48 : Tersembunyi

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Siang ini Cakra masih berbaring di kasurnya, entah rasanya ia bosan belakangan hari ini. Sebuah pesan masuk ke ponselnya. Itu pesan dari Nada, katanya Nada ada tugas kelompok, jadi Cakra tak usah menjemputnya hari ini.

Cakra membuka instagarem, dilihatnya story dari Harits yang sedang makan siang berdua dengan Sekar. Lalu ada juga story dari Melodi yang sedang berkumpul dengan teman-temannya. Deva sama sekali tak muncul, pria itu memang sibuk dan jarang bermain ponsel.

Hari ini hari senin, Mantra Coffee libur. Cakra memutuskan untuk mengajak anak-anak untuk menghabiskan waktu bersama, tetapi sayangnya mereka semua sibuk dan tak bisa pergi hari ini.

"Gua ada acara makrab nanti malem." Deva memilih untuk bersua dengan teman-teman kampusnya yang belakangan ini sama sekali tak pernah ia ajak main.

"Aku nanti ada UKM musik." Melodi pun masih asik dengan kegiatannya.

"Nyahaha ngarep lo! Malezzzz." Entah, belakangan ini Harits lebih sering menghabiskan waktu bersama pacar barunya.

Tinggal menunggu jawaban Nada, gadis itu belum membalas pesan Cakra. Cakra paling dekat dengan Nada, mereka sering bertukar cerita sambil jalan-jalan malam. Bahkan terkadang hanya pergi ke indongaret saja salah satu dari mereka minta untuk ditemani. Namun, malam ini berbeda. Nada baru saja bergabung dengan MAPALA ternyata, tugas yang dimaksud adalah tugas-tugas dari UKM tersebut. Pada akhirnya Cakra memutuskan untuk hang out seorang diri dengan mengendarai motor milik Deva yang sedang menganggur. Ia memutuskan pergi ke Parangtritis.

Tidak sampai memakan waktu satu jam untuk dapat sampai ke Parangtritis. Setelah perjalanan yang tak terlalu jauh itu, Cakra memarkirkan motor dan berjalan menuju pantai. Ia mengingat bahwa Nada dan Harits pernah ke pantai berdua. Sebenarnya setelah kejadian itu, Cakra pun mengajak Nada untuk menemaninya melihat pantai,  tetapi Nada sudah tak lagi menyukai pantai. Suara ombak dan hembusan angin laut hanya membuatnya perih.

Rasanya percuma melangkah ke tempat ini. Sejatinya momen terindah itu bukan tercipta dari suatu objek atau tempat yang paling indah sekali pun. Namun, kebersamaanlah yang membuat suatu momen terasa manis.

Semilir angin laut membuat rambut abu-abunya berkibar-kibar. Hingga sebuah panggilan video call membuat fokus Cakra teralihkan. Panggilan itu dari Senja.

"Halo, Mah," ucap Cakra sambil menatap wajah ibunya di layar ponsel.

"Lagi di pantai kamu?"

"Sebenernya di Padang Mahsyar sih," jawab Cakra sambil terkekeh.

"Hih! Ini anak bercanda mulu."

"Ya, lagian nanya hal yang udah pasti. Nih liat." Cakra mengganti mode menjadi kamera belakang. Ia menunjukkan pemandangan Parangtritis.

"Parangtritis, ya? Wah mama jadi kangin Jogja."

"Makanya cepetan pulang ke sini."

"Sabar ya, ini masih repot ngurus-ngurus kerjaan dan berkas buat nanti pindah ke sana," balas Senja. "Oh iya, kamu sendirian?"

"Enggak kok." Cakra menyorot gerombolan mahasiswa yang sedang bermain di pantai. "Itu temen-temen lagi pada asik."

"Kok kamu enggak ikutan? Kamu enggak ...."

"Enggak! Aku cuma lagi menyendiri sebentar. Harits mau nyeburin aku dan kebetulan aku enggak bawa baju ganti, makanya aku kabur menjauh." Cakra berbohong pada Senja.

"Oh, yaudah deh kalo gitu." Senja terdiam beberapa saat. Ia terlihat seperti melirik ke arah kanan. Tiba-tiba Senja tersenyum dan berjalan ke arah kanan. Rupanya di sana sudah ada Fajar dan juga adiknya, Dini. Dini berada di tengah mama dan papanya sambil memegang sebuah kue bertuliskan Happy Birthday Petang.

"Selamat ulang tahun kakak!" ucap Dini pada Cakra. Cakra hanya membalasnya dengan senyuman.

Sebenarnya hari ini Cakra berniat untuk mengajak teman-temannya untuk pergi keluar dan meneraktir mereka, tetapi memang rupanya semua orang sibuk. Jadi di hari ulang tahunnya ini, Cakra memutuskan untuk merayakannya sendirian.

"Kuenya nanti papa kirim WA ya, nanti kamu tinggal download terus diprint yang gede," ucap Ajay.

"Mama kirim hadiah dari sini, udah dari kapan ya, lupa. Udah sampe belum?"

Cakra menggeleng. "Belum kayaknya, belum ada paket dateng."

"Aneh, harusnya udah. Yaudah kamu tungguin aja, kalo emang enggak dateng-dateng, nanti mama komplen."

"Yaudah, mah, pah. Petang mau kumpul sama temen-temen dulu ya. Makasih buat pesta jarak jauhnya. I miss you." Setelah asik bertemu tatap secara online, akhirnya Cakra duduk sambil menatap mentari terbenam.

***

Gelap telah menundukkan terang, mentari yang terbenam adalah tanda bahwa kini bulan yang berkuasa. Ditemani cahaya bulan, Cakra baru saja tiba di Mantra. Dilihatnya teman-temannya yang sedang duduk berkumpul, entah apa yang mereka bicarakan.

Gemerincing lonceng di pintu berbunyi, semua mata menatap Cakra. Begitu pun sebaliknya. "Halo," sapa Cakra.

Semua menahan tawa mendengar Cakra bingung. Cakra menyadari, bahwa dari kerumunan itu Nada tak ada di sana.

"Cakra!"

Cakra menoleh ke belakang. Dilihatnya seorang gadis yang wajahnya ditutupi dengan kotak kado. Tentu saja Cakra terkejut.

"Selamat ulang tahun!"

"Tau--dari mana?" tanya Cakra heran.

"Harits! Harits! Woy!" teriak Deva dan Melodi, juga mas Abet. Mendengar keributan itu Cakra menoleh. Sebuah kue mendarat di wajahnya. "Nyahahaha happy birthday, fckers!"

Setelah membuat Cakra berlumuran kue, Harits menoleh ke belakang. "Begitu caranya ngerayain ulang tahun ala bule Inggris! Nyahahaha."

Harits terkejut ketika kerah kemejanya ditarik dari belakang. Kue yang tersisa itu melebur di wajahnya. Cakra membalasnnya. "Di Inggris enggak begitu!" Kini mereka berdua saling beradu tatap, lalu saling tertawa melihat wajah mereka yang—entah seperti apa.

"Lupa!" ucap Deva dengan nada yang cukup tinggi. Semua menoleh ke arah Deva.

"Lupa, lupa, lupa, lupa lagi kuncinya!" sambung Melodi yang sudah paham dengan isi pikiran Deva.

"Yeh, Kuburan Band dong," balas Harits.

"Kok kalian tau ulang tahunku sih?" tanya Cakra yang heran.

"Nad, ceritain, Nad," ucap Melodi.

"Iya, Cakra. Jadi aku tuh lagi beresin tanaman, eh ada paket dateng terus ada ucapan selamat ulang tahun gitu di paketnya. Aku coba bilang deh ke ayahku biar dia nanya ke ayah kamu tanggal ulang tahun kamu, dan akhirnya cocok. Terus kita buat rencana sok sibuk hari ini, padahal kita tadi sore beli kado bareng-bareng buat kamu."

"Padahal aku mau diem-diem aja dan ajak kalian semua jalan sekalian mau neraktir makan di luar," balas Cakra.

"Yaudah ayok jalan lagi!" ucap Harits.

"Oh iya." Cakra berjalan keluar dan mengambil sesuatu yang tertinggal di motor. Ia kembali dan menenteng dua box pizza berukuran besar. "Pizza time!"

"Yeeey!" Nada dan Melodi segera merapat, disusul yang lainnya.

Ketika mereka semua menikmati pizza, Harits malah berjalan ke kamar mandi dan mencuci muka. Sekeluarnya Harits, ia menatap ke jendela luar, lalu berjalan keluar Mantra. Nada memperhatikannya sambil memakan pizza.

"Rits, kamu enggak suka pizza?" tanya Nada ketika Harits masuk kembali ke dalam kafe.

"Suka kok."

"Kok enggak makan?"

Harits tampak sibuk, ia naik ke atas tanpa menjawab pertanyaan Nada. Tak lama, ia turun mengenakan jaket kulit dan membawa kunci motor.

"Mau ke mana?" tanya Nada lagi.

"Ada urusan sebentar."

"Ini pizzanya dimakan dulu." Nada membawakan sepotong pizza untuk Harits, tetapi Harits sibuk mengikat tali sepatunya. "Tanganku sibuk, buat kamu aja pizzanya."

"Ih, enggak boleh gitu. Makan dulu!" Nada menyodorkan pizza ke depan mulut Harits.

"Yah elah, Nad ...."

"Makan!"

Harits menghela napas. Sambil mengikat tali sepatu, Harits memakan pizza yang disodorkan oleh Nada.

"Ih! Pegang sendiri atuh," ucap Nada yang terkesan seperti menyuapi Harits.

Setelah selesai mengikat tali sepatu, Harits mengambil pizzanya dari tangan Nada dan langsung menelan semuanya. "Ua ergi ulu." Ia berjalan keluar.

"Itu dia ngomong apaan?" tanya Melodi pada Deva.

"Kayaknya lirik lagu deh," balas Deva.

"Lagu apaan?"

"Lagu-lagu ritual animisme," jawab Deva sambil terkekeh diikuti kekehan Melodi.

***

Di sisi lain, Harits melaju dengan kecepatan penuh mengikuti Lajaluka yang terbang kencang. Burung hantu itu menuntun Harits ke daerah Jalan Kabupaten.

Harits menepikan motornya dan berjalan ke area pohon-pohon di pinggir jalan. Harits berjalan semakin dalam hingga tercium bau anyir menyengat. Langkahnya terhenti ketika menemukan beberapa jasad yang tergeletak di tanah.

Sebuah buku hitam muncul di tangan kirinya. Harits menatap sekeliling dengan mata kanannya yang berwarna hitam dengan iris biru. Ia melukai tangannya dan menggoreskan darah pada halaman-halaman buku itu. Muncul anjing-anjing hitam sejumlah tiga ekor. Harits mengeluarkan sebuah tisu yang tergulung, di dalam tisu itu ada beberapa helai rambut Jaya. "Cari orang ini."

"Enggak perlu repot-repot cari saya."

Harits mendongkak menatap dahan pohon di belakangnya.

"Saya tau burung hantu kamu beberapa hari ini ngikutin saya. Jadi malam ini saya enggak akan lari lagi." Jaya melompat dari pohon itu dan mendarat tanpa efek apa pun, padahal pohon itu cukup tinggi. "Saya enggak tau alasan kamu nyari saya, tapi kalo saya menang tolong jangan cari saya lagi. Saya terganggu," lanjut Jaya dengan sorot mata yang tajam dan menampilkan tato peti mati berwarna hitam di keningnya.

Harits menatap jasad-jasad yang tergeletak tak bernyawa. "Siapa yang bunuh orang-orang ini?"

Jaya menyeringai. "Selamat, kamu menemukan orangnya."

Harits tampak marah, ia berharap bukan Jaya yang melakukan ini semua. "Gua lagi enggak mau bercanda. Sekali lagi gua tanya, siapa yang bunuh orang-orang ini?"

Jaya berjalan ke arah Harits dengan topeng Bapang di tangan kanannya. "Saya udah bilang kan. Kamu menemukan orangnya," ucapnya sambil mengenakan topeng Bapang.

Harits mengulurkan tangan ke arah burung hantunya. "Lajaluka ...." Lajaluka berubah menjadi sebuah topeng burung hantu. Harits berjalan sambil mengenakan topeng itu.

"Kenapa?" ucap Harits lirih.

"Jangan menghalangi saya, Harits. Kamu bisa terbunuh."

Harits mengangkat buku hitamnya dan menggoreskan darah lagi. Kini mantan Widyatama yang menjadi arwah favoritnya keluar dari buku itu. "Kenapa lu milih jalan yang salah?"

"Enggak ada salah dan benar dalam setiap pilihan, Harits. Salah dan benar itu sifatnya relatif tergantung dari sisi mana kita memandang. Saya kasih satu kesempatan lagi. Kamu sebaiknya pandai membaca situasi."

"Situasi apa?" balas Harits.

Mereka saling menatap tajam dari balik topengnya masing-masing. "Pergi dari hadapan saya dan jangan cari saya lagi sebelum kamu terluka."

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top