61 : Ayah Bodoh & Pengumuman Author

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Sebelumnya di Mantra Coffee Next Generation ....

"Pertama-tama, kami butuh tempat tinggal," ucap Deva.

"Oke, tinggal aja di sini sampe urusan kalian selesai, tapi jangan lupa bantuin kita tanpa digaji."

"Enggak masalah." Deva dan Dirga bersalaman. Deva menatap Dirga tegas. "Kami harap kalian juga membantu kami perihal informasi tombak Cakra Langit dan penggunanya. Juga informasi jumlah orang yang terlibat langsung dengan Dharma. Perjalanan ini lebih berharga dari nyawa kami. Banyak nyawa yang bergantung di tangan kita."

***

Mantra Coffee pada saat itu memiliki empat kamar. Satu kamar hanya dibatasi oleh sekat triplek. Satu kamar ditempati oleh Melodi dan Nada, satu kamar untuk Harits, Deva, dan Cakra. Satu kamar untuk Andis, Dirga, dan Ajay. Terakhir Tama sendiri yang tidak mau berbaur dengan orang lain untuk urusan tidur.

"Deva mana?" tanya Harits.

"Di luar," jawab Cakra singkat.

Harits hendak bangun, tetapi Cakra menahannya. Harits menatap tangan Cakra yang bertengger di bahunya. "Jangan diganggu, dia butuh waktu sendiri."

***

Di sisi lain, sepasang bola mata menghunus pandangan tajam ke arah bulan purnama malam ini. Sambil menghela napas, Deva menggenjreng gitar milik Tama yang ia pinjam barusan. Ia tersenyum getir sambil menyanyikan lagu Cigarettes of ours dari Ardhito Pramono.

https://youtu.be/CT7nGxDFD8k

I'm sitting by the door.
And ready to explore.
The feelings I have when you passed that store.
Watch you look older.
Sitting down with cigarettes of ours.

Watch you given all your money.
For such a precious story.
My life is treated usual good then goodbye
To our memories.
Sitting down with cigarettes of ours.

Take it easy for a little while.
You know he did everything good so far.
Our fragmented love and cry.
We suddenly turn into dust and die.
I said it oooh.

Tak terasa air matanya luruh ketika mengingat ayahnya yang berbaring sekarat di rumah sakit. Segelinitr ingatan tentang cara mereka menghabiskan waktu, membuat Deva menghentikan permainannya dengan bahu gemetar. Di satu sisi ia sedih terhadap duka Melodi pada Tama, tetapi jahatnya di sisi lain ia besyukur. Bersyukur karena Dirga masih memiliki kesempatan, meskipun kecil.

Deva mengeluarkan sebungkus kotak rokok. Semenjak putus dengan Melodi, ia mulai merasa stres dan mencoba membuang kesedihannya lewat asap rokok yang membaur bersama udara. Ia menghimpit rokok di bibirnya dan berusaha menyalakan api. Ketika ia membakar ujung rokoknya sambil menghisap hisapan pertama, dari belakang seseorang mengambil rokok itu dan membuangnya di tanah, lalu menginjaknya hingga apinya mati.

"Seseorang pernah bilang. Rokok enggak menyelesaikan masalah, permen juga. Lebih baik permen." Dirga duduk di sebelah Deva sambil tersenyum memberikan setangkai permen lolipop merah berbentuk kaki.

Deva terkekeh sambil menggeleng, ia mengambil permen yang diberikan Dirga. "Di tempat gua, permen kaki ini udah enggak diproduksi," tutur Deva. "Ayah bilang, waktu muda suka banget sama yang satu ini. Ini pertama kali gua nyobain."

"Kayak tua banget ya orang tua lu?" ledek Dirga. "Permen apa dong yang dijual di masa depan?"

"Permen sampah," jawab Deva. "Yang jelas, healthy, dan segala yang sehat itu enggak enak."

"Ada-ada aja ya masa depan itu." Dirga membayangkan perihal masa depan. Kemudian ia menoleh ke gitar yang Deva pegang. "Mainin dong, jangan cuma dipegang doang."

"Main lagu apa?" tanya Deva.

"Hey Jude," jelas Dirga.

Deva terdiam, ia tersenyum, tetapi matanya merah dan berkaca-kaca. "Ahhh--jangan yang itu."

"Kenapa? Enggak tau lagunya ya? Itu lagu jadul banget, bahkan untuk di masa ini. Di masa depan, masih ada yang nyetel lagu itu?"

"Ada, satu orang," jawab Deva. "Orang aneh yang nyanyiin anak bayinya bukan dengan lagu-lagu yang semestinya."

"Bokap lu--nyanyiin Hey Jude? Waktu lu kecil?"

Deva tersenyum mengangguk. "Ya, aneh."

"KEREN!" balas Deva. "Itu baru namanya orang tua! Berarti lu hafal, kan? Bisa dong mainin lagunya."

Deva memonyongkan bibibirnya ke depan, persis seperti cara Dirga ketika ia tak lagi bisa membendung air matanya. "Enggak bisa ...." Tentunya pemuda itu bisa, hanya saja Deva paham bahwa ia akan menangis jika membawakan lagu itu karena teringat tentang Dirga di eranya.

Hey Jude, don't make it bad.Take a sad song and make it better.Remember to let her into your heart,Then you can start to make it better.

Tiba-tiba saja Dirga bernyanyi sendiri tanpa iringan gitar. Refleks, Deva memainkan gitar dan ikut bernyanyi pada bagian selanjutnya.

Hey Jude, don't be afraid.You were made to go out and get her.The minute you let her under your skin,Then you begin to make it better.

Deva dan Dirga muda bersama menyanyikan lagu Hey Jude dari The Beatles. Entah, bukannya bersedih, Deva justru tersenyum sambil menikmati jengkal demi jengkal waktu yang ia habiskan bersama pemuda yang kelak akan manjadi ayahnya.

Di sisi lain, Melodi dari jendela kamarnya menatap Deva yang sedang menghabiskan waktu bersama Dirga. Tak mungkin Tama di era itu mau membagi waktu untuk wanita selian Aqilla. Melodi tak bisa menghibur diri dengan bercengkrama dengan Tama.

"Jangan sedih, Melo." Nada berusaha menghibur Melodi.

"Kamu enggak sedih?" tanya Melodi. Tiba-tiba ia teringat kata-kata Kirana, perihal Nada yang kurang perhatian karena minim prestasi. Apa Nada enggak sedih gara-gara dia kurang deket sama keluarga?

"Waktu kejadian bom itu, seharusnya aku mati. Ayah, Bunda, sama Vian juga ... nyisain kamu seorang diri," ucap Nada. Melodi terdiam sambil mengingat kala itu. "Kamu bilang, kalo kamu balik ke masa lalu dan berhasil nyelamatin semua orang. Menurutku itu keren." Nada tersenyum menatap Melodi. "Mungkin ayah meninggal, tapi dengan kembalinya kita ke sini, kita harus selamatin ayah. Menurutku, daripada kita bersedih, lebih baik kita berpikir bagaimana caranya kita harus merubah masa depan yang buruk itu."

Tak seperti Deva yang melihat langsung bagaimana kondisi ayahnya, Melodi hanya bisa tersenyum karena tak melihat langsung kondisi ayahnya saat ini. "Kamu bener. Selain ayah, kita juga harus nyelamatin ayahnya Deva."

"Kalo gitu ayo kita istirahat. Besok kita harus cari petunjuk tentang kenapa kita terlempar ke era ini."

***

Jogja 2015 memang sangat berbeda dengan Jogja di tahun 2040. Pagi ini seluruh anak Mantra lama sudah pergi untuk berkuliah, meninggalkan para lembaran baru.

"Aku mau ke ISI," ucap Melodi. "Siapa tahu ada petunjuk."

"Aku juga mau ke Sindu Kusuma Edupark," balas Deva. "Lu ke mau ke mana hari ini?"

Harits tampak berpikir. "Markas Kencana Selatan yang waktu itu?" celetuk Cakra.

"Ya, ide bagus. Lu ke sana," balas Harits. "Gua mau keliling pantai."

"Ngapain ke pantai?" celetuk  Nada yang agak sensitif dengan kalimat itu.

"Pantai selatan itu kekuasaan Roro Kidul. Maheswara biasanya bermeditasi di tempat-tempat tersembunyi dekat area pantai."

"Bahaya, Harits," lanjut Nada.

"Semua tempat berbahaya. Kita enggak tahu apa yang akan kita jumpai. Siapa musuh kita di era ini. Mungkin kamu bisa bareng Melodi, seenggaknya kalian berdua."

"Nada bener, dari semua tempat yang mau kita kunjungi, tempat lu paling bahaya. Gimana kalo gua ikut lu aja?" timpal Deva.

Harits menggeleng. "Sendiri lebih baik daripada harus bersama beban."

"Beban?" Deva memicingkan matanya.

"Coba panggil Tumenggung. Di era ini Tumenggung bukan punya lu."

Deva baru menyadari sesuatu. Ia mencoba memanggil topengnya. Deva menarik napas dan melakukan ritual tari Malangan. "Penuhi panggilanku, Tumenggung." Namun, tak ada yang terjadi.

"See? Beban," celetuk Harits. Ia berjalan keluar rumah membawa kunci mobil milik Dirga. "Gua berangkat duluan." Sementara Harits mengendarai mobil, sisanya berkendara dengan menyewa motor.

***

Melodi dan Nada tiba di kampus ISI. Mereka mencari petunjuk. "Kenapa harus di ISI?" tanya Nada.

"Aku diserang Kirana di sini."

"Kirana?"

"Ya, temen kamu dulu."

"Dia yang nyerang kamu?"

"Kita harus cari petunjuk, Nad. Mungkin bukan di sini. Mungkin di sini enggak ada petunjuk, tapi kita harus berusaha. Karena kita enggak tahu harus ke mana dan ngapain."

Nada mengangguk, mereka berdua berjalan menyusuri ISI. Namun, sepanjang jalan Melodi tampak was-was, ia kerap menoleh seakan menghindari sesuatu.

"Kamu kenapa? Ada apa?" tanya Nada.

"Aku takut dia muncul."

"Ayah? Bunda? Kirana?" tanya Nada.

"Bukan."

Nada memicingkan matanya. "Terus siapa? Rizwana?"

"Ippo," jawab Melodi polos.

"Ippo?"

"Itu loh yang suka manggil Alunan," jelas Melodi.

"Aku tau, tapi Ippo enggak mungkin ada di era ini, Melo."

Melodi terdiam, ia baru menyadarinya. Selama beberapa hari ini ia selalu was-was setiap ke kampus, berharap tak menemukan keberadaan pria jenaka yang sok akrab itu. Tanpa sadar, bahkan ketika berbeda era, Melo masih merasa was-was. Ia menepuk jidat. "Lali, aku."

Nada memasang senyum aneh. "Jangan-jangan kamu suka ya sama dia?"

"Idih!" Satu alis Melodi terangkat. "Buat kamu aja kalo mau. Aku sih ogah!"

"Jangan terlalu benci sama seseorang, Melo. Awas, nanti kamu suka."

"Enggak akan pernah!"

Melodi dan Nada tak menemukan petunjuk apa pun. Bukan hanya mereka, bahkan Deva dan Cakra pun tak menemukan petunjuk. Namun, berbeda dengan mereka semua, saat ini Harits berdiri menatap sebuah dinding dengan ukiran ular naga. Ia menemukan gua tersembunyi yang terletak tebing-tebing Pantai Ngobaran.

Bocah itu menyentuh dinding dan merasakan tekstur dari lukisan yang terpampang di sana. Rasanya pada bagian lukisan itu, Harits seperti memegang sisik ular sungguhan.

Tempat itu memiliki lorong yang panjang dan bercabang-cabang. Harits menatap Lajaluka yang selama ini bertengger di bahunya. "Telusuri tempat ini." Harits memasang kain hitam untuk menutupi matanya. Ia duduk dan bermeditasi di sana. Dalam sekejap, pandangannya berubah, ia melihat apa yang dilihat oleh Lajaluka.

Jika ia mengandalkan dirinya sendiri sudah pasti ia akan tersesat, tetapi dengan adanya Lajaluka, Harits bisa memangkas waktu. Namun, telinganya menangkap sebuah suara langkah kaki, Harits melepas kain hitam di matanya dan mengendap mencari tempat bersembunyi.

"Apa kau yakin?" ucap seorang pria dengan suara berat.

"Tentu saja, parade kematian butuh banyak tumbal. Aku akan membunuh seluruh warga Jogja untuk kepentingan itu," balas seorang wanita.

"Langkahmu terlalu sembrono, Siriz."

"Hanya kita keturunan Angkhara yang tersisa!" ucap wanita yang bernama Siriz. "Kau punya cara lain? Polisi Dharma itu memiliki Yudistira, langkah kita semakin terbatas."

"Bunuh Yudistira dan rebut tombak Panatagama. Kita kumpulkan ketujuh tombak untuk melahirkan Sanghara."

Sanghara dalam bahasa sansekerta bermakna hari kehancuran.

"Kau lakukan dengan caramu, aku lakukan dengan caraku." Siriz tampak berjalan mengikuti lorong yang berada di pojok kanan. Pria yang kalah argumen dengan Siriz mengikutinya di belakang.

Ketika Harits hendak keluar dari persembunyiannya, aura mencekam datang dari pojok kanan lorong tempat dua orang tadi berjalan. "Aku tahu kau bersembunyi," ucap Siriz dengan nada yang mengerikan. Harits berkeringat dingin, ia meneguk ludah sambil menatap dewa kematian yang sedang berdiri memperhatikannya. Dewa kematian itu berjalan ke arah Harits.

Mampus gua!

Pemuda itu segera berlari mengikuti lorong gua untuk bisa keluar. Malaikat maut mengejarnya diiringi tawa khas Siriz yang mampu membuat Harits merinding disko.

Apa orang itu membuat kontrak dengan maut?

Lajaluka melesat cepat melewati maut dan langsung terpasang menjadi topeng burung hantu di wajah Harits. Dalam sekejap Harits menghilang dari pandangan orang-orang gila tadi. Ia menyelinap masuk ke dalam bayangan dan langsung menuju mobil untuk mundur dari tempat itu.

***

Malam kembali hadir, kali ini Mantra Coffee tutup. Dirga memutuskan untuk ikut membantu. "Jadi--nemu petunjuk apa hari ini?" Semua menggeleng lemas.

Gemerincing lonceng membuat mereka semua menoleh ke arah pintu. Harits baru saja tiba di Mantra, wajahnya kucel, ditambah pakaiannya yang kotor seakan membuat pikiran semua orang bahwa ia menemukan sesuatu.

"Punya kenalan Maheswara?" tanya Harits. Diikuti gelengan semua orang, termasuk Dirga. "Duh, bakal susah ini. Enggak tau sih, tapi kayaknya semua saling berhubungan."

"Siapa yang berhubungan?" celetuk Nada menatap Harits.

"Bukan siapa, tapi apa," balas Harits. "Musuh kita kemarin bawa tombak Cakra Langit, sementara salah satu dari orang tadi punya rencana buat ngumpulin semua tombak Maheswara.

"Siapa?" tanya Deva. Harits mulai menceritakan detail masalah yang ia temukan tadi di pantai selatan.

"Berarti bener kata Harits dong?! Dunia mau kiamat," ucap Nada setelah mendengar cerita Harits tentang Sanghara.

"Musuh kita di masa depan punya Cakra Langit, Rizwana juga punya Karara Reksa. Ini bukan kebetulan, mereka pasti punya sebuah rencana dengan tombak-tombak ini," balas Deva. "Tapi siapa yang sangka kalo tujuan mereka itu Sanghara?"

"Satu hal lagi," tutur Harits. "Salah seorang wanita membuat kontrak dengan maut. Berhati-hati, nyawa kita dalam bahaya kalo terlibat lebih jauh."

"Maut?" Andis memicingkan matanya.

"Ya, malaikat maut. Pria bertopi fedora."

"Warna?" tanya Andis.

"Entah, tadi gelap. Jadi enggak begitu jelas."

"Kenapa, Dis?" tanya Dirga.

"Mudah-mudahan bukan Yama."

"Bukan," celetuk Harits.

Andis memicingkan matanya. "Tunggu deh, gua baru sadar. Lu bisa liat maut?"

"Bisa. Mata gua bisa lihat apa pun!"

"Cewek telanjang bisa?" tanya Andis.

"Bisa!" jawab Harits. Andis makin tak suka dengan pemuda itu. Rasanya ia iri dengan kemampuan pengelihatan Harits yang sebenarnya tak bisa melakukan hal-hal aneh seperti yang ditanyakan Andis. Harits paham, ia hanya meledek Andis.

"Intinya." Ketika Dirga mulai bicara, semua terdiam dan menatap dengan saksama. "Gua sama Acil bakal ke sana lagi besok buat cari tahu itu semua lebih dalam."

"Acil?" tanya Harits.

"Iya, nama lu Acil. Anak kecil."

Melodi tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Jika Harits dibully, maka yang paling senang adalah Melodi, tetapi kali ini ia tertawa bukan karena itu.

"Kayak Ippo aja, suka namain orang asal-asalan," ucap Melodi. Nada menatap ke arah Deva yang sedang memperhatikan Melodi. Matanya tertunduk, enggan untuk menatap pada Melodi yang tertawa karena mengingat keanehan Ippo.

Malam ini rapat ditutup dengan putusan Dirga untuk kembali ke tempat itu bersama Harits, Ajay, dan Cakra esok hari.

***

Malam semakin larut, Harits mencoba menelpon seseorang di ponselnya. Namun, Cakra memergokinya. "Kangen ayah?"

"Cih! Ngapain juga kangen sama ayah bodoh," balas Harits ketus sambil menyembunyikan ponselnya di dalam kantong celana.

"Ayah bodoh? Aku pikir itu agak berlebihan sih kalo sampe ngatain ayah kamu bodoh."

"Enggak akan ngerti dirimu, Cak."

"Ngertilah, aku kan punya ayah juga."

"Ayah kamu pinter!"

"Semua ayah itu pinter!" Cakra tak sependapat jika Harits berkata bahwa ayahnya bodoh.

"Ayah pinter itu ...." Harits tersenyum. "Enggak akan biarin anaknya sakit karena kehujanan."

"Ayah pinter itu ... enggak akan biarin anaknya makan-makanan yang buruk."

"Ayah pinter itu ... selalu bisa beliin mainan apa pun yang anaknya mau."

"Har, denger ...," Cakra memotong, tetapi Harits juga memotongnya kembali, seakan tak ingin jatah gilirannya dipotong sepihak. "Sementara ayah bodoh itu ...." Cakra mengalah ketika Harits melanjutkan kalimatnya.

"Ayah bodoh itu ... akan ngajak anaknya lari-larian di tengah hujan."

"Ayah bodoh itu ... biasanya ngasih makanan yang enggak sehat, tapi enak."

"Ayah bodoh itu ... enggak punya uang buat beli mainan kayak ayah lain. Dia bikinin sendiri mainan buat anaknya."

"Punya ayah bodoh itu--keren." Harits tersenyum mengingat Andis yang selalu bertingkah bodoh untuk membuatnya tertawa ketika Harits masih kecil. "Enggak peduli apa kata orang. Saking bodohnya cuma satu hal yang ada diotaknya. Kebahagiaan anaknya, walaupun harus bersusah payah untuk dirinya sendiri."

"Dan saat ini anak nakal ini merindukan ayahnya yang bodoh," lanjut Harits dengan tatapan getir. "Lihat kondisi om Dirga, denger kabar om Tama ... sejujurnya bikin gua takut. Gua selalu berpikir, apa ayah gua yang selanjutnya?"

Hartis menjentikkan jarinya, seketika itu juga lampu kamar mereka padam. Ia merebahkan dirinya dan tiduran membelakangi Cakra. Cakra tersenyum menatap Harits dalam kegelapan. Biar bagaimana pun, rupanya memang tidak ada anak yang tidak menyayangi orang tuanya. Biarpun terkadang orang tua menyebalkan dan seolah berlaku tak adil. Jauh di lubuk seorang anak yang terlihat tak peduli, mereka tetaplah seorang bayi kecil yang merindukan kasih sayang orang tuanya. Bahkan sampai nanti ia besar, seorang anak tetaplah seorang anak.

"Kita akan selesain ini secepatnya dan balik ke masa kita. Kembali ke masa di mana semua hal buruk ini enggak pernah terjadi," timpal Deva yang sedari tadi juga berada di kamar dan bersembunyi di kolong selimut. "Maaf belum bisa bantu banyak. Besok gua serahin semua sama lu berdua," lanjut Deva.

Sejujurnya Deva merasa frustasi, ia tak bisa melakukan apa-apa, bahkan tak terpilih ikut pergi bersama dengan Dirga, Harits, Ajay, dan Cakra untuk memantau kembali lokasi yang diduga adalah markas musuh. Semenjak ia melihat langsung Dirga dan caranya memimpin Mantra, Deva mencoba meniru wibawa Dirga, tetapi rupanya ia masih sangat jauh dari kata 'mirip'. Deva hanya merasa belum bisa menjaga teman-temannya, ia mulai tersadar bahwa di sini merupakan ajang untuk mengasah diri dan mempelajari langsung bagaimana caranya seorang Dirga Martawangsa mengatasi masalah yang menimpa dirinya sendiri dan orang-orang terdekatnya.

.

.

.

TBC

PENGUMUMAN!

Mantra Coffee : Next Generation HIATUS!

Authornya lagi sibuk banget dan enggak boleh capek dulu. Aku itu kalo nulis jam-jam pulang kerja (8 malem-11 malem), sebelum subuh (Jam 3-subuh), atau sehabis subuh - jam 6 pagi. Dan dalam beberapa hari ini aku WAJIB banget istirahat full. Jadi enggak bisa nulis dijam-jam tersebut. Sementara dijam-jam siang aku itu kerja, jadi enggak mungkin banget numbalin jam kerja.

SEKIAN.

Berapa lama?

Kira-kira lebih dari 2 minggu, atau bahkan baru bisa mulai lagi tahun depan.

See you~


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top