69 : Sorry
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
"Ayah jangan pergi ke mana-mana! Pulang kerja diem aja di rumah!" ucap Nada yang sedang menelpon Tama.
"O-oke," jawab Tama heran. "Tapi kenapa?"
"Jangan pergi ke mana-mana! Kalo sampe ayah keliaran, Nada benci banget sama ayah! Kita putus!" Nada memutuskan panggilannya.
Baru pertama kali Melodi melihat Nada marah. Aneh, tetapi justru ia malah tertawa menatap Nada.
"Kenapa ketawa?" tanya Nada ketus.
"Kamu galak banget kayak bunda kalo lagi marah."
Dua kembar itu sedang duduk di Mantra Coffee sambil duduk berdiskusi dengan Cakra, dan mas Abet perihal yang terjadi. Mereka mencoba mencari solusi dengan bertukar pikiran dan berusaha mencegah hal-hal buruk terjadi. Mengingat satu kejadian buruk tetap terulang di masa ini.
***
Tak seperti nasib baik yang dialami Melodi. Deva masih duduk di sebelah Dirga yang terbaring koma. Bayu sudah pergi sejak beberapa menit lalu, meninggalkan ayah dan anak itu dalam satu ruangan.
"Drong, gua bawain makanan." Harits tiba-tiba datang membawa sebungkus nasi goreng tanpa kecap kesukaan Deva.
"Makasih." Deva sama sekali tak menoleh.
"Gua pulang dulu." Harits pun tak berlama-lama. Ia hanya khawatir pada Deva yang belum makan semenjak mereka kembali.
Malam masih panjang. Ketika menoleh, Deva mendapati sebuah tas gitar di samping meja tempat Harits meletakkan makanan yang ia bawa. Senyum tipis terukir di bibir Deva. "Makasih sekali lagi." Ia berjalan mengeluarkan gitarnya dan duduk kembali di samping Dirga. Harits paham, yang Deva butuhkan hanyalah gitar. Karena gitar mampu bercerita tanpa harus bercerita, semua keluar bersama alunan melodi. "Aku tau ayah di sini. Aku tau ayah bisa denger suara, cuma enggak bisa ngerespon balik." Deva memainkan gitar dengan jari lentiknya.
"Waktu aku kecil dulu, ayah inget? Kata ibu, kalo anak-anak lain nangis itu dinyanyiin lagu-lagu seusianya, tapi ayah beda. Ayah malah nyanyiin lagu Hey Jude. Dan anehnya, aku selalu bisa tenang ketika ayah nyanyiin lagu itu." Deva tersenyum sambil matanya berkaca-kaca menatap raga Dirga yang berbaring dengan nyawa mengambang di antara hidup dan mati.
"Tinggal beberapa hari di masa lalu, bikin aku mulai mengerti bagaimana ayah tumbuh. Mungkin bagi orang lain, ayah itu kuno, jadul, klasik, tapi enggak apa-apa. Sebab buat Deva, ayah itu keren. Ayo cepet bangun dan tetap jadi ayah yang keren. Perjalanan Deva masih panjang, Deva butuh ayah."
"Hey Jude, don't make it bad."
"Take a sad song and make it better."
"Remember to let her into your heart,"
"Then you can start to make it better."
Hei Jude, jangan memperburuk keadaan
Nyanyikanlah lagu sedih dan buat semuanya lebih baik
Ingatlah untuk biarkan dia masuk ke dalam hatimu
Lalu kau bisa memulai untuk membuatnya menjadi lebih baik
"And anytime you feel the pain, hey Jude, refrain,"
"Don't carry the world upon your shoulders."
"For well you know that it's a fool who plays it cool."
"By making his world a little colder."
Dan setiap kau merasa sakit
Hei Jude bertahanlah
Jangan pikul dunia di bahumu
Karena kau tahu bahwa itu merupakan tindakan bodoh yang sok keren
Yang membuat dunianya lebih dingin
Mungkin karena berisik, seorang perawat dengan wajah agak risih berjalan ke kamar Dirga. Namun, semakin ia mendekat, suara Deva beserta gitarnya semakin lirih. Perawat itu membuka pintu. "Udah malem, jangan ber ...." Ia menghentikan kata-katanya ketika melihat punggung Deva yang bergetar sambil memegang gitar.
Pemuda itu tak bisa lagi melanjutkan lagunya. Terlalu getir rasanya hingga bulir-bulir air matanya menetes membasahi kayu gitar.
Perawat itu merasa iba, ia menutup pelan pintu kamar Dirga dan berusaha memaklumi. Begitu juga dengan Harits yang beranjak dari kursi di depan kamar Dirga, ia mengenakan kupluk hoodienya dan pergi. Sedari tadi Harits duduk di depan kamar karena khawatir dengan Deva, mendengar isak tangis sahabatnya tentu saja mengiris hatinya juga. Sambil bersembunyi di dalam kupluk hoodie, Harits menghapus air matanya yang juga mulai menetes, kemudian menggenggam kencang tangannya hingga terluka. Sorot matanya tajam penuh amarah.
Orang bilang, air mata seorang lelaki yang terjatuh hari ini membuatnya semakin kuat di esok hari. Ya, semoga.
***
Malam telah runtuh, seperti biasa, pagi ini Melodi dan teman-teman kelasnya pergi ke kantin. Ia memang biasanya membeli camilan untuk di kelas. Dan seperti biasa, tongkrongan Ippo selalu ada di sana. Hanya saja bedanya Ippo tidak ada di tengah mereka.
Hari ini aman lagi, batin Melodi.
Setelah membeli camilan, mereka berjalan menuju kelasnya. Hari ini tidak ada suara mengganggu yang membuat teman-temannya tertawa.
"Kakak tingkat yang biasa godain lu tumben enggak ada, Mel?"
"Bagus deh. Risih banget kalo ada dia," balas Melodi ketus. "Mana dipanggilnya Aluan lagi."
"Gua pikir bakal lebih getol deketin gara-gara lu putus sama Deva," timpal temannya yang lain.
"Sempet gua labrak kemarin. Sejak itu enggak pernah muncul lagi sih," ucap Melodi.
"Padahal dia enggak salah apa-apa, parah banget Melodi."
"Ya, gara-gara dia gua jadi putus. Deva cemburu banget sama dia."
"Itu kan salah Deva nya, ngapain cemburu sama orang enggak jelas."
"Tau lu, Mel. Parah lu," ledek temannya yang lain.
Sebenarnya teman-temannya hanya meledek, tetapi Melodi jadi berpikir. Memang segala problematikanya bukan salah Ippo. Melodi hanya kurang senang dengan kehadirannya saja.
Hari ini Melodi kurang fokus, perasaan bersalah pada Ippo membuatnya selalu kepikiran. Bagaimana tidak? Melodi menamparnya. Seharusnya sebuah tamparan itu tak semudah itu melayang ke wajah seorang pria.
***
Kelas pun berakhir siang ini, Melodi yang tak ada kegiatan segera menuju parkiran untuk mengambil motor. Di jalan ia melihat Reki yang sedang berjalan di arah berlawanan. Reki bukanlah orang yang berwajah ramah, ia selalu berwajah datar. Melodi menyematkan senyum, tetapi pria itu hanya mengangkat alisnya sebagai balasan.
"Enggak sama Ippo, kak?"
Reki menoleh ke belakang. "Tadi bareng." Ia menunjuk sebuah bangunan kampus yang tak jauh di belakangnya. "Sampe situ tadi, Ippo belok."
"Bukannya fakultas kalian ada di situ ya?" Melodi menunjuk lurus ke arah Reki berjalan.
"Iya," jawab Reki singkat.
"Terus kenapa dia belok?" tanya Melodi.
"Kamu waktu itu bilang kan, enggak mau lihat dia lagi di depan kamu? Dan Ippo bilang oke." Reki menghela napas. "Ippo kalo udah janji, enggak akan pernah ngelanggar. Dia akan berusaha nepatin janjinya. Jadi biar kamu enggak liat dia, dia muter lewat situ."
"Jangan-jangan setiap pagi di kantin ...."
"Iya, dia hafal kebiasaan kamu. Dia selalu muncul kayak tuyul, kan? Itu bukan kebetulan. Ippo hafal semua aktivitas kamu. Dia tahu kamu ada di mana pada jam-jam tertentu. Setiap pagi, sejak saat itu dia enggak pernah ke kantin karena tau kamu sering beli camilan."
"Sampe segitunya?"
Reki melanjutkan langkahnya. "Dia enggak mau bikin kamu merasa enggak nyaman. Ippo itu emang ngeselin, aneh, sering lupa bayar jajan, caper, sembarangan namain orang berdasarkan pikiran dia," ucap Reki menyebutkan kejelekan-kejelekan Ippo. "Tapi dia bukan orang jahat. Ippo itu baik."
Melodi masih menatap tas Reki yang perlahan menjauh. Rasa bersalahnya semakin kuat. Ia menatap tanahnya berpijak. Melodi sudah melakukan segala cara agar Ippo menjauh, tetapi tak pernah berhasil. Disaat ia berhasil, hal itu justru malah membuatnya merasa bersalah. Perasaan yang rumit. Melodi hanya berpikir, bahwa Ippo harus diberi peringatan yang keras agar berpikir. Namun, sepertinya Melodi terlalu jauh.
***
Sepulangnya Melodi, ia merebahkan dirinya di atas kasur sambil mengambil ponsel dan menelpon Aqilla.
"Bunda, aku putus sama Deva."
"Kenapa kalian putus?" tanya Aqilla. "Gara-gara kakak tingkat namanya Ippo. Deva cemburu, dia tuh posesif banget. Padahal aku enggak ada hubungan apa-apa sama Ippo." disambung jawaban dari Melodi. "Terus ya, aku datengin si Ippo. Abis itu aku tampar sambil marah-marah sama dia. Menurut bunda, aku jahat enggak?"
"Jahat! Enggak boleh gitu. Minta maaf sana sama si Ippo-Ippo itu. Dia itu suka sama kamu dan enggak jahat sama kamu, kan?"
"Iya sih, enggak jahat sama aku, tapi tuh dia muncul terus. Ganggu hubungan aku sama Deva."
"Deva kalo punya masalah sama dia, mending ngomong. Deva diem aja?"
"Iya, dia bukan tipe yang suka ngelabrak sih," balas Melodi.
"Menurut bunda, Ippo itu enggak salah. Dia cuma berusaha. Dan selama caranya enggak jahatin kamu, kamu enggak boleh jahatin dia. Kasian itu dia pasti sakit hati."
Melodi memanyunkan mulutnya. "Iya udah, nanti aku minta maaf sama dia." Melodi mengakhiri panggilannya dan memejamkan matanya. "Yah, salah lagi. Kalo Nada, mungkin dia bakal ngomong baik-baik sambil nangis-nangis kali ya. Dia kan enggak enakan sama orang. Kadang pengen jadi Nada yang punya rasa enggak enakan. Aku udah sering nge-rem, tapi selalu aja blak-blakan."
***
Hari berlalu, pagi ini Melodi bangun kesiangan. Ia melaju dengan kecepatan yang brutal dari Maguwo ke Sewon. Sesampainya di kampus ia langsung berlari setelah memarkirkan motornya.
"Aaaaaaa ... mau jadi ulet."
Suara itu membuat Melodi merubah temponya agak melambat. Bukannya lari ke kelas, kini Melodi justru mencari sumber suara.
"Ippo, Ippo, Ippo." Suara orang-orang mulai terdengar. Entah apa kali ini, tetapi Melodi paham. Ippo dan gengnya sedang melakukan sesuatu yang aneh.
Di belakang Fakultas Seni Media Rekam (FSMR), segerombolan anak-anak jurusan Fotografi sedang berkumpul sambil tertawa. Melodi menatap Ippo dan seorang lagi yang sedang tengkurap di tanah. Mereka seolah-olah menjadi cacing yang sedang berbapalan.
Tak sengaja Ippo menangkap kehadiran Melodi. Normalnya Ippo akan tersenyum dan menunjukkan kegigihannya untuk menang, layaknya adu panco tempo hari. Namun, kali ini ia langsung bangkit dan berjalan pergi.
"Po, woy! Taruhan gua kalah dong," ucap salah satu orang dikerumunan.
Melodi kembali berlari, ia mengejar Ippo yang kabur darinya. Namun, Ippo sudah menghilang tanpa jejak. Melodi berhenti dengan napas hampir habis. Keringatnya bercucuran, ia tak peduli lagi pada pakaiannya yang lepek. "Mana itu orang?" gumamnya sambil menatap sekelilingnya.
Ippo bersembunyi di dalam bangunan fakultas, ia menatap Melodi di luar. "Dor," ucap Reki datar. Ippo terkejut ketika Reki tiba-tiba muncul dan mengagetkannya. "Reki asw!"
"Kenapa? Perasaan ngomongnya juga datar. Kenapa malah kaget?" Reki menatap keluar, ia tersenyum asimetris. "Dikejar Alunan? Dia kemarin nyariin lu."
"Serius?"
"Kapan gua pernah bohong?" balas Reki. "Sana temuin."
Ippo terliat getir, ia bersandar di dinding sambil menghela napas. "Enggak. Kayaknya sikap gua emang perlu dibenerin. Enggak semua orang bisa nerima sikap gua yang caper gini, kan?"
Reki paham alasan di balik itu semua. Ia dan Ippo sudah berteman sejak kecil. Ippo memiliki orang tua yang sibuk dengan bisnisnya, ia dititipkan disebuah panti asuhan yang tak jauh dari rumah Reki.
Ippo memiliki orang tua, tetapi ia tinggal dipanti asuhan. Banyak anak yang tak menyukai Ippo karena iri. Hal itu membuat Ippo selalu sendirian. Namun, Ippo adalah anak yang jenius. Ia bersekolah di sekolah unggulan bersama Reki. Entah, Reki tak ingat jelasnya kapan mereka berteman. Yang jelas, Ippo selalu mengikutinya.
Perlahan Ippo memiliki banyak teman dan mulai diakui. Itu semua karena sifatnya yang ceria dan welcome pada semua orang. Untuk mendapatkan pengakuan, ia selalu membuat sensasi. Awalnya Reki malu karena Ippo selalu menempel dengannya, tetapi lambat laun Reki mulai terbiasa dengan gelagat Ippo yang terkesan aneh.
Ippo hanya populer dikalangan cowok-cowok karena sikapnya yang kocak dan selalu humoris dengan keanehannya. Namun, tidak bagi para kaum hawa. Ippo terlihat menjijikan. Itu sebabnya, ia ingin membuktikan bahwa akan tiba saatnya di mana ada satu wanita yang akan jatuh hati padanya dengan sikapnya yang begitu. Ia percaya bahwa akan muncul seseorang yang akan menerimanya apa adanya.
Namun, tatapnya kali ini berbeda di mata Reki. Ippo mulai menyerah pada dirinya sendiri. Baginya, sudah cukup. Sekarang saatnya menjadi orang lain untuk dirinya sendiri.
"Enggak perlu berubah," ucap Reki menepuk pundak Ippo. "Mungkin enggak sekarang, tapi pasti akan muncul kok cewek yang nantinya akan nerima lu apa adanya."
Senyum itu terukir di wajah Ippo. "Aaaaaa ... iya. Mungkin bukan sekarang." Namun, perlahan senyum itu pudar. "Dan bukan kapan pun."
"Ayo dong, percaya diri," lanjut Reki yang masih mencoba menyemangati Ippo.
"Gelap," ucap Ippo. Reki memicingkan matanya? "Gelap?"
"Lu tau kemampuan prekognitive dream gua, kan?"
"Ya."
"Gelap pertanda kematian. Mungkin diperang ini gua ...."
Sebuah tinju melayang membentur dinding di sebelah wajah Ippo. "Enggak akan ada yang mati," ucap Reki dengan wajah datar, tetapi menampilkan aura mencekam penuh kemurkaan. "Enggak lu, enggak gua, enggak seorang pun dari pihak kita."
Ippo menghela napas. "Aaaaaa ... iya juga sih. Itu cuma mimpi.
"Ya, itu cuma mimpi. Buang pikiran itu, Ippo." Reki menarik Ippo keluar. "Sekarang temuin dia."
"Reki! Gila!" Ippo menahan langkahnya dan berusaha melepaskan diri. "Gua enggak akan muncul di depan dia!"
"Ippo ... dia nyari lu sampe keringetan gitu. Lu berusaha enggak muncul karena dia yang minta, tapi faktanya dia nyari lu sekarang. Mau biarin capeknya sia-sia?" Ippo terdiam, ia menatap lantai tanpa komentar dan berpasrah diri mengikuti tarikan Reki.
Melodi menutup matanya sambil menghela napas panjang. "Aku enggak tau dia sesakit itu sampe lari liat aku. Aku harus gimana dong?"
"A-ada apa, Alunan?"
Melodi menoleh, ia menatap Ippo yang terlihat canggung.
"Maaf kalo masih bikin enggak nyaman," lanjut Ippo.
"Maaf ...," tutur Melodi. "Maaf udah nampar kamu kemarin dan marah-marah. Kamu enggak salah kok, aku aja yang lagi banyak masalah dan jadi pengen ngelampiasin semuanya."
"Kamu inget? Kemarin, waktu nemenin kamu nungguin pacar kamu jemput, aku bilang. Seandainya aku punya pacar yang marah, aku akan biarin dia marah sampe marahnya abis. Setelah itu baru aku minta maaf dan janji enggak akan ngulangin lagi kesalahan yang buat dia marah."
"Terus?" Melodi mengerutkan dahinya.
"Kalo kamu butuh seseorang buat jadi pelampiasan kamu, cari aja aku. Enggak masalah jadi samsak kamu, tapi jangan usir aku," ucap Ippo sambil menyematkan senyum sendu. "Aku baru tahu, rasanya sesakit itu diusir dari kehidupan orang lain."
"Maaf ya, aku minta maaf banget." Melodi mengambil sesuatu dari dalam tasnya. "Ini buat kamu." Ia memberikan sebuah amplop kecil berwarna cokelat. Ippo mengambilnya, lalu membuka amplop tersebut. "Sekali lagi maaf ya udah jahat ngusir kamu."
Terukir senyum ketika menatap sebuah kertas yang bertuliskan 'sorry'. Hanya sebuah kertas biasa dengan tulisan tangan yang juga biasa, tetapi rupanya itu sangat berarti untuk Ippo. "Aaaaaa ... terimakasih buat hadiahnya."
Melodi menatap jam tangannya. Jam kuliahnya hampir berakhir. "Kayaknya aku bolos satu matkul deh," ucap Melodi sambil menggelengkan kepala. Ini pertama kali dalam hidupnya ia bolos dari kelas. mengingat ia menjadi siswi teladan di sekolahnya dahulu dari tahun ke tahun, tentu saja perbuatan seperti itu tidak pernah terbesit dalam pikirannya.
"Maaf ya, kamu jadi lepek gara-gara ngejar aku tadi," ucap Ippo.
"Enggak apa-apa. Seenggaknya sekarang udah enggak ada rasa bersalah lagi."
"Oh iya, Nada udah punya pacar?" tanya Ippo.
"Belum, kenapa?"
Ia tersenyum licik sambil menatap Reki yang sedang berdiri tak jauh dari gedung fakultas. Seketika itu Reki merinding menatap Ippo yang sedang menatapnya dari jarak itu. "Sebenernya Reki suka sama Nada, boleh aku minta nomor hape Nada buat Reki?"
"Boleh." Melodi mengeluarkan ponselnya.
"Langsung kirim kontak aja ya ke Whatsapp ku," ucap Ippo.
"Berapa nomornya?" tanya Melodi. Ippo menyebutkan nomornya. Sebuah pesan masuk berisikan kontak Nada, Ippo tersenyum menatap pesan itu.
"Makasih ya, Alunan."
Melodi baru menyadari sesuatu. Seharusnya ia menyebutkan saja nomor Nada, tak perlu sampai mengirim kontak. Sekarang Ippo mengetahui nomornya juga. 'Sial, orang ini cerdas rupanya,' batin Melodi.
"Aku pergi dulu." Melodi berjalan meninggalkan Ippo. Baru juga berjalan beberapa meter, sebuah chat masuk ke ponselnya. Melodi menatap chat itu dengan wajah datar.
"Save back ya, Alunan."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top