43 : Kenangan di Masa Lalu

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Siang ini begitu terik, Harits berbaring di rumah sakit sendirian, sudah dua hari ia terhitung demam berdarah. Bagi anak rantau, sakit adalah hal yang menyebalkan. Bayangkan saja, kau harus berbaring tanpa kasih sayang orang tuamu. Sebaik-baiknya seorang sahabat, tidak akan ada orang yang lebih peduli padamu lebih dari orang tuamu.

Insomnia, ya, entah sudah berapa hari juga Harits tidak pernah mengenal yang namanya tidur. Selain sakitnya yang cukup meresahkan, ia kini tak bisa beristirahat, membuat fisiknya semakin lemah dan tak mendapatkan pemulihan.

Di kala ia merasa sendirian, kepalanya mulai berdenyut akibat kelelahan, pandangannya mulai menampilkan warna-warna yang pucat, ia melihat Rizwana berdiri di sebelahnya. Namun, hanya beberapa detik berlalu, sosok itu menghilang. Itu bukanlah Rizwana atau pun kemampuan anehnya, melainkan hanya halusinasi Harits yang kelelahan.

Pada satu titik, Harits merasa mengantuk, dan tanpa sadar ia tertidur setelah beberapa hari ini terjaga akibat insomnya. Tidurnya kali ini membawanya bernostalgia beberapa tahun ke belakang. Entah sudah berapa lama Harits tak pernah bermimpi, kini dalam tidurnya, ia kembali bermimpi.

***

Hari itu begitu terik, Harits kecil berdiri di depan sebuah perosotan berwarna merah. Harits adalah anak yang aneh, tak ada seorang pun yang ingin menjadi temannya. Mereka semua takut, karena Harits kerap berbincang dan tertawa sendiri tanpa sebab.

Bocah itu memanjat perosotan itu dan merosot seorang diri sambil tertawa. Padahal tak ada arwah di sana yang ia ajak bermain, Harits kecil hanya berusaha bahagia seorang diri. "Nyahahaha seru." Begitu ucapnya kala itu.

"Apanya yang seru?" tanya seorang anak laki-laki yang tiba-tiba muncul mengagetkan Harits. Anak itu cukup tampan, dengan kulit putih dan mata agak sipit. Senyumnya ramah menatap Harits.

Sejujurnya baru pertama kali ini Harits melihat anak itu. "Siapa kamu? Aku baru lihat." Harits memandang anak itu dari ujung kaki hingga ujung kepala.

Anak itu tersenyum. "Aku baru pindah ke sini, karena ayahku sekarang kerja di Jakarta." Ia menjulurkan tangan kanannya. "Namaku Rizwana." Harits menyambut salaman itu. "Harits."

"Kamu--enggak punya temen?" tanya Rizwana. Sejujurnya senyum itu cukup mengganggu. Bukannya terlihat ramah, kini senyum itu seperti seorang yang memiliki rencana jahat. Hal itu membuat Harits merasa tak nyaman.

"Harits!" Deva baru saja datang ke taman bersama Rava dan Chandra. Rupanya Harits sendirian sedang menunggu teman-temannya datang.

"Aku punya temen. Kamu yang enggak punya nyahahaha." Harits berlari meninggalkan Rizwana menuju teman-temannya.

Rizwana menatap Harits dan kawan-kawannya yang tampak sedang membicarakannya. Terlihat jelas, mereka semua memandangnya dari jarak yang agak jauh. Rizwana, terlahir dengan wajah murah senyum rupanya membuat ia dijauhi. Banyak orang yang tak nyaman dengan senyumannya, termasuk Harits dan teman-temannya.

Pada satu kesempatan, Septa berkunjung ke rumah Andis, mengingat mereka pernah jadi teman se atap dulu. Septa membawa Rizwana ikut dengannya. Itulah kali kedua pertemuan Harits dan Rizwana.

Harits tak begitu peduli dengan tamu ayahnya, alih-alih mengajak Rizwana bermain, ia malah pergi ke dan bersantai di halaman depan. Ketika sedang asik berbaring di rumput halaman sambil menatap langit, tiba-tiba Rizwana duduk di sebelahnya.

"Enggak punya temen?" tanya Harits mengembalikan kata-kata Rizwana.

"Punya," jawab Rizwana dengan senyum khasnya.

"Nyahahaha kasian yang jadi temen kamu."

"Berarti kamu kasian?" tanya Rizwana. "Temenku kan cuma kamu."

Harits beranjak dari posisinya, kini ia duduk menatap Rizwana. "Aku enggak pernah nganggap kamu itu temenku."

Mata mereka saling bertatapan. "Kenapa?" Rizwana memiliki kemampuan yang sama dengan Septa. Jika ia bertatapan selama lima detik dengan lawan bicaranya, itu akan membuat lawan bicaranya berkata jujur.

"Karena kamu aneh, sok akrab, dan senyum kamu itu mengganggu." Sejujurnya Harits cukup terkejut dengan apa yang ia ucapkan. Kini ia benar-benar jujur tentang penilaiannya terhadap Rizwana. Rizwana beranjak dari duduknya, ia tiba-tiba saja berjalan pergi meninggalkan Harits. Hingga Septa pulang, Rizwana sama sekali tak mengajak Harits berbicara, ia tak lagi mengganggu Harits.

Kini justru Harits yang melihat cerminan dirinya sendiri pada sosok Rizwana, ketika Harits belum bertemu dengan Deva dan teman-teman lainnya. Harits paham betul, tatapan Rizwana yang tampak penuh dengan kesendirian.

***

Sudah beberapa hari ini Harits bermain di taman, tetapi ia sama sekali tak menemukan sosok Rizwana. Biasanya hampir semua anak-anak bermain di taman ini, tetapi tidak dengan anak itu.

Keesokan harinya, Harits tak sengaja menangkap kehadiran sosok itu di sekitar taman. Rizwana tidak bermain di taman, ia hanya pergi untuk membeli mainan di abang-abang gerobak yang selalu menjual aneka ragam mainan di sekitar taman. Sore itu agak berbeda, Rizwana menggunakan sebuah masker.

Harits memutuskan untuk mengikuti Rizwana hingga ke rumahnya. Sesampainya di rumah, Rizwana masuk, sementara Harits bersembunyi di balik pohon yang tak jauh dari rumah Rizwana. Tak lama, bocah itu keluar membawa sebuah kotak yang cukup besar, kotak itu berisi mainan.

Rizwana biasa menghabiskan waktu dengan bermain mainan sendirian. Ia menggunakan masker karena muak dengan senyumnya sendiri. Entah, menurutnya itu bukan salahnya, tetapi kenapa orang-orang merasa tak nyaman dengan senyum yang bahkan tak ia harapkan itu.

"Apa serunya main sendirian?" tanya Harits yang tiba-tiba saja muncul. Tentu saja hal itu membuat Rizwana agak terkejut.

"Ah--Harits ...." Rizwna menatap pasukan mainannya. "Aku enggak sendirian."

Harits berjongkok berhadapan dengan Rizwana. "Kamu sakit? Kok pake masker?"

"Enggak, ini cuma buat ...." Belum selesai Rizwana berbicara, Harits mencabut masker itu. Namun, Rizwana menutupi mulutnya menggunakan tangan. Ia menganggap dirinya adalah seorang badut. Menyeramkan, dengan senyum psikopat.

"Maaf buat yang kemarin ...," tutur Harits. "Sejujurnya senyum kamu itu aneh dan bikin orang lain takut, tapi itu bukan salah kamu, bukan juga salah senyum kamu itu, jadi jangan ditutupin, karena enggak ada yang harus ditutupin." Perlahan Rizwana melepaskan tangannya hingga senyumnya kembali terlihat.

Namun, tiba-tiba scene berganti. Mimpi Harits membawanya maju ke depan, ketika ia menginjak bangku tiga SMA.

Waktu itu tinggal beberapa bulan lagi sebelum kelulusannya. Harits baru saja dihubungi oleh Rizwana, jika Kenzie sedang dalam kondisi kritis. Dengan napas tegopoh-gopoh, Harits yang baru saja tiba di kamar pasien langsung menatap tajam ke arah Elektrokardiograf. Alat yang merekam aktivitas elektrik di dalam jantung itu kini bergambar garis lurus.

Napas Harits tak beraturan, ia hendak memanggil dokter, tetapi tiba-tiba Rizwana tertawa terbahak-bahak, hal itu membuat Harits menghentikan langkahnya dan menatap ke arah Rizwana. Mereka bertiga adalah sahabat yang belum lama ini bersulang dan menobatkan diri mereka sebagai keluarga.

'Keluarga apa yang menertawakan kematian keluarganya sendiri?' begitu pikir Harits.

"Apanya yang lucu ... Rizwana?!" teriak Harits pada Rizwana kala itu. Rizwana menoleh ke arah Harits. Ia menangis sambil tersenyum, masih sambil menahan tawa. Sesekali tawanya lepas sehingga membuat Harits terbelalak.

Mengingat senyum itu, Harits terbangun dari tidurnya dengan keringat yang bercucuran. "Berengsek ...," umpatnya.

Pintu kamar Harits tiba-tiba saja terbuka, Deva yang baru saja pulang dari kampus langsung menjenguknya. "Udah makan lu?" tanyanya membawa sebuah bungkusan.

"Enggak laper," jawab Harits singkat.

"Enggak laper apa enggak napsu? Makan dulu nih." Deva memberikan bungkusan itu yang berisi cheese burger.

"Thanks, Dev."

"Lu kenapa? Kayak abis lari-larian gitu?" tanya Deva yang melihat keringat Harits.

"Cuma mimpiin masa lalu dan kenangan yang buruk."

"Mimpiin ditolak Nada?" ledek Deva sambil terkekeh.

"Yeh, mana mungkin!"

***

Di sisi lain, seorang pria terlihat ketakutan, ia berada di pojok gang dan tak memiliki jalan keluar. Seorang pria lain berjalan ke arahnya, ia mengenakan hoodie berwarna biru dongker, terdapat bercak darah di tangannya.

"Apa yang kau cari?!" ucap pria yang ketakutan itu.

"Saya tanya sekali lagi, apa kamu kenal Wengi? Dia pria yang ramah dengan rambut sepanjang pinggang."

Pria yang gemetar itu menatap beberapa jasad yang tergeletak di tanah. Seorang Kapten tumbang dihadapannya. Jika sekelas Kapten saja kalah, apa lagi dirinya yang hanya anggota biasa. Ia meneguk ludah. "Y-ya ... Wengi adalah mantan Komandan Kencana Selatan ...," ucap pria itu gemetar.

Topeng merah yang menghiasi wajah pria berhoodie itu semakin membuat pria yang ketakutan tersebut bergidik ngeri. "Siapa yang membunuh Wengi?" tanya pria bertopeng merah. Namun, pria yang ketakutan itu tak mampu menjawab.

"Siapa yang membunuh Wengi?!" Kuku-kuku tajam menusuk dinding tepat di sebelah kepala pria yang ketakutan itu.

"Rawasura! Ettan Rawasura!" ucap pria itu sambil menangis ketakutan.

Pria bertopeng itu membuka topengnya. Orang itu adalah Jaya. "Seperti apa Rawasura itu?" tanya Jaya.

"Penampilannya seperti seorang rapper, dia memakai topi secara terbalik dan wajah yang garang," jawab pria itu. "Dia Komandan dari regu penyerang dan merupakan Komandan terkuat di Kencana Selatan."

"Ettan Rawasura, ya ...." Setelah selesai dengan orang itu, Jaya kembali mengenakan topeng Bapang, lalu menusuk perut orang itu dan menarik ususnya keluar. Orang itu tak bisa berteriak karena Jaya menutup mulutnya dengan tangan satunya. Seketika orang itu mati di tempat. Jaya benar-benar kehilangan dirinya, kini tujuannya hanya ingin membunuh seluruh anggota Kencana Selatan, tak terkecuali, terutama Ettan Rawasura.

***

Sementara Jaya membantai anggota Kencana Selatan, Rizwana sedang duduk memainkan sebuah rubik, hingga Ganapatih datang ke hadapannya. "Lagi-lagi kita kehilangan anggota dan seorang Kapten."

Rizwana melempar rubik itu hingga membentur kepala Ganapatih. "Ini rencana yang kau buat, urus saja sendiri. Membunuh Wengi bukan bagian dari tujuan. Aku tahu dia seorang multi agen, itu pun bisa menjadi keuntungan kita dengan mendesaknya untuk memihak kita. Sekarang kita kehilangan banyak informasi." Ia tampak kesal pada para Komandannya yang membunuh Wengi tanpa persetujuannya. "Tentu saja sekarang orang bar-bar itu mengincar kita karena kematian rekannya."

"Maaf ...," ucap Ganaptih lirih dengan wajah menyesal.

Namun, tiba-tiba Rizwana tersenyum. "Tidak, ini malah semakin menarik, aku punya ide bagus."

"Ide apa itu?"

"Era lama harus diakhiri. Peti Hitam adalah salah satu kelompok tertua. Bawa Jayasentika ke sini hidup-hidup, Kencana Selatan akan merayakan Walpurgis."

Menurut cerita rakyat Jerman, malam Walpurgis adalah sebuah malam ketika para penyihir berpesta dan menari di Brocken, puncak dari perayaan di pegunungan Harz ini untuk bersenang-senang dengan Iblis. Perayaan tersebut dilakukan para penyihir dengan cara menyalakan api unggun (maifeuer) dan melompatinya.

"Walpurgis?" tanya Ganapatih yang cukup terkejut.

"Ya, kita akan mengumpulakn seluruh fraksi dari dunia gelap, lalu memenggal kepala Jayasentika tepat di hadapan semua orang sebagai simbolis bahwa era lama telah berakhir, dan pemilik era ini adalah Kencana Selatan," ucap Rizwana sambil tersenyum.

"Perintahmu, Rizwana ...." Ganapatih menundukkan kepalanya.

Rizwana bangun dari singgasananya. "Seluruh Komandan boleh bergerak, bawa Jayasentika hidup-hidup ke hadapanku."

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top