44 : Asmara dan Amarah

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Hari ini Nada libur, ia keluar kamar dan turun mengenakan sweater hitam dan rok berwarna putih, Nada juga membawa tas selempang kecil berwarna peach. "Ayo, kita berangkat, Cakra!" ucap Nada penuh semangat.

"Ayo," balas Cakra sambil tersenyum.

Hari ini Cakra ingin membeli kebutuhan untuk hobi-hobinya. Mengingat ia sering bosan karena menjadi satu-satunya penunggu Mantra yang belum berkuliah dan tak terlalu banyak akftivitasnya.

"Kamu mau beli apa aja sih?" tanya Nada.

"Hmm ... skateboard, sepatu, gear skate, atribut, ya gitu deh," jawab Cakra sambil masuk ke dalam mobil.

"Oh iya, Cakra katanya mau cerita?" tanya Nada lagi yang kini duduk di samping Cakra.

"Cerita apa?" Cakra memicingkan matanya sambil berusaha mengingat hal apa itu.

"Entah, waktu itu kita chat, kamu bilang mau cerita, tapi maunya cerita langsung."

"Oh, itu." Cakra terkekeh sambil menggaruk kepalanya. "Iya, iya, iya, aku inget, nanti kita cerita sambil jalan ya."

Cakra mulai menginjak pedal gas, ia memutar lagu-lagu santai berinstrumental saxophone. Suasana sangat nyaman di dalam mobil dengan nuansa jazz.

"Cerita apa?" Nada ternyata masih sangat penasaran, memang Nada adalah orang yang memiliki jiwa kepo sejati, ia masih saja menunggu Cakra untuk bercerita.

"Kamu pernah pacaran?" tanya Cakra.

"Udah, sekali, kenapa?"

"Gimana cara cowok kamu nembak kamu dulu?"

"Sejujurnya itu pacaran karena situasi, aku enggak suka sama dia, dan aku lupa gimana cara dia nembak. Kenapa, Cakra?"

"Aku lagi suka sama seseorang, tapi enggak tau harus gimana," jawab Cakra.

"Hah? Siapa? Temen kamu di Inggris?"

Cakra menggeleng. "Aku temuin dia di kota istimewa ini, dia pun istimewa persis kota ini."

"Eh, serius orang Indo? Masa di Inggris enggak ada?"

"Pernah punya, tapi dia ilang."

"Ilang?" tanya Nada.

"Iya, tau-tau menghilang dan yaudah, ilang. Enggak ada kabar ...."

"Orang inggris tuh?"

"Orang Indo juga sih yang tinggal di Inggris." Cakra tertawa karena dari tadi Nada hanya berfokus pada orang bule.

"Sabar ya, Cakra ... oh iya, kalo yang di sini, siapa? Jangan bilang Melodi?!"

"Hahaha enggaklah, dia kan pacarnya Deva. Ada deh pokoknya, kamu juga sering liat orangnya di kafe."

"Pelanggan?"

Cakra diam, ia hanya tersenyum sambil sesekali menatap Nada.

"Ih, bener ya? Aku penasaran, kamu kenal dia?" tanya Nada. "Aku harus cari tahu nih!"

Kini Cakra menggeleng. "Aku belum kenal, soalnya dia kayak punya pacar gitu. Dia tau aku, aku pun tau dia, tapi kita enggak saling kenal."

"Kenalan dong! Mau aku bantu?"

"Enggak usah, Nada. Aku cuma suka aja, enggak ada niat kenalan."

"Yang mana sih orangnya, Cakra?" Nada berusaha mengingat semua orang yang pernah berkunjung ke Mantra Coffee.

"Kita pernah ngobrol sih sekilas, lain kali aku tunjukin deh orangnya ke kamu."

"Bener, ya? Janji loh, aku kalo penasaran tuh sampe mati soalnya! Serius!"

"Emang udah pernah mati?" tanya Cakra.

"Belumlah, maksudnya tuh, enggak akan hilang rasa penasarannya sampe mati."

Asik berbincang, tak terasa mereka berdua tiba di Ambarukmo Plazza. Cakra memarkirkan mobilnya. Ketika mereka hendak turun, Nada menatap Cakra yang juga menatapnya. "Kenapa, Cakra?"

"Kamu cantik hari ini," balas Cakra.

Nada yang malu, memutuskan untuk keluar dari mobil lebih dulu. Melihat Nada yang sepertinya kurang suka dipuji, Cakra memutuskan keluar dari mobil dan bersikap biasa saja.

***

Di sisi lain Harits masih berbaring di rumah sakit, tetapi nampaknya keadaannya sudah membaik.

Suara pintu yang dibuka, terdengar jelas di telinga Harits, ia menatap ke arah pintu. "Aku bawain ayam geprek nih," ucap Sekar yang baru saja datang dan berjalan, lalu duduk di pinggiran tempat tidur Harits.

"Emang boleh makan gituan?"

"Kamu kan suka makan ini, biasanya kalo otewe Mantra dari kampus kamu mampir dulu beli ayam geprek di pinggiran Selokan Mataram ini. Aku pikir, daripada kamu enggak mau makan, mending makan beginian, tapi abis."

"Nyahaha yaudahlah, yang penting makan," balas Harits. "Makasih loh, Mbak."

"Enggak usah pake mbak, aneh tau. Sekar aja."

"Oke deh, makasih loh, Kar."

"Oh iya, aku mau nanya boleh?" Sekar memandang Harits yang sedang membuka bungkusan ayam gepreknya.

"Tanya apa?" balas Harits tanpa membalas tatapan Sekar. Ia masih sibuk membuka bungkusan itu.

"Menurut kamu cewek agresif itu gimana sih?"

Harits membayangkan Melodi atau Dewi, menurutnya kedua wanita itu agresif karena sering memukul atau memberikan serangan fisik secara mendadak.

"Serem sih, apa lagi Dewi ...."

"Bukan agresif itu! Tapi tuh apa ya, ngedeketin cowok duluan," potong Sekar.

Harits mengurungkan niatnya kembali untuk makan. "Gimana, ya ... jarang spesies cewek begitu sih. Biasanya kan cewek itu selalu nunggu. Beberapa kasus malahan ada yang ceweknya nunggu, cowoknya juga nunggu, jadi saling ngadu ego aja."

"Seandainya orang itu ada? Si cewek agresif ini."

Harits tampak berpikir. "Keren sih, dia berani. Dulu Kartini berjuang untuk kesetaraan perempuan dan laki-laki, tapi ya, pada akhirnya enggak akan pernah setara, karena cowok yang harus selalu memulai, cowok yang harus mengalah, cowok yang serba salah deh pokoknya, nanggung semua sialnya."

"Percaya enggak sih, kalo enggak semua cewek begitu?"

"Percaya, tapi ya, sama kayak aku percaya sama dinosaurus nyahahaha belum tentu ada."

"Tapi tuh banyak loh sebenernya spesies cewek agresif, sayangnya rata-rata mereka bertepuk sebelah tangan. Cowok tuh mandang cewek berdasarkan fisiknya." Sekar diam sejenak. "Ciri-ciri cewek yang kamu suka itu--kayak gimana?"

Harits membayangkan Nada. "Cantik, lucu, pendiem, baik, kaya, gemesin ... mungkin itu." Kini ia menatap Sekar. "Kalo Sekar?"

Sekar tampak murung, senyumnya getir menatap ke lantai. "Dari tadi Sekar ngomongin diri sendiri ...," ucapnya dengan nada sendu. "Ciri-ciri cowok yang aku suka itu sederhana ....." Ia menunjukkan layar ponselnya pada Harits. Terpampang fitur kamera depan, Harits menatap dirinya sendiri lewat layar ponsel Sekar. "Ciri-cirinya, semua yang ada di kamu, tapi kayaknya Sekar bukan orang yang ciri-cirinya Harits maksud ya ...." Ia merebut ponselnya kembali sambil memalingkan wajah dan beranjak dari kasur Harits, kemudian berjalan agak cepat keluar ruangan.

Sekeluarnya Sekar dari ruangan, ia berjalan cepat dan masuk ke dalam lift untuk turun ke lantai bawah, tetapi sebuah tangan menghadang lift itu hingga pintu lift terbuka kembali, seorang anak kecil masuk ke dalam lift.

"Mana mungkin aku biarin seorang wanita pergi dengan muka begitu, kan?" Ternyata itu bukanlah anak kecil, apa lagi anak tuyul. Si kecil itu adalah Harits Sagara nyahaha.

Harits membawa jaketnya dan menutupi Sekar dengan itu. "Ayo, kita balik dulu ke ruangan aku, seenggaknya sampai air mata kamu berhenti." Harits memencet tombol menuju lantainya kembali. Begitu mereka kembali ke lantai tersebut, ia langsung menuju ruangannya bersama Sekar.

Kini mereka duduk bersama di kasur, infus Harits sudah terlepas dari tangannya. "Harits, kenapa malah dicabut sih? Kamu kan belum sembuh!" tanya Sekar sambil menusuk kembali infus Harits ke tangannya.

Jenius ni orang .... Harits menahan sakit akibat ditusuk asal. Sumpah, jenius ....

"Yah kok berdarah?" Sekar terlihat panik.

"Dah lah, udah sembuh aku, enggak perlu gini-ginian lagi." Harits mencabutnya kembali, lalu memindahkan benda itu jauh-jauh darinya.

Keadaan mulai canggung kembali. "Apa yang spesial dari orang kayak aku? Sampe jadi ciri-ciri yang kamu suka?" tanya Harits. "Pendek, miskin, freak, enggak jelas, malah bisa dibilang serba kekurangan nyahaha."

"Kalo kamu sempurna, kamu enggak akan butuh orang lain. Kamu spesial dengan segala kekurangan kamu. Kamu pasti tahu, aku jarang punya temen, dan aku rasa kamu tahu alasannya, Rits ...."

"Kamu juga bisa lihat mereka, kan?" tanya Harits. "Waktu itu kamu bohong dan pura-pura enggak bisa lihat mereka karena kamu takut dibilang aneh, kan?"

"Aku enggak nyangka yang ada di dalam sangkar burung itu ternyata makhluk halus." Sekar tersenyum. "Tahu ada seseorang yang punya nasib sama, aku jadi merasa punya temen. Sesekali kamu dateng dan kita ngobrol panjang lebar di kursi kampus. Entah, aku merasa nyaman ...."

"Salah satu kekuranganku itu adalah, aku masih nyimpen rasa buat seseorang." Harits tersenyum getir. "Seseorang yang enggak akan pernah bisa aku dapetin, dan bodohnya aku masih terus nyimpen rasa itu."

"Sama ...," gumam Sekar sambil menatap Harits. "Aku tahu rasanya ...."

Mereka berdua diam beberapa saat, tak ada kata yang terucap. Harits paham, maksud Sekar adalah perihal dirinya yang menunggu Harits, seperti Harits menunggu Nada.

"Menunggu itu ... enggak enak, ya?" ucap Harits.

Sekar masih diam tak berani memberikan komentar.

"Ayahku pernah bilang, terkadang kita buta pada seseorang yang menunggu kita, dan hanya fokus mengejar dia yang enggak pernah sedikit pun menunggu kita. Perlahan, aku mulai paham arti kata-kata itu ...."

Harits meraih tangan Sekar. "Kayaknya udah saatnya aku berhenti mengejar dan menoleh ke belakang. Ada seseorang yang lagi ngejar aku dan aku harus tunggu dia, sampai kita berjalan sejajar nanti," ucapnya sambil menghapus bekas-bekas air mata Sekar dengan tangan yang satunya. "Sayangnya aku lagi enggak mau nembak siapa-siapa ...."

"Mau jadi pacar aku?" tanya Sekar sambil menggenggam tangan Harits. Harits tersenyum memandang wajah manis Sekar. "Ya, selamat datang di kehidupanku ...," jawab Harits.

***

Sementara anak-anak Mantra sibuk dengan asmaranya, Deva dan Melodi justru semakin banyak menuai konflik. Kini Melodi sedang duduk di kantin kampusnya.

"Halo, Alunan," sapa Ippo yang tak sengaja lewat di kantin dan menemukan Melodi.

Melodi menatap Ippo sebelum ia memalingkan pandangannya kembali. Ah, dia mulu. Jadi sering ketemu gini ....

Ippo tak bersama rekan-rekannya yang meresahkan, hari ini ia terlihat sendirian. "Temen-temennya mana, kak?" tanya Melodi.

"Biasa, lagi pada sibuk," jawab Ippo.

"Kakak enggak punya kesibukan? Yang sibuk kek jadi orang, biar ada kerjaan," ketus Melodi.

"Ini kerjaan," jawab Ippo. "Nemenin kamu yang sedang gundah gulana."

"Maksudnya gangguin pacar orang gitu?"

Ippo terdiam sembari menyematkan senyum akwardnya. "Ha-ha-ha gitu deh ...."

"Serius, kakak enggak ada kerjaan lain?" tanya Melodi.

"Panggil aja Ippo, enggak usah pake, kak. Kita itu seumuran."

"Beneran seumuran?"

"Anggap aja seumuran," jawab Ippo terkekeh. "Kampus pacar kamu di mana?"

"UGM, dia anak sastra," jawab Melodi. "Oh iya, kamu jurusan apa?"

"Aku dari fakultas seni media rekam, jurusan Fotografi," jawab Ippo. "Kalo kamu pasti dari jurusan musik, kan? Pasti dong, Alunan gitu loh."

"Iya, aku dari Fakultas Seni Pertunjukan, jurusanku Penyajian Musik, bukan jurusan musik. Dan satu hal lagi, namaku Melodi!"

"Iya, Alunan Melodi," balas Ippo.

"Melodi-Regita-Mahatama!"

"Ribet! Gampangan Alunan Melodi," balas Ippo. Kini ia beranjak dari duduknya. "Sebetulnya aku masih mau nemenin kamu, tapi aku ada urusan nih, aku pergi dulu ya, Alunan."

"Melodi! Somplak banget lu jadi orang!" Nada kesalnya membuat Melodi menjadi sorotan utama di kantin. Ippo berjalan mundur sambil tertawa menatapnya.

***

Dewi baru saja selesai mandi, ia mengenakan kaos putih dan celana pendek berwarna hitam. Hari ini Wira mengajaknya jalan, tentu saja Dewi butuh waktu untuk berdandan. Baru saja mengeringkan rambutnya, sebuah ketukan membuatnya melirik ke arah pintu.

Wira udah dibilang nanti aja datengnya, malah sengaja dateng duluan ish, sebel ....

"Pulang dulu sana, setengah jam lagi baru ke sini lagi ...." Namun, perlahan ucapannya semakin lirih ketika melihat yang ada di depan pintu bukan Wira, tapi Jaya.

"Saya enggak ada waktu," balas Jaya yang tiba-tiba menerobos masuk ke dalam. Dalam waktu beberapa hari ini Jaya banyak berubah. Sorot matanya sama sekali tak ramah, kantong hitam bersarang di bawah matanya, sepertinya ia kurang istirahat. Jaya juga agak lebih kurus.

Sejujurnya Dewi bingung, tetapi ia masih takut pada Jaya. Ingin rasanya ia keluar kamar, tetapi entah apa yang akan Jaya lakukan nanti. "A-ada apa, ya?"

"Saya enggak bisa pulang ke kosan, saya butuh tempat istirahat, saya numpang tidur dulu." Jaya merebahkan dirinya di lantai.

"Eh, tunggu ... ini tuh kosan cewek, enggak seharusnya cowok masuk ke sini," ucap Dewi.

"Belakangan hari, saya sering memperhatikan tempat ini, pacar kamu sering main malem-malem dan pulang pagi, saya pikir tempat ini cukup aman," ucap Jaya. Wajah Dewi memerah ketika mendengar itu. "Wira enggak ngapa-ngapain ya!" ucap Dewi.

"Saya juga enggak ngapa-ngapain, cuma numpang tidur sebentar. Saya harus istirahat walau cuma sebentar, salah langkah sedikit, saya bisa mati."

Wajah Dewi berubah, sejujurnya meskipun ia takut pada Jaya, tetapi Dewi cukup khawatir, mengingat Jaya merupakan personil Mantra Coffee, yang mana hubungan mereka semua cukup dekat. "Selama ini, kamu ke mana aja? Kenapa udah enggak pernah dateng ke Mantra lagi?" tanya Dewi.

"Keberadaan saya cuma mengancam semua orang, saya ini yatim piatu yang dilepas di hutan, saya cuma seekor monster bertubuh manusia. Kamu lihat sendiri, kan? Ketika saya lepas kendali atas diri saya sendiri. Enggak ada yang bisa hentiin saya, kecuali diri saya sendiri. Intinya kalian enggak perlu ikut campur, saya akan bunuh semua musuh saya, setelah itu pergi jauh-jauh dari kehidupan kalian."

Dewi hendak berkata-kata, tetapi Jaya lebih cepat. "Saya tahu, kamu takut sama saya. Begitu pun semua orang yang tahu siapa diri saya. Maaf karena bikin enggak nyaman, saya pastikan, ini hari terakhir kamu lihat saya. Saya enggak akan datang lagi dan buat kamu ketakutan lagi, tapi tolong, saya mau istirahat sebentar."

Dewi terdiam mendengar kata-kata pria itu, entah, daripada takut, kini ia merasa kasihan pada Jaya. Dewi duduk sambil menatap Jaya yang tertidur membelakanginya. Wanita cerewet itu kini dibuat bungkam.

***

Di sisi lain, Rizwana baru saja tiba di sebuah gudang yang masih beroprasi, gudang itu memproduksi rum dalam jumlah yang cukup besar. Rawasura dan juga Ganapatih berada di sisinya.

"Aku pikir kau akan datang sendirian, ternyata kau cukup waspada juga ya, Joker?"

Rizwana tersenyum mendapat sambutan dari pria muda yang tampaknya merupakan bos dari tempat ini.

"Sudah aku bilang jangan masuk ke dalam kafe itu, di sana banyak saksi mata. Dan lagi, para orang-orang di dalam sana cukup merepotkan, Crows."

Anggota Satu Darah memang tak seakur kelompok-kelompok lain. Bahkan pria yang dipanggil Crows ini sejujurnya tak begitu mengenal Rizwana yang biasa dipanggil Joker di dalam pertemuan tahunan. Begitu pun sebaliknya. Sistem pada kelompok ini cukup unik, mengingat dalam Satu Darah mereka memiliki fraksi-fraksi tersendiri, seperti halnya Rizwana dan Kencana Selatannya, begitu juga dengan Crows dan Ravenousnya.

"Aku dengar tangan kananmu dipenjara?" tanya Rizwana mengingat Alex yang ditangkap tanpa perlawanan.

"Ah, itu sudah diatur," balas Crows. "Untung-untung seumpama target bisa tertangkap, tapi rupanya target cukup kuat. Meski begitu, kami bukannya melakukan hal yang sia-sia, setidaknya kita tahu bahwa Dharma bergerak. Ini akan menjadi perang." Crows menempelkan cerutu pada mulutnya, seorang pria jabrik mengeluarkan korek dari kantong jasnya dan membakar ujung cerutu Crows. "Jangan khawatirkan Alex, sebentar lagi dia akan bebas."

"Dharma bukanlah unit yang dapat disogok dengan uang," balas Rizwana.

"Masalahnya, tidak semua orang di kepolisian itu berada di unit tersebut," balas Crows. "Orang-orang ini tidak memiliki Dharma dalam dadanya. Tunggu saja, Alex akan keluar dan menggantikan kursi Komandan yang kosong itu."

Memang, pada perbincangan rahasia mereka, Crows ingin memberikan Alex untuk Kencana Selatan untuk mempermudah bisnisnya, mengingat Alex punya banyak keterampilan dan pengamatan yang cukup bagus dalam menangani berbagai situasi. Tentu saja Alex di sana hanya sampai kontraknya bersama Kencana Selatan berakhir.

"Kenapa harus Alex?" ucap pria jabrik yang bersama Crows. "Apa saya terlihat meragukan? Selalu saja Alex."

Crows hanya tersenyum mendengar ucapan anak buahnya. Ia menatap Rizwana. "Orang ini namanya Doni, dia juga salah satu eksekutif seperti Alex, bagaimana?"

Rizwana memberikan kode pada Rawasura, dalam waktu yang singkat, Rawasura menerjang ke arah Doni dengan kuku-kuku tajamnya, tetapi Doni mampu menghindar dan langsung menarik pistol dari dalam jasnya, ia memasukkan moncong pistolnya ke dalam mulut Rawasura.

"Refleksnya cukup bagus, oke," ucap Rizwana. "Terserah siapa pun orangnya, selama dia bekerja dengan benar."

Crows menatap Doni, ia memberikan kode untuk melepaskan Rawasura. "Mulai hari ini kau ikut mereka, Doni. Ikuti semua arahan orang ini dan kabari aku tentang semua gerak-gerik mereka. Jika perlu bantuan segera hubungi aku."

"Baik, Tuan," balas Doni sambil menundukkan kepala. Kini Crows dan Rizwana saling bertatapan, mereka saling memberikan tekanan. Rizwana menampilkan senyumnya. "Baiklah, aku bawa dulu orang mu ini." Ia memutar tubuhnya dan berjalan pergi.

"Ingat, Joker. Jika kau melukai anak buahku barang segores saja, aku akan membantai mu," ucap Crows. Rizwana hanya melambaikan tangan sambil tetap melangkah.

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top