52 : Diikuti
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
"Liburan sebentar lagi kan? Kamu mau pulang ke Bandung?" tanya Dirga.
"Aku butuh liburan, tapi sekarang bukan waktu yang tepat," balas Deva.
Mereka berdua baru saja selesai latihan dan duduk-duduk di teras rumah dinas Dirga. Deva perlahan mulai bisa mengoptimalkan prekognisionnya secara sadar. "Mandi di sini aja, sekalian abis itu kita makan malem bareng. Udah lama ayah enggak keluar sama kamu."
Deva tersenyum. "Iya, mumpung aku juga lagi off." Ia beranjak dari duduknya dan mengambil handuk di dalam tas, lalu berjalan masuk ke dalam rumah.
Di dalam rumah itu ada dua orang anak kecil yang sedang duduk di kursi. Yang satu seorang gadis kecil dengan warna mata yang berbeda. Matanya berwarna cokelat dan yang satunya biru. Juga seorang anak laki-laki yang lebih besar, tetapi tak begitu jauh usianya dari si gadis bermata unik itu. Anak laki-laki dengan sorot mata dingin yang memancarkan aura misterius. Anak laki-laki ini mengenakan buff berwarna hitam dengan gambar tengkorak.
"Itu anak-anaknya Bayu," ucap Dirga yang juga ikut masuk ke dalam. "Bisa dibilang adik-adiknya Jaya."
"Serius?" Deva memicingkan matanya menatap Dirga. Sementara Dirga membalasnya dengan anggukan kepala. "Kok pada di sini?"
"Ceritanya panjang, nanti ayah ceritain di jalan."
Deva yang penasaran langsung berjalan ke kamar mandi, meninggalkan Dirga dan dua anak itu di ruang tengah. Petrus, anak laki-laki itu terus menatap Deva hingga menghilang dari pandangannya.
***
Deva kini duduk di kursi depan, menemani Dirga yang tengah menyetir. Petrus dan Isabel duduk di kursi tengah.
"Jadi kenapa mereka di sini?" tanya Deva.
"Kamu pernah denger tentang kelompok Peti hitam?"
"Pernah, dan lagi--Jaya ...."
"Ya, Bayu adalah satu-satunya anggota Peti Hitam yang tersisa. Dia merawat anak-anak yang dibuang ke hutan oleh orang tuanya. Anak-anak yang enggak pernah diharapkan lahir di dunia ini oleh orang tua mereka."
Deva mengingat sosok Jaya yang seperti tak memiliki beban hidup ketika menjadi barista di Mantra. Siapa yang sangka, ada beban berat yang ia pikul di balik senyumnya.
"Bayu tinggal di Hutan Larangan, dia jagain sisa-sisa topeng yang dulunya digunakan oleh Dasamuka keluarga Martawangsa. Bayu membesarkan anak-anak ini menjadi mesin pembunuh, tapi bukan serta merta untuk membunuh secara harfiah. Mereka ini menjadi anggota Peti Hitam baru yang dibentuk secara kekeluargaan, dengan Bayu sebagai ayahnya." Dirga menatap dua anak kecil di belakangnya lewat kaca depan. "Alasan mereka berdua di sini karena tinggal mereka berdua dan juga Jaya yang tersisa. Anak Bayu yang lain terbunuh."
Tentu saja Deva terkejut mendengar itu semua. "Terus om Bayu ke mana?"
"Dia dari pagi sampai ketemu pagi terus nyari Kencana Selatan. Ayah dan yang lain enggak bisa hentiin dia. Bayu kalo udah punya tujuan, dia akan lawan siapa pun yang ngehalangin dia buat mencapai tujuannya."
Dirga berhenti di sebuah mall kecil yang tak jauh dari UGM. Mereka berempat berjalan masuk ke dalam mall dan menuju rooftop.
Deva menatap Isabel yang ketakutan, ini pertama kalinya anak perempuan itu masuk ke dalam mall. Isabel terus memegangi Petrus. Deva menggandeng tangan Isabel sambil tersenyum. "Jangan takut," tuturnya lemah lembut. Perlahan Isabel melepaskan Petrus dan berjalan bergandengan dengan Deva yang penuh kehangatan. Anak perempuan itu terus menatap Deva yang terkesan ramah.
"Kita makan di rooftop, ada resto enak dulu. Mudah-mudahan masih ada," ucap Dirga.
Hari ini pertama kalinya untuk kedua anak ini masuk ke dalam lift. Ketika lift bergerak, mereka sangat ketakutan, tetapi Petrus berusaha untuk tetap tenang. Hanya saja ia gemetar.
Sesampainya di atas, ada sebuah resto yang cukup mewah. Di tempat ini menyajikan aneka steak dan pasta. Dirga mengajak anak-anak pedalaman ini untuk mencicipi makanan yang tak pernah mereka rasakan sebelumnya.
Isabel benar-benar menyukai steak, ia bahkan menatap daging milik Petrus dan berharap sosok kakaknya itu membaginya, tetapi Dirga yang sadar akan hal itu langsung memesan porsi tambahan untuk Isabel.
"Kamu mau nambah juga?" tanya Dirga pada Petrus. Petrus hanya mengangguk sebagai jawaban. Dirga tersenyum.
Ini mirip Tama kecil. Ganteng, dingin, pendiem, tapi rakus.
"Mbak, steaknya satu lagi," ucap Dirga pada pelayan.
"Nanti aku pulang sendiri aja, aku mau mampir dulu," ucap Deva.
"Mampir ke mana?" tanya Dirga.
"Rahasia." Deva tersenyum sambil menghabisi makanannya.
***
Belakangan ini kafe agak sepi, mungkin karena beberapa kampus sudah mulai libur semester. Harits baru saja masuk ke dalam kafe, dengan si Kerdil yang sedang duduk di kepalanya.
"Harits katanya tadi mau belanja stok mie instan, kok pulang enggak bawa apa-apa?" tanya Nada.
"Oh iya! Belanjaannya ketinggalan!" Harits menurunkan Kerdil dan langsung berlari menuju indobaret tempatnya meninggalkan belanjaan.
"Itu mantan kamu aneh banget, masa belanja tapi belanjaannya enggak dibawa? Terus dia ngapain dong? Mecahin uang doang?" tanya Melodi.
"Bukan mantan! Sembarangan ya kamu dasar jomblo baru," balas Nada.
"Kamu sama Harits kan nempel mulu sebelum ke pantai itu. Orang yang liat pun ngiranya pacaran. Iya enggak, Cak?"
Cakra menoleh ketika mendengar namanya dipanggil. "Enggak juga sih ...."
Melodi tersenyum asimetris. "Masa sih?"
"Enggak tahu, enggak terlalu merhatiin."
"Melo, anak orang jangan diiterogasi!"
Melodi menatap Nada. "Iya deh, yang pacar barunya enggak boleh digangguin."
Nada menatap Cakra, begitu pun sebaliknya, lalu mereka menatap Melodi. "Putus bikin gila, ya?" ucap mereka bersamaan.
Melodi berdecak kesal, ia pergi meninggalkan Cakra dan Nada berdua. Nada menatap Cakra, pria itu belakangan ini sering melamun. "Cakra, kamu enggak apa-apa?"
Cakra menoleh ke arah Nada. "Aku? Enggak apa-apa. Kenapa?"
"Kamu sering ngelamun," balas Nada. "Kamu udah sering jadi pendengar aku, kalo kamu butuh pendengar bilang ya, aku temenin kamu ngehabisin cerita kamu."
Cakra menatap toples-toples kopi. "Sejujurnya aku jenuh, Nada."
"Jenuh kenapa?"
"Kalian punya kesibukan, aktivitas. Sementara aku enggak. Aku cuma merasa sendirian aja, mungkin karena waktu kalian kuliah, aku sering jalan-jalan sendirian buat ngebunuh sepi."
"Nanti juga kamu bakal punya kesibukan kok, kan sekarang belum kuliah, jadi masih banyak waktu kosong."
"Aku tau kok, cuma belakangan ini aku sering overthinking aja."
"Mau jalan-jalan?" Ajak Nada.
"Ke mana?"
"Ke indongarep yuk, beli es krim!"
"Kamu suka banget es krim ya?"
"Abis jajan es krim, mau beli kebab di depan indongarep!"
Cakra tersenyum. "Yaudah ayo, mumpung kafe lagi sepi." Nada melepas apronnya dan berjalan keluar diikuti Cakra.
"Kita bertiga doang nih?" gerutu Melodi pada mas Abet dan Fenri.
"Enggak apa-apa, mumpung lagi sepi," balas Abet tak memusingkan hal itu.
***
Harits berdiri di depan ingongarep sambil menenteng plastik belanjannya. Ia menghela napas lega karena mbak-mbak penjaga kasir masih menyimpan belanjaannya.
"Padahal masih muda."
Harits menoleh ke arah pria yang meledeknya. Ia memicingkan matanya, wajahnya terlihat familiar. Seorang pria dengan rambut samping agak tipis, dan atas yang masih agak panjang. Gaya rambutnya mirip Cakra, hanya saja lebih pendek.
Siapa nih orang?
"Lu kenapa kayak orang ling-lung?" ucapnya pada Harits.
Harits menoleh ke sekelilingnya, ia tak menemukan siapa pun selain mereka berdua.
"Gua ngomong sama lu, boncil. Lu pikir gua ngomong sama siapa lagi?"
Harits terdiam dan masih memperhatikan pria itu. Hingga pada satu titik ia terbelalak menyadari siapa orang itu.
"DRONG! RAMBUT LU ILANG?" Harits mengacak-ngacak rambut pria itu. Pria itu adalah Deva yang muncul dengan tampilan baru.
"Lu enggak ngenalin gua?"
"Terakhir lu begini pas masih kecil dulu, enggak nyadarlah gua. Kenapa lu cukur? Kena razia?"
Deva terkekeh. "Ini simbolis aja sih, kalo gua bukan orang yang sama kayak Deva yang kemarin. Gua mau lebih bebas mengekspresikan diri aja. Inget Nada waktu awal-awal rambutnya jadi pendek? Gua sekarang paham rasanya."
Harits dan Deva berjalan bersama menuju Mantra. "Lu jalan kaki, drong?"
"Barusan dianter bokap ke barbershop, terus dari barbershop gua jalan kaki. Kebetulan ke indongarep dulu mau beli sesuatu dan kebetulan lagi ada lu yang nyariin belanjaan yang ketinggalan."
"Tumben-tumbenan tuan muda jalan kaki," balas Harits.
Deva hanya tersenyum sambil menatap langit. Ia mengingat masa-masa kecilnya bersama harits.
"Udah lama ya, kita enggak jalan begini berdua," ucap Deva. "Gimana perasaan lu dihajar abis-abisan sama Jaya?"
"Jaya, Rizwana ... orang-orang yang gua anggap keluarga malah nabokin gua," balas Harits.
"Bakal diem aja tuh?"
"Nyahaha mana mungkin. Gua enggak suka berhutang budi, pasti bakal gua bales."
"Gua yang bakal ngehajar Jaya, bukan lu," ucap Deva.
Harits menatapnya tak suka. "Lu?"
"Ya, gua."
"Nyahahaha! Tugas lu itu belajar, dan jadi anak baik, Dev."
"Dan lu yang ngerjain semua pekerjaan kotornya?" tanya Deva. "Enggak! Gua enggak akan biarin lu mati konyol sih."
"Mati konyol?" Harits memicingkan matanya.
Deva terkekeh melihat raut wajah Harits. "Weekend sibuk enggak lu?"
"Weekend? Pacar gua ulang tahun, niat mau ngerayain berdua sih. Kenapa?"
"Enggak. Nanti aja deh kalo lu senggang," ucap Deva sambil tersenyum getir.
***
Di sisi lain Cakra dan Nada berjalan ke arah indongarep. Mereka berdua melihat Harits yang sedang berbincang dengan seorang pria asing.
"Harits punya temen baru?" tanya Cakra.
"Enggak tahu, mungkin dia cari masalah sama orang kali. Nah, itu orangnya jalan bareng sama dia karena lagi marah-marah," balas Nada.
Mereka banyak berbincang hingga tak sadar, setiap langkah menuntun mereka hingga ke indongarep. Nada berjalan masuk dan langsung berlari ke tempat es krim, sementara Cakra berjalan santai menyusulnya.
"Aku mau yang ini, yang ini, yang ini, yang ini juga, sama yang ini."
"Pake keranjangnya dong." Cakra memberikan Nada keranjang merah untuk meletakkan belanjaan.
"Hehehe terimakasih Cakra."
Dua ibu-ibu berjalan melewati Cakra dan Nada. "Pasutri baru tuh pasti."
"Iya, mana masih mesra-mesranya."
Cakra dan Nada terdiam dengan wajah memerah. "Ayo, Cakra kita beli kebab aja." Nada menuntun Cakra menuju kasir. Cakra hanya mengikuti Nada. Setelah bayar, mereka keluar dan membeli kebab.
"Aku malu masa gara-gara kita diomongin," ucap Nada.
"Hahaha anggap aja angin lalu."
"Bahasanya makin luas ya kamu?"
"Sedikit-sedikit belajar," balas Cakra sambil tertawa.
"Oh iya, kamu enggak jajan sama sekali?" Nada baru menyadari bahwa Cakra tidak membeli apa pun dan hanya menemani Nada saja.
"Enggak. Nemenin kamu udah jadi jajanan tersendiri yang harganya enggak terbayar buat aku," ucap Cakra tersenyum.
"Jangan merasa sendirian lagi ya, Cakra. Ada aku sama yang lain. Kita keluaga, kan?"
"Iya, terimakasih ya, Nada."
Cakra tiba-tiba saja merasakan hawa keberadaan yang membuatnya tak nyaman, ia memperhatikan sekelilingnya.
"Kenapa Cakra?" tanya Nada yang sudah memegang kebabnya.
"Enggak kenapa-kenapa kok. Yuk, pulang, aku ada urusan mendadak nih." Cakra menggandeng Nada, ia berjalan agak cepat sambil tangan satunya menenteng plastik belanjaan Nada.
"Cakra, kamu buru-buru banget?"
"Iya," jawab Cakra dengan nada yang berat, ia tampak berkeringat.
Nada mendekatkan diri dan mencekeram jaket Cakra. Ia sadar, Cakra takut akan sesuatu. Namun, Nada memilih diam dan berjalan berdampingan sejajar dengan Cakra.
Gemerincing lonceng di pintu berbunyi, Cakra dan Nada menajdi sorotan utama anak-anak yang lain. Harits membuang tatap, ada secuil rasa cemburu di hatinya melihat gandengan itu.
"Cieee!" ledek Melodi.
Cakra tak peduli, ia menatap keluar jendela, tetapi tak ada siapa pun di sana.
"Cak, kamu kenapa?" tanya Abet.
"Cuma perasaan saya aja, tapi kayak ada yang ngikutin saya sama Nada dari swalayan, dan auranya jahat."
Deva dan Harits beradu tatap. Mereka berdua sadar, Kencana Selatan mulai bergerak.
Cakra menatap Nada. "Mulai sekarang aku akan ngikutin kamu ke mana pun. Bahkan ketika kamu ngampus, aku akan tunggu di luar kelas." Cakra menoleh ke seluruh anggota. "Mulai sekarang, jangan biarin Nada sendirian."
"Nad, liburan ini kita harus pulang ke rumah deh," ucap Melodi yang ketakutan. "Aku jadi takut banget."
"Ini sebenernya ada apa sih?" tanya Fenri yang tidak tahu apa-apa perihal masalah ini.
"Kalo Kencana Selatan berani nerobos ke sini, itu bisa bahaya." Harits mengambil ponselnya dan memanggil Wira. Ia sadar, tanpa bukunya kemampuannya berkurang separuh.
Gemerincing lonceng dipintu berbunyi, semua menatap ke arah pintu. Seorang pria bertopeng masuk ke dalam, ia membawa sebuah tas stick baseball di punggungnya.
"Itu temennya Ippo, kan?"
"Reki?" Melodi menerka-nerka siapa orang itu. Dari perawakannya orang itu seperti Reki.
"Chandra nurunin perintah, aku harus jagain Nada," ucapnya menatap Nada.
"Chandra?" Harits mengerutkan dahinya.
"Orang ini Katarsis, salah satu pilar Yudistira dari keluarga Saksana," timpal Deva.
"Dalam waktu dekat Jogja akan jadi medan tempur, bersiaplah," ucap pria bertopeng.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top