60 : Retrocognition
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Sesampainya di Mantra Coffee, keadaan Mantra agak berbeda. Cepat-cepat mereka semua keluar dari mobil. Cakra, Deva, Melodi, Nada, dan Harits menatap beberapa pengunjung yang keluar dari kafe. Mereka saling bertatapan dan memutuskan untuk masuk.
Cring~ Gemerincing di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee," tutur pria bertopi beanie.
"Tam, dua americano!" teriak seorang dengan permen loliop di mulutnya pada seorang pria tampan bersarung tangan hitam.
"Aku yang buat, Tama lagi manggang roti," ucap seorang gadis berkacamata.
"Silakan duduk, kak," ucap pria yang potongan rambutnya tipis di pinggir kepada mereka berlima.
Harits, Deva, Cakra, dan Nada saling bertatapan. Mereka semua menatap ke arah Melodi yang masih terlihat lelah. Melodi lebih terlihat lelah ketimbang Nada yang sudah berlarian semalaman.
"Retrocognision ...," gumam Cakra lirih. "Kita terlempar ke masa lalu."
Melodi tiba-tiba saja mengeluarkan darah dari hidungnya, lalu tubuhnya sempoyongan. Gadis itu tiba-tiba terjatuh hingga semua mata di Mantra Coffee tertuju padanya.
"Melooo!" Nada seketika itu juga panik. Namun, Dirga merespons cepat. Pria itu sudah berlari ke arah Melodi dan menahannya tepat sebelum kepala gadis itu membentur lantai. "Temennya kenapa, kak?" tanya Dirga pada Nada.
"Dia kecapekan," jawab Nada.
Dirga membopong Melodi. "Saya bawa ke atas ya, di atas ada kamar. Barangkali kakaknya boleh nungguin temennya. Insyaallah enggak kenapa-kenapa kok." Dirga berjalan membawa Melodi diikuti oleh Nada.
"Kita kayak orang goblog dah," ucap Harits. "Dia lebih jauh posisinya, tapi lebih sigap."
"Prekognision," tutur Deva lirih. "Kemampuannya pasti aktif dan bergerak beberapa langkah di depan kita."
"Lu kok enggak kayak gitu, drong?"
"Enggak tau."
Ajay masih memperhatikan mereka. Anak-anak muda ini paham tentang prekognision, dan lagi pria yang tampilan pakaiannya seperti Dirga ini membuat Ajay bertanya-tanya. Wajahnya cukup mirip dengan Dirga.
Gemma, Frinza, Tirta. Apa Dirga punya sodara lain, ya? batin Ajay.
Harits, Deva, dan Cakra duduk di meja pojok. Deva memesan kopi tubruk racik, Harits memesan doppio, dan Cakra memesan coffee latte.
"Dari kejadian yang udah-udah, kemampuan Melodi aktif secara spontan disaat dia tertekan parah," ucap Deva yang sering mendengar informasi Melodi melalui Nada, sewaktu mereka masih anggota Tantra. "Dan Retrokognisi itu membawa Melodi ke tempat di mana akar masalah itu muncul. Contohnya kasus beberapa bulan lalu di Bandung, waktu konser bunda Aqilla. Melodi bilang kalo gedung itu meledak karena bom, dan terbukti, di gedung itu ada beberapa bom rakitan yang udah dipasang di berbagai lokasi. Melodi kembali tepat sehari sebelum kejadian tersebut berlangsung."
"Tapi sekarang kita ada di jaman yang terlalu jauh," balas Harits.
"Berarti akar masalahnya ada dari era ini?" timpal Cakra. "Atau cuma sebuah kebetulan semata?"
"Pasti ada arti di balik ini semua. Kenapa kita bisa terlempar sejauh ini." balas Deva.
Harits teringat sesuatu. "Tahun dua ribu delapan belas perang Rahwana terjadi. Setelah perang, Dharma menyita beberapa aset perang seperti pusaka-pusaka kuno. Topeng-topeng Martawangsa dibawa kabur sama Bayu Martawangsa, sementara sisanya ada di berangkas rahasia Dharma."
"Kenapa lu bisa tau?" Deva mengerutkan dahinya.
Harits menghela napas. "Simfoni hitam itu kelompok profesional. Kami bekerja di bawah naungan Dharma. Bisa dibilang, Simfoni Hitam adalah unit terbaru Dharma."
"Lanjut," balas Deva.
"Musuh kita tadi bawa tombak Cakra Langit. Tombak tersebut dulunya milik Indra Maheswara, pimpinan Katarsis yang berniat mengkudeta Yudistira Kei. Sejauh ini belum ada informasi tombak tersebut dicuri."
"Apa hal itu ada kaitannya dengan zaman ini?" celetuk Cakra.
"Ini baru dugaan," ucap Harits. "Dalang di balik ini semua adalah orang lama. Makanya dia bisa gerak bebas karena udah dapet kepercayaan."
Andis datang membawa tiga pesanan mereka. "Silakan kak." Harits menatap Andis dengan wajah datar. Andis tiba-tiba berbisik. "Yang cewek di atas siapa namanya kak?"
"Goblog!" ucap Harits pada Andis. "Masih aja godain cewek mulu!" Hal itu membuat Cakra dan Deva membuang tatap sambil menahan tawa.
"Kok lu kesel?" balas Andis ketus. "Pacar lu?"
"Gila dasar, buaya bertopi. Enggak ada kapoknya."
Andis memicingkan matanya. "Buaya bertopi? Mulut tuh dijaga. Enggak diajarin sopan santun sama orang tua lu?"
Deva dan Cakra berusaha mati-matian untuk tidak tertawa. Harits dan Andis makin memanas. "Bapak gua idiot!"
"Parah, durhaka lu!" ucap Andis.
"Makanya belajarlah biar pinter. Mikir," balas Harits.
Gemerincing lonceng di pintu membuat mereka semua menatap ke arah sana. Abet masuk dengan tubuh penuh luka. "Lu kenapa?" tanya Dirga yang baru saja turun dan langsung disuguhi pemandangan itu.
"Ada mobil gila! Ngebut, tau-tau ngerem dadakan. Gua langsung banting motor ke kanan biar jatoh, daripada nabrak."
Harits tiba-tiba tertawa melihat Abet yang babak belur. Andis, Dirga, Abet, dan para leluhur memandang Harits.
"Untung tadi enggak berhenti nolongin, nyesel yang ada ...," gumamnya lirih pada Deva dan Cakra.
Ajay berjalan ke arah Dirga dan berbisik di telinganya. Terlihat kini mereka berdua menatap gerombolan Harits. Ajay membawa Abet ke atas, sementara Dirga langsung berjalan ke arah Deva. "Jadi--tentang prekognisi. Apa yang lu tau tentang hal itu?"
"Sebuah prediksi pengelihatan yang akan datang di masa depan," jawab Deva.
"Apa kaitannya gua." Dirga menunjuk dirinya sendiri. "Dan yang lu maksud dengan prekognisi?"
"Firasat aja. Soalnya ngeliat dari pergerakan lu barusan, lu seakan udah gerak duluan sebelum Melodi jatuh."
"Doyan onion ring?" tanya Dirga.
Deva memcingkan matanya. "Kenapa?" Itu adalah salah satu makanan favorit Dirga yang ia turunkan pada Deva. Tiba-tiba Deva mengingat tentang Dirga yang sedang koma di eranya.
"Udah jawab aja."
"Suka," jawab Deva.
"Mil, tolong bikinin onion ring buat meja ini, Mil," tutur Dirga yang tersenyum sambil menepuk kepala Deva, lalu berjalan pergi.
Deva terdiam, matanya berkaca-kaca ketika mengingat kelakuan ayahnya yang tak pernah berubah, bahkan sedari era kuliahnya. Sejujurnya ia tak tahu nasib ayahnya. Dokter bilang harapan hidupnya kecil, dan kalau pun bertahan hidup. Mungkin otak Dirga mengalami cacat karena benturan keras.
Tak ada yang berani berkata-kata di antara Harits dan Cakra. Mereka berdua mengusap bahu Deva, berusaha untuk menenangkannya.
Di sisi lain, Melodi sudah tersadar. Nada memberikannya segelas air putih. Rasa-rasanya kepala Melodi pusing sekali, seolah sekelilingnya berputar.
"Ini di mana, Nad?"
"Kemampuan kamu aktif. Kita selamat dari kejaran musuh, tapi masalahnya kita sekarang ada di era Mantra Coffee pertama."
Melodi baru tersadar akan sesuatu. Ia langsung beranjak dari tidurnya dan berlari ke bawah. "Melo! Mau ke mana? Istirahat dulu. Kamu belum pulih!" Nada mengejar Melodi.
Melodi yang turun dan langsung menatap sosok pria bersarung tangan hitam. Matanya berkaca-kaca menatap Tama. Tiba-tiba saja ia berlari dan memeluk Tama sambil menangis sekeras-kerasnya. Seorang gadis dengan rambut bob sepanjang leher bangkit dari kursinya. Aqilla yang sedang mengerjakan tugas ditemani segelas milkshake vanilla itu menatap tajam ke arah pacarnya yang tiba-tiba saja dipeluk gadis lain.
"Gila, agresif parah!" tutur Dirga.
Melodi, gadis itu telah membawa mereka semua ke masa lalu. Di mana Mantra Coffee masih dipegang oleh para leluhurnya. Melodi yang beberapa jam lalu kehilangan ayahnya, kini menangis sambil memeluk Tama muda.
"Meloooo ...," bisik Nada yang baru saja sampai di lantai bawah. "Aku tau dia ganteng banget, tapi itu ayah kitaaaaa ...."
Tama menatap Aqilla yang kini berdiri menatapnya, ia memasang wajah bingung. Aqilla memberikan kode, gadis itu menggerakkan jempolnya di depan leher dari kiri ke kanan, seolah berkata. "Mati kamu kalo enggak bisa jelasin apa maksudnya ini." Tama meneguk ludah.
"Wayolo Tama anak orang dinangisin, bapaknya panjang kumis, dicium bau amis." Andis terkekeh sambil menyanyikan lagu masa kanak-kanaknya. Sementara Mila yang baru saja keluar dapur membawa dua gelas americano menginjak kaki Andis. "Jangan diledekin!" Mila menatap Tama dan berbisik. "Udah berapa bulan?"
"Heh! Malah lebih ngaco," timpal Dirga. "Dikira Tama hamilin anak orang kali." Dirga menatap Tama. "Denger-denger anak lo udah esdeh? Sekolah di mana sekarang?" Ia terkekeh sambil menatap Andis dan Ajay. Ajay hanya menggeleng seolah tak mau tahu.
"Maaf ... ini ada apa, ya?" ucap Aqilla yang menghampiri Melodi.
Sekilas Melo menatap Qilla, ia menarik Aqilla dan sekarang mereka malah berpelukan bertiga. Aqilla dan Tama saling bertatapan. Keduanya memasang wajah bingung. Aqilla menatap Nada dan teman-teman gadis ini.
"Kamu lihat ada kamera?" bisik Aqilla pad Tama. Tama membalasnya dengan gelengan kepala. "Ini kayaknya acara tivi deh yang acaranya cringe itu deh."
"Prank?" balas Tama. "Bisa jadi."
"Maaf, maaf, kembaranku kumat," ucap Nada yang berlari ke arah Melodi dan menariknya. "Melo, udah ya, nanti kita pulang ke Bandung kan bisa ...."
"Ayah meninggal, Nada!" ucap Melodi terisak-isak. "Aku pulang ke Mantra malam ini buat ngabarin kamu. Ayah kecelakaan mobil!"
Nada terdiam seribu bahasa. Bukan hanya Nada, melainakan seluruh anak-anak Mantra generasi kedua.
"Bercandanya enggak lucu, Melo."
"Kamu pikir kenapa aku pulang? Kamu enggak bisa dihubungin, Nada. Kak Sherlin shock, aku enggak bisa biarin dia bawa motor. Jadi aku pulang naik taxi."
"Ikutin aja alur mereka," bisik Aqilla diikuti anggukan kepala Tama. "Sayang, siapa cewek ini?!" tanya Aqilla dengan nada keras.
"A-aku enggak tau."
"Oh, gitu ya? Aku pikir kamu cowok baik-baik."
Mila menghampiri Aqilla dan Tama. "Jangan berantem," ucap Mila dengan logat sunda. "Ini pasti cuma salah paham."
Aqilla mengedipkan mata untuk memberikan kode pada Mila. "Qilla matanya kelilipan debu?" tanya Mila. Aqilla memejamkan mata sambil menghela napas. Ia mendorong Melodi hingga terlepas dari Tama. "Aku enggak tau skenarionya, dah lah."
"Lah, dia pikir ini acara shooting?" celetuk Dirga diikuti gelak tawa Andis.
Aqilla menarik tangan Tama, tetapi Melodi menariknya juga. Aqilla menatap sinis ke arah Melodi. "Tama pacarku, kalo ini bukan acara tivi kamu boleh cari cowok lain," ucapnya ketus.
"Ayah, aku mau ngobrol berdua sebentar. Enggak di sini." Melodi menarik Tama.
"Ayah?" Aqilla memicingkan matanya. Kini ia menatap Tama. "Kamu sama dia manggilnya ayah bunda?"
"Aku enggak tau siapa orang ini, sayang," ucap Tama.
Aqilla dan Melodi saling menarik lengan Tama. Pria tampan itu bergerak ke kanan dan ke kiri dengan wjah datar. Hingga pada satu momen, saat menarik Tama, Melodi justru terlempar ke belakang. Tama refleks menangkap tangan Melodi. Sarung tangan hitamnya tak lagi terpasang di tangannya karena tarikan Melodi.
Tama mengeluarkan darah dari hidungnya saat menarik tangan Melodi. Kepalanya terasa pusing, ia langsung kehilangan keseimbangan dan nyaris terjatuh. Beruntungnya, kakinya masih bisa menopang tubuhnya untuk tetap berdiri.
"Tamaaaa!" Aqilla tampak begitu khawatir. "Qilla, aku enggak apa-apa," balas Tama.
Melodi dan Nada tak kalah khawatir dengan Aqilla. Nada menuntun Melodi berkumpul dengan yang lainnya.
Padahal baru sebentar, kan? Dirga mengerutkan dahinya, biasanya efek samping dari kemampuan Tama terjadi jika Tama terlalu lama memegang sebuah objek.
Dirga juga menyadari bahwa gadis bernama Melodi itu juga sepertinya mirip dengan Tama. Ditambah saat ia mimisan dan pusing, persis dengan efek samping Tama. Entah, instingnya mengatakan bahwa ada hal yang tidak beres dengan orang-orang ini.
Dirga merangkul Tama dan membawanya ke dapur. Ia memberikan segelas air pada Tama. "Apa yang lu liat?" tanya Dirga.
Tama menggeleng. "Gelap."
"Gelap?"
"Gadis itu enggak punya ingatan masa lalu."
"Serius?" tanya Dirga yang heran. Tama mengangguk sebagai jawabannya.
***
Waktu bergulir hingga Mantra Cofee tutup. Semua pelanggan sudah pergi meninggalkan lima orang aneh yang mengundang sejuta pertanyaan pada Dirga dan rekan-rekannya.
"Mila pulang dulu ya." Mila pamit undur diri. Begitu juga dengan Abet dan juga Aqilla. Menyisakan keempat Mantra dan lima orang Mantra lainnya.
"Ini enggak diusir?" tanya Andis berbisik pada Dirga.
"Orang-orang ini punya keperluan sama kita. Mereka nunggu toko tutup." Dirga mengambil kursi dan duduk tak jah dari mereka berlima. "Jadi, siapa kalian?" tanya Dirga dengan suara yang berat.
Deva beranjak dan menarik kursinya hingga berhadapan dengan Dirga. "Orang-orang yang butuh bantuan kalian."
"Jadi, apa yang bisa kami bantu? Tempat ini juga di desain buat nolongin orang-orang yang butuh bantuan, terutama masalah supranatural."
"Cakra langit," tutur Harits. "Di mana benda itu?"
Dirga bertatapan dengan Tama, Andis, dan Ajay. Kemudian ia menatap Harits. "Belum pernah denger."
"Siapa saja unit Dharma saat ini?" sambung Harits.
"Itu di luar yang bisa kami beritahu," jawab Dirga sambil membuka sebungkus permen lolipop. "Jadi—apa masalah kalian?"
"Retrokognision," timpal Cakra. "Kami terlempar ke masa lalu." Semua mata menatap Cakra. Padahal sebelumnya mereka sudah berunding bahwa tidak ada yang boleh berbicara tentang masa depan. Karena takut merubah takdir.
Mereka hanya ingin merubah takdir kecil perihal insiden-insiden yang berlalu, tetapi yang ditakutkan terjadi adalah dampak yang lebih buruk akan terjadi jika mereka terlalu banyak mengubah takdir.
"Oke, dari tahun berapa kalian datang?"
"Lu percaya?" tanya Andis.
"Tama enggak bisa lihat masa lalu orang-orang ini. Itu bukan tanpa sebab. Masa lalu mereka adalah masa depan bagi kita, itu menyalahi hukum psikometri."
"Dua ribu empat puluh," jawab Cakra.
"Apa yang diharapkan kids jaman future pada kids jaman now?" tanya Dirga.
"Dunia kiamat," ucap Harits dengan tatapan tajam. "Dajjal turun." Namun, Nada menjitak kepalanya. "Harits, serius!"
"Duh! Sakit!," pekik Harits. "Emang mau kiamat kan? Kalo bukan karena Retrokoginisi Melodi, kita pun udah mati kali."
"Kami terlempar ke tahun ini bukan tanpa sebab. Entah apa sebabnya, kami belum tahu persis. Yang jelas kami harus menemukan petunjuk untuk memutar takdir," ucap Deva.
"Memutar takdir, ya?" Dirga terlihat sedang berpikir. "Apa yang dilakukan Dirga di tahun kalian? Kalian kenal gua?"
"Ya, kami kenal," jawab Deva yang menyembunyikan kebenaran tentang identitas mereka. "Sayangnya Dirga Martawangsa di era kami sedang berbaring di rumah sakit dengan harapan hidup yang sangat tipis."
"Andis gimana?" tanya Andis.
"Jadi gembel!" jawab Harits. "Useless."
Andis sangat membenci bocah yang satu ini. "Gua kalo jadi bapak lu, udah gua karungin lu." Lagi-lagi Deva merubah raut wajahnya dari serius menjadi ingin tertawa, tetapi ia menahannya.
"Apa ada kaitananya Melodi dengan Tama?" tanya Ajay.
Melodi hendak berbicara, tetapi Deva memotongnya. "Enggak ada." Melodi menatap punggung itu. "Mel, kita sepakat buat enggak ngumbar identitas kita ke mereka ...," bisik Cakra. Melodi terdiam, tatapannya getir.
"Pertama-tama, kami butuh tempat tinggal," ucap Deva.
"Oke, tinggal aja di sini sampe urusan kalian selesai, tapi jangan lupa bantuin kita tanpa digaji."
"Enggak masalah." Deva dan Dirga bersalaman. Deva menatap Dirga tegas. "Kami harap kalian juga membantu kami perihal informasi tombak Cakra Langit dan penggunanya. Juga informasi jumlah orang yang terlibat langsung dengan Dharma. Perjalanan ini lebih berharga dari nyawa kami. Banyak nyawa yang bergantung di tangan kita."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top