68 : Pesta Saling Bunuh

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."
.

.

.

Pintu diskotik terbuka, seorang pria ber hoodie masuk dan berjalan dengan kedua tangan yang bersembunyi di dalam kantong. Pria itu berjalan tanpa melepas pandangannya pada Ettan. Mata itu penuh dengan amarah.

Pada satu titik, pria itu menghentikan langkah sambil membuka tudung kepalanya. Seketika itu, aura membunuh merambat ke seluruh area, membuat bulu kuduk di sekujur tubuh merinding. Namun, dari puluhan orang yang merinding di sana, hanya Ettan yang menyadari hawa merinding ini bukanlah merinding yang biasa. Jelas sekali hasrat membunuhnya.

Semakin semeringah seringai Sang DJ, ia mengeraskan volume musik hingga full sambil bertepuk tangan. Ettan mengangkat satu tangannya sambil menggelorakan suasana. "Come on!" Ucapan itu semakin membangkitkan semangat para manusia yang sudah kesetanan minuman keras, tapi di sisi lain ucapan itu juga bermaksud untuk mengundang musuhnya.

Emil Jayasentika, ia duduk di bar sambil menatap Ettan. Seorang bartender datang dan menawarkan menu, tetapi Jaya diam dan tak tertarik bahkan untuk sekadar menjawab. Atensinya masih terpusat pada Ettan Rawasura.

Traaang!

Beruntun, gelas-gelas pecah secara misterius. Beberapa orang mulai terdiam dan menyadari kejadian itu. Pusatnya ketika teriakan histeris mengisi ruangan klub akibat lampu disco yang pecah dan membuat seluruh ruangan menjadi gelap. Ketika petugas menerangi ruangan dengan menyalakan lampu biasa. Keberadaan dua orang yang menjadi cikal-bakal insiden itu terjadi, kini menghilang ditelan kegelapan.

Berpindah ke sebuah tempat sepi di belakang diskotik. Ettan berdiri menatap bulan. "Jangan malu-malu. Keluar aja, ayo kita main."

Jaya muncul dari balik dinding. "Satu pertanyaan," ucap Jaya. "Satu pertanyaan yang akan menentukan nasibmu."

Ettan memutar tubuhnya hingga menghadap utuh ke arah Jaya. "Siapa yang membunuh Wengi?" tanya Jaya.

Ettan menyeringai. "Selamat pak ketua ... kau menemukan pembunuhnya." Namun, raut wajah Ettan berubah. Pasalnya, keberadaan Jaya menghilang dari pandangannya. Ettan mendongak, ditatapnya Jaya yang melompat tinggi hingga menutupi langit dari pandangan Ettan. Jaya sempat berlari, dan menjadikan dinding-dinding sempit itu sebagai pijakan untuk melompat. Satu, dua langkah dengan kecepatan tinggi di dinding membuatnya terlihat seperti terbang di udara. Topeng Bapang menghiasi wajahnya, dari atas Jaya melesat berputar-putar melancarkan serangan dengan cakar merahnya.

Sebuah siulan diapresiasikan Ettan untuk Jaya yang berhasil merobek tipis tubuhnya secara vertikal. Darah segar membaur dengan kaos yang sudah basah oleh keringat. Ettan melepaskan kaos itu dari tubuhnya. Luka yang diterimanya perlahan tertutup, seiring dengan kulitnya yang terkelupas hingga sosoknya berubah secara perlahan menjadi siluman kera putih bertubuh kekar. Ia mengacungkan lengan kanannya pada Jaya sambil memprovokasinya. "Come on!"

Konblok tempatnya berpijak retak ketika Jaya menahan bobot tubuh dan membebankan kakinya untuk melesat menerjang Ettan. Jaya berlari sambil mencakar dinding sehingga meninggalkan goresan panjang. Ettan menyeringai sambil berlari ke arah Jaya. Dua benturan tak dapat dihindari, Ettan dan Jaya saling bertukar luka.

Ettan, pria itu memang gemar bertarung. Sebenarnya ia ingin sekali melawan Jaya karena menurut penuturan Wengi dan Rizwana, Jaya itu kuat. Tentu saja sebagai maniak pertarungan, memenggal kepala Jaya yang kuat akan membuatnya semakin puas. Namun, selama ini hasratnya tertahan oleh titah Rizwana.

"Semakin kuat, semakin puas saat memenggal kepalanya!" Ettan mengincar leher Jaya, tetapi leher Jaya tiba-tiba berwarna merah dan mengeras. Ettan tak bisa memotong leher Jaya, jangankan memotong, luka pun tidak, leher merah itu sekeras baja.

Jaya menatap Ettan yang cukup terkejut dengan perubahan itu. Jaya mampu memanipulasi bagian tubuh lainnya selain kedua pergelangan tangannya. Tatapan tanpa cahaya itu terasa dingin, Jaya tak banyak bicara, kali ini gilirannya berusaha memenggal kepala Ettan.

Ettan mengelak, gerakkannya gesit, ia melepaskan diri dan mundur beberapa langkah. Kedua orang agresif ini mencoba saling membaca lawannya. Berbeda dengan kejadian-kejadian sebelumnya yang mengamuk tak karuan, kini Jaya lebih bisa mengontrol kendali atas dirinya. Emil mengajarkan sesuatu secara pasif pada penerusnya.

Jaya tak memberikannya ruang untuk bergerak bebas, kini pimpinan Peti Hitam itu sudah berada di belakang Ettan. Jaya melancarkan tusukan, tetapi Ettan memutar tubuhnya dengan refleks dan berusaha mengincar leher Jaya lagi. Kali ini Jaya yang mundur dan menghentikan serangannya, ia menyadari tangan milik Ettan kini berbeda. Cakarnya memancarkan aura yang tidak biasa. Bulu-bulu di sekitar cakarnya berwarna merah, bukan cipratan darah, tetapi sesuatu dari dirinya yang membuat bulu-bulunya perlahan merah.

"Sudah lama sejak aku tidak bertarung serius," tutur Ettan. "Aku akui, Wengi mampu memojokkanku, tetapi sialnya dia salah memilih lawan. Wengi kuat, orang itu bisa memaksaku menggunakan raga aruna." Tiba-tiba Ettan menyeringai. Jaya terbelalak, kecepatan Ettan bertambah, kini siluman kera itu sudah berada di hadapan Jaya dan menusuk bahu kirinya. "Tapi kau yang terbaik EMIL JAYASENTIKA!"

Jika saja Jaya telat menyadari perubahan kecepatan itu, tentunya tangan Ettan sudah berhasil merebut jantungnya. Jaya menurunkan posisinya sehingga serangan fatal Ettan hanya bersarang di bahunya saja, tetapi tetap saja kini Jaya mengalami pendarahan yang cukup serius.

Bau darah membuat Ettan semakin bergairah. Semakin terluka musuhnya, maka akan semakin liar seekor Rawasura. Keadaan berbalik, kini Jaya hanya bertahan dari Ettan yang tak berhenti berlari dan melancarkan serangan dari berbagai arah. Ia seperti seekor monyet gila.

"Apa cuma segini kemampuan Emil Jayasentika yang banyak dirumorkan itu?" Ettan terlihat kecewa. Ia pikir Jaya mampu menghilangkan haus akan dahaganya.

Jaya menerima banyak luka akibat serangan Ettan. Bahkan bagian tubuhnya yang terbalut kulit Bapang pun perlahan mengalami kerusakan.

***

Di sisi lain Bayu termenung menatap Dirga yang berbaring di rumah sakit. Bayu berusaha mencari keberadaan Kencana Selatan, tetapi ia justru tak menemukan apa pun. Orang bilang, ketika kita mencari sesuatu maka sesuatu itu akan sulit untuk di dapatkan. Sebaliknya, apa yang kita harapkan tak terjadi justru terjadi begitu saja. Bayu mengatur napas, ia terlalu terburu-buru sehingga tak menemukan apa pun, pikirannya kurang jernih.

"Jaya itu bukan Martawangsa, kan? Kenapa dia punya topeng," tanya Deva yang terlihat suram. "Bukannya topeng juga hidup? Dia memilih tuannya sendiri dari keluarga Martawangsa?"

"Aku dan Bapang adalah musuh yang memiliki hubungan mutualisme. Sampai perang Rahwana terjadi, aku mulai memahami kesepian Bapang yang iri terhadap manusia. Perlahan kami mulai berteman dan saling melindungi. Emil adalah anak yang unik, dia adalah orang terbrutal yang pernah aku kenal. Waktu itu aku hanya memiliki empat orang anak asuh, dan Emil adalah yang paling mengerikan. Tak ada satu pun yang berani membuatnya marah. Di satu sisi ia baik, tetapi sisi yang lain tak berperikemanusiaan. Setiap pemburu topeng yang masuk dan bertemu Emil, selalu bolong dadanya. Emil memakan jantung mereka. Ada kelaian dalam diri anak itu, terutama ketika ia marah. Aku bilang, jangan bunuh siapa pun, kecuali ia memiliki lmu yang berbahaya dan mengancam nyawa, tetapi Emil tak peduli. Siapa pun yang masuk ke dalam hutan tanpa izin, ia bunuh."

Deva terdiam mendengarkan cerita tentang masa lalu Jaya.

"Hingga pada suatu malam, aku berbincang dengan Bapang. Aku ingin Bapang menjaga anak itu, karena aku tau, aku tak hidup selamanya. Harus ada yang menjaga dan mengendalikan anak itu. Aku memberikan Bapang bukan untuk membuatnya semakin gila, tetapi justru sebaliknya. Aku ingin Bapang menjadi kemarahan untuknya. Jika Emil merasa ingin marah, ia harus berhenti, Bapang yang akan urus sisanya. Bapang bukanlah kekuatan, tapi belenggu yang meredam kegilaan Emil," lanjut Bayu.

"Bagaimana cara paman bisa mengatur Bapang? Sepengetahuanku, Bapang itu liar dan haus darah."

"Aku dan Bapang berteman. Sudah sepatutnya seorang teman saling tolong menolong, bukan? Tak peduli Emil seorang Martawangsa atau bukan, Bapang setuju akan menjaganya. Bapang hidup dengan memakan amarah penggunanya dan itu semakin membuatnya kuat. Oleh sebab itu, aku memberikan Emil topeng itu. Agar amarahnya tertahan dan keluar bersama Bapang yang mengamuk. Cukup Bapang yang mengamuk, sebab tidak ada yang pernah tau apa yang akan terjadi jika Emil mengamuk."

***

"Apa kau sudah menyerah?" tanya Rawasura yang menatap Jaya membuka topengnya. Pria itu tak lagi menutupi tato di keningnya, ia juga melempar Bapang begitu saja.

Jaya terpojok, tetapi seringainya seolah berkata sebaliknya. Ettan merinding menatap seringai Jaya.

"Seharusnya Wengi tidak mati. Tidak seharusnya siapa pun mati," tutur Jaya. Ia tertawa terbahak-bahak seperti orang gila. "Karena keegoisan saya, banyak orang yang mati. Mereka mati karena berusaha melindungi idealisme saya yang ingin hidup normal. Saya lelah ...."

"Apa yang kau katakan?" Ettan tak mengerti dengan ucapan Jaya. "Kehilangan banyak darah membuatmu gila?"

"Saya lelah harus berpura-pura tidak tahu atas apa yang selama ini membuat Wengi tidak memikirkan impiannya sendiri demi impian saya. Selesai. Saya lelah, tapi saya harus membunuh kalian semua. Sekarang ...." lanjut Jaya dengan tatapan kosong dan seringainya yang lebar. "Mari kita saling bunuh."

Jaya berjalan ke samping, ia berusaha memutari Ettan. Perlahan, sosoknya seolah jadi banyak karena ritme yang timbul dari pergerakkannya. Dalam gerakan itu, Jaya juga melafalkan sesuatu sambil melakukan gerakan tari yang tak disadari lawannya.

"Langkah darah? Orang ini sebenarnya apa? Wijayakusuma atau Martawangsa?" batin Ettan.

Jaya menghentakkan kaki kanannya dengan keras, diiringi langkahnya menuju Ettan. Seketika itu juga hasrat membunuh menjalar ke area sekitarnya. Ettan merinding lebih parah dari sebelumnya, kali ini disertai gemetar. Jaya berjalan perlahan, tetapi rasanya Ettan tak mampu bergerak.

Ettan terbelalak. "Orang ini benar-benar seorang Wijayakusuma. Rasa takut ini bukan tanpa sebab. Emil Jayasentika, orang ini menggunakan langkah darah!"

Berbeda dengan langkah petir milik Lohia yang sangat cepat dan mematikan, juga langkah bayangan milik Wijayakusuma yang lambat dan membuat ilusi mata. Langkah darah adalah mitos turun temurun di antara Wijayakusuma tentang ilmu terlarang yang di mana penggunanya berjalan dengan tempo normal, tetapi memberikan tekanan pada tiap langkahnya. Setiap langkah memancarkan hasrat membunuh yang sangat besar hingga orang lain di sekitarnya merasakan kengeriannya. Konon katanya jika seseorang bersembunyi, tetapi dirinya merasa takut karena tekanan langkah darah, pengguna langkah darah dapat menemukan orang tersebut dengan mendeteksi rasa takutnya.

"Aku--Ettan Rawasura--takut?" Ettan tertawa terbahak-bahak. Ia mengambil kuda-kuda rendah untuk menerjang. "Jangan bercanda!" Ia melesat ke arah Jaya yang sedang berjalan.

Jaya menutup matanya, ia memiliki indra yang tajam seperti Bayu. Merasakan hembusan angin dari gerakan yang berusaha melukainya, Jaya menyeringai, ia mengelak dari serangan Ettan. Atma hitam berkumpul di tangannya, Jaya melesatkan tinju ke perut Ettan hingga membuat Rawasura itu terpental dan memuntahkan darah hitam. Darah hitam yang keluar dari seekor siluman berarti bukanlah hal yang main-main. Ettan tak mampu beregenerasi.

Ettan berusaha bangkit, ia menatap Jaya yang sedang terbahak-bahak. Tiba-tiba raut wajah Jaya berubah kembali menjadi datar. "Kau pasti berbuat curang, kan? Mana mungkin Wengi mati dibunuh orang sepertimu." Jaya mengangkat tangannya. Atma hitam berkumpul membentuk sebuah cambuk dalam genggamannya. Seringai gilanya kembali melengkapi kengerian Jaya. "Matilah."

Namun, gerakan Jaya tiba-tiba terhenti. Tubuhnya tiba-tiba saja terkapar di tanah. "Apa yang terjadi?"

Seekor ular putih melata keluar dari dalam hoodie Jaya. Ular itu bergerak ke arah sepasang kaki yang berjalan menghampiri Jaya. Tubuh Jaya tiba-tiba tertarik oleh rantai. Seorang lagi duduk bertapa, Jaya terseret ke arahnya.

"Sejak kapan?" ucap Ganapatih yang mengambil ular putihnya. "Begitu, kan?" Ia berusaha membaca raut wajah Jaya yang tak menyadari keberadaan Ganapatih dan juga Gandring.

Mungkin karena terlalu asik dengan pertempurannya dengan Ettan, Jaya tak merasakan hawa keberadaan Ganapatih dan juga Gandring. Ketika langkah darah diaktifkan, Jaya tau bahwa ada beberapa orang di sekitarnya, tetapi ia pikir hanyalah orang biasa yang tak memiliki kepentingan. Siapa yang menduga bahwa Ganapatih dan juga Gandring ada di antara mereka.

"Jadi ini alasan kita harus mengikuti Ettan?" tanya Gandring yang sedang melakukan ritual penyegelan. Ia berusaha membelenggu Jaya. Jaya mungkin bisa lolos dengan mudah saat proses itu, tetapi efek racun dari ular putih Ganapatih berhasil melumpuhkannya beberapa saat.

"Jayasentika mengincar Ettan. Tak perlu repot-repot mencarinya, dia pasti akan datang dengan sendirinya."

Jaya yang perlahan sembuh dari efek racun ular putih, langsung berusaha melepaskan diri. Gandring dan Ganapatih cukup terkejut. Pasalnya, racun itu harusnya bisa melumpuhkan orang biasa selama tiga puluh menit.

"Ganaptih! Lakukan sesuatu. Jika prosesnya gagal, kita bisa-bisa dibunuh!"

"Tenang saja, kita kan--bertiga."

Jaya terbelalak, tinju Ettan menghantam perutnya hingga memuntahkan darah. Kini Jaya yang berlutut, menatap Ettan yang berdiri. "Begitulah seharusnya posisimu memandang." Ettan kini menendang Jaya hingga tersungkur di tanah, lalu menginjak kepalanya. Ettan terus menginjak kepala Jaya sambil menggerutu.

"Ettan!" Gandring berusaha melerainya.

"Tetap fokus, Gandring." Ganapatih berjalan dan menarik Ettan. "Dia bisa mati kalau kau hajar terus."

"Lepas, Ganapatih. Atau aku benar-benar akan membunuhmu." Aura membunuh Ettan tak main-main.

"Terserah. Rizwana pasti akan membunuhmu setelah kau membunuhku, Rawasura. Kita masih butuh orang ini untuk Malam Walpurgis. Kendali dunia hitam ada di tangan kita setelah memenggal kepala Jayasentika di hadapan mereka."

Ettan berusaha bersabar. Ia membuang muka, lalu mengambil topi hip-hopnya yang berlumuran darah. Perlahan wujudnya menjadi manusia kembali. Luka-lukanya menghilang, kecuali bekas hantaman atma hitam terakhir dari Jaya. Ia berjalan pergi meninggalkan Ganapatih dan Gandring.

Ikatan rantai semakin kuat mengikat Jaya yang hilang kesadaran akibat dihajar Ettan dan tak bisa bertahan, atau menghindar karena belenggu Gandring. Perlahan tubuhnya tertarik masuk ke sebuah keranda yang ditutupi kain hitam. Keranda itu terbang dengan sendirinya ketika Jaya masuk utuh ke dalamnya.

Gandring memerintahkan keranda itu untuk kembali ke hadapan Rizwana. Keranda itu adalah keranda ghaib, tak seorang pun yang bisa melihatnya, kecuali mereka yang memang memiliki mata ketiga.

Kini Kencana Selatan sudah memegang kunci menuju dunia yang penuh dengan kekacauan. Mereka berniat membuat tunduk para pengguna ilmu hitam, sekaligus menguasai era ini. Membunuh pimpinan Peti Hitam berarti mengakhiri cerita lama tentang salah satu kelompok gelap tertua itu.

.

.

.

TBC



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top