53 : Hilang

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Hilang. Adalah perasaan di saat kita tidak lagi memiliki. Di mana keseharian yang biasanya selalu sama, kini berbeda. Cakra pergi menemani Nada, Harits jarang berada di Mantra semenjak ia memiliki pacar, dan Deva? Ke mana Deva? Senin sore ini Melodi duduk termenung seorang diri, tanpa sosok yang biasa menemaninya.

"Untung ada acara di kampus nanti, kalo enggak mah bakal bosen banget sendirian," gumam Melodi sambil menatap jam dinding. Ia memutuskan untuk berjalan naik ke atas dan bersiap-siap pergi menghadiri acara makrab bulanan fakultasnya. Namun, bukan hanya mahasiswa dari fakultasnya saja yang hadir. Biasanya mahasiswa dari fakultas lain pun ikut menikmati acara tersebut.

Tak lama berselang, Melodi turun dengan setelan sweater kuning dan celana jeans biru muda. Ia berjalan keluar, mengunci pintu, lalu segera melaju ke kampusnya.

Pada kesempatan kali ini Melodi tidak naik panggung, ia hanya penikmat saja. Mengingat di acara sebelumnya, ketika ia naik panggung, Ippo dan gerombolannya membuat ulah sehingga membuat Melodi malu.

Ah, itu orang ya. Semoga entar enggak ada ....

Sejujurnya perjalanan dari Maguwo ke Sewon cukup jauh, tetapi pada akhirnya Melodi tetap sampai di parkiran kampus dan berjalan menuju fakultasnya. Namun, hari masih sore, jadi kampus belum terlalu ramai mengingat acaranya masih nanti malam.

Melodi membaca grup chatnya, rupanya dua orang temannya gagal ikut karena urusan yang tak dapat ditinggal.

"Hih! Masa baru bilang sih? Sendirian dong aku?" gumam Melodi sambil menggembungkan pipinya. "Kenapa sih semua orang di dunia nyebelin?!"

Di tengah rasa jengkel itu, atensinya teralihkan menatap seorang gadis yang berdiri tak begitu jauh sambil menatap ke arahnya. Melodi pernah beberapa kali melihat orang itu, tetapi ia tak begitu kenal karena itu adalah teman Nada dan Deva di Bandung.

Gadis itu berjalan menghampiri Melodi sambil tersenyum ramah. "Halo," sapanya lembut pada Melodi.

"Hai," balas Melodi mencoba untuk ramah kembali.

"Mau nonton makrab juga, ya?" tanya gadis itu.

"Iya, kamu juga?" Gadis itu mengangguk sebagai balasannya.

"Nada enggak ikut?"

"Nada lagi agak sibuk. Aku ke sini gara-gara enggak ada temen aja. Oh iya, nama kamu siapa? Maaf ya, aku tau kamu temennya Nada sama Deva, tapi aku enggak tau nama kamu."

Gadis itu tersenyum. "Enggak apa-apa. Panggil aja Kirana."

"Namanya cantik, Kirana," balas Melodi.

"Kamu Melodi, kan? Nada banyak cerita tentang kamu."

"Serius?"

Kirana mengangguk. "Kita ngoobrol di sana yuk, sekalian nunggu malem." Ia menunjuk sebuah spot yang agak sepi. Melodi tak begitu mempermasalahkan itu dan berjalan menuju tempat itu bersama Kirana.

"Nada cerita apa aja?" tanya Melodi yang penasaran.

Kirana berjalan sambil tersenyum. "Dia bilang kamu cantik."

"Padahal muka kita sama, dia tuh orangnya selalu deh, insecure ...."

"Nada benci itu," sambung Kirana. "Dia benci kamu yang selalu dianggap cantik, sementara dia seakan biasa aja. Padahal wajah kalian enggak beda jauh." Melodi tertunduk diam.

"Nada juga bilang, kamu lebih disayang sama orang tua kalian karena prestasi kamu."

"Padahal ayah sama bunda enggak pilih kasih ...."

"Nada benci itu. Dia benci tatapan-tatapan orang lain yang seakan menjatuhkannya hanya karena dia enggak punya pencapaian." Kirana menghentikan langkahnya, Melodi pun ikut berhenti. Mereka saling bertatapan. "Seandainya Melodi enggak pernah ada."

"Nada enggak akan pernah ngomong kayak gitu," ucap Melodi dengan raut wajah yang agak marah.

"Kita enggak tahu apa yang orang lain ucapkan dibelakang kita. Kamu enggak akan ngerti karena kamu punya segala hal yang Nada enggak miliki. Semakin kamu bersinar, maka akan semakin redup Nada."

Melodi pun pernah berpikir seperti itu. Ia bahkan pernah sengaja turun ranking untuk membuat Nada merasa tak terlalu tertinggal jauh. Namun, pikiran itu sudah lama menghilang. Berkat Kirana, Melodi jadi mengingat kembali hal itu.

"Tapi dia sayang kamu," lanjut Kirana. "Dia bilang kamu adalah orang yang paling berharga. Mau gimana pun kamu, kamu akan jadi orang yang dia kagumi." Kalimat terakhir Kirana membuat Melodi tersenyum.

"Aku benci ... aku benci ketika dia punya sesuatu yang berharga." Kirana mengarahkan tangannya ke Melodi. "Aku benci tatapan Kevin di hari itu, ketika aku enggak sengaja ngelukain Nada. Aku benci Nada yang enggak bisa apa-apa itu, ngerebut perhatian Kevin dari aku."

Ini orang ngomong apa sih? batin Melodi.

"Kamu enggak apa-apa?" tanya Melodi yang agak canggung.

Kirana menyeringai. "Aku akan rebut segala hal yang Nada anggap berharga. Pertama, aku akan rebut kamu dari dia." Suasana yang sepi membuat Kirana terlihat agak menyeramkan di mata Melodi, ia berjalan mundur.

"MATI!" Kirana mengarahkan tangannya ke tembok yang berada di sisi kirinya. Melodi terhempas ke dinding hingga kepalanya membentur dinding dan berdarah.

Kirana Bhayangkari. Salah satu anggota Tantra yang memiliki kemampuan Telekinesis itu kini menjadi antek Rizwana.

Telekinesis sendiri adalah sebuah kemampuan yang bisa memanipulasi sebuah objek fisik dengan pikiran semata. Seorang telekinesis bisa memanipulasi benda maupun tubuh dari jarak jauh tanpa harus menyentuhnya.

Kirana mengarahkan tangannya kembali dan membuat Melodi menempel di dinding karena tekanannya. Kini mereka berhadapan. Kirana menampar Melodi. "Wajah kalian persis, aku benci." Ia tertawa seperti orang gila. "Kalian punya mata yang indah, wajah yang cantik, tubuh yang bagus. Bikin perempuan lain iri aja." Kirana kembali menampar Melodi hingga menangis. Melihat Melodi menangis, Kirana semakin tertawa.

Kirana berjalan agak menjauh, sementara Melodi masih menempel di dinding dan tak bisa menggerakkan tubuhnya. Kirana mengeluarkan pisau dari dalam tasnya. Pisau itu kini melayang atas kehendaknya dan mengacung pada Melodi. "Bagian mana dulu, ya? Oh iya, hampir aja lupa." Kirana berjalan mendekat kembali dan menutup mulut Melodi dengan lakban, lalu kembali berjalan menjauh.

Melodi menatap pisau yang melayang sambil mengacung padanya. Pisau itu melesat hingga menusuk bahu kirinya. Ingin rasanya menjerit, tetapi ia tak bisa. Kirana semakin tertawa melihat mata Melodi yang membulat utuh sambil menangis. Dicabutnya pisau itu dengan telekinesis dan melayang kembali. Kini pisau itu mengacung ke dada dan leher Melodi secara bergantian. "Jantung atau kepala?" tanya Kirana. "Aku lupa, kamu enggak bisa ngomong."

Melodi merupakan hemophobia, atau orang yang memiliki phobia terhadap darah. Melihat darah yang cukup banyak mengucur, tubuhnya semakin lemas. Apa lagi darah itu adalah darahnya sendiri. Melodi pingsan karena rasa takutnya.

"Cih, enggak asik," tutur Kirana dengan wajah datar.

"Pergi sekarang juga, atau ku bunuh." Suara berat itu membuat Kirana menoleh. Seorang pria dengan kaos putih lengan panjang yang digulung hingga sikut, dibalut rompi hitam berdiri tak jauh di belakangnya.

Kirana tersenyum asimetris, ia kembali menatap Melodi dan langsung melesatkan pisaunya. Namun, pisau itu terhenti tepat di depan wajah Melodi. Hal itu membuat Kirana semakin berusaha keras untuk menggerakkan pisaunya, tetapi masih saja tak bisa.

Pisau itu berbalik arah mengacung pada Kirana. Dalam waktu singkat, pisau itu melesat hingga menggores pipi gadis itu. "Ini kesempatan terakhir. Pergi, atau ku bunuh. Hari ini aku benar-benar marah." Pria itu penuh dengan tatapan murka.

Kirana meneguk ludah, tetapi ia masih berusaha. Dari dalam tasnya berterbangan benda-benda tajam dan langsung mengarah pada Melodi. "Coba aja. Kita lihat, siapa yang lebih cepat membunuh siapa."

Seketika itu juga aura di sekitar kampus ISI berubah. Ippo, pria itu melepaskan atma dengan niat membunuh.

***

"Gila! Reki enggak ada obat kalo main PES. Semua orang kalah," ucap salah seorang teman Ippo yang sedang bermain PES bersama Reki.

Reki terkekeh, tetapi tiba-tiba raut wajahnya berubah secara mendadak. Ia langsung bangkit dan berlari keluar kamarnya yang menjadi basecamp gerombolan.

"Woy, Rek! Mau ke mana lu?! Belum kelar ini!"

Reki berlari, bulu kuduknya merinding merasakan aura yang mematikan, ia paham aura milik siapa ini.

Ippo!

Jarak kosan Reki dengan kampus tak begitu jauh. Hanya berkisar lima menit. Reki yang baru saja sampai di tempat aura itu dilepaskan, kini menatap Ippo yang sedang membopong Melodi.

"Ippo!"

Ippo menoleh ke arah Reki. "Tolong jaga Alunan." Ippo meletakkan Melodi di kursi taman. Ia sudah memberikan pertolongan pertama dengan menutup luka Melodi menggunakan robekan kaos putinya yang dirobek. "Luka di bahunya cukup parah, kepalanya juga kena benturan. Pendarahannya udah berhenti, tapi jaga-jaga aja, bawa ke kelinik terdekat."

"Lu mau ke mana?" tanya Reki.

Ippo tak menjawab, ia berjalan pergi, tetapi Reki menariknya. "Gua tau pikiran lu, tapi lu harus tenang. Jangan gegabah, mungkin ini pancingan."

"Apa salah Alunan? Sampe dia nerima perlakuan kayak gini?" ucap Ippo lirih. Matanya berkaca-kaca seperti gumpalan kristal. "Apa dia orang jahat? Apa dia pembunuh? Apa dia pencuri? Jawabannya NO!" ucap Ippo dengan tekanan di kata terakhirnya.

"Ia, gua paham, tapi sekarang bukan waktunya. Lu mau apa? Nyari Kencana Selatan dan langsung face to face gitu?" Reki mencengkeram bahu Ippo. Ippo memejamkan matanya sambil menghela napas. "Kalo gua enggak inget lu, Rek, udah gua bunuh jalang tadi. Gua anti banget nyakitin wanita, tapi khusus yang tadi itu pengecualian. Kalo sampe dia berani nyentuh Alunan lagi, pertemuan berikutnya bakal gua bikin cacat dia."

"Terserah. Yang jelas lu tenang dulu ya. Kontrol emosi lu."

"Yaudah, lu jagain Alunan ya. Gua enggak akan bertindak ceroboh kok. Alunan cuma enggak mau lihat gua. Jangan sampe, begitu dia siuman, yang perama dia liat itu gua. Yang ada, malah mood nya jelek." Ippo berjalan dengan kaos lengan panjang yang sebelah kanannya robek hingga menjadi lengan buntung. Ia memasukkan kedua tanganyna ke dalam kantong celana. "Aaaaa ... berengsek."

Reki menatap Ippo yang berjalan menjauh. Kemudian Reki berjalan ke arah Melodi dan membawanya ke UKS, berharap masih ada seseorang di sana yang bisa mengobati Melodi dengan benar.

***

Di sisi lain Dewi sedang berjalan menuju kosannya, ia baru saja selesai perkuliahan sore ini. Namun, rasa-rasanya jalanan hari ini begitu sepi. Dewi melihat seorang pria yang sedang merokok. Ia mengenakan topi dan agak membelakanginya.

Tak lama setelah melewati orang itu, lengannya disentuh. "Hai cantik," goda pria barusan.

Sore ini Dewi mengenakan kaos putih ditutupin cardigan biru tipis. Ia juga mengenakan celana jeans hitam panjang. Padahal hari ini dandanan gue tertutup, masih aja ada yang sembarangan, heran ...

Tangan itu merembet dari lengan hingga menggenggam tangannya. Dewi berbalik arah dan menampar pria itu hingga topinya terlempar. Namun, matanya terbelalak menatap pria tersebut.

"Ettan ...."

"Masih galak ya, enggak berubah," ucap Ettan sambil tersenyum. Ia mencengkeram tangan Dewi, lalu menariknya. Dengan tangan satunya, Ettan meninju perut gadis itu hingga mengeluarkan makan siangnya. Pukulan Ettan keras, sehingga langsung mebuat Dewi terdiam sejenak. Ettan kembali memukul tengkuk Dewi hingga membuat gadis itu hilang kesadarannya.

Ettan merogoh kantong-kantong pakaian Dewi dan menemukan ponselnya. Dengan jari tangan Dewi, ia membuka kuncian layar dan menelpon Wira.

Wira mengangkat panggilan itu. "Halo sayang, kenapa?"

Etttan tersenyum. "Sindu Kusuma Edupark," ucap Ettan. "Gua tunggu, ya."

"Ettan, bangsat!"

Ettan menjauhkan ponsel Dewi dari telinganya dan mematikan panggilan itu. "Berisik." Ia membopong Dewi yang tak sadarkan diri dan membawanya pergi.

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top