66 : Roda Waktu Kembali Berputar

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Sudah hampir seminggu mereka terjebak di masa lalu dan tak bisa kembali. Melodi sedang bermeditasi di hadapan Cakra yang perlahan sudah mulai pulih dan sudah bisa pulang ke Mantra.

"Kamu harus bisa ngendaliin kemampuan kamu. Kalo enggak, kita bakalan jadi gembel yang numpang hidup di zaman ini selamanya."

"Iya, iya. Bawel banget sih tumben!"

"Fokus, Melo."

Melodi kembali fokus dalam bermeditasi. Cakra menyuruhnya untuk mengenal dirinya sendiri secara psikis.

"Melo sarapan!" teriak Nada dari lantai bawah.

"Cakra, aku sarapan dulu, Mungkin abis kenyang baru dapet wangsit." Melodi bergegas turun.

Melihat Melodi yang seperti itu, Cakra hanya bisa menghela napas. "Susah ya?" tanya Ajay yang tiba-tiba muncul.

"Ya gitu deh, pusing."

"Di masa depan Mantra Coffee masih ada?" tanya Ajay.

"Ada," jawab Cakra sambil tersenyum.

"Ah lupa—dilarang bertanya soal masa depan sama Dirga."

"Dirga selalu begitu?" tanya Cakra.

Ajay menggaruk kepala. "Dia punya prekognision, tapi enggak pernah diasah. Menurutnya itu sebuah kutukan karena dianggap nge-spoiler hidup."

"Iya sih, terkadang tau apa yang akan terjadi itu ya kutukan banget."

"Di sisi lain itu juga anugrah," balas Ajay. "Enggak jarang Dirga gerak buat nolongin orang yang kesulitan, padahal dia tau itu bisa merubah takdir."

"Oh iya ...." Cakra teringat sesuatu. "Pernah denger tentang orang yang lagi ngelakuin peroyeksi astral, tapi raganya juga sadar dan bisa bergerak?"

Ajay mengerutkan dahinya. "Belum pernah, dan kayaknya mustahil, tapi—dari penuturan lu kayaknya ada orang yang bisa begitu, ya?"

"Kurang lebih begitu."

"Kalo ngomongin kemungkinan, ada dua yang terbesit di otak gua si," balas Ajay. "Pertama, dia punya kepribadian ganda maybe, dan saat satu kepribadiannya terikat di wujud roh, maka yang satunya punya kendali atas tubuh fisik."

"Duh, gini nih. Definisi masuk akal, tapi enggak masuk akal juga. Karena kepribadian ganda itu pada dasarnya bukan dua eksistensi yang berbeda. Dia cuma punya kesadaran yang berbeda, tapi hakikatnya orang dengan kepribadian ganda itu ya—satu orang." balas Cakra.

"I know, but ... enggak nutup kemungkinan. Ada beberapa kasus di mana orang punya kepribadian ganda itu bukan karena faktor internal, tapi dari luar. Ada eksistensi lain yang menghuni tubuhnya," jawab Ajay.

Cakra hanya menggaruk kepala. Biasanya Ajay adalah orang yang realis, tetapi di masa ini sosok ayahnya itu masih kerap terpincut dengan hal-hal yang bersifat mistis. "Kemungkinan kedua?" tanya Cakra.

"Ilmu hitam. Kurang lebih sama aja sih sama yang pertama. Dia masukin arwah ke raganya. Secara, ketika seseorang menguasai proyeksi astral, bisa dibilang dia itu kuat secara psikis. Berbeda dengan roh tanpa raga, kita terhubung dengan benang perak, kita masih punya kendali atma yang besar dan mampu merubah hal semu menjadi realitas tanpa batas. Namun, di satu sisi kita rapuh. Saat roh keluar dari raga, maka raga kita adalah kelemahan kita sendiri."

"Dan ketika ada arwah yang masuk, kelemahan itu tertutupi. Raga bisa bergerak, sehingga bisa kabur atau bahkan melawan musuh yang mengincar nyawanya. Masuk akal," balas Cakra.

"Mungkin ada teori lain, tapi cuma itu yang terbesit di otak gua."

"Makasih banyak buat spekulasinya, itu berguna banget."

"Gua tau lu lagi sakit, tapi ketika lu masuk ke wujud roh, sakit itu cuma tertinggal di fisik."

"Terus?" Cakra memicingkan matanya.

"Ada yang mau gua tunjukin. Sesuatu yang mungkin lu belum ketahui. Dunia roh itu luas, banyak yang bisa dieksplor daripada sekadar nyiptain benda astral dengan pemikiran."

"Dan—apa itu?"

Ajay tersenyum. "Percaya deh, Matahari pagi di masa depan enggak akan pernah ngajarin ini ke anaknya."

Mata Cakra berkaca-kaca. "Sejak kapan?"

"Sejak awal." Ajay memeluk Cakra. "Pasti berat, ya? Beban yang lu pikul saat ini."

Cakra bergeming. Tubuhnya gemetar, ia rindu sosok ayahnya.

"Gua enggak pernah sama sekali berniat buat ngajarin ini ke siapa-siapa. Dan gua yakin, bahkan di masa depan pemikiran gua pun masih sama, mengingat apa yang mau gua ajarin ini resikonya tinggi, tapi—cuma ini yang bisa gua kasih. Enggak berarti banyak, tapi seenggaknya, gua berharap ini ngeringanin beban lu." Ajay menutup mata dan berkonsentrasi. Ia menarik napas beriringan dengan rohnya yang keluar. Ajay menarik Cakra masuk ke dalam pemikirannya. Sebuah dunia yang tak pernah Cakra ketahui.

***

"Atma itu seperti air, dia mengalir dalam pembuluh darah. Rasain alirannya, setelah itu baru pahami seluk beluknya," ucap Dirga pada Deva yang sedang duduk bermeditasi. "Butuh teknik yang tinggi untuk menggunakan braja. Kalo enggak paham dasar-dasar atma, enggak akan bisa gunain braja. Jangankan braja, bahkan hal-hal sepele yang berbau atma-able pun enggak akan bisa."

Deva mengatur napas dan tenggelam semakin dalam ke alam bawah sadarnya untuk mempelajari atma. Ucapan Dirga yang lantang itu hanya terdengar samar-samar di telinganya.

Dari jarak yang agak jauh, Harits menatap Deva yang sedang belajar atma. "Enggak belajar kayak temennya?" tanya Andis.

"Udah jago," jawab Harits singkat.

"Gaya lu. Tengil banget the hobbit," ledek Andis.

"Bacot banget si pitak bertopi," balas Harits.

Kedua orang yang sedang saling melempar ceng-cengan itu tiba-tiba terdiam menatap Nada. Gadis itu berjalan keluar untuk membayar kupat tahu yang ia beli untuk sarapan. Pesonanya seakan menggelapkan sadar pada kedua orang petakilan itu.

Setelah membayar, seorang pria asing datang dari sebrang jalan menghampiri Nada yang hendak masuk ke dalam Mantra. Langkahnya sempoyongan, entah apa yang ia ucapkan pada Nada sehingga membuat gadis itu menghentikan langkahnya. Mereka berbincang, tetapi tampaknya pria itu sedang menggoda Nada. Harits masih menatap mereka dan tak melakukan pergerakan, hingga tangan pria itu meraih lengan Nada, membuat Nada sedikit kaget dan melakukan tindakan defensif dengan menarik tangannya. Harits hendak bangkit, tetapi rupanya Andis lebih cepat. Jangankan bangun, Andis sudah berada di sana dan mencengkeram lengan pria itu.

"Jangan pegang-pegang," ucap Andis penuh penekanan pada setiap kata yang keluar dari mulutnya. Wajahnya garang, seperti orang yang berbeda dari beberapa detik lalu.

Pria itu kelihatannya habis mabuk, ia menggenggam botol minuman keras di tangannya. "Lu siapa?" tanya pria itu pada Andis, lalu menatap Nada kembali. "Yuk ikut aku sebentar, nanti aku kasih uang."

"Kalo gua bilang lepas, ya lepas," lanjut Andis. "Elu yang siapa?"

Pria itu geram, ia memukul kepala Andis dengan botol minuman keras hingga pecah. Teriakan Nada membuat seisi Mantra melihat kejadian itu. Darah segar mengucur dari kepala Andis.

Sok-sokan si lemah! batin Harits yang hendak menolong, tetapi Dirga menahannya. Harits paham, ayahnya bukan orang seperti Dirga yang merupakan komandan dari unit Dharma di eranya. Hanya seorang pegawai biasa tanpa kekuatan spesial untuk berkelahi.

"Bisa modar si Andis," ucap Harits.

"Santai, Andis itu harga dirinya tinggi."

Pria pemabuk itu menarik lengan Nada hingga membuat gadis itu memekik dan tersentak. "Bajingan, punya kuping enggak sih?" Kepalan tangan Andis menghantam wajah pria itu, membuat pria itu tersungkur di tanah.

"Andis itu kalo sama cewek emang genit, tapi dia orang yang paling menjunjung tinggi derajat seorang wanita. Apa lagi sekarang Nada jadi bagian dari Mantra, udah pasti Andis bakal ngelindungin dia. Andis enggak lemah, dia cuma terlalu baik. Dia takut ngelukain orang lain, makanya dia berantem kalo lagi perlu aja. Hidupnya kebanyakan bercanda," ucap Dirga. "Waktu kepalanya dipukul, dia enggak bales, tapi pas tangan Nada ditarik, Andis baru gerak. Dia itu bukan tipe yang suka ngebales tinju orang lain, tapi Andis itu tipe yang ninju buat ngelindungin orang lain."

Harits bergeming menatap kejadian itu. Andis menggandeng Nada yang ketakutan dengan penuh kelembutan. "Ayo masuk." Pria edan itu terkapar di tanah, pukulan Andis membuatnya bisa tertidur nyenyak.

Tanpa sadar, terbesit senyum di bibir Harits. Orang yang terkadang ia anggap remeh itu, ternyata adalah sosok pria sejati. Seorang yang menelan jentaka demi terlihat jenaka, pria yang rela dipukul dari dekat,  tapi tak rela orang terdekatnya dipukul. Banyak hal tentang ayahnya yang sama sekali tak diketahui oleh Harits, mungkin karena mereka kurang dekat. Andis memang seperti itu.

"Ternyata sebuah koin itu enggak cuma punya dua sisi, ya" ucap Harits.

"Ya, nyatanya koin itu punya tiga sisi. Sisi samping yang kecil, sempit, dan orang lain enggak menganggap itu ada," balas Dirga.

Deva, pemuda itu paham bahwa Harits adalah sosok yang mengagumi Dirga di eranya. Melihat Harits yang terlihat dekat dengan Dirga membuatnya iri. Dirga selalu pergi keluar kota untuk menjalankan misi dari unit Dharma. Deva dan Dirga tak banyak memiliki waktu bersua karena kesibukan Dirga. Setidaknya, di era lama ini, Deva ingin Dirga memandangnya dan mengakuinya. Namun, sepertinya Harits lebih unggul dalam hal itu.

"Dev ...."

Deva menoleh ke arah Melodi yang berdiri di belakangnya. Ia mengangkat alis seakan berkata 'apa'.

"Makan dulu gih, kamu belum makan-makan." Melodi duduk di sampingnya membawa sepiring kupat tahu. Melodi turun bukan untuk mengisi perutnya, melainkan khawatir pada Deva yang terlihat murung dan jarang makan. Melodi membunuh gengsinya untuk memulai pembicaraan.

"Aku enggak laper."

"Terkadang kita ngerasain apa yang sebenernya berbeda dari yang kita butuhin," ucap Melodi. "Kafein itu bikin orang enggak bisa tidur, nyatanya kafein itu cuma memaksa tubuh buat melupakan sejenak rasa lelah. Tubuh butuh istirahat. Perut pun gitu, kamu mungkin aja enggak laper, tapi kamu belum makan-makan. Perut kamu punya hak."

"Enggak usah urusin aku," ucap Deva sambil tersenyum.

"Yah elah ...." Melodi memencet kedua pipi Deva menggunakan tangan kirinya, sehingga bibir Deva terbuka. Tanpa aba-aba, Melodi langsung memasukkan sendok berisi kupat tahu ke dalam mulut Deva dengan tangan satunya. "Susah bener makan doang!" Melodi menekan rahang Deva ke atas hingga kepalanya ikut mendongak. "Telen!" Deva menelan kupat tahu di mulutnya.

"Kamu kenapa sih?" ucap Deva yang habis menelan makanan tanpa mengunyahnya. Ia menatap Melodi sambil memukul-mukul dadanya sendiri untuk menurunkan makanan yang terasa menyangkut di bawah kerongkongannya.

Melodi terlihat getir, ia khawatir, tetapi rasanya terlalu gengsi untuk secara langsung mengutarakan perasaannya. "Seandainya kemampuanku aktif dan kita semua pulang. Ketika musuh berdiri di hadapan kita dan kamu malah sakit karena kurang makan, siapa yang ngelindungin aku sama Nada? Cakra lagi sakit, Harits masih kecil, Jaya pergi entah ke mana. Cuma kamu yang aku tau. Makan, ya?"

Deva termenung, ia mengambil piring dari tangan Melodi sambil mencoba tersenyum. "Iya, makasih ya." Melodi membalas senyuman itu dan segera beranjak dari posisinya.

"Hey ...." Melodi kembali menoleh ke arah Deva yang sedang menggaruk kepalanya, ia terlihat canggung. "Aku  pasti jagain kamu."

Melodi tak bisa membohongi diri untuk tidak tersenyum. "Iya, aku tau kok." Ia kembali naik ke atas untuk mencoba mempelajari seluk-beluk retrokognision.

Sorot mata Deva berubah saat Melodi pergi. Ia dengan lahap memakan kupat tahu pemberian Melodi, kemudian melanjutkan pembelajarannya tentang dasar-dasar atma.

Ayah ngajarin prekognision di masa depan, sementara di era ini ayah enggak berminat gunain kemampuan itu. Apa terjadi sesuatu? Di sini ayah ngajarin dasar-dasar atma, karena aku belum becus gunain itu. Jaya—bahkan Jaya ngajarin tentang resonansi jiwa. Semua orang punya gaya bertarungnya masing-masing. Dilihat dari perubahan sudut pandang ayah pun, gaya bertarung juga bisa berkembang, karena musuh yang menghadang juga semakin kuat. Adaptasi dalam setiap situasi juga penting. Harits yang kehilangan buku penjara jiwa enggak bikin dia semakin lemah, justru dia semakin kuat. Semua orang memulai pada garis start yang sama, yang harus aku lakuin sekarang adalah lari secepat mungkin, lebih cepat dari siapa pun. Jarak semakin jauh, aku harus lebih berusaha keras. 

Deva kembali pada latihannya. Ia memang harus banyak mengejar ketertinggalan, tetapi kali ini Deva terlihat tenang. Ia mulai berpikir jernih dan tidak terburu-buru. Dirga yang sedari tadi memperhatikan Deva tersenyum. Sepertinya Deva sudah menyadari di mana letak kesalahannya. Ia terlalu terburu-buru sehingga semua yang dilakukannya kurang maksimal. Dirga mengajari dasar-dasar atma karena untuk mengenal atma, seseorang harus bisa mengontrol ketenangannya. Dirga memang terlihat seperti api, berbeda dengan kembarannya, tetapi itu hanya dari luarnya saja. Dalam setiap situasi dan kondisi, Dirga selalu berpikir tenang.

"Kenapa lu senyam-senyum sendiri?" tanya Andis yang baru saja keluar kamar mandi dengan kepala terlilit perban.

"Lu inget waktu gua sama Tirta tinggal di bus tua?" tanya Dirga.

"Iya, lu berdua gembel yang kabur dari sodara lu dan enggak punya keluarga waktu itu. Karena enggak punya rumah, lu tinggal di bus tua yang udah enggak beroperasi lagi. Kita jadiin bus itu basecamp Mantra."

"Lu semua nganggap gua pimpinan karena waktu itu berani nentang Kei. Di satu sisi gua terlihat pemberani, tapi di sisi lain gua rapuh. Gua cuma orang yang sok berani dan enggak pernah menangin apa pun. Gua egois karena berpikir bisa ngelindungin lu semua, gua sok kuat sendiri dan merasa harus nanggung semuanya sendiri. Waktu itu bener-bener titik terendah dalam hidup gua. Dan itu yang terpancar dari sorot mata Deva. Dia harus ditarik keluar dari kelam idealis yang terlanjur naif. Laut terlihat tenang, tapi sebenarnya menyeret apa pun. Enggak perlu terburu-buru, semua ada waktunya."

"Ngomong opo toh, ora jelas." Andis pergi meninggalkan Dirga.

Dirga menatap Andis yang berjalan pergi sambil sesekali melirik Harits yang sedang melamun. "Kalian juga mirip. Terlalu saru malah."

***

Nada berjalan seorang diri menuju komplek di belakang ruko. Ia hanya penasaran, seperti apa rupa komplek di era ini, mengingat di eranya komplek itu ditumbuhi banyak tanaman yang indah. Namun, Nada menghentikan langkahnya ketika mendapati Tama sedang memainkan panahan di lapangan. Tama menatap Nada dengan ujung matanya, lalu menghentikan kegiatannya. "Mau coba?"

Nada melihat sekelilingnya. Ia menatap Tama sambil menunjuk dirinya sendiri. Tama membalasnya dengan anggukan kepala. Nada segera mendekat.

Tama memberikan busur panahnya. Tama memang memiliki hobi tak biasa. Ia memiliki papan target, busur, serta anak panah dan sering memainkannya ketika libur.

Nada mengambilnya, dan langsung membidik target. Namun, Tama berpindah posisi ke belakangnya. Tama meraih tangan Nada dan mengajarkannya posisi memanah. Wajah Nada memerah, memang Tama adalah ayahnya di masa depan, tapi di era ini Tama benar-benar—ganteng.

"Turut berduka cita," ucap Tama pada Nada. Tama berbelasungkawa terhadap dirinya sendiri.

Nada terlihat getir. "Makasih ...."

"Ayah kamu pernah ngajarin memanah?" tanya Tama.

"Pernah, tapi aku enggak jago."

"Memanah itu bukan perkara jago atau enggak," balas Tama. "Tapi kena apa enggak."

Ya—iya juga sih ... tapi bukannya itu—sama aja?

"Seandainya masa depan kalian enggak berubah dan ayah kamu tetap enggak bisa diselamatkan. Yang harus kamu ingat adalah dia pernah ngajarin kamu."

"Iya, aku enggak akan pernah lupa kok."

"Memanah itu butuh ketenangan dan fokus. Terus, tarik anak panahnya pelan-pelan pake perasaan." Tama menarik lengan Nada perlahan. "Lepas," tuturnya lembut pada Nada. Nada melesatkan anak panahnya hingga menancap di tengah papan target. "Strike," lanjut Tama.

"Ih! Aku bisa," ucap Nada dengan wajah girang.

"Aku bersyukur," celetuk Tama. "Masih dikasih kesempatan buat ngajarin kamu manah sebelum nantinya aku mati dan enggak bisa ngajarin kamu banyak hal lagi. Kamu bahagia jadi anakku di masa depan?"

Nada terdiam, matanya berkaca-kaca. Tama paham siapa Nada dan Melodi, juga teman-temannya. Waktu Tama berkata ia tak bisa melihat dengan psikometrinya, itu bohong. Kini Tama memberanikan diri memeluk Nada. Nada mulai menangis. "Enggak ada yang paling membanggakan dari menjadi anak ayah."

"Seandainya kamu dihadapkan dengan situasi yang berbahaya, sementara aku di masa depan udah enggak ada. Kamu harus kuat, Nad. Lebih kuat dari siapa pun sehingga bisa ngelindungin diri kamu sendiri dan teman-teman kamu. Kamu harus bersiap, banyak yang harus dipelajari. Cepat atau lambat, kalian pasti pulang, kan?"

Nada menghapus air matanya. "Cukup kuat buat ngelindungin ayah juga!" Tama tersenyum. Mereka melanjutkan panahannya kembali.

***

Keesokan harinya mereka semua berkumpul di depan mobil Deva. "Udah waktunya, ya?" tanya Dirga.

"Tergantung Melodi," jawab Deva.

"Kalo Melodi enggak bisa gunain kemampuannya, kita bakal tinggal di sini selamanya," celetuk Harits. "Jadi pastiin yang bener, ya."

"Bawel si cebol," balas Melodi ketus.

Mereka semua saling bersalaman sebagai bentuk pamit. "Misteri tombak Maheswara belum terpecahkan, yakin masa depan berubah?" ucap Ajay.

"Ada sedikit petunjuk dari gua mistis kemarin. Semoga di masa depan, semua bisa terpecahkan," balas Harits.

"Terimakasih udah ngebimbing kita semua," ucap Cakra. "Seneng ketemu para sesepuh." Mereka semua tertawa bersama.

Cakra, Harits, Deva, Nada, dan Melodi masuk ke dalam mobil. "Udah siap?" Kini Harits yang mengemudi. Melodi menutup matanya sambil menarik napas. "Siap."

Harits membuka kaca mobil sambil menginjak pedal gas. Ia menatap semua personil Mantra legend. "Selamat tinggal." Perlahan mobil yang dikendarai Harits mulai menghilang dari pelupuk mata.

"Ngapain kita di sini?" tanya Andis.

"Lah, au," balas Dirga. "Yang barusan naik mobil siapa?"

"Gua kira sodara lu," balas Ajay.

"Dih, gelo. Mana ada."

Mereka semua masuk ke dalam Mantra. Entah, ingatan mereka tentang para anak-anaknya menghilang begitu saja. Mungkin itu cara semesta untuk menjaga benang takdir. Semua berjalan seolah tidak terjadi apa-apa.

***

Melodi membuka mata. Ia berdiri di tengah kampusnya. Atensinya teralihkan menatap seorang gadis yang berdiri tak begitu jauh sambil menatap ke arahnya.

Gadis itu berjalan menghampiri Melodi sambil tersenyum ramah. "Halo," sapanya lembut pada Melodi.

"Kirana ...," gumam Melodi. Roda waktu kembali berputar.

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top