49 : Harits vs Jaya
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Harits tampak marah, ia berharap bukan Jaya yang melakukan ini semua. "Gua lagi enggak mau bercanda. Sekali lagi gua tanya, siapa yang bunuh orang-orang ini?"
Jaya berjalan ke arah Harits dengan topeng Bapang di tangan kanannya. "Saya udah bilang kan. Kamu menemukan orangnya," ucapnya sambil mengenakan topeng Bapang.
Harits mengulurkan tangan ke arah burung hantunya. "Lajaluka ...." Lajaluka berubah menjadi sebuah topeng burung hantu. Harits berjalan sambil mengenakan topeng itu.
"Kenapa?" ucap Harits lirih.
"Jangan menghalangi saya, Harits. Kamu bisa terbunuh."
Harits mengangkat buku hitamnya dan menggoreskan darah lagi. Kini mantan Widyatama yang menjadi arwah favoritnya keluar dari buku itu. "Kenapa lu milih jalan yang salah?"
"Enggak ada salah dan benar dalam setiap pilihan, Harits. Salah dan benar itu sifatnya relatif tergantung dari sisi mana kita memandang. Saya kasih satu kesempatan lagi. Kamu sebaiknya pandai membaca situasi."
"Situasi apa?" balas Harits.
Mereka saling menatap tajam dari balik topengnya masing-masing. "Pergi dari hadapan saya dan jangan cari saya lagi sebelum kamu terluka."
"Oke." Harits mundur ke dalam bayang-bayang pohon yang terpantul dari cahaya bulan, sosoknya menghilang di dalam kegelapan.
Apa dia pergi betulan? pikir Jaya.
Jaya terbelalak merasakan hawa kehadiran di belakangnya. Baru saja ia hendak menoleh, sebuah tinju bersarang di pinggangnya. Belum selesai, Harits melompat sambil menendang kepala bagian kanan Jaya, membuat pira itu sempoyongan.
"Gua enggak akan pergi sebelum denger penjalasan, kenapa lu bunuh orang?"
"Kenapa kamu ngejar Rizwana?" tanya Jaya. "Saya denger kamu mau balas dendam gara-gara ada sahabat kamu yang mati gara-gara dia?"
"Tutup mulut lu, Jay."
"Alasan kita sama. Balas dendam, Harits."
"Tapi bukan alasan membunuh orang lain," balas Harits.
Jaya menunjuk ke arah Harits. "Kita berbeda." Sebuah peluru kuku melesat di sebelah wajah Harits. Dampaknya membuat pipi kiri Harits tergores akibat sedikit goresan. "Ah, saya meleset ya? Ini gara-gara udah lama saya enggak pernah ngelatih kemampuan bertarung."
Sebuah cambuk benang melesat ke arah Jaya, tetapi Jaya yang menyadari itu langsung menghindarinya. "Begitu ada darah yang tumpah, itu artinya perang," ucap Harits. "Kayaknya kita udah cukup ngomongnya."
"Ya, saya rasa begitu."
Harits mundur kembali masuk ke dalam bayangan, sementara Hara berdiri di hadapan Jaya dengan seringainya. Tentu saja Jaya menyadari pakaian yang dikenakan oleh bocah itu, sebuah baju hitam dengan simbol peti mati. "Harits punya arwah yang menarik."
Gongongan anjing juga membuat Jaya waspada pada sekitarnya. Untung saja Jaya memiliki mata seperti Harits, ia mampu melihat makhluk-makhluk tak kasat mata. Namun, ini sedikit berbeda. Jaya bukanlah seorang indigo dengan kemampuan mediumship, hanya saja ia paham bagaimana cara menggunakan atma dan memusatkannya ke mata.
Anjing-anjing astral milik Harits maju menerjang Jaya. Jumlahnya ada empat, di tambah Hara yang sedang mengambil ancang-ancang untuk melesatkan cambuk benangnya. Jaya juga harus waspada jika Harits muncul. Entah, Harits menghilang dalam bayangan kegelapan, dan bisa muncul dari bayangan lainnya
Di sisi lain Harits sedang mengawasi Jaya dari kegelapan, ia menyembunyikan hawa keberadaannya. Dalam waktu singkat, Jaya mampu menghabisi anjing-anjingnya. Harits sengaja mengulur waktu untuk membuat Jaya kelelahan, tetapi sepertinya Jaya sangat tenang dan tak begitu terlihat lelah. Kini Jaya hanya berhadapan dengan Hara. Jaya lebih fokus menghindar, ia masih mencari celah untuk menerjang Hara yang menyerang secara membabi-buta.
Ketika Jaya lengah, Harits muncul dan menendang lengan kirinya. Jaya memutar tubuhnya dan menyerang balik, tetapi Harits sudah menghilang lagi.
Bayangan, ya? Harits bergantung pada bayangan.
Namun, Hara membuat Jaya sulit untuk berpikir. Jaya juga sadar bahwa Hara memasang beberapa jebakan benang untuk menjeratnya. Kini pergerakan Jaya sangat dibatasi. Pria bertopeng Bapang itu kelihatan terpojok.
Jaya melepas topengnya. "Resonansi jiwa!" Sosok Jaya berubah. Tangan kiri yang memegang Bapang berubah menjadi lebih besar dengan kristal merah yang menyelimutinya. Sementara kulit Jaya berubah menjadi kemerahan dengan tato-tato berupa aksara Jawa di sekujur tubuhnya.
Kini Jaya yang sedang dalam mode resonansi jiwa melesat ke arah Hara. Benang-benang jebakan Hara terputus tak mampu menggores Jaya barang sedikit pun. Hara melesatkan cambuknya, tetapi Jaya menangkap cambuk itu dengan tangan kirinya, lalu menariknya sehingga Hara terpental maju ke arah Jaya.
Bukannya terpojok, Hara menyeringai. "Kau pikir bisa menang jika bertarung jarak dekat?" Hara memfokuskan atma hitam pada ujung jari-jarinya. Ia memanipulasi tubuhnya hingga membuat tangan berlapis benang hitam. Jaya melesatkan tusukan dengan tangan kanannya yang berukuran normal ke arah Hara, tetapi Hara mengadunya dengan tangan hitamnya. "Jangan remehkan Wijayakusuma."
Jaya mengerutkan dahinya. "Wijayakusuma?" Ia terlihat kurang senang mendengar nama itu. "Kalian Wijayakusuma hanya sekumpulan orang-orang bar-bar!"
"Cih! Padahal Martawangsa juga sama," balas Hara.
"Ya, Martawangsa pun sama. Semuanya menyebalkan!" Jaya kembali melesat, ia menghantam perut Hara dengan tangan kirinya. Hara menahan tinju itu dengan kedua tangannya, tetapi tangan kiri Jaya saat ini memiliki daya hancur yang jauh lebih kuat, sehingga membuat Hara terpental.
"Harits! Keluar! Hadapi aku secara langsung!" teriak Jaya.
Harits merinding. Mana mungkin, kan? batinnya melihat Jaya yang mengerikan.
Jaya menoleh ke arah Harits, ia merasakan aura ketakutan yang terpancar dari salah satu bayangan.
"Ketemu ...."
***
Di sisi lain, Deva sedang duduk di kursi sambil memainkan gitarnya. Melodi bersandar di bahunya sambil mendengarkan permainan Deva.
"Sayang, makan yuk. Masih laper," ucap Melodi.
"Kamu sama Nada kalo makan tuh banyak, tapi enggak ada yang gendut."
"Hehehe tapi suka, kan?"
Deva hanya tersenyum masih sambil memainkan gitarnya. "Mau makan apa?"
"Bakso aja, mau enggak? Yang deket pasar belakang."
"Ayo." Deva dan Melodi beranjak dari duduk. Melodi berjalan ke atas untuk mengambil dompet dan juga cardigan. Sementara Deva hendak meletakkan gitarnya ke atas. Namun, sebuah pengelihatan tergambar di benak Deva. Ia melihat Harits yang tergeletak di tengah guyuran hujan. Penampilan Harits persis seperti saat ia keluar beberapa waktu lalu, hanya saja kali ini babak belur.
Tak lama, Melodi turun dengan kaos putih dibalut cardigan kuning. Ia menatap gitar Deva yang tersandar di dinding pojok. Ada Cakra yang sedang mencuci piring di dapur. "Cak, Deva ke atas?"
"Deva?" Cakra menoleh ke arah Melodi. "Barusan keluar."
Melodi berjalan menatap keluar jendela. Motor Deva masih ada di sana. "Ke mana dia, ya?"
"Enggak tau, tapi tadi sih jalan kaki."
***
Harits benar-benar merinding. "Orang ini benar-benar monster!" ucapnya ketika Jaya berlari ke arahnya. Harits menampakkan dirinya dan berpindah bayangan, sejenak ia menghilang dan berpindah lagi ke bayangan yang berada di belakang Jaya. Harits mengumpulkan sejumlah atma pada tinjunya dan menghajar Jaya dari belakang.
Namun, rupanya itu hanya berdampak kecil, Jaya memutar tubuhnya dan mencengkeram lengan kiri Harits dengan tangan kanannya. Jaya menatap buku hitam milik Harits.
"Buku itu milik Mikail Sagara, kan?" tanya Jaya.
Harits terkejut. Memang, buku itu adalah milik mantan pemimpin Peti Hitam di era Bayu. Ia menjalik kontrak dengan arwah Mikail dan memperoleh kekuatan untuk menangkap, serta menggunakan roh yang dimasukkan ke dalam buku tersebut.
"Benar, kan?" Jaya mencengkeram lebih keras sehingga membuat Harits memekik. Tangan kiri Jaya mencengkeram Lajaluka. "Yang ini juga." Ia berusaha melepaskan topeng itu dari wajah harits.
"Jangan sentuh Lajaluka!"
Sebuah tumit menghantam perut Harits yang baru saja berteriak, membuat Harits memuntahkan pizzanya dan mulai kehilangan kesadaran secara perlahan. Jaya melepaskan Lajaluka dan melemparnya.
"Selama ini saya mencari buku ini. Bayu pernah bercerita tentang Mikail dan kemampuannya. Saya enggak nyangka kamu yang megang buku ini, lucky."
Hara muncul dari rimbun pepohonan, ia melesatkan cambuk benangnya ke arah Jaya, tetapi Jaya menutup buku hitam Harits. Seketika sosok Hara menghilang. Gelagar petir mulai terdengar diiringi gerimis.
"Saya sadar, selama ini kamu berlari dan menyerang dengan tangan kiri memegang buku ini dalam keadaan terbuka. Ternyata bukan tanpa sebab. Jika buku ini tertutup, maka arwah-arwah yang dipanggil akan menghilang. Terimakasih informasinya, saya ambil dulu buku ini." Jaya memelintir lengan kiri Harits hingga Harits melepaskan buku itu. Jaya mengambilnya dan melempar Harits, lalu memutar tubuhnya untuk pergi.
"Kenapa?"
Langkah Jaya terhenti, ia kembali menoleh. Deva berdiri menggunakan topeng Tumenggung sambil membopong tubuh Harits. Deva muncul dan menangkap Harits sebelumnya, kini ia menatap Jaya dari balik topengnya. "Kenapa jadi begini? Padahal kemarin lu masih orang yang sama."
"Jangan terlibat apa pun dengan Kencana Selatan," ucap Jaya. "Kalian terlalu lemah. Hindari saja jika bertemu dengan salah satunya."
"Harits dateng ke sini buat nyadarin lu, tapi emang dasarnya lu bego. Jadi susah buat ngerti."
"Kalian cukup jaga kafe dan buat kopi aja. Fokus jaga Nada karena dia incaran Rizwana. Jangan pernah nyari saya, apa lagi ikut campur urusan saya."
Deva meletakkan Harits di tanah, tendangan tumit Jaya membuat Harits hilang kesadaran. Deva menghilang dari pandangan Jaya.
"Semua orang suka banget ilang-ilangan!" ucap Jaya yang kurang senang dengan tipikal pertarungan seperti ini.
"Ya, lu juga suka ilang-ilangan!" Sebuah tinju bersarang di pipi kanan Jaya. Jaya sudah keluar dari mode resonansi jiwa. Kini ia menghadapi Deva tanpa Bapang. "Pake lagi topeng lu," ucap Deva menantang.
Jaya menghela napas. "Saya enggak perlu Bapang kalo cuma lawan kamu, Dev."
"Jangan menyesal!" Deva kembali menghilang dari pandangan Jaya, tetapi Jaya tak terlalu memusingkan itu. Ia secara santai memutar tubuhnya.
"Selalu muncul di belakang lawan. Kamu pikir itu kebiasaan yang bagus? Saya tanpa insting pun bisa nebak kalo caranya monoton gitu."
Deva benar-benar berada di belakang Jaya, ia baru saja muncul dan kehilangan langkah. Jaya sudah dengan ancang-ancang memukul. Ia melesatkan tinju ke perut Deva dengan sekuat tenaga. Deva terjatuh akibat serangan Jaya, ia memegangi perutnya sambil berusaha berdiri.
"Belum selesai?" ucap Agha yang sedang bersandar di belakang pohon, tak jauh dari posisi mereka. Jaya menoleh ke arahnya. "Udah."
Agha kini berjalan pergi, Jaya pun melakukan hal yang sama, ia meninggalkan Harits dan Deva, berjalan ke arah Agha. "Jaya!" teriak Deva.
"Bawa Harits," ucap Jaya. "Kalo dua-duanya pingsan, siapa yang nolongin kalian?"
Perlahan sosok Jaya menghilang dari pandangan Deva. Deva merasa frustasi, ia memukul tanah sekeras mungkin sambil berteriak. Gerimis mulai bertransisi menjadi deras mengguyur mereka berdua.
***
Sementara itu Agha dan Jaya berjalan di Alam Suratma. Jaya memang mencari keberadaan buku hitam milik Harits untuk kepentingannya. Ia juga bergabung dengan Dharma menggantikan Wengi dengan syarat jika Agha harus menjadi partnernya dan sudi menjadi gerbang transit ke Alam Suratma.
"Apa enggak apa-apa? Berakhir gitu?" tanya Agha.
"Ya, mereka harus sadar dengan kelemahan mereka," jawab Jaya. "Terluka itu membuat seseorang semakin kuat. Saya percaya mas Harits dan Deva bisa jadi lebih kuat."
"Buku itu senjatanya Harits, kan? Bahkan kau merebut senjatanya, bagaimana bisa Harits bertambah kuat?"
"Tanpa buku ini sekali pun, Mikail itu kuat. Bayu yang bilang. Harits enggak boleh bergantung sama benda ini, dia harus berubah." Jaya kini memimpin perjalanan mereka. "Kita harus cepat, sebelum Rizwana bergerak. Kita harus menghabisi mereka sebelum mereka menangkap Nada untuk kebutuhan rencana mereka."
"Sebenarnya aku masih bingung, apa yang hendak kau lakukan di Alam Suratma dengan buku itu?"
"Mengumpulkan rekan untuk bertempur," jawab Jaya. "Saya enggak mau keluarga baru saya terlibat. Cukup Wengi yang pergi. Saya enggak mau hal ini terulang, ketika saya harus kehilangan orang lain yang menganggap saya sebagai keluarganya."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top