54 : Sakageni

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Wira berjalan memasuki kawasan Sindu Kusuma Edupark. Ia mengenakan kaos lengan buntung berwarna merah gelap dan celana pendek hitam. Tingganya tak berbeda jauh dari Harits, meskipun Harits masih lebih chibi, tetapi ototnya jauh berbeda. Wira tak seperti Harits yang memiliki banyak luka, tubuhnya masih lebih mulus, tetapi tampak jauh mengerikan karena ukiran tato naga di lehernya.

"Mana Ettan?" tanya Wira yang menatap pria mumi sedang duduk di samping Dewi yang sudah sadar, tetapi dengan keadaan terikat.

"Jadi--ke sini buat Ettan atau Dewi?"

"Nagara Sailendra?" Wira menatapnya tajam.

Nagara menyeringai. "Senang rasanya dikenal Komandan yang pernah duduk di kursiku saat ini."

"Kau tahu aku, kan?" tanya Wira.

"Wira Sakageni, Komandan terkuat pada era awal Kencana Selatan. Si tinju api yang membakar segalanya."

"Lu punya waktu satu menit buat pergi. Gua kasih penghargaan berupa nyawa," balas Wira.

Nagara bersiul mendengar ucapan tersebut. "Jangan samakan kekuatan Kencana Selatan yang dulu dan sekarang."

Wira melakukan pemanasan. Ia merendahkan posisinya sambil menatap tajam ke arah Nagara. "Apa bedanya?" Keduanya terdiam beberapa saat. Hingga pada satu momen, Wira membuang langkah pertamanya dengan kekuatan penuh dan berlari menerjang Nagara.

Nagara bangkit dari duduknya dan bersiap bertahan. Namun, Wira cepat. Wira menghantam perut Nagara dan langsung melancarkan pukulan bertubi-tubi. Semakin lama, semakin panas tinju milik Wira, hingga mengeluarkan kepulan asap.

Wira tiba-tiba saja mundur sejenak. Bukan untuk kabur, tetapi mengambil langkah untuk pukulan yang lebih kuat. Bagaikan anak panah yang baru melesat, ia memusatkan amarahnya yang dari perut, menuju ke tinjunya.

"Agni ...." Pukulan itu menghantam ulu hati Nagara hingga terpental beberapa meter ke depan. Perban yang melilit bagian perutnya berwarna hitam hangus.

"Wira, pergi! Dia ngincer kamu!" teriak Dewi.

Wira memasang wajah datar. "Jangan teriak ke aku. Kamu ngeremehin aku?"

"Wira, tolong dengerin aku! Mereka semua bergerak. Ettan dan yang lainnya ngincer semua anak-anak Mantra!"

"Sayangnya orang-orang itu enggak lebih berharga dari kamu!" balas Wira.

"Inget tujuan mereka, Wira!"

Suara tepuk tangan membuat atensi Wira berpindah. Ia menatap Nagara yang baru saja bangkit. "Romantis, tapi saling egois."

"Belum kapok dihajar?" Wira berjalan ke arah Nagara. Perlahan langkahnya semakin cepat hingga ia berlari. Wira memusatkan lagi amarahnya pada tinjunya. Ia melesatkan pukulan lurus yang mengincar kepala kali ini.

Dengan satu tangan, Nagara membuat tinju Wira meleset. Sementara tangan yang satunya memukul rahan Wira dari bawah menggunakan telapak. Wira tersentak mundur. Ketika Wira kembali fokus ke depan, Nagara sudah melesatkan tinju terbaiknya menghantam perut Wira.

Darah mengucur dari mulut Wira. Ia sempoyongan, dan berusaha untuk tidak terjatuh. Namun, Nagara menendang kepalanya hingga Wira tersungkur di tanah.

"Rizwana masih menginginkan mu. Sebenarnya untuk apa orang lemah seperti mu? Yang cuma bisa jadi beban. Tunjukkan aku sesuatu yang membuatku berpiki bahwa Sakageni memang seganas yang dirumorkan dong."

Wira bangkit. Ia melepas bajunya dan menyisakan celana pendek hitam di tubuhnya. Ia menyisir rambutnya ke belakang menggunakan kedua tangannya. Tubuhnya berasap-asap.

"Wira, jangan!" teriak Dewi. "Jangan terpancing!"

Jika keluarga Lohia memiliki braja total yang mampu merangsang impuls syaraf penggunanya hingga melewati batas normal. Sakageni pun memiliki teknik serupa, di mana tubuh penggunanya memanipulasi suhu tubuh menggunakan atma.

Wira memejamkan matanya seraya menarik napas panjang, kemudian membuangnya sambil membuka mata kembali. "Rogo Geni ...."

"WIRAAA!"

"Jangan buang tenagamu untuk berteriak, sayang. Tunggu saja aku. Percayakan semua pada Wira Sakageni ini."  Wira paham, Nagara belum serius menghadapinya. Wira bukan tipe orang yang bisa menahan kekuatannya. Ia selalu habis-habisan dari awal, tanpa memberikan celah pada musuhnya.

Kulit Wira agak kemerahan diselimuti kepulan uap panas. Darahnya mulai mendidih. Wira mengambil ancang-ancang untuk berlari. Ia menatap tajam ke arah Nagara yang mulai berkeringat. Hawa panas dari Wira terasa hingga ke seluruh Sindu Kusuma Edupark yang kosong ini.

"Bersiaplah, Nagara Sailendra." Wira menarik napas panjang dengan mulutnya, kemudian menahannya sejenak. Suara udara yang perlahan keluar dari mulutnya terdengar lantang diikuti asap. Wira membuang langkah pertamanya, ia berlari sangat cepat, bahkan tiap langkahnya kecepatan Wira bertambah.

Ini berbeda dengan braja total yang membuat penggunanya seolah menghilang karena cepat. Wira tak secepat itu, tetapi tekanan apa ini? batin Nagara.

Sambil berlari Wira melebarkan tangan kanan ke samping sambil merenggangkan jari-jarinya. Muncul percikan api karena gesekan dengan atma di sekitarnya. Nagara juga mengambil posisi untuk menyerang, ia melesat ke arah Wira sambil mengeluarkan sebilah pisau beracun.

Nagara agak melambat ketika merasakan hawa panas yang benar-benar dahsyat. Namun, tak begitu dengan Wira yang justru semakin cepat. Ketika Wira masuk ke dalam jarak serang Nagara, pria mumi itu langsung melesatkan tusukan, tetapi Wira menangkap tangannya dengan tangan kirinya. Bunyinya seperti hotplate steak yang tersiram kuah, ketika Wira menyentuh tangan kanan Nagara. "Aaaaaaaaa!" Nagara berteriak kepanasan.

Wira merendahkan tubuhnya sambil melesatkan tangan kanannya. "Tapak Dahana." Ia menghajar perut Nagara dengan telapak tangannya. Nagara terbelalak. Serangan kali ini panasnya berbeda. Tentu saja, Wira melesat dengan tangan kanannya yang terbakar api akibat gesekan atma.

Nagara terpental cukup jauh. Perutnya juga terluka parah. Jika orang normal terkena serangan Tapak Dahana milik Wira, darahnya akan mendidih dan organ-organ dalamnya akan menjadi jeroan matang saat itu juga.

Wira tersenyum pada Dewi. "Lihat, kan?" Ia berjalan ke arah Dewi dan melepaskan ikatannya. Namun, baru saja ia bergembira. Nagara memberikan tepuk tangan dari kepulan asap yang menyelimutinya.

Wira dan Dewi terbelalak. Meskipun dengan atma, atau ilmu hitam, Tapak Dahana harusnya memberikan dampak serius pada targetnya.

"Wira, kita harus pergi," ucap Dewi.

"Pergilah, aku masih punya urusan," balas Wira.

"Wira!"

"Sakageni," celetuk Nagara. "Salah satu keluarga terkuat yang ditakuti karena kekuatannya, tapi mereka punya kelemahan yang cukup konyol." Nagara menatap tangan kanan Wira.

"Kelemahan mereka adalah kekuatan mereka sendiri." Ia tertawa terbahak-bahak menatap tangan kanan Wira yang legam hitam akibat hangus terbakar jurusnya sendiri.

Dewi khawatir bukan karena Wira lemah, tetapi rata-rata Sakageni mati akibat terbakar dirinya sendiri. Mereka tak bisa mengontrol panas yang mereka keluarkan. Karena sudah terbiasa dengan api, Sakageni seolah-olah tak merasakan sakit jika terbakar. Namun, faktanya mereka hanyalah manusia biasa yang punya batas kemampuan untuk menampung suhu panas dan dingin di dalam tubuh.

"Dewi, orang ini berbahaya. Dia enggak boleh dibiarin hidup. Kamu pergi dari sini sekarang. Ketimbang Rizwana dan Ettan, orang ini benar-benar berbeda levelnya."

"Aku enggak akan pergi dari kamu. Kalo kamu mau ngelawan, aku ikut!" Dewi berdiri sejajar dengan Wira.

"Kita putus," ucap Wira. Dewi memicingkan matanya. "Apa?"

"Jangan pernah ganggu kesenangan aku lagi." Wira menyeringai. "Pergi dasar jalang pengganggu."

Dewi terdiam ketika mendengar kalimat 'jalang' keluar dari pacarnya sendiri. Ia sudah sering mendapatkan ucapan seperti itu, karena Dewi memanglah bukan wanita baik-baik sebelum mengenal Wira. Pria itu yang memberikan cahaya pada hidupnya yang gelap, tetapi ucapan barusan membuat Dewi menitihkan air mata.

"Sakageni itu gila pertempuran, jangan halangi aku. Tujuanku bukan untuk nolongin kamu, tapi bersenang-senang dengan musuh yang kuat."

Sebuah tamparan bersarang di pipi Wira. Dewi perlahan mundur dan meninggalkan Wira dengan sesak di dadanya. Ada sebuah penyesalan di dada Wira. Namun, ia paham. Itu masih jauh lebih baik daripada membuat Dewi terluka.

"Kau tidak ingin mengejarnya?" tanya Wira.

"Tujuanku hanya membunuhmu," balas Nagara.

Wira tersenyum. "Bagus, kita selesaikan sekarang juga." Wira memasang kuda-kuda dengan satu tangannya yang masih sehat.

"Tangan kirimu bukan yang dominan, kan?" tanya Nagara.

"Satu tangan terlemah sudah lebih dari cukup!" Wira melesat ke arah Nagara, tetapi Nagara hanya diam di tempat. "Sejujurnya aku terlalu berharap lebih padamu, Wira Sakageni." Nagara melebarkan kuda-kudanya dengan tubuh rendah. "Braja total."

Wira terbelalak menatap aliran listrik yang menyelimuti Nagara. "Lohia?!" pekik Wira terkejut.

Nagara muncul di hadapan Wira. "Darani Saketi!" Ia melesatkan tinju ke perut Wira untuk membalas pukulan sebelumnya. Mata Wira membulat utuh. Ia memuntahkan darah dari mulutnya.

Darani Saketi? Tinju tanah milik Kuncoro?

Nagara melesatkan tinju ke arah bawah, tetapi tak mengenai Wira. Namun, tiba-tiba sebuah tinju tak kasat mata menghantamnya hingga terkapar di tanah.

Tangan astral Gardamewa?!

"Badama ...." Nagara mengalirkan atma ke pisau miliknya. Wira tak henti-hentinya dibuat terkejut. Ia segera berguling dan menjaga jarak dengan Nagara.

Sial! Bahkan Saksana ... siapa orang ini? Yudistira?

"Langkah bayangan." Nagra berjalan pelan mengelilingi Wira. Setiap langkahnya memiliki tempo yang teratur. Perlahan sosoknya menjadi banyak di mata Wira karena efek ilusi. Nagara melesat ke arah Wira.

Wijayakusuma?!

Darah mengalir dari bahu Wira. Nagara yang asli menusuknya dari belakang. "Pisau ini beracun," ucap Nagara sambil mundur kembali menjaga jarak. Wira menyentuh lukanya. Asap mengepul dari bagian yang ia sentuh. "Terus kenapa?" balasnya.

"Membakar luka agar racunnya melebur, ya?"

Wira menyeringai. "Sekaligus menutup pendarahannya."

"Aku sudah bosan, mari kita selesaikan ini. Setelah membunuhmu, aku akan membunuh pacarmu."

Raut wajah Wira berubah. "Sebelum itu terjadi, aku yang akan membunuhmu."

"Kau paham apa yang bisa aku lakukan, dan aku paham apa yang bisa kau lakukan. Kekuatan kita terlampau jauh," ucap Nagara. "Setelah membunuh pacarmu, aku akan membunuh keluargamu dan semua orang yang kau kenal."

"Kau pikir aku akan diam begitu saja?" Aura di sekitar Wira berubah. Nagara kembali merasakan panas yang menggerayanginya.

"Kau mau membunuh dirimu sendiri dengan aura panas ini?"

"Setidaknya kau akan ikut ke neraka." Wira melebarkan kakinya dan merendahkan posisinya. Tangan kanannya ia paksa bergerak ke depan tubuhnya, sementara tangan kirinya yang akan bersiap menjadi eksekutor.

Wira sudah terlalu banyak mengeluarkan aura dan juga menerima serangan yang kuat. Sejujurnya masih bisa berdiri pun adalah sebuah pembuktian bahwa ia kuat. Namun, semua yang ia kerahkan belum cukup untuk mengalahkan Nagara. Kini ia bencoba mengerahkan sisa-sisa tenaganya untuk satu serangan terakhir.

Kesadarannya perlahan memudar karena lelah, tetapi Wira masih berdiri dan mengumpulkan seluruh energinya pada satu titik. Ia mulai berteriak dengan tekad membara.

"Bahkan saat sekarat Sakageni masih cukup mengerikan. Aku hargai tekadmu itu. Aku juga akan bersungguh-sungguh. Braja." Nagara masuk ke dalam mode braja total, ia mengambil ancang-ancang untuk menerjang Wira.

Wira menarik napas panjang dengan mulutnya, kemudian ia keluarkan perlahan persis seperti sebelum mengeluarkan Tapak Dahana. "Bersyukurlah karena diberikan kesempatan untuk mati dengan teknik terkuat milik keluarga Sakageni."

Apa dengan ini sudah cukup? Nagara Sailendra, siapa sebenarnya kau ini? Kau terlalu berbahaya jika dibiarkan hidup ....

"Lebur Saketi ...." Wira hendak melepaskan serangan terkuat sekaligus serangan terakhirnya.

"WIRAAAAA!"

Namun, mendengar teriakan Dewi, tekadnya goyah. Dewi muncul dengan braja dan langsung memeluk tubuh Wira dari belakang. "Berhenti!"

"Dewi! Kamu bisa terbakar!" teriak Wira. Namun, Dewi tak peduli dan masih memeluk Wira. Wira menggertakkan gigi dan menarik kembali auranya. Ia membuang momen untuk melancarkan serangan terakhirnya.

Baru juga menyentuh Wira sebentar, Dewi dipenuhi luka bakar ringan. Sementara Wira, tubuhnya sudah separuh hancur dan melepuh. "Cukup, Wira ...," gumamnya lirih sambil memeluk Wira semakin erat.

"Kau membuang kesempatanmu, Sakageni." Nagara melesat dengan kecepatan penuh. "Setidaknya kalian bisa mati bersama."

Namun, sesaat ia hendak menghabisi Wira dan Dewi. Waktu seakan bergerak lambat. Sejujurya Nagara agak bingung dengan momen ini.

Perlahan Dirga muncul di tengah-tengah mereka. Topeng Sabrang dapat meniru semua kekuatan topeng lain. Ia masuk menggunakan Sewandana agar tak terlihat, kini ia membuang efek Sewandana dan menukarnya dengan Panji untuk memperlambat aliran waktu.

"Bapang." Kini Dirga meniru kemampuan Bapang. Aliran waktu kembali normal, Dirga melesatkan tangan-tangan merahnya untuk menyerang Nagara, tetapi pria mumi itu cepat. Ia bisa menghindari serangan Dirga.

Ini di luar rencana, batin Nagara.

"Kau tertipu dengan drama kami sebelumnya?" ucap Wira yang masih berusaha mempertahankan kesadarannya. "Itu adalah rencana Z, ketika kami harus menghadapi musuh yang kuat dan butuh pertolongan. Dewi adalah Lohia, dia cepat. Aku hanya perlu mengulur waktu sampai pertolongan datang." Setelah mengucapkan itu, Wira tak mampu lagi mempertahankan kesadarannya.

"Well played," ucap Dirga. "Mulai dari sini Dharma yang pegang kendali."

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top