63 : Jiwasakti

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

"Jiwasakti? Harits mengerutkan dahinya. "Kenapa juga repot-repot membantai bawahannya sendiri?"

"Angkhara merencanakan sesuatu di belakang Jiwasakti, mereka haus kekuatan dan kekuasaan. Keluarga angkhara ingin membunuh Yudistira dan juga Jiwasakti untuk diambil kekuatannya."

"Persis seperti tragedi Maheswara beberapa tahun lalu," ucap Harits. "Ini bukan sebuah kebetulan. Jadi, apa sekarang Jiwasakti itu masih hidup?"

"Berbeda seperti Yudistira yang garisnya sudah ditetapkan secara turun temurun. Jiwasakti mewariskan kekuatannya dengan menjadi parasit."

"Parasit?"

"Ada rumor yang mengatakan bahwa Jiwasakti adalah sebuah ilmu. Seorang manusia yang menjadi iblis. Dia mencari wadah untuk bertahan dan memakan umur orang yang menjadi wadahnya. Setelah wadah tersebut mati, Jiwasakti akan memperpanjang umur, serta mengambil seluruh kemampuan wadah yang mati."

"Mengambil kemampuan seperti apa?" tanya Harits.

"Sebagai contoh, jika Jiwasakti menjadikan seorang Lohia sebagai wadah. Ketika Lohia itu mati, Jiwasakti akan mencari wadah baru, ia merebut seluruh kemampuan Lohia yang menjadi wadah sebelumnya."

"Berarti dia bisa menggunakan Braja?"

"Secara teori, jika ia pernah tinggal di raga yang memiliki kemampuan seperti itu, tentu saja ia bisa." Mikail tersenyum. "Kau tahu asal usulku?"

"Tentu saja. Seorang pendongeng yang akan bercerita tentang kehidupan lamanya di era terdahulu."

Mikail tertawa mendengar itu. "Terakhir kali aku melihat Jiwasakti adalah ketika ia membantai keluarga Angkhara dengan wujud seorang Sakageni. Entah itu terjadi berapa ratus tahun yang lalu. Jika kau mencari Jiwasakti, menyerahlah. Ia belum terlihat lagi setelah insiden itu."

"Syangnya enggak ada yang nyari keberadaan itu orang." Harits menghela napas. "Bagaimana jika ada seorang dari keluarga Angkhara yang masih hidup di zaman ini?"

"Itu mustahil. Mereka tak tersisa satu pun." Mikail kemudian terdiam beberapa saat. "Namun, jika benar ada salah satu dari mereka yang berjalan di dunia ini, artinya cuma satu."

Harits menatap tegas ke arah Mikail. "Kabur dari Sang Maut? Sepertimu."

Mikail hanya tersenyum tanpa memberikan jawaban. Atau barangkali, senyum itu sendiri merupakan jawaban.

"Akan aku ceritakan, mengapa mereka disebut keluarga terkutuk."

Mikail mulai menceritakan tentang pertempuran antara Yudistira beserta sepuluh keluarga agung melawan Peti Hitam generasi pertama. Kala itu Peti Hitam yang hanya beranggotakan tujuh orang mampu membuat tunduk satu kerajaan beserta Yudistira dan seluruh pasukannya.

Kematian Yudistira dan direbutnya mata penguasa oleh Peti Hitam, membuat seluruh kerajaan diselimuti keputusasaan. Namun, putra dari Yudistira saat itu tak terima dengan kondisi yang terpuruk begitu. Ia kehilangan haknya sebagai penerus dan juga ia tak sanggup lagi melihat rakyatnya tersiksa oleh kekejaman Peti Hitam yang mengambil alih kerajaan.

Ia mengumpulkan sisa-sisa kekuatan dan membentuk sebuah kelompok kecil untuk melakukan kudeta, merebut kerajaannya kembali. Unit ini berisi perwakilan dari sepuluh keluarga agung, dan diberi nama Katarsis. Tentu saja kekuatan tempur mereka kurang, dan meminta tolong pada keluarga lain di luar sepuluh keluarga agung.

Angkhara, Sakageni, Rawasura, Gandring, Ganapatih, Vajira, dan Kusumadewa. Tujuh keluarga itu membuktikan kesetiannya dan ikut membantu putra Yudistira untuk mengambil alih kerajaan dan mengembalikan tatanan keseimbangan dunia.

Perang besar kembali terjadi, tetapi kali ini Peti Hitam berhasil dikalahkan. Di tengah kebahagiaan itu, rupanya tujuh keluarga yang membantu Katarsis dikhianati. Mereka tak diangkat menjadi keluarga kerajaan seperti kesepakatan sebelumnya. Timbul berbagai fitnah yang membuat tujuh keluarga ini dilabeli pengkhianat karena diduga sedang merencanakan kudeta atas sakit hatinya.

Di samping itu semua, karena lemahnya Yudistira yang belum matang. Keluarga agung bertingkah di luar kendali. Di mana ada kekuasaan, di sana pula bersarang keserakahan. Mereka meninggikan upeti dan membuat kebijakan yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah.

Kurang lebih satu tahun berlalu, salah seorang dari keluarga Sakageni muncul. Ia mengaku bernama Jiwasakti. Tentu saja rumor tentang kesaktian Jiwasakti yang sekuat Yudistira itu sudah melekat jauh sebelum perang dengan Peti Hitam terjadi. Orang itu kini memimpin tujuh keluarga yang dicap terkutuk untuk merebut kembali keadilan yang telah pudar.

Merasa memiliki pimpinan yang setara dengan Yudistira, akhirnya tujuh keluarga ini memutuskan untuk melawan. Pertempuran antara sepuluh keluarga agung dengan tujuh keluarga terkutuk tak bisa terhindarkan. Memanfaatkan perang itu, keluarga Angkhara merencanakan seseuatu, mereka berencana untuk membunuh Jiwasakti dan juga Yudistira. Tentu saja mengetahui rencana itu, Jiwasakti berubah haluan dan membantai Angkhara pada malam itu hingga tak bersisa. Baik wanita, anak-anak, semua dibunuh tanpa ampun.

"Seandainya keluarga Angkhara benar-benar bangkit dan kembali. Apa tujuan mereka? Apa tujuan mereka di masa lalu yang ingin membunuh kedua eksistensi terkuat itu?" tanya Harits. "Apa yang mereka rencanakan hingga Jiwasakti membantai mereka tanpa sisa? Tentunya bukan karena hal sepele, mengingat Jiwasakti itu kuat. Pasti ada benang merah yang menghubungkan semua ini. Sebuah rencana kelam yang membuat Jiwasakti murka."

"Entah, hanya Jiwasakti sendirilah yang mengetahui alasan tersebut," jawab Mikail.

Rizwana adalah persilangan antara Angkhara dan Maheswara, kan? Dua keluarga itu dibantai oleh pimpinannya masing-masing, dan lagi kedua keluarga itu merupakan yang terkuat di golongannya.

Keadaan hening seketika. "Paman, apa kemampuan keluarga Angkhara?"

"Manipulasi darah. Angkhara memiliki kemampuan seperti pisau bermata dua. Di satu sisi sangat kuat, tetapi dapat membunuh dirinya sendiri."

"Gimana cara kerjanya?"

"Sejujurnya bahkan aku belum pernah melihat mereka secara terang-terangan menggunakan ilmunya, tetapi dari rumor yang beredar, Angkhara memiliki darah terkutuk. Mereka kebal terhadap racun, karena darah mereka sendiri pun adalah racun."

"Apa mereka bisa mengndalikan orang lain yang darahnya terkontaminasi dengan darah terkutuk itu?" tanya Harits.

"Bos." Tiba-tiba saja Wengi datang dan memberikan sebuah isyarat. Mikail tersenyum dan beranjak dari duduknya. "Aku harus pergi," tutur Mikail. Ia berjalan melewati Harits. Peti Hitam mulai bergerak, mereka pergi meninggalkan area itu.

***

Waktu menunjukkan pukul delapan malam. Harits tak kunjung juga menunjukkan batang hidungnya. Semua personil Mantra, kecuali Dirga berkumpul di lantai bawah.

"Biarin aja sih, cuma kehilangan satu orang nyebelin," ucap Andis pada Nada. "Kan ada aku." Andis masih saja menggombali gadis yang tenggelam dalam resah itu. Nada terlihat getir, bahkan Cakra tak berani mengajaknya bicara. Dari sorot matanya, Cakra paham, Nada khawatir. Rasa itu belum sepenuhnya pudar. Hanya--bersembunyi.

"Nad ...." Cakra berusaha memulai obrolan.

"Emangnya enggak dicari?" ucap Nada memotong. "Enggak ada tanda-tanda apa gitu? Kok bisa sih dia ilang sendirian?" 

Cakra dan yang lain kembali terdiam. Tiba-tiba Dirga muncul dengan topeng Tumenggung, ia menjadi pusat sorotan. Namun, hanya gelengan kepala yang mampu ia suguhkan pada semua orang.

"Aku tau Sekar lagi ulang tahun," ucap Nada. "Aku juga tau, Harits nyiapin hadiah buat Sekar, tapi Harits ...." Mata Nada berkaca-kaca. "Harits dateng buat nolong aku, Cak, dan ngorbanin pacarnya demi nolong aku."

Melodi memeluk Nada. "Dia pasti pulang kok."

Gemerincing lonceng membuat semua mata menatap ke arah pintu. Harits baru saja kembali dengan pakaian yang compang-camping. Tubuhnya banyak menerima luka.

"Harits!"

Harits menatap Nada. "Oit."

Plakk!

Sebuah tamparan bersarang di pipi kanan Harits. "Dikendaliin Rizwana enggak sih?" ucap Harits yang kaget. Harits, anak itu seperti bocah ilang, alias bolang. Ia berjalan kaki dari pantai hingga ke Mantra. Sepanjang jalan ia memikirkan segala kemungkinan tentang musuh yang akan mereka hadapi.

Nada tak menjawab, ia pergi dan duduk di samping Tama. "Ya elah, ujung-ujungnya modus," umpat Andis.

Dirga menghela napas. Ia menatap Harits. "So, apa yang terjadi?"

"Peti Hitam." Ucapan harits membuat Dirga, Andis, Tama, dan Ajay merinding. "Ada anggota Peti Hitam di sana."

"Ini ulah mereka?" tanya Dirga.

"Bukan. Mereka punya tujuan yang enggak ada hubungannya sama gua Maheswara itu." Harits menatap Dirga dalam-dalam. "Apa yang lu temuin di dalam sana?" Namun, Dirga hanya menatap Cakra.

"Tombak Maheswara. Ada lima tombak yang tertancap di dinding-dinding gua," jawab Cakra. "Pas gua masuk, tiba-tiba gempa. Gua misterius itu tenggelam ke dasar laut. Ruangan itu diselubungi pelindung ghaib."

"Ada musuh yang muncul?" tanya Harits.

Ajay, Cakra dan Dirga menggeleng. "Malah ketemu sekutu," timpal Dirga.

"Siapa?"

"Salah satu polisi khusus, Dharma ...."

"Septaraja?" tanya Harits.

Dirga memicingkan matanya. "Kok lu tau?"

"Harits ...." Deva tampak menangkap benang merah dari apa yang sudah terjadi pada hari ini.

"Ya, kita datang ke masa ini bukan tanpa alasan," balas Harits. "Apa yang dilakukan Rizwana, mungkin aja berkaitan sama Septa di era ini. Apa yang membuat Rizwana melakukan hal seperti membunuh orang tuanya."

"Melakukan apa?" tanya Dirga.

"Rahasia masa depan," jawab Harits. Ia beranjak dari duduknya. "Gua mau mandi dulu."

***

Malam semakin larut, seperti Nada yang terlihat cemberut. "Ih, kenapa sih dia nyebelin."

"Move on, Nada. Kasian Cakra," balas Melodi.

"Apaan sih, kok jadi Cakra?"

Melodi melirik Nada, kemudian menatap kembali layar ponselnya. "Enggak, lupain." Mereka berdua diam tanpa kata yang terucap. "Lupain, Harits maksudnya," celetuk Melodi lagi di tengah hening malam. "Dia udah punya pacar."

"Aku berusaha, Melooo, tapi dia tiba-tiba dateng gitu aja kayak kecoa ih."

"Kecoa yang menggetarkan hati?"

Nada mengangguk. "Aku telpon dia, dan dia dateng buat aku. Dia ninggalin pacarnya buat nolongin aku, Melooo!"

"Iya gimana ya, Nad ... itu terserah kamu sih mau suka sama siapa, tapi kalian itu saling melukai doang. Bahkan ketika udah komitmen saling melupakan, ada yang sama sekali enggak bergerak buat ngejauh kayaknya."

"Enggak tau, Melo. Aku pun bingung sama perasaanku sendiri."

"Faris?"

Nada merebahkan diri dan membelakangi Melodi. "Enggak tau. Kenapa ya, setiap aku udah suka sama orang, dianya pergi. Aku jadi takut, Melo. Aku enggak suka sama keadaan begini."

"Ya kamu, setiap yang suka dikasih harapan sih."

"Aku enggak peka, Melo. Dan aku enggak bisa mengabaikan mereka gitu aja. Aku bukan kamu yang bisa judes ke orang yang kamu enggak suka. Aku enggak bisa."

"Iya sih, kamu terlalu baik. Itu sisi yang aku suka dari kamu, tapi di satu sisi yang lain, itu nusuk kamu sendiri."

"Aku harus gimana, Melo?"

"Jangan berubah, Nada. Jangan takut juga. Yang terbaik datang di waktu yang tepat. Dia enggak akan pernah ninggalin kamu. Toh, kalau pun dia ninggalin kamu, aku selalu ada di sisi kamu. Aku enggak rela kamu sendirian."

"Makasih ya, Melo." Nada tersenyum.

"Selamat tidur, Nada."

Di sisi lain, Deva berdiri di hadapan Dirga. "Apa" tanya Dirga.

"Tolong ajarin aku braja," ucap Deva.

"Itu bukan teknik yang bisa ditiru semua orang." Dirga menyeruput kopi hitamnya.

"Di masa depan--aku enggak bisa nolongin siapa-siapa. Aku terlalu lemah. Beban! Aku enggak bisa ...."

Deva tiba-tiba saja terjatuh. Dirga memukul wajah Deva hingga ia terjatuh. "Yaudah, sini, maju. Gua layanin." Dirga memasang kuda-kuda.

"Bukan begini ...." Deva menatap Dirga yang berdiri di hadapannya.

Dirga memotong. "Mau jadi lebih kuat, kan? Cara terbaik buat jadi kuat itu cuma satu kuncinya. Praktek."

Deva beranjak dari duduknya, ia menatap Dirga dengan sorot mata yang tajam sambil memasang kuda-kuda.

"Itu baru semangat." Dirga menyeringai, ia maju menerjang Deva.

***

Cahaya matahari menyilaukan Harits dari tidurnya, perlahan ia membuka matanya. Dilihatnya kobaran api yang membakar sekelilingnya. Harits bangkit, tetapi kini tak ada apa pun di sekitarnya. Kini ia benar-benar bangun dari tidurnya.

Mimpi?

Harits bejalan menyusuri tangga. Terlihat Tama yang sedang berdiri di dapur meracik sebuah minuman. Timbul pikiran iseng ingin mengaggetkan Tama yang membelakanginya, Harits perlahan mendekati Tama. Ketika hendak mengaggetkannya ....

"DOR!"

"GOBLOG!" teriak Harits terkejut. Ia menoleh dan mendapati Andis yang sedang mengagetkannya yang sedang berusaha mengaggetkan Tama yang tak sadar jika ingin dikagetkan oleh Harits yang saat ini sedang kaget.

Andis terbahak-bahak. "Makanya jangan iseng. Nih gua kasih tau, Tama lagi megang apa?" Harits menatap pisau yang Tama genggam. Tama sedang memotong buah-buahan untuk membuat olahan minuman segar. "Kalo lu ngagetin dia, udah ditusuk-tusuk lu. Tama kan psikopat."

"Elu psikopat!" balas Harits.

"Lah, kesel."

"**********!" gumam Harits.

"Lah, dari pada lo *********!" balas Andis.

Kedua orang ini saling melemparkan kata-kata kasar yang tidak layak untuk dibaca oleh pembaca yang budiman.

"Jadi, agenda kita hari ini apa?" tanya Dirga yang baru saja turun.

"Terserah," jawab Harits. "Gua punya agenda sendiri."

"Mau ngapain emangnya?" Deva juga baru turun dari kamarnya.

"Drong, lu ikut gua. Kita bakal jadi stalker buat hari ini."

.

.

.

TBC




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top