6 : Lembaran Baru
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Pagi ini gelap, mentari bersembunyi di balik awan hitam. Sambil menikmati segelas kopi racik tubruk, Deva duduk menatap gerimis di luar jendela. Matanya melirik ke arah tangga sebelah kanan, menatap Melodi yang baru saja turun lengkap dengan bawa-bawaannya yang cukup banyak.
"Harits udah bangun?" tanya Melodi pada Deva.
"Udah kok, sebentar lagi juga turun."
Benar saja, tak sampai satu menit berlalu. Harits turun sambil memainkan kunci mobil di jari telunjuknya.
"Titip ya, Rits," ucap Deva.
"Cih," balas Harits. "Makanya belajar mobil, biar enggak nyusahin orang dong."
Deva hanya tertawa. "Oke, besok gua belajar. Sekarang, lu tolongin Melodi dulu. Di luar gerimis, aromanya bakal hujan deras."
"Ikut! Ikut! Ikut!" Nada turun berlari dari tangga. Ia mengenakan kaus putih dibalut cardigan hitam. "Sekalian cari sarapan."
"Yah elah, kurcaci," gerutu Harits. "Ribet banget."
"Nada ... Harits cuma anterin aku ke kampus," ucap Melodi. "Please, enggak usah cemburu."
"Ih! Siapa juga yang cemburu sih? Aku mau cari sarapan naik mobil."
"Yaudah yuk. Terlambat nih aku." Harits, Melodi, dan Nada segera masuk ke dalam mobil. Sementara Deva mulai memainkan gitarnya menikmati gerimis romantis ditemani secangkir kopi yang hampir habis.
***
Tak ada kata yang terucap di antara mereka bertiga hingga Melodi turun dari mobil dan berlari masuk ke aula serbaguna.
"Mau makan apa?" tanya Harits ketika ia hanya berdua dengan Nada di dalam mobil.
"Enggak tau, terserah, apa aja sih, enggak terlalu laper."
Asli ini kurcaci ....
"Aku cuma butuh waktu berdua," lanjut Nada sambil menatap hujan di luar mobil. "Kamu bilang mau dengerin aku ngomong kan kalo aku ke Jogja. Sekarang aku di sini. Tepatin janji kamu."
"Perihal apa sih?" Harits memundurkan kursinya dan bersandar dengan santai. "Kalo cuma mau minta maaf kayaknya enggak perlu. Salah aku juga waktu itu enggak sadar kalo yang lagi di hadapan aku itu Melodi. Itu pun udah lama, jangankan kamu, bahkan maafin Melodi pun udah. Jadi enggak perlu ada obrolan lagi, kan?" Harits mengambil botol minum dan mulai meneguknya.
"Iya, pertama itu. Yang kedua aku mau tanya. Waktu itu kamu bilang suka sama aku. Apa yang kamu suka dari aku?"
Bukan maen, tersedak aer tenggorokan Harits mendengar ucapan barusan. "Lupain, aku enggak mau bahas."
"Aku penasaran ... Melodi itu bisa segala hal. Dia juga lebih cantik dan populer, tapi kenapa aku?"
"Yok, pulang."
Nada mengambil kunci mobil itu dan meletakkannya di kantong cardigannya. Tentu saja Harits tak akan berani mengambilnya, karena kantong tersebut berada di bagian dada. "Enggak akan pulang sebelum aku tau."
Harits menghela napas. Tak ada kata di antara mereka selama beberapa menit. "Rinai hujan yang turun dari awan itu jumlahnya banyak. Mungkin jutaan, bahkan miliaran. Yang harus kamu tau, tiap rintiknya berbeda antara satu dengan lainnya. Mereka bukan air yang sama. Hanya terlihat sama." Harits menoleh ke arah Nada. "Kamu sama Melodi pun begitu. Kalian dua orang yang berbeda. Setiap orang punya penilaian tersendiri, seperti kamu yang menilai Melodi setinggi itu. Aku pun punya penilaian terhadap orang lain. Termasuk kamu. Selain cantik, kamu punya daya tarik tersendiri. Kamu baik."
Wajah Nada memerah. "Aku boleh minta sesuatu?"
"Apa?" tanya Harits yang merasa canggung.
"Jangan berubah. Aku kangen kamu yang dulu. Yang baik, yang jajanin aku es krim, yang ngajak ngobrol perihal banyak hal, yang murah senyum, yang lucu, yang gampang ketawa."
"Yang kamu lihat dulu itu topeng. Aku yang asli ini ya yang sekarang kamu lihat."
"Enggak." Nada menatap tangannya yang berbalut sarung tangan hitam. "Aku merasa kenal kamu lebih dari siapa pun." Nada pernah melihat masa lalu Harits menggunakan psikometrinya. "Kamu yang sekarang ini, bukan kamu yang sebenarnya. Aku tau itu. Aku merasa--segala hal yang ngerubah kamu itu ada alasannya sama masalah kita."
"Banyak hal berubah. Bukan kamu dan hal-hal sepele begitu yang buat aku berubah."
"Rizwana?" tanya Nada.
Harits tersenyum getir. "Berengsek itu sekarang mungkin lagi bersenang-senang. Dia itu sahabat aku, tapi tiba-tiba di berkhianat dan justru buat Ken meninggal. Enggak ada yang lebih menohok dari percaya kemudian dikhianati, enggak ada yang lebih perih dari kehilangan seorang sahabat sejati. Semua enggak akan pernah bisa kembali. Semua udah berubah, enggak lagi sama."
Rizwana merupakan anak dari Septaraja. Pria itu merupakan ketua Simfoni Hitam, ia berdiri membangun asosiasi pemburu hantu bersama Harits dan Kenzie. Mereka bertiga menjadi kelompok yang bertugas dibawah naungan Dharma. Namun, siapa yang menduga. Musuh terbesar justru adalah kawan terdekat. Demi kepentingannya, Rizwana membawa kabur uang yang mereka semua kumpulkan untuk biaya operasi Kenzie yang mengidap sebuah penyakit mematikan.
"Jadi jangan berpikir itu semua gara-gara kamu, oke." Harits menjitak kepala Nada. "Karena emang bukan karena kamu."
"Aw sakit!" pekik Nada. "Jangan nyebelin lagi, ya! Kamu boleh cerita kapan aja sama aku kalo butuh pendengar."
"Enggak janji. Jadi, mana kunci mobilnya?"
"Tiba-tiba aku laper. Makan Indomie rebus di burjo, yuk!" Nada memberikan kunci mobil pada Harits.
"Kalo cuma Indomie--di rumah juga bisa ...," balas Harits dengan wajah datar.
"Denger ya! Rasa Indomie ketika masak sendiri dan beli di burjo itu beda! Kamu harus paham ilmu beginian."
"Aneh," balas Harits sambil tersenyum tipis. Ia segera menyalakan mesin dan mencari burjo terdekat.
***
"Apa liat-liat?" tanya Melodi menatap Jay yang sedari tadi terus memandangnya sambil tersenyum.
"Kamu di anter siapa? Aku lihat kamu tadi naik mobil."
Mampus gue, pasti mau ngajak bareng ini orang.
"Di anter temen sama sodara aku."
"Nanti pulang aku anter ya, sekalian mau nongkrong di kafe."
Enggak akan terjadi muehehehe
"Nanti aku di jemp ...." Belum selesai Melodi menyelesaikan kalimatnya. Ia menatap layar ponselnya yang mati. Rupanya ia salah membawa ponsel. Alih-alih membawa ponselnya, ia justru membawa ponsel Nada yang kehabisan batre.
Noweeei!
"Aku naik ojek aja." Melodi mencari dompetnya, tetapi rupanya benda itu tertinggal di kamarnya karena ia terburu-buru pagi ini. "Liat nanti ya hehe," ucap Melodi pada Jay.
Hari ini para peserta ospek melakukan senam dan kegiatan renyah yang penuh drama marah-marah. Setelah itu ada parade UKM. Yang benar-benar membuat mata Melodi berbinar adalah ketika melihat UKM musik. Paduan suara yang sangat merdu dan marching band yang benar-benar membuatnya terpukau. Sudah jelas, UKM itu adalah yang akan Melodi ikuti nantinya.
"Kamu mau ikut UKM musik?" tanya Jay yang memperhatikan keantusiasan Melodi.
Suara wong deso itu membuyarkan bayangan-bayangan indah Melodi. Ia menoleh ke arah Jaya. "Enggak tuh. Aku mau ikut UKM futsal."
"Wah keren! Kebetulan aku juga mau gabung futsal."
Hehehe tertipu kaw anak muda.
Seluruh kegiatan berlangsung hingga jam makan siang. "Siapa yang enggak bawa makan siang?!" teriak salah satu panitia ospek. Makan siang adalah salah satu syarat kelengkapan yang harus dibawa oleh masing-masing maba.
Duh! Ketinggalan ....
Melodi menatap anak-anak yang tidak membawa makan siang mereka. Jumlahnya sedikit, tetapi memang beberapa tidak membawanya. Entah ketinggalan atau ada alasan lain. Mereka semua dihukum sebelum panitia memberikan nasi kotak untuk makan siang mereka. Beberapa panitia berkeliling mengecek kelengkapan peserta.
Mampus, mampus, mampus. Duh, baru juga ospek, langsung berulah aja Melodi!
Jaya meletakkan tempat makannya di depan Melodi, kemudian ia berdiri sambil menggaruk kepalanya menatap salah satu panitia. "Yahaha ketinggalan makanan saya."
"Kenapa bisa ketinggalan?" tanya panitia itu ketus sambil berjalan ke arah Jaya.
"Kelupaan, kak," jawab Jaya.
"Lupa?" Panitia itu memicingkan matanya. "Berarti ospek ini enggak penting banget, ya? Sampe kelupaan."
"Bukan gitu, kak ...."
"Siapa pembimbing kamu?"
"Bukan salah mereka, kak. Mereka udah ngasih tau. Ini murni keteledoran saya."
"Siapa nama kamu?"
"Jaya, kak."
"Lari kamu keliling aula sambil teriak yang keras 'nama saya Jaya. Saya lupa membawa perlengkapan karena ospek ini enggak penting'."
"Baik, kak." Jaya segera berlari mengikuti instruksi kakak tingkat itu. Melodi menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Seharusnya yang dihukum itu dia. Bukan Jaya. Jaya menjadi bahan tertawaan beberapa peserta dan juga panitia.
Lima putaran sudah Jaya lalui. Kini ia membawa nasi kotak dari panitia dan kembali menuju kelompoknya. Pria itu menatap Melodi yang diam, gadis itu sama sekali tak menyentuh makanannya.
"Itu dimakan dulu. Banyak kegiatan abis ini, pasti capek dan butuh tenaga," ucap Jaya.
"Kenapa malah begitu?"
"Begitu?" Jaya memicingkan matanya.
"Yang harusnya dihukum itu aku--bukannya kamu."
"Yahaha santai aja, masalah sepele."
Sejujurnya para anggota kelompok berpendapat bahwa Melodi dan Jaya sudah saling mengenal sejak lama. Bahkan beberapa berpendapat liar, bahwa mereka memiliki hubungan khusus.
***
Tak terasa kini hari sudah berada di penghujung petang. Jaya memanaskan mesin motornya, sementara Melodi berdiri di belakangnya. "Ini namanya Mamat," Jay memperkenalkan motor astrea butut berwarna hitamnya pada Melodi.
"Mamat?" Melodi mengerutkan dahinya.
"Iya. Motor ini punya nama. Namanya Mamat." Mendengar jawaban Jaya, Melodi hanya menggeleng sambil menggerutu menahan tawa. "Apaan sih, masa Mamat."
"Jangan diketawain. Gini-gini dia tangguh. Mamat ini satu-satunya temen saya dari dulu."
"Kayak enggak ada temen orang aja? Masa temenan sama motor."
"Emang engga ada."
Melodi menatap Jay yang kini berjongkok menatap Mamat. "Yahaha si Mamat ngambek gara-gara keujanan sendirian. Kamu naik taxi aja gih, saya enggak bisa anter kayaknya."
"Lama?"
"Enggak tau juga sih. Ini kalo ujan businya kena. Ada ritual khususnya biar Mamat ceria lagi."
Apaan sih ini orang sumpah, aneh, tapi pen ngakak yawla ....
"Aku tungguin aja."
"Jangan, kelamaan."
"Biarin."
"Oke deh kalo itu mau kamu." Jay tersenyum sambil berusaha membetulkan motornya. Kira-kira satu jam berlalu, akhirnya mesin Mamat kembali menyala.
"Yuk." Jaya naik di atas motornya, sementara Melodi yang duduk menunggunya di teras aula, segera berjalan menyusul Jay dan naik di jok belakang. Kini mereka menuju Mantra Coffee.
***
Di sisi lain, Deva masih menatap jam tangannya sambil melirik ke arah jendela. "Melodi kok belum pulang, ya?"
"Nemu pacar baru kali," celetuk Harits sambil terkekeh.
"Harits!" Nada memelototi Harits yang berbicara sembarangan.
"Ya, siapa tau ada yang lebih asik."
Belum kering bibir Harits setelah melempar ledekan dewanya. Sebuah motor astrea hitam parkir di depan kafe. Melodi turun dari motor itu dan segera masuk ke dalam, diikuti seorang pria dengan perban yang menutupi keningnya.
"Oooo my lord! My eyeeeees. It's so hot in here," ucap Harits dengan wajah yang sengaja dibuat jelek.
"Harits!" Nada mencubit Harits yang terus meledek Deva. "Jangan bikin perasaannya semakin hancur ih!"
"Ambyaaaar." Deva menatap Harits dengan sorot mata yang dingin. Hal itu membuat Harits diam seketika, dan sepik-sepik meracik kopi. "Not me ...," gumam Harits lirih.
"Aku mandi dulu, ya," ucap Melodi pada Jay. Gadis itu segera naik ke atas tanpa melirik ke arah Deva. Merasa diperhatikan, Jay menatap balik ke arah Deva. "Mas, boleh lihat menunya?"
Sambil menggiling biji kopi menggunakan mesin grinder, Harits hampir terkekeh. "Oh no, oh no, oh no no no no ...."
Deva membawa daftar menu segera berjalan menghampiri Jaya. Setelah mendapatkan daftar menu, Jaya langsung menatap daftar menu Mantra Coffee. "Yang paling murah deh, mas," ucap Jaya.
"Yaelah, udah motek hati Deva, nyuruh Deva nyamperin, ujung-ujungnya mesen tanpa baca menu kayaknya itu orang. Langsung nembak yang paling murah." Tanpa kertas pesanan yang ada di tangan Deva pun Harits segera membuat segelas espresso shot.
Deva berjalan ke arah Harits dan mengambil pesanan Jay. Ia kembali ke meja pria itu sambil meletakkan pesanan Jay.
Keadaan tenang beberapa waktu, hingga Melodi turun dengan rambutnya yang masih agak basah. "Ih, emangnya enggak haus cuma minum espresso?" Melodi memesan ice vanilla latte untuk Jay. Setelah itu mereka berbincang kurang lebih setengah jam.
"Aku pulang dulu, ya. Besok masih masuk ospek." Jay yang sudah menghabiskan minumnya segera beranjak. "Bye," ucapnya sambil melambaikan tangan, tetapi Melodi tak membalasnya. Jay naik ke atas Mamat dan segera pergi.
"Enggak dibales lambaian tangannya?" celetuk Deva.
"Enggak ah, males," balas Melodi sambil membereskan meja Jaya.
"Sudah-sudah, semua bisa dibicarakan secara kekeluargaan."
"HARITS SAGARA!" Nada menarik tangan Harits dan membawa pemuda tersesat itu keluar kafe, meninggalkan Melodi dan Deva berdua. Sudah tak ada pelanggan di dalam kafe. Benar-benar menyisakan Melodi dan Deva.
"Siapa cowok tadi?" tanya Deva ketus.
"Jaya, temen sekelompokku."
"Kenapa pulang sama dia? Enggak bilang aku aja biar aku jemput."
"Maunya juga gitu, tapi aku salah bawa hape. Malah bawa hape Nada yang lowbat, dan wasalam. Dompetku juga ketinggalan."
"Kan bisa naik taxi, nanti bayarnya belakangan. Di sini juga ada aku, ada Nada, atau kamu bisa ambil dompet dulu."
Melodi menatap Deva. "Kamu kenapa sih?"
"Enggak ada kabar seharian, pulang-pulang bareng cowok, terus lewat begitu aja, enggak negor, enggak senyum, pas turun kelar mandi juga malah nyamperin si jaya-jaya itu. Aku keliatan enggak sih? Apa cuma Harits yang bisa liat aku? Gara-gara dia indigo."
"Kan udah aku bilang, hape aku ketinggalan. Mau kabarin gimana? Please deh, tadi Jaya itu banyak bantuin aku. Aku juga awalnya nolak dianter, tapi karena merasa enggak enak nolak tawaran dia terus, enggak ada salahnya aku terima, kan? Toh, besok juga aku bawa motor sendiri, atau seenggaknya enggak akan salah bawa hape lagi."
Deva duduk sambil bersandar. Ia menghela napas. Melodi menghampirinya. "Jangan marah," ucapnya dengan mata berkaca-kaca. "Aku juga enggak terlalu suka sama kehadiran si Jaya. Dia itu ngeselin, tapi enggak baik nolak tawaran orang yang udah nolongin aku. Aku cuma suka sama kamu kok ... jangan marah."
Hal paling menyebalkan adalah ketika seorang gadis sudah memasang wajah bersalahnya. Siapa yang tidak luluh?
"Maaf," ucap Deva. "Aku cuma mikirn kamu seharian ini. Ditambah ledekan si mulut sampah itu, bikin aku jadi banyak mikir yang negatif. Ditambah lagi kamu beneran pulang bareng cowok, kayak yang dibilang sama si mulut sampah jadi kenyataan. Seketika, aku panas. Aku terbakar cembruku sendiri. Maaf kalo jadi marah-marah."
Melodi mengambil kursi dan duduk bersebelahan dengan Deva, ia bersandar di bahu pria berkaus putih lengan pajang itu. "Aku juga minta maaf. Maaf ya udah buat kamu cemburu."
Setelah drama itu, Melodi langsung naik ke kamarnya untuk beristirahat. Sementara Deva masih duduk sambil menatap langit yang perlahan hujan kembali. "Mau begadang lu?" tanya Harits yang sedang berdiri di depan mesin kopi.
"Entah," jawab Deva sambil mengambil gitarnya, lalu menyetel senar.
Hartis datang membawa dua cangkir kopi. Ia memberikan secangkir untuk Deva. Sontak membuat Deva terheran-heran. "Buat gue?"
"Masa buat bapak lu?"
Deva hanya menggeleng sembari tersenyum. "Tumben baik."
"Ada yang lebih pahit daripada kopi tanpa cumbuan gula," ucap Harits.
"Yaitu?" balas Deva.
"Secangkir kopi yang dihabiskan sendiri tanpa seorang saudara."
Deva tertawa mendengar itu. "Saudara, ya?"
"Cerita klasik tentang Retsa Pratama, Dirga Martawangsa, Andis Sagara, Fajar Utomo, Tirta Martawangsa, Zahran Utomo, dan Kei Yudistira. Bersaudara tanpa ikatan darah, hanya terikat satu kata--mantra."
"Enggak, ada yang salah sama otak lu. Lu kan--jahat. Mulut lu sampah."
Harits terkekeh. "Heh, denger ... mungkin udah terlambat, tapi lebih baik terlambat daripada enggak sama sekali. Gua minta maaf atas segala yang udah terjadi, dibalik pertikaian kita, kita pernah sedekat nadi. Dan--enggak ada salahnya sekarang membuka lembaran baru. Banyak hal terjadi." Harits mengangkat cangkirnya dan mengarahkannya ke arah Deva. Deva menyambutnya dengan sebuah sulang. Suara cangkir mereka beradu. Malam masih panjang. Sambil memainkan beberapa lagu klasik tahun 80 an, mereka berdua bernyanyi, perlahan melupakan masalah yang pernah singgah.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top