57 : Prioritas
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Mobil kendaraan Mantra terhenti di sebuah kos-kosan bernuansa putih. Melodi turun dari mobil dan berpamitan. Nada membuka jendela kaca. "Kamu enggak apa-apa?"
Melodi tersenyum pada Nada. "Aku pemulihan di tempat kak Sherlin cuma sebentar kok. Jangan kangen ya."
"Bukan itu," balas Nada. "Om Dirga ... Deva ...."
Senyum itu terlihat sendu. "Semoga om Dirga baik-baik aja, Deva juga." Melodi tak bisa tidak memikirkan perasaan Deva malam ini. Sejujurnya ia ingin menemani Deva malam ini, tetapi pria itu pergi entah ke mana.
Di sisi lain, Deva sedang duduk di taman rumah sakit. Agha berjalan menghampirinya. Deva menatap Agha yang baru saja datang. "Mana Jaya?" tanya Deva.
"Dia ada urusan. Jadi, gua pikir yang ngehubungin itu ...."
"Ayah koma. Hapenya gua yang pegang."
Agha agak terkejut mendengar kabar tersebut. Belum ada yang mengabarinya perihal keadaan Dirga. "Di mana dia sekarang?"
"Sebelum gua jawab, tolong bawa gua ke tempat yang waktu itu," balas Deva.
"Tempat apa?"
"Dunia berkabut yang terbentang langit merah di atasnya."
Agha berjalan melewati Deva. "Gua bisa nanya petugas."
"Tunggu!" Deva menarik bahu Agha. "Tolong. Bawa gua ke tempat itu."
"Ada urusan apa di sana?" tanya Agha.
"Ada yang mau gua temuin. Sekali ini aja."
"Gua bukan pintu. Sekali lu masuk, gua enggak bertanggung jawab ngeluarin lu."
"Enggak masalah."
Agha menghela napas, ia terlihat tenang, tetapi tiba-tiba saja pria itu mencengkeram kerah Deva. "Apa pun yang ada di dalam sana, mereka bukan manusia. Jangan pernah berurusan dengan makhluk-makhluk di Alam Suratma."
"Cuma dia yang bisa bantu gua!"
Sebuah pukulan keras bersarang di tengkuk Deva. Ia pingsan dihantam oleh Agha. "Merepotkan." Agha menggendong Deva di punggungnya dan berjalan mencari Dirga.
***
Melodi sedang berbaring di kasur Sherlin, sementara Sherlin tidur di kasur lainnya, mereka masih berada di satu kamar yang sama. Melodi sibuk menatap layar ponselnya. Ia melihat sebuah kecelakaan yang baru saja terjadi di tol sekitar Bandung.
"Ih, ngeri banget ketabrak tronton gini. Ini siih sengaja," gumamnya.
Melodi menyadari sesuatu, ia agak familiar dengan plat nomor mobil tersebut. "Bentar deh, ini platnya kok mirip mobil ayah, ya?"
Baru saja ia berkata seperti itu, sebuah panggilan masuk dari Aqila muncul di layarnya. Selama beberapa detik, Aqilla hanya menangis, ia ingin bicara, tetapi isaknya terlalu mendominasi malam ini.
"Bunda kenapa?" Perasaan Melodi semakin was-was.
Aqila berusaha menenangkan diri. "Ayah ...."
"Ayah kenapa?"
"Ayah meninggal, kecelakaan ditabrak mobil," ucap Aqilla yang membuat Melodi menjatuhkan ponselnya.
"Innalillahi ...."
"Kenapa, Mel?" Sherlin menatap Melodi begitu ponselnya terjatuh. Melodi tiba-tiba saja lemas, air matanya mengalir tanpa ekspresi. "Mel, kenapa?" Sherlin beranjak dari posisinya dan mengambil ponsel Melodi. Aqilla masih berada di sana, Sherlin mendekatkan telinganya. "Halo, Bunda. Kenapa?"
Sherlin terbelalak ketika mendengar kabar tentang Tama. Jika bukan karena Tama, entah seperti apa kehidupan Sherlin yang hanya seorang anak jalanan yang tak mempunyai keluarga. Kenangan-kenangan masa kecilnya terpampang, ketika Tama membelikan biola pertamanya. Waktu itu Tama masih kuliah, sementara Sherlin masih anak-anak. Tama membelikan biola termahal untuk Sherlin dengan uang jajannya sendiri. Sherlin memeluk Melodi.
Tiba-tiba saja suasana gelap. Listrik padam untuk daerah Jogja. Sherlin dan Melodi tak bisa menghubungi Nada karena sinyal yang terganggu. Di luar baru saja turun hujan deras diiringi simfoni gemuruh.
***
"Harits mana ya, Cak?" tanya Nada yang menatap hujan di luar. Deva, Harits, dan Melodi tak berada di Mantra. Menyisakan Cakra dan Nada berdua.
"Dia beli kado kayaknya, pacarnya mau ulang tahun besok kalo enggak salah. Jadi nanti malem mau ngasih surprise gitu."
"Oh," balas Nada singkat. Ia berjalan menuju tangga sebelah kanan. "Aku mau tidur duluan ya. Selamat malam, Cakra."
"Oke, selamat tidur, Nada." Cakra tersenyum melihat ekspresi Nada yang tiba-tiba berubah menjadi jutek.
Begitu Nada menghilang dari pandangan Cakra, pria itu mengunci pintu dan berjalan naik ke kamarnya. Cakra menyetel lagu-lagu instrumen jazz, dan menyalakan lilin-lilin aroma terapi. Ia duduk bermeditasi dan melakukan proyeksi astral.
Roh Cakra melayang ke kamar Nada. Ia duduk di samping Nada yang mulai terlelap. Tak ada yang tahu selain Harits, setiap malam Cakra mengunjungi kamar Nada untuk menjaganya. Sesekali Nada merancu akibat mimpi buruk, dan Cakra selalu dapat mengusir mimpi buruk Nada tanpa gadis itu ketahui.
Raga Cakra mendengarkan isntrumen jazz, hal itu juga berdampak pada rohnya. Roh Cakra juga mendengarkan musik tersebut.
Sebuah bayangan tangan menyusup dan menyentuh kaki Nada, tetapi Cakra langsung menebas tangan itu menggunakan pedang astral yang ia buat dengan atma.
Suara radio di kamar Cakra tiba-tiba mati, begitu juga dengan lilin-lilinnya. Cakra paham, ia kehilangan rasa hangat yang membuatnya tenang. Sebuah gelombang membuat Cakra menatap keluar jendela kamar Nada.
Cakra sudah memasang sebuah pelindung ghaib di sekitar Mantra. Jika ada sesuatu yang berasal dari luar dan ingin masuk, makhluk-makhluk itu harus menghancurkan pelindung itu terlebih dahulu. Namun, malam ini sepertinya yang datang bukanlah makhluk rendahan seperti biasanya. Cakra menatap seorang pria melayang yang memliki benang perak sepertinya.
Astral Projection?
Pria itu berpakaian serba hitam dan membawa payung hitam. Ia menatap Cakra dari atas sana. Pria itu memasukkan payungnya ke dalam area pelindung Cakra.
Benda itu bisa menembus pelindung? batin Cakra ketika melihat setengah payung itu menembus pelindungnya.
Pria dari Kencana Selatan yang bernama Radika Kusumadewa itu membuka payungnya. Seketika itu pelindung Cakra pecah bagaikan kaca. Cakra agak terkejut, ia segera terbang keluar Mantra sambil membawa pedang astral.
"Siapa kau? Apa maumu?" tanya Cakra.
Pria itu bersembunyi di balik payungnya yang terbuka menghadap ke arah Cakra. Dalam waktu yang sangat cepat, ujung payungnya melesat menerjang Cakra hingga membuat Cakra terjatuh ke tanah. Dalam waktu singkat, seluruh bagian payung dan juga pria itu menimpa Cakra. Payung itu menembus tubuh roh Cakra, hingga membuat raga aslinya memuntahkan darah.
Payung ini bukan senjata roh?! Ini benda asli?!
Cakra berusaha mencabut payung itu, tetapi ternyata benda tersebut adalah penangkal roh. Bahan yang terbuat dari besi perak dan ditempa dengan taburan garam kasar itu bertujuan untuk membasmi roh. Pria itu mencabut gagang payungnya keluar, rupanya benda itu adalah pedang yang bersarungkan payung. Sebuah kamuflase yang sangat tak terduga.
Pria itu menusuk bahu Cakra dengan pedangnya, sehingga raga asli Cakra menerima dampaknya. Roh memang kebal terhadap serangan fisik, tetapi dalam, beberap akasus, ada benda fisik yang dapat melukai roh. Jika roh terluka, tubuh fisik akan menerima luka dua kali lipatnya.
Pria itu menatap lurus ke arah pintu depan Mantra. Cakra sontak mengikuti arah matanya. Ia terbelalak mendapati Rizwana yang berdiri di depan pintu. "Rizwanaaa!"
Rizwana menoleh ke arah mereka berdua. Ia tersenyum. "Aku titip yang satu itu," ucapnya pada pria berpayung. Radika hanya mengangguk sambil menduduki roh Cakra. Cakra berusaha kembali ke tubuhnya, tetapi senjata Radika menahan rohnya tak bisa pergi ke mana-mana.
Dengan mudah Rizwana membuka kunci pintu dan berjalan masuk ke Mantra. Cakra terlihat marah, tetapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Benda yang menusuknya membuatnya lemah. "Harits, Deva, siapa pun, tolong Nada!" teriak Cakra, tetapi tak berdampak apa pun.
Di sisi lain, Rizwana kini masuk ke dalam kamar Nada yang tak terkunci. Ia duduk menatap Nada. Rizwana tampak tak bisa bergerak beberapa waktu, tangannya tampak gemetar.
"NADA BANGUN!"
Teriakan dari roh Cakra membuat Nada terbangun. Nada tak mendengar apa pun, hanya saja sepertinya ada yang menyuruhnya untuk bangun. Nada terdiam menatap sosok Rizwana. Mereka berdua sama-sama terdiam, tetapi Nada lebih cepat. Ia refleks berlari keluar sambil membawa ponselnya.
"Duh, sinyalnya ilang-ilangan," gumam Nada yang berlari sambil berusaha mencari pertolongan.
***
Harits baru saja selesai membungkus kado bersama salah satu teman yang tinggal di daerah kampusnya.
"Lu kayak anak jaman kapan aja, ngucapin ulang tahun pas jam dua belas. Bukanya besok aja."
"Nyahaha biar romantislah! Yaudah, makasih ya, gua mau jemput Sekar dulu."
"Mau ke mana sih? Udah malem juga. Udah nginep sini aja."
"Mau ke Bukit Bintang. Biar romantis gitu, ngerayain ulang tahun di bawah padang bintang."
"Yowes, sana pergi deh! Orang mati lampu, Bukit Bintang bintangnya redup!"
"Dih, sewot! Nyahaha." Harits berjalan keluar dari kosan temannya. Ia menatap ponselnya untuk menghubungi Sekar, tetapi rupanya ada panggilan tak terjawab dari Nada. Sudah lebih dari empat kali Nada menelpon. "Kenapa sih ini orang? Cemburu?" Nada kembali memanggil, tetapi Harits tak mengangkatnya dan berjalan menuju motor.
Harits mengendarai motornya. Jaraknya tak terlalu jauh menuju kosan Sekar, tetapi getar di kantong celananya membuatnya jadi menepikan motor dan mengangkat panggilan Nada. "Apaan sih?" ucap Harits agak kesal.
"Kamu di mana?!"
"Kampus, kenapa?"
"Rizwana,"ucap Nada dengan napas yang terengah-engah. Sinyal yang jelek juga membuat suara mereka saling terputus-putus.
"Kenapa dia?"
"Ada Rizwana di sini."
Harits terdiam sejenak menatap kado dan kue ulang tahun yang ia bawa untuk Sekar. Ia menatap ke arah langit sambil memejamkan matanya. Ketika membuka matanya kembali, Harits langsung memutar motornya.
"Goblog!" teriak pengendara lain yang hampir menabrak Harits yang asal memutar.
"Lo yang goblog! Udah tau ada Rizwana! Bukannya ngasih jalan. Berak lo!" Harits lebih marah. Ia langsung menarik gas hingga kecepatan penuh.
Jarak kampus ke Mantra cukup jauh, Harits menerobos empat lamu merah dan hampir saja bernasib seperti Dirga atau Tama, tetapi ia tak peduli. Kue ulang tahun Sekar juga kini tak lagi berwujud.
Di sisi lain, Cakra masih saja berusaha melepaskan diri, hingga mendengar suara motor Harits. Harits yang baru sampai langsung menatap Cakra dan Radika. "Ngapain lo berdua?" tanya Harits sambil membuka kandang Lajaluka.
"Nada ke arah Stiper! Kejar!" teriak Cakra.
Harits berlari ke arah Radika, ia berniat menghajar pria itu, tetapi Radika menghindari serangan Harits. Harits mencabut payung yang tertancap di tubuh Cakra. "Gua pergi dulu," ucapnya sambil melanjutkan langkahnya.
Cakra bangkit dari posisinya. "Ya, jangan kehilangan jejak," ucap Cakra pda Harits sambil menatap Radika. Kedua pengguna astral projection itu kini saling beratatapan dengan memberikan tekanan. "Maaf, kali ini hasilnya akan beda," ucap Cakra."
Payung hitam milik Radika terbang ke genggaman pria itu. Tanpa kata, Radika juga bersiap untuk menyerang kembali.
***
Rizwana tampak mengejar Nada. Pria itu agak lambat, tetapi staminanya lebih banyak dari Nada yang mulai melambat. Kini mereka berada di area stadiun Maguwoharjo.
"Sampai kapan mau lari?"
Gila ya, enggak ada orang sama sekali, batin Nada yang dari tadi berlari sambil berteriak minta tolong.
Gadis itu mulai berhenti, kakinya gemetar. Nada kelelahan hingga tak mampu lagi berlari. Kini Rizwana sudah berada di hadapannya. Pria itu hendak meraih tangan Nada.
"Jangan sentuh ...," ucap Harits yang tiba-tiba muncul dari bayangan Nada dan mencengkeram lengan Rizwana. Topeng burung hantu terpasang di wajahnya.
"Harits ... maaf." Nada paham, malam ini Harits sibuk. Ada momen penting yang harus ia habiskan bersama dengan kekasihnya, tetapi keberadaan Harits di sini menunjukkan. Prioritas utamanya ada di Nada, bukan Sekar. "Harusnya kamu ...."
"Sekar bisa nunggu," ucap Harits. "Kamu butuh aku sekarang, kan?" Harits berpindah tatap dari Nada ke mantan sahabatnya itu. "Abis nabokin ini orang, semuanya seleai."
Rizwana tersenyum. "Ah, momen yang pas banget. Jadi sedikit nostalgia," ucapnya.
Harits menatap Rizwana dengan sorot mata yang tegas. "Malam ini juga semuanya selesai. Lu dan kelompok busuk lu itu."
"Ngomong emang gampang, tapi realitanya? Lu tau penyebab Jogja mati listrik? Sekarang emang belum semua komunikasi terputus, tapi mulai besok, enggak ada yang bisa keluar masuk Jogja." Rizwana tertawa terbahak-bahak.
Harits menatapnya dengan raut wajah yang tak bisa digambarkan. Masih terbesit beberapa kenangan manis ketika mereka bersama mengenakan almamater Simfoni Hitam.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top