65 : Cermin Wilapa

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Taruna Tribuana, adik dari Zahran Utomo. Gadis itu ingin melenyapkan iblis yang menghuni raga kakaknya. Ia bersama peziarah lainnya, Gintara Wijayakusuma, diangkat oleh Kei Yudistira menjadi satuan unit polisi khusus Dharma untuk menangani kasus-kasus yang sangat ekstrim. Taruna merupakan salah satu dari tujuh Pillgrims atau disebut juga sebagai peziarah.

Istilah peziarah sendiri mengacu pada manusia yang diberikan tugas khusus karena anugrah bernoda kutukan yang mereka miliki. Konon mereka bertugas untuk mengembalikan jiwa yang seharusnya tak lagi berada di dunia. Singkatnya, mereka ada untuk membawa kembali Maggots atau belatung. Istilah belatung mengacu pada jiwa-jiwa yang keluar dari Alam Suratma dan kembali ke Alam Dunia. Seorang yang sudah mati, tak seharusnya berdampingan dengan mereka yang hidup.

Taruna masih berdiri dengan kondisi yang kurang bagus, untungnya ada Cakra yang membantunya. Mata kanannya berbeda dengan mata kirinya, itu merupakan sebuah mata boneka yang terbuat dari kaca. Taruna dapat melihat kematian seseorang melalui pantulan cermin dengan mata kanannya. Ia juga dapat pergi, atau membawa seseorang ke Alam Suratma melalui cermin.

"Kamu punya cermin?" tanya Taruna.

"Enggak, tapi bisa aku coba buat. Cermin astral enggak apa-apa?"

"Enggak masalah, yang penting bisa mantulin bayangan orang itu," tegas Taruna.

Masalahnya cuma satu. Arwah orang ini gentayangan dan bisa nyerang, padahal raganya masih sadar. Sebenarnya apa yang terjadi? batin Cakra.

Taruna berlari sambil memadatkan atma di tinjunya. Ia memukul perut pria di hadapannya hingga kakinya terangkat dari tanah. Gerakan rohnya juga terhenti, Cakra memanfaatkan itu, ia menjatuhkan lawannya dan memasak tubuh astralnya dengan pedang-pedang astral hingga rohnya terjebak.

Cakra menempelkan seluruh jari-jari kanannya dengan yang kiri sambil melafalkan sesuatu dan membayangkan sebuah cermin raksasa.

Menyadari Cakra melakukan sesuatu, pria yang menjadi lawannya itu berusaha menarik tubuh astralnya, tetapi tidak bisa. Kini rohnya berjuang sendiri untuk melepaskan diri dari belenggu Cakra.

Cakra membuat sebuah cermin raksasa dengan tinggi tiga meter. "cukup?" tanya Cakra.

"Lebih dari cukup," jawab Taruna. "Tamat riwayatmu!"

Pria itu memasang wajah datar. "Jangan meremehkanku." Kaca astral yang dibuat oleh Cakra menghilang.

"Hey! Kenapa bisa begitu?" tanya Taruna.

Roh Cakra mengeluarkan darah dari mulutnya. Taruna menyadari bahwa payung hitam milik pria itu hilang.

"Mencari sesuatu?" ucap pria itu menyeringai. "Mungkin saja sekarang payungku menusuk raga asli orang ini. Mengingat tali peraknya sepertinya berada tak jauh dari sini, jadi payungku pergi sendiri mengikuti alurnya."

Tali perak adalah tali yang menghubungkan roh dengan raga.

"KAU!"

"Kalau butuh cermin ...." Cakra berusaha menahan keberadaan rohnya yang seakan tertarik. "Gunakan genangan air."

Hal yang sederhana, tetapi terlupakan karena banyak hal. Taruna dengan cepat melesat ke arah pria di hadapannya, mata mereka saling bertatapan. Ketika mata mereka bertatapan, dan Taruna bisa menyentuhnya, maka ketika menginjak genangan air yang memiliki bayangan, mereka akan terlempar ke Alam Suratma.

"Cermin Wilapa," ucap Taruna. Ia meraih tubuh lawannya, tetapi pria itu mundur untuk menghindar. Sedikit seringai untuk meledek gadis manis yang gagal meraihnya.

"Masih belum ...." Taruna menahan napasnya, ketika kakinya berpijak di tanah, ia langsung memaksa tubuhnya untuk melakukan lompatan ke depan. Dalam sekejap, gadis itu memeluk tubuh si pria hingga mereka berdua jatuh dalam genangan air. Keadaan di sana mendadak sepi, tak ada seorang pun di atas tanah itu, seperti mereka berdua tenggelam dalam genangan.

***

Di sisi lain, keberadaan Septa menghilang. Harits dan Deva berusaha mencarinya.

"Kalian ngapain sih?" Tiba-tiba Septa merangkul mereka berdua dari belakang. Harits dan Deva terkejut setengah mati, mereka refleks ingin melepaskan diri, tetapi Septa terlalu kuat menahannya. "Kalian mau ke mana?"

Septa menggiring mereka berdua ke sebuah gang sepi. Gila! Ini orang tenaganya kuli banget, batin Harits yang masih berusaha melepaskan diri.

Hawa di sekitar mereka berubah. Padahal masih gerimis, tapi rasanya angin di sekitar mereka menghalangi rinai hujan menyentuh permukaan kulit. Bulu kuduk Harits dan Deva merinding dengan keadaan yang mendadak mencekam ini. "Waktu kalian dua menit. Jelaskan siapa kalian dan kenapa mengikutiku?" bisik Septa.

"Harits Jayasentika," ucap Harits. "Wira Martawangsa." Dilanjut dengan Deva. Mereka berdua tak memberitahukan identitas aslinya.

Septa menghela napas, aura di sekitar mereka kembali normal. Namun, secara mendadak Septa menjambak rambut Deva dan menatap matanya. "Siapa kalian? Dan kenapa mengikutiku?"

Tak ada yang bisa berbohong di hadapan Septaraja. "Deva Martawangsa dan Harits Sagara. Kami mengikutimu untuk membuktikan siapa dirimu."

"Dari apa?" tanya Septa lagi.

"Pembunuhan Taruna Tribuana," jawab Deva.

Septa melepaskan mereka berdua. "Untuk apa aku membunuh dia?"

"Karena kau--Maheswara," celetuk Harits.

Septa membulatkan kedua matanya, ia menerjang Harits dan memojokkannya ke tepi dinding. "Dari mana kau informasi itu?"

Harits menghela napas. Ia mencengkeram lengan Septa. "Sagara dan Martawangsa, kau pikir siapa kami? Kami utusan Katarsis," ucap Harits berbohong. "Apa yang hendak direncanakan Maheswara? Bukan hal sulit menemukan mereka. Bicaralah, sebelum kami mengulitimu."

Septa tersenyum dan melepaskan Harits. "Entah, aku sudah memutus hubungan dengan mereka. Sejak insiden yang menewaskan para Maheswara itu, aku kabur membawa Karara Reksa di punggungku. Itu adalah satu-satunya warisan ayahku."

"Ada gua tersembunyi, terdapat lima tombak Maheswara di dalamnya," lanjut Harits.

"Ya, aku tau itu. Kemarin pun aku pergi ke sana untuk membuktikan rumor itu, tetapi tiba-tiba saja terjadi gempa dan gua itu runtuh. Daripada mati, aku memilih untuk keluar secepatnya sebelum ikut tenggelam ke laut. Bahkan aku belum melihat kelima tombak itu."

"Harits ...." Deva menatap Harits.

Harits melepaskan Septa. "Jadi, apa yang akan kau lakukan setelah ini?"

"Entah, hanya mengikuti garis takdir," jawab Septa.

Harits dan Deva berjalan meninggalkan Septa. "Bukan dia," tutur Deva.

"Ya, seharusnya Taruna sudah mati beberapa menit yang lalu. Jika Septaraja pelakunya, tentu saja tidak mungkin dia bersama kita sekarang."

"Cara lu ngulur waktu boleh juga, tapi ada satu hal yang aneh. Kenapa lu enggak terpengaruh kemampuan dia?"

Harits mencopot kontak lens yang ia kenakan. "Sebelum ke sini, tindakan preventif itu diperlukan, Bro."

"Darimana lu punya gituan?" tanya Deva heran.

"Kalo lu kenal deket sama Rizwana, lu pasti paham," jawab Harits.

***

Di sisi lain, Dirga, Nada, Melodi, dan Ajay baru saja tiba di rumah sakit. Seorang gadis berkacamata sedang duduk di depan ruangan yang mereka tuju.

"Taruna, gimana keadaan Cakra?" tanya Dirga.

"Namanya Cakra, ya? Dia luka parah. Beruntung masih sempet ditolong."

"Cakra kenapa?" tanya Nada.

"Perutnya ketusuk benda tajam," jawab Taruna singkat.

"Kenapa bisa gitu?"

"Nad ... santai," ucap Dirga. "Taruna juga luka."

Nada menatap gadis itu yang sekujur tubuhnya terluka. "Maaf ...."

"Aku yang minta maaf. Cakra luka gara-gara ngelindungin aku. Seharusnya aku yang ketusuk."

Harits dan Deva baru saja datang bersama Tama dan Andis. Harits dan Deva menatap gadis asing yang berkumpul di tengah mereka. Kini dua sejoli itu saling bertatapan. "Taruna Tribuana!"

"Ya?" Taruna memicingkan matanya.

"Takdir berubah. Taruna selamat," tutur Harits. "Masa depan pasti berubah," lanjut Deva.

"Mungkin masa depan berubah," timpal Dirga. "Misalnya ada nyawa yang selamat, sementara yang harusnya selamat--meninggal."

"Cakra enggak akan mati," balas Harits.

"Masa depan adalah hal yang tabu. Enggak semestinya dirubah. Ini keliru ...," timpal Dirga. "I'm out."

"Seandainya enggak dirubah, entah apa yang akan terjadi," ucap Deva. "Retrokognision ada bukan tanpa sebab. Kemampuan itu enggak bisa sembarangan digunain. Ada waktu-waktu di mana kemampuan itu aktif dengan sendirinya. Pastinya ada maksud dan tujuan. Bukan karena kami egois kami ada di sini dan merubah takdir, tapi takdir yang membawa kami ke sini untuk dirubah." Deva dan Dirga beradu tatap. Tak ada yang mau mengalah, kedua sorot mata itu saling menusuk argumen lawannya.

"Masa depan apa?" Taruna sama sekali tak mengerti apa yang sedang terjadi. Sebagai adik dari Uchul, tentunya Taruna mengenal anak-anak Mantra di era ini, tapi mengapa dua orang yang baru saja datang itu mengenal dirinya, sementara Taruna tak mengenal mereka.

"Ah--itu. Prekognision, ini ramalan masa depan yang berubah," jawab Dirga mengada-ngada.

"Cakra pasti selamat, dia anak yang kuat," balas Taruna. Merasa keadaan sudah mulai ramai, gadis itu pergi meninggalkan mereka semua.

"Bener! Cakra pasti sembuh!" ucap Nada.

"Dia kan Gatot Kaca. Otot tulang, kawat besi!" balas Harits.

Andis tiba-tiba terbahak-bahak. "Lucu juga ni orang. Heh! Yang bener itu gigi kawat, tulang besi!"

Gantian, giliran Harits yang terbahak-bahak. "Gigi kawat ndasmu! Behel dong."

Entah, kali ini mereka terlihat akrab dan terbahak bersama dengan guyonan receh itu. "Kalo lu masuk surga, itu pasti karena ketolong selera humor lu!" ucap Andis.

"Ancur! Parah!" balas Harits.

Nada, Melodi, dan Deva tersenyum melihat mereka berdua. Namun, di tengah kehangatan itu, perawat dan dokter berlarian seperti orang sibuk. Masuk keluar kamar Cakra.

"Dok, kenapa, ya?" tanya Melodi.

"Detak jantung pasien semakin melemah. Sempat berhenti, tapi karena bantuan alat, bisa benapas lagi. Kali ini detak jantungnya hilang lagi. Dia sudah terlalu banyak kehilangan darah."

***

Di sisi lain, Cakra duduk di hamparan tanah luas. Langitnya berwarna merah, banyak burung pemakan bangkai yang berkeliaran menghiasi langit. Perlahan tali peraknya pudar.

"Menikmati langit senja?"

Cakra menoleh, dilihatnya gadis yang baru saja ia bantu. "Menikmati saat-saat terakhir," jawab Cakra.

"Ada hal aneh di sini," ucap Taruna. "Kamu enggak punya bayangan kayak para belatung itu, tapi kamu bisa mati. Kesimpulan berdasarkan obrolan anak Mantra dan orang-orang yang kayaknya temen kamu. Kalian berasal dari masa depan."

Cakra diam tak berkomentar menanggapi pertanyaan itu.

"Aku anggap diam kamu itu bermakna iya."

Kini Cakra tersenyum menanggapi pernyataan Taruna.

"Karena kamu yang dari masa depan ini ngerubah takdir. Di mana yang seharusnya aku mati, sekarang malah selamat. Aku akan sedikit merubah takdir kamu juga karena bermain-main dengan takdirku."

"Gimana?" Cakra mengerutkan dahinya menatap Taruna.

Taruna menatap Cakra dengan mata kacanya. "Mata ini adalah Cermin Wilapa. Ketika mata ini beradu kontak dengan cermin lain, maka gerbang antara Dunia dan Alam Suratma terbuka." Taruna mengeluarkan sebuah cermin dari balik saku celananya, lalu menggandeng tangan Cakra. "Selamat tinggal, dan makasih banyak."

***

Dokter memompa dada Cakra dengan alat kejut. Cakra tiba-tiba saja terbangun dan langsung duduk di hadapan semua petugas medis. Ia langsung beranjak dan berjalan keluar.

"Hey, mau ke mana?" Petugas berusaha menghalangi karena Cakra belum pulih, tetapi Cakra tetap berusaha keluar.

Pintu terbuka, semua yang menunggu Cakra akhirnya bisa bernapas lega karena Cakra sudah sadar dan sanggup berjalan. Di antara semua orang, Taruna juga ada di sana. Tadi sejenak gadis itu pergi untuk mencari cermin dan pergi ke Alam Suratma. Kini ia sudah bergabung kembali di tengah-tengah anak Mantra.

"Apa maksudnya selamat tinggal?" tanya Cakra pada Taruna. "Aku pikir kamu mau gantiin posisiku di alam baka."

"Khawatir?" ledek Taruna. Ia berjalan dan berbisik di telinga Cakra. "Selamat tinggal. Karena cepat atau lambat, kamu pasti balik ke zaman kamu, kan?"

"Oh ... gitu ya. Kirain apaan," balas Cakra sambil terduduk di lantai. Sepertinya ia tak kuat menopang tubuhnya. Cakra digendong oleh petugas medis dan diletakkan di atas kasur kembali.

Melodi menatap Nada yang memperhatikan gadis bernama Taruna Tribuana itu. Taruna memiliki paras yang cukup cantik, mengingat Uchul juga sebenarnya cukup tampan, hanya saja--jahat.

"Dia siapa sih, Melo?" tanya Nada.

"Entah. Aku belum pernah liat," jawab Melodi. "Jangan cemburu, Nada."

"Enggak kok, biasa aja," jawab Nada ketus.

Melodi tersenyum aneh. "Cie, Nada cemburu."

Nada menatap sinis Melodi sambil mencubit pinggangnya. "Melodi, jangan keras-keras ngomongnya, nanti yang lain denger!"

"Ih! Berarti suka beneran, ya?"

Tama sedari tadi memperhatikan kedua gadis ini dengan tatapan datar.

.

.

.

TBC


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top