64 : Divisi Nol
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Harits dan Deva pergi entah ke mana, sementara Cakra sedang mencari-cari data tentang keberadaan dua tombak yang tersisa.
"Mikirin apa, Cak?" sapa Nada yang tiba-tiba saja duduk di meja yang sama dengan Cakra. "Eh, enggak," jawab Cakra.
"Kamu kangen rumah ya?"
Cakra terdiam mendengar pertanyaan Nada, lalu tersenyum. "Toh, kita kembali pun, aku tetep jauh dari rumah, kan?"
"Iya juga ya, Cakra. Orang tua kamu kan di Inggris."
"Tapi bener ... seenak-enaknya era ini, tetep rasanya berbeda," balas Cakra.
"Aku bingung ...."
Cakra menatap Nada dalam-dalam. "Ya, kalo jadi kamu pun aku bingung. Di era kita, ayah kamu ...." Cakra membuang tatap sejenak, lalu menatap Nada kembali.
"Aku harap ada yang berubah setelah kita kembali. Pun ... seandainya ayah enggak bisa ditolong. Aku lebih milih tinggal di dunia kita sendiri. Di sini aku merasa hampa." Nada tersenyum getir, menatap cangkir abu-abu yang berisi cokelat panas.
Cakra menepuk pundak Nada. "Kita kembali, dan kita rubah masa depan. Aku pasti bawa pulang ayah kamu lagi, Nad."
"Makasih ya, Cakra." Nada mencoba untuk tersenyum. "Om Dirga juga!"
Kini giliran Cakra yang tersenyum. "Ya, semuanya." Gelagar petir burkumandang di langit Jogja, Cakra menatap ke luar Mantra, kemudian pria ia beranjak dari duduknya dan berjalan ke kamar meninggalkan Nada.
Cakra duduk bermeditasi untuk melakukan proyeksi astral. Setelah rohnya berpisah dengan raga, Cakra terbang menembus dinding ruangan, lalu menuju awan. Ia kembali bermeditasi dengan wujud rohnya sambil mengambang di atas permukaan awan.
Hari ini langit tampak tak mau berkompromi, rinainya perlahan turun membasahi bumi. Cakra tampak begitu fokus, ia membuat rohnya membaur bersama air yang turun ke bumi. Kini Cakra merasakan setiap emosi dan juga energi dari setiap jiwa berpijak di tanah Jogja.
Cakra merasakan kehadiran Harits dan Deva yang sedang berada di dekat kantor polisi. Harits bilang ia ingin mengikuti seseorang, entah siapa orangnya, yang jelas ia berkaitan dengan kepolisian.
Perlahan Cakra menelusuri setiap energi yang ia rasakan. Ada yang terasa hangat, dingin, dan mencekam. Hingga pada satu titik di daerah Jalan Kabupaten, Cakra merasakan sesuatu yang tak biasa. Rohnya membulatkan mata karena merinding. Seketika itu juga Cakra membuka matanya, dan bernapas dengan ritme tergopoh-gopoh. Ia mengatur napas sejenak, kemudian beranjak dan segera pergi untuk mengecek tempat itu.
Sebuah kunci motor terlempar ke depan wajah Cakra, beruntung Cakra memiliki refleks yang bagus. Ia menangkap kunci tersebut. "Di masa depan, siapa orang yang ngajarin kemampuan begitu?" tanya Ajay yang bersandar di balik pintu, ketika Cakra keluar dari kamarnya. Cakra tersenyum asimetris. "Matahari pagi," ucapnya sambil berjalan turun ke bawah.
"Cakra mau ke mana ujan-ujan?" tanya Nada yang masih belum bergerak dari posisinya ketika berbincang dengan Cakra beberapa waktu lalu.
"Mau beli makan," ucap Cakra menggunakan alasan klasik milik Harits. Kini ia keluar dan langsung menuju motor Ajay. Tanpa basa-basi dan seakan tak peduli dengan hujan, ia pergi ke tempat yang mengundang sejuta kengerian itu. Seperti ada aura-aura pertarungan.
***
Cakra baru saja tiba di tempat yang ia rasakan saat membaur dengan hujan. Dari luar, keadaan terlihat normal dan aman. Namun, saat berjalan ke tengah hutan-hutan yang menghiasi Jalan Kabupaten, kondisi sangat gila dan mencekam.
Perbuatan siapa ini? batin Cakra melihat pohon-pohon tumbang dan beberapa terlihat rusak dengan batang yang terkoyak dan ranting yang berserakan.
Angin kencang berhembus dari dalam hutan. Angin ini bukan angin biasa, tetapi sebuah benturan atma.
Ada yang bertarung!
Cakra berjalan agak cepat masuk ke dalam hutan. Ia melihat jejak darah menuju hutan terdalam. Cakra mencari tempat aman dan mulai melakukan proyeksi astral. Ia terbang dengan kecepatan tinggi mengikuti darah yang bercucuran itu.
Sebuah benturan atma membuat Cakra menghentikan langkahnya. Seorang gadis yang tampak lebih muda darinya sedang beradu tinju dengan seroang pria yang belum pernah ia lihat di masa depan. Kedua orang ini begitu asing. Wanita itu tampak terluka. Satu hal yang agak familiar untuk Cakra adalah, pria yang sedang bertarung di hadapannya membawa sebuah payung berwarna hitam.
Gadis itu tampak melancarkan serangan terus menerus, tetapi pria di hadapannya dengan mudah menghindari pukulan-pukulan sersebut.
"Sesulit itu kah mendaratkan serangan pada orang yang menggunakan atma air?" ucap pria itu menyeringai, lalu melakukan serangan balik.
Gadis itu terpental beberapa meter akibat serangan pria berpayung. Satu hal yang pasti, gadis itu mengenakan jaket dari unit Dharma.
***
Di sisi lain, Harits dan Deva sedang berjalan mengikuti Septa yang beberapa waktu lalu keluar dari kantor polisi. Kali ini ia sendirian tak bersama Tara.
"Kenapa kita ngikutin om Septa?" tanya Deva.
"Hari ini salah satu unit Dharma tewas," jawab Harits.
"Om Septa? Enggak mungkin kan, di era kita aja dia belum lama meninggal. Harusnya di era ini dia ...."
Harits mengisyaratkan Deva untuk menutup mulut. "Bukan dia yang mati, tapi bisa jadi dia yang bunuh."
Deva memicingkan matanya. "Maksud lu?"
"Septaraja. Menurut penuturan Rizwana, dia adalah anak dari keluarga Maheswara yang artinya om Septa itu seorang Maheswara. Rizwana memiliki Karara Reksa karena membunuh ayahnya. Kalo dugaan gua bener, Septaraja adalah si pemilik Karara Reksa di era sekarang dan orang yang membunuh unit Dharma ini."
"Siapa? Menurut cerita, anggota Dharma yang pertama kali mati itu Rizwantara, kedua Emil Wijayakusuma, dan yang ketiga Zahran Utomo. Di sini perang antara Mantra dan Peti Hitam belum terjadi, Tara enggak mungkin mati."
"Bukan dia," tutur Harits. "Dharma punya unit rahasia yang ditugaskan buat mantau tim utama. Unit ini adalah divisi nol, di bawah mandat langsung Kei Yudistira."
"Gua belum pernah denger," balas Deva.
"Informasi ini rahasia. Gua pun dapetnya enggak gampang."
"Lu nyuri informasi?" Deva mengerutkan dahinya.
"Terkadang kita perlu bergerak di luar titah atasan. Di situasi gini, ilmu terlarang itu bisa bermanfaat."
"Terus siapa anggota unit nol ini?"
"Ada dua orang yang baru gua tau. Pertama ayah dari temen Tantra lu, Gintara Wijayakusuma. Yang kedua ini seorang gadis. Yang jelas, dalam catatan itu, gadis ini meninggal di tanggal dan tahun ini dengan dada tertusuk."
"Tombak?"
"Ya, bisa jadi itu tombak Maheswara. Septaraja atau Indra, pimpinan Katarsis yang berusaha melakukan kudeta terhadap Yudistira," jawab Harits. "Berdasarkan catatan, baru dua tombak yang terlihat setelah insiden Maheswara. Cakra Langit dan Karara Reksa."
***
Kembali pada pertarungan antara gadis dari divisi nol dan juga pria berpayung hitam. Wanita itu menatap si pria dengan sorot mata yang tajam.
"Aku enggak akan mati sebelum mengeluarkan iblis itu dari tubuh kakakku," ucap gadis itu.
"Setiap orang yang mengetahui rahasiaku harus mati. Sayang sekali, tujuan muliamu itu harus berakhir di sini," balas pria itu.
"I don't think so." Gadis itu memasang kuda-kuda. Ia melebarkan kedua kakinya dan mengumpulkan atma pada telapak tangan kanannya. Ia menghentakkan kaki kanan ke depan, lalu menghentakkan kaki kiri di depan kaki kanannya. Seketika itu ia melesat cepat ke hadapan pria berpayung.
Sial! Dia masih bisa secepat itu?! Pria itu tampak panik.
"Waringin Sungsang." Ia mendaratkan waringin sungsang ke perut pria itu. Gadis ini memiliki talenta, ia adalah seorang peziarah yang dapat membawa roh seseorang ke Alam Suratma. Roh pria berpayung terhempas keluar dari raganya. "Bersiaplah menghadap Sang Suratma."
Namun, pria itu malah menyeringai. Hal yang tak bisa dilakukan oleh raga yang kehilangan rohnya. "Sayang sekali, sepertinya kau yang harus menghadap Sang Suratma." Roh pria itu melesat dengan menggenggam payung di tangan kanannya, sementara raganya berlari menerjang dari arah depan. Kini gadis itu terkepung.
"Sayangnya yang kau hadapi itu aku, anggota Satu Darah."
"Sial!" Gadis itu terpojok. Ia diserang dari dua arah. Seharusnya raganya pasif karena rohnya terpental, tapi kenapa dia masih bisa sadar dan bergerak padahal rohnya sudah berpisah dari fisiknya?!
Saat payung hitam milik pria itu hendak menusuk dengan ujungnya yang runcing, sebuah pedang astral menahannya. Gadis itu bertatapan dengan Cakra yang baru saja menolongnya.
"Kamu lawan raganya, aku lawan rohnya," tutur Cakra.
"Cih!" Pria itu mengumpat. Ia seharusnya sudah membunuh gadis tadi jika saja tak ada Cakra. Bukan tombak, tapi payung. Seharusnya gadis itu mati beberapa detik yang lalu, tetapi Cakra memutar roda takdir.
"Jangan berani-beraninya menyentuh kakakku," ucap gadis itu melancarkan serangan kembali. Kini pria yang menjadi lawannya tampak kerepotan, ia tak dapat menghindari serangan seperti sebelumnya.
"Khawatirkan saja dirimu, Taruna," balasnya. "Setelah membunuhmu, aku akan langsung membunuh Uchul."
"Kau akan mati sebelum kau sanggup melakukannya. Jangan pernah sentuh kakakku, penyihir bajingan."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top