50 : Problema
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Udara hari ini begitu sejuk, Deva berhenti dari joggingnya dan duduk di pinggir jalan meminum botolan yang ia bawa. Sudah terhitung satu minggu semenjak ia dan Harits dihajar Jaya untuk yang kedua kalinya. Mereka mulai paham, ada jarak yang begitu jauh terbentang antara mereka dengan Jaya. Deva menatap jam tangan miliknya. Sepertinya sudah waktunya ia pulang untuk bersiap-siap menjemput Melodi siang ini.
Selain jaraknya dengan Jaya, Deva juga sering bertengkar dengan Melodi. Di satu sisi Deva yang mudah cemburu dan di sisi lain Melodi yang merasa Deva akhir-akhir ini sering menghilang dan kurang perhatian.
Sebuah pesan masuk dari Dirga. Beberapa hari lalu Deva memohon untuk dilatih oleh ayahnya. Dirga tak pernah setuju dengan hal itu tadinya. Sejak kecil ia tak membiarkan Deva untuk mengenal dunianya. Dirga hanya ingin Deva tumbuh menjadi anak yang normal dengan segala prestasinya. Namun, situasi saat ini membuat Dirga mau tidak mau harus membekali Deva.
"Peraturan pertama, urgensikan panggilan Ayah." Begitulah syarat sederhana dari Dirga yang rupanya tak sesederhana itu.
***
Di sisi lain Melodi masih duduk menunggu Deva. Sudah hampir dua jam ia menunggu Deva yang lagi-lagi menghilang tanpa kabar.
Ippo tak sengaja menangkap Melodi dengan matanya. Ia menyuruh Reki untuk pergi, sementara ia berjalan ke arah Melodi. "Halo, Alunan," sapanya dengan senyum lebar.
Melodi menoleh ke arah Ippo. "Oh, hay," sapanya balik.
"Boleh aku duduk di sini?"
Melodi menatap kursi panjang yang masih kosong itu. Ia hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Lagi ngapain sendirian di sini?" tanya Ippo.
"Nunggu dijemput pacar," jawab Melodi seadanya.
"Aaaaaa ... gitu ya." Ippo menggaruk keningnya sambil tersenyum. "Gimana kalo kamu bilang pacar kamu, dia enggak usah jemput."
"Terus aku jalan kaki?"
Ippo menunjuk dirinya sendiri. "Aku anterin."
"Mending jalan kaki," balas Melodi ketus.
Tak ada kata yang terucap di antara mereka. Melodi diam-diam melirik ke arah Ippo. Ini orang sebenernya ngapain sih?
"Kamu ngapain sih sebenernya?" tanya Melodi yang mulai penasaran.
"Nunggu kamu yang lagi nunggu pacar kamu yang lupa kalo kamu nungguin dia," jawab Ippo tersenyum.
"Buang-buang waktu aja, emangnya kamu enggak ada kegiatan lain?"
"Ada," jawab Ippo.
"Yaudah tinggalin aja sih, ngapain juga malah nungguin orang yang lagi nungguin pacarnya yang lupa kalo lagi ditungguin pacarnya?"
"Tatapan kamu, Alunan ... bukan tatapan orang yang suka sendirian."
Gelagar petir membuat mereka berdua menoleh ke langit. "Ih! Deva lama baget, keburu ujan," gerutu Melodi. "Kamu juga kalo ada kegiatan ya sana, enggak usah ngurusin orang!" Ippo terkena semprotannya.
"Kalo kamu marah, apa yang pacar kamu lakuin?" tanya Ippo.
"Ya minta maaf lah!"
"Seandainya aku punya pacar yang marah, aku akan biarin dia marah sampe marahnya abis. Setelah itu baru aku minta maaf dan janji enggak akan ngulangin lagi kesalahan yang buat dia marah."
"Emang pernah pacaran?" tanya Melodi.
"Aaaaa ... belum sih."
"Enggak usah sok romantis kalo gitu! Kamu itu terkenal di ISI. Ippo, si tukang godain cewek. Enggak usah sok-sokan."
Ippo hanya tersenyum mendengar itu. "Apa lagi yang kamu denger?"
"Tukang cari gara-gara! Tukang gangguin mahasiswa lain! Suka tebar pesona!"
"Udah?" tanya Ippo. Ia menghela napas. "Aku juga suka denger tentang kamu. Kamu itu selebgram, musisi, anak artis, cantik, populer."
Itu bukan kali pertama Melodi mendengar pujian seperti itu.
"Tapi aku enggak pernah denger kalo kamu itu galak," sambung Ippo. "Orang lain berkata dengan apa yang mereka lihat dan mereka mau. Dan yang enggak mereka lihat, mereka enggak tahu."
Ippo beranjak dari duduknya. "Hati-hati dijalan ya, Alunan." Ia berjalan pergi.
"Apa sih? Enggak jelas!"
Suara klakson motor membuat Melodi menoleh. Deva baru saja tiba. Ippo, pria itu beranjak sebelum Deva muncul, entah bagaimana caranya ia tahu bahwa Deva sudah hampir sampai tadi. Namun, sosoknya masih tertangkap oleh Deva.
Melodi berjalan ke arah Deva dan mengambil helm miliknya, lalu naik ke atas motor. "Lama banget!" ucap Melodi.
"Biar kamu punya waktu sama si Ippo," balas Deva ketus.
"Bukannya minta maaf karena telat jemput. Mana hampir dua jam aku nunggu."
"Bukannya selama nunggu, kamu ada yang nemenin? Bukannya seneng?" balas Deva.
"Kamu ke mana sih tadi?! Kok ngilang gitu aja?"
"Bukan urusan kamu."
"Bukan urusan aku?" Melodi memicingkan matanya. "Itu urusan aku! Aku nungguin kamu!"
"Ngobrolin apa aja sama Ippo?"
"Dev, cukup. Ippo itu tiba-tiba muncul, dan dia juga belum lama di situ, paling sepuluh menitan doang. Dia nawarin aku buat pulang bareng, tapi aku enggak mau. Aku mau nungguin kamu."
"Aku lagi banyak masalah, jangan bikin masalahku nambah."
"Jadi aku cuma buat masalah aja dalam hidup kamu?"
"Bukan gitu, aku cuma ...."
"Mau kamu apa sih sebenernya, Deva? Kamu kok makin ke sini makin berubah sih. Dulu enggak gini." Melodi menghela napas. "Kayaknya kita udahan aja deh."
"Melo ...." Deva menghentikan laju motornya. "Iya, aku salah. Maaf, tapi enggak gitu caranya."
"Kamu harus tau, Dev. Aku capek dicemburuin terus seakan kamu enggak percaya sama aku."
"Aku percaya sama kamu, tapi cemburu itu beda. Bukan karena enggak percaya, tapi karena aku enggak suka liat kamu bareng cowok lain yang di mana dia suka sama kamu."
"Ya terus gimana? Aku enggak bisa ngelarang mereka buat suka, kan? Ippo juga sering aku usir, tapi enggak mau pergi." Melodi menghela napas. "Dev, kita harus udahan. Seenggaknya biar kamu paham deh, kalo aku enggak ke mana-mana dan enggak suka sama siapa-siapa selain kamu."
"Alesan putus model baru?"
"Abisnya kamu enggak akan ngerti deh sebelum jauh dari aku."
"Halah, bilang aja ada cowok lain, kan?"
"Tuh, kan! Kamu tuh enggak percaya sama aku, Dev!"
"Ya kamu tiba-tiba ngajak putus."
Tingkat marah tertinggi Melodi adalah diam. Ketika ia bersifat seperti Nada yang pendiam, disitulah problem terbesarnya. Melodi diam tak berbicara sampai mereka berdua tiba di Mantra. Melodi turun dari motor dan langsung berjalan naik ke atas tanpa menyapa Nada dan Cakra yang sedang duduk berdua.
"Melodi kenapa tuh?" tanya Cakra yang menyadari bahwa ada yang tidak beres.
"Enggak tau, mungkin capek kali," balas Nada.
Deva masuk ke dalam kafe, ia pun langsung naik ke atas tanpa menyapa Nada dan Cakra. "Tuh, kayaknya ada yang enggak beres," lanjut Cakra.
"Terus kita harus gimana, Cakra?"
"Hmm ... nanti juga akur lagi kali. Mereka kan sering begitu."
"Iya sih, tapi ini kayaknya udah next level deh," balas Nada.
Gemerincing lonceng di pintu membuat Cakra dan Nada menoleh. Fenri baru saja datang untuk membantu proses opening toko. "Pada ngobrolin apa nih?"
"Biasa, lagi gosip," jawab Cakra sambil terkekeh.
"Pada ke mana? Kok tumben sepi."
"Deva sama Melodi baru aja pulang, mereka lagi di atas. Kalo Harits lagi nongkrong sama Wira di kampus." Cakra beranjak dari duduknya. "Yok, semangat yok beberes!" Mereka bertiga mulai prepare toko.
***
Di sisi lain, Harits sedang duduk bermeditasi. Wira dan Dewi berada di dekatnya.
"Harits enggak apa-apa?" tanya Dewi.
"Entah, dia cuma frustasi."
"Tapi apa enggak apa-apa kamu ngajarin dia teknik keluarga Sakageni? Pertama enggak semua orang bisa, kedua, teknik agni itu beresiko buat penggunanya juga."
"Dia dateng sampe memohon. Harits itu nurunin harga dirinya buat hal ini, dia frustasi berat. Ya, kalo dia mau coba silakan aja, toh Harits bukan orang jahat."
"Aku takut kalo dia sama Jaya ketemu lagi dan ...."
"Jangan mikir kalo mereka itu mirip aku sama Ettan. Dari kasus tempo hari, kita tahu bahwa yang Jaya incar itu adalah Kencana Selatan. Sama halnya dengan tujuan Harits, mereka cuma beda jalan aja buat sampai di tujuan yang sama." Wira menatap Dewi. "Kamu khwatir sama Jaya?" Dewi hanya menggeleng merespon pertanyaan Wira.
"Aku tahu, dia beberapa kali main ke kosan kamu. Kamu juga waktu itu teriak ketika aku sama Jaya berhadapan, seakan tau kalo dia berbahaya."
"Aku kasihan sama dia, Wira. Di dalam kengerian itu, ada kesedihan."
"Ya, mudah-mudahan ini semua cepat berlalu. Kita pun ikut andil dalam perang ini. Enggak lama lagi perang ini akan sampai pada puncaknya, kita butuh rekan yang kuat. Aku akan ngajarin Harits segala yang aku bisa."
Wira berjalan ke arah Harits. "Rasakan energi panas dalam diri lu. Pisahkan amarah yang ada, jadiin itu bahan energi. Ketika lu udah bisa ngontrol itu semua, tinggal gimana caranya lu musatin panas itu ke tinju lu."
Harits membuka matanya dan beranjak dari duduknya. Ia menatap samsak tinju yang berada di depannya. Ada sebuah noda sebesar kepalan tangan di sana. Sebenarnya itu bukan noda, tetapi bekas pukulan Wira dengan agninya. "Pukulan dari agni itu membekas, dia panas," lanjut Wira.
Hartis memusatkan amarah yang kian menumpuk itu ke dalam kepalan tangannya. Sorot matanya tajam menatap ke arah samsak. "Agni." Harits melesatkan pukulan lurus, meninju samsak tersebuk.
***
Mungkin karena hujan, jalanan agak sepi hari ini. Harits baru saja sampai di Mantra tepat ketika adzan maghrib berkumandang. Gemerincing lonceng berbunyi ketika ia masuk ke dalam kafe. Bertepatan dengan itu, Melodi juga baru turun dari atas. Tak seperti biasanya yang langsung menempel pada Deva, kini Melodi membaur bersama Nada. Harits tak ambil pusing, ia hendak berjalan menuju lantai atas.
"Kamu sama Deva kenapa? Berantem?" tanya Nada.
"Putus."
Jawaban Melodi membuat langkah Harits terhenti. Cakra yang berada di sebelah Deva pun terkejut, seperti halnya Fenri yang sedang mengiling biji kopi dengan mesin grind. Nada menganga tak mampu berkomentar. Dan yang paling terkejut adalah Deva, ia tak menduga bahwa ucapan Melodi ketika di motor adalah sebuah keseriusan.
"Serius?!" tanya Nada.
"Tanya aja Deva," jawab Melodi ketus.
Nada menoleh ke arah Deva. "Deva, kalian beneran putus?"
"Tanya aja Melodi sama pacar barunya," balas Deva.
"Pacar baru?" Nada memicingkan matanya. Ia menoleh ke arah Harits. "Kalian pacaran?"
Harits mengerutkan dahinya. "Palalu ijo! Kiamat dunia kalo sampe terjadi."
Gemerincing lonceng kembali berbunyi, semua menatap ke arah pintu. Tepat di saat momen itu, Ippo dan Reki masuk ke dalam Mantra. Ippo tersenyum pada Melodi. "Halo, selamat malam, Alunan."
"Mel ...." Nada berbisik pada Melodi. "Si aneh ini pacar baru kamu?"
Melodi menutup matanya, rasanya ia hampir meledak. Tanpa kata Melodi beranjak dari duduknya dan kembali naik ke atas tanpa kata. Semua hanya menatapnya, kecuali Deva. Pandangan pria gondrong itu masih menyorot Ippo yang tersenyum ke arahnya.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top