. "Tapi dia buang harga dirinya dan membiarkan dirinya tenggelam dalam kecemburuan yang enggak berujung ini. Dari matanya jelas, dia memohon." Harits membuang kepulan asap putih dari mulutnya.
Abet tersenyum, ia mengingat sosok Ajay. "Aneh," ucap Abet. "Lu anak siapa sih sebenernya? Tajem juga pengamatan lu perihal psikologi dan keadaan orang lain."
"Alasannya sederhana. Pengalaman yang berbicara," balas Harits. "Aku pernah ada di titik itu. Ngebuang harga diri dan sisi manusiaku untuk sebuah urgensi."
Abet menepuk kepala bocah itu. "Yah, tindakan kamu enggak salah, tapi enggak ada salahnya juga diskusi dulu bareng mereka, kan? Mereka itu kan temen-temen kamu. Pendapat mereka juga perlu loh." Abet melirik ke arah Deva, Melodi, dan Nada yang sedang menguping pembicaraan mereka berdua.
"Keluar lu pada. Enggak usah nguping," ucap Harits.
Ketiga orang itu keluar dan duduk dalam satu meja yang sama."Gua enggak peduli sama keputusan kalian. Menurut gua pun, kita akan keteteran sama jadwal kuliah kita masing-masing. Butuh tenaga ekstra. Emang sih omset belum stabil, tapi lebih baik motong sedikit penghasilan buat nge hire orang, ketimbang semua jadi amuradul gara-gara enggak keurus."
"Aku sepakat sama Harits," ucap Nada. "Kalo Melo enggak suka sama dia dan Deva juga enggak seneng, ya enggak apa-apa. Menurutku Harits ada benernya. Kita butuh tambahan tenaga. Di tambah--kalian berdua enggak bisa-bisa bikin kopi. Kalo aku sama Harits sibuk, siapa yang jadi barista?"
Deva dan Melodi tetap pada jawaban mereka. Menurutnya masih terlalu dini untuk merekrut tenaga baru. Apa lagi jadwal kuliah pasti tak akan sepadat mahasiwa tingkat akhir. Mereka masih punya banyak waktu luang. Di samping mereka berdua kurang senang dengan keberadaan Jaya, tapi ya begitulah, masih terlalu cepat mengambil keputusan itu.
"Dua sama. Enggak ada habisnya," celetuk Abet. "Aku kasih dia kesempatan deh selama sebulan ini. Kalo emang kinerjanya enggak bagus, dan kita enggak butuh-butuh banget pegawai, dia bisa diberhentikan. Gimana?"
Harits, Nada, Melodi, dan Deva sepakat. Satu bulan adalah waktu pembuktian untuk Jaya.
***
Hari berganti. Deva mengeluarkan sepedanya. Ia memang sudah berkomitmen untuk mengendarai sepeda untuk kebutuhan kuliahnya. Memang agak jauh antara Maguwo dan UGM, tetapi menurutnya bukan hal yang besar.
Harits menatap Deva dengan sepedanya. "Gokil, naik sepeda. Sampe kampus berasa mandi."
Deva hanya tertawa mendengar ucapan Harits. "Biar ada olahraganya." Kini Deva naik ke atas sepeda dan mulai mengayuhnya. "Gua duluan." Perlahan sosoknya hilang dari pandangan Harits.
Tak lama berselang, Nada keluar. Kampusnya adalah yang paling dekat dengan Mantra Coffee. Bahkan rasanya tidak ada satu kilometer. Jika Deva mengendarai sepeda, Nada hanya mengendarai kakinya sendiri. "Aku juga duluan, ya." Ia meninggalkan Harits sendirian bersama motornya.
"Buru sana pergi!" Melodi yang memegang selang air langsung mengarahkan selangnya ke arah Harits dan menyiramnya.
"Lah, lu enggak kuliah?" tanya Harits.
"Jadwalnya kosong setiap senin. Enggak ada kelas." Melodi mendekat ke arah Harits sambil berusaha menyiramnya. "Udah sana pergi!"
Namun, karena licin, ia justru terpeleset sendiri dan jatuh.
"Jiah, mampus," ledek Harits. Namun, melihat Melodi yang tampaknya kesakitan, membuat pria bertopi itu mematikan mesin motornya dan mendekat. Dilihatnya kaki Melodi yang terkilir. "Keseleo ini. Bisa jalan, enggak?"
Melodi berusaha bangkit, tetapi kakinya terlalu sakit. "Cih, ngerepotin doang bisanya. Harits menggendong gadis itu dan membawanya ke dalam. Entah, Melodi hanya diam sambil menatap wajah Harits.
Ini orang kecil, tapi tenaganya gajah banget, batin Melodi yang tak mengira Harits mampu membopongnya.
"Tunggu bentar." Harits menurunkan Melodi di lantai, dan berjalan naik ke atas. Kemudian turun membawa sebuah botol minyak. "Kudu diurut dulu ini, kalo enggak, bisa bengkak. Bisa makin parah." Tanpa persetujuan Melodi, Harits langsung menyentuh betis Melodi dan memijatnya.
Alus pisan euy, betis horang kaya, batin Harits sambil mengecek letak masalah di kaki Melodi.
"Aduh!" Melodi memekik saat Harits menekan engkelnya.
Harits memijat engkel Melodi dengan tenaga yang luar biasa. "Tahan, emang sakit."
"Udah sana sih, nanti telat ospeknya lu! Gila! Sakit banget, Harits!"
"Biarin sih. Telat dikit doang." Ia melanjutkan pijatannya dan membuat gadis itu berteriak tak henti-hentinya sambil mengepalkan tangannya sekeras mungkin.
Sepuluh menit berlalu. "Gua hubungin mas Abet, ya. Biar nanti dia ke sini."
"Enggak usah ih. Gua juga udah manggil kak Sherlin kok. Dia kan dokter."
"Oh oke. Yaudah, gua berangkat dulu." Harits berjalan ke motornya dan pergi meninggalkan Melodi.
"Dih! Berangkat tapi tasnya ditinggal," gumam Melodi menatap tas Harits yang tergeletak di atas salah satu meja pelanggan.
***
Semua caci maki itu terlontar pada Harits. "Udah telat! Enggak bawa tas! Enggak merasa bersalah! Jagoan kamu?!" bentak panitia ospek yang memang dirancang untuk marah-marah.
Harits diam tak menjawab. Pandangannya lurus ke bawah.
"Kalo kakak tingkat ngomong itu, dengerin! Liatin!"
Harits menatap orang itu dengan sorot mata yang tajam, seakan menantang. Orang yang berada di hadapannya berukuran setinggi dengannya. Mereka berdua bukanlah pria yang tinggi. Pria itu berpenampilan agak nyentrik dengan rambut hitam yang dicat merah sebagian, dan ada tato naga melingkar dibagian lehernya.
"Kenapa liatin saya begitu? Kamu nantangin?!"
"Katanya suruh liatin. Ya, saya liatin," balas Harits.
Orang itu menyeringai. "Keras juga lu ...."
"Wir, udah, Wir." Salah seorang panitia memisahkan mereka. "Gua yang pegang ini anak. Lu urus yang lain aja.
Wira namanya, memang dia adalah orang yang cepat naik pitam. Bisa jadi perkara jika membiarkannya berlama-lama di dekat Harits yang tengil. Sejujurnya, ospek ini tak begitu menyenangkan bagi Harits, ia mendapatkan banyak hukuman perihal kedisiplinan.
***
Mentari mulai turun dari tahtanya. Harits baru saja sampai di Mantra. Berbeda dengan ketiga temannya yang sibuk bercerita perihal hari pertama mereka ospek mereka dengan wajah ceria, Harits tak bersemangat dan berjalan lesu ke kamarnya. Ia merebahkan diri sambil memejamkan matanya.
"Biar mampus tuh si bangsat!" Harits membuka matanya kembali. Mata kanannya berwarna hitam dengan iris berwarna biru. Sebuah buku muncul di tangannya. Harits melukai jarinya dan mengoleskan darah pada lembar kertas itu. Sebuah bayangan muncul. Harits mengeluarkan gelas minuman kemasan yang sudah habis. Gelas itu milik Wira. Harits sengaja membidik begundal itu dan mengambil gelas bekas minumnya. Kini ia memperlihatkan bekas mulut yang tertempel pada gelas itu. "Gangguin ini orang sampe terkencing-kencing. Jangan lukain dia, cukup takut-takutin!"
Sejujurnya, jika Harits mau, dia bisa saja membuka praktik santet untuk menyakiti orang lain, tetapi tak pernah ia lakukan. Yang paling parah, ia pernah mengirim sepuluh hantu untuk menakut-nakuti orang yang tak ia senangi.
Sambil tersenyum, Harits turun ke bawah. Ia menatap Jay yang sedang duduk dengan seragam hitam putih. Hartis menghampiri pria desa itu "Jiah, berasa ospek lagi."
"Saya harus terlihat sopan, apa lagi ini menyangkut pekerjaan."
"Santai aja sih, enggak usah kaku. Dasar anak desa." Harits tertawa sambil meledek Jay. "Jadi, nama lu siapa?"
"Nama saya, Jaya. Panggil aja, Jay."
"Mana jadwal kelas lu sini? Biar gua cocokin."
Jaya memberikan jadwalnya pada Harits. Kini pria bertopi aneh itu membuat jadwal untuk Jaya. "Ini jadwal lu. Seminggu ini lu bakal fokus di training buat jadi barista, oke?"
"Oke, siap, mas."
"Santai, meskipun muka lu lebih tua, tapi kita seumuran kok," balas Harits sambil tertawa.
Namun, tiba-tiba kepalanya terasa pusing. Harits terjatuh begitu saja, membuat Jay, Abet, seluruh crew dan juga pelanggan menatapnya heran. Harits memuntahkan darah dari mulutnya. Perlahan dari hidungnya juga mulai menetes darah segar.
"Har!" Abet berlari ke arah Harits.
Nada dan Melodi tak mampu berkata-kata, mereka terlihat panik. Sementara Deva membantu Abet, Jaya terlihat ketar-ketir, ia mengambil ponselnya dan berjalan keluar kafe. "Halo, ambulas, perkenalkan, saya Jaya ...." Tak jelas sudah percakapan wong deso itu. Ambulans pun pusing.
***
Lembaran kertas yang Harits gunakan perlahan terbakar. Hantu yang ia kirim untuk menakuti kakak tingkatnya kini lenyap menjadi kepulan asap hitam. Harits terkena dampak dari perbuatannya sendiri. Bermain ilmu hitam tentu saja mengundang sejuta resiko, karena bisa berbalik kepada penggunanya sendiri. Dengan sorot mata yang tajam Wira mencoba memikirkan sejuta kemungkinan. "Brengsek mana yang ngirim beginian ke gua?"
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top