40 : Rencana Jahat

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Dirga baru saja selesai mandi, ia keluar menggunakan handuk yang melingkar di bagian pinggang ke bawah. Tubuh kekarnya yang tak terkesan besar itu masih agak basah seperti rambutnya yang acak-acakan belum disisir.

Suara ketukan di pintu kamar hotelnya membuat Dirga menatap tajam ke arah pintu. "Siapa?" tanya Dirga dengan suara yang agak lantang, tetapi tak ada jawaban. Dirga berjalan ke arah pintu dengan hati-hati. "Halo, siapa?" Ia meraih gagang pintu sambil bersiap jika itu adalah sebuah serangan. Dengan cepat Dirga membuka pintu.

Namun, itu hanyalah Abi yang sedang menelpon seseorang ternyata. "Yaudah, nanti gua hubungin lagi." Abi mematikan panggilan tersebut, lalu masuk ke kamar Dirga.

"Gua pikir siapa," ucap Dirga sambil menghela napas. "Jadi, gimana soal pria bernama Alex itu?"

"Enggak ada Septa, ini enggak akan berjalan mulus. Dia bersikeras tutup mulut."

Dirga mengambil celana dan masuk ke dalam kamar mandi lagi. "Terlalu cepat menyimpulkan kalo dia adalah anggota Satu Darah yang dimaksud Kei," ucap Dirga. "Satu darah itu isinya orang-orang enggak beres. Gua pernah ketemu salah satunya, namanya Siriz. Dia memperbudak kematian dan seorang diri mampu membuat Jogja gempar."

Abi tampak sedang berpikir. "Dan Bayu dengan mudahnya membungkam si Alex ini. Ya, Bayu emang kuat, tapi masih jadi pertanyaan apakah Alex memang orang yang dimaksud, atau bukan. Yang jelas, Alex masih menyembunyikan sesuatu."

Dirga keluar dari kamar mandi, ia mengenakan celana pendek dan handuk yang menutupi bahunya. Dirga menyisir rambutnya ke belakang dengan tangannya, seraya matanya yang menatap Abi. "Mana Agha?"

"Oh, itu. Dia bilang mau nemuin seseorang dulu."

***

Gemerincing lonceng tanda kehadiran pengunjung, seorang pria bejaket hijau tua masuk ke dalam kafe, ia mengenakan penutup mata berwarna putih yang menutupi mata kirinya. Melodi menghampirinya sambil membawa menu.

Melodi menatap orang itu sambil berusaha mengingat, sepertinya wajahnya begitu familiar. Memang banyak hal yang terjadi di Bandung, Chandra pernah menghapus ingatan semua yang terlibat dalam kasus Suratma Projek, tetapi hal itu tak akan berlangsung selamanya. Perlahan Melodi mulai merasa pernah bertemu dengan orang ini, terlebih lagi saat kejadian bom saat acara konser Aqilla setengah tahun lalu.

"Agha," sapa Deva dari balik meja kasir. Agha menoleh ke arah Deva tanpa membalas sapanya. Pria itu memang terkenal dingin, apa lagi dulu hubungannya dan Deva kurang baik.

"Temen kamu, Dev?" tanya Melodi.

"Iya, anak Dharmawangsa juga."

"Oh, pantesan kayak pernah liat gitu, ternyata kakak kelasnya Vian." Melodi menjulurkan tangannya ke arah Agha. "Melodi," ucapnya memperkenalkan diri. Agha menyambut tangan itu. "Agha," balasnya singkat.

"Pesen aja dulu, nanti ada bonus makanan ringan buat kamu," ucap Melodi sambil tersenyum.

Wajah Agha memerah, sudah lama ia tak melihat senyum manis Melodi. "O-oke." Namun, tampaknya Agha kesulitan dalam memilih menu, sehingga Melodi harus aktif dan menjelaskan tentang beberapa menu sambil merekomendasikan menu signature.

Terpilihlah Vanilla latte dan onion ring sebagai camilannya. "Ditunggu, ya." Melodi membawa daftar menu ke arah Nada di dapur.

Deva masih menatap Agha, pasalnya ia tahu bahwa Agha menyukai Melodi. Sejak di Bandung pun Agha juga paham, bahwa Deva dekat dengan Melodi. Hal itulah yang membuat hubungan kedua orang ini agak merepotkan Chandra. Pria gondrong dengan apron cokelat itu berjalan ke arah Agha.

"Kemunculan Ayah pasti ada kaitannya kan sama kehadiran lu?" tanya Deva. "Dharma junior."

Agha tak menjawab, ia hanya menatap Deva sambil menyembunyikan tangan di kantong jaketnya.

"Kencana Selatan?" tanya Deva.

Agha yang tadinya bersender di kursi segera memajukan posisi tubuhnya condong ke arah Deva, ia masih menatap Deva tanpa kata. Perlahan tangan kanannya keluar dari jaket, ia menempelkan jari telunjuknya ke bibir.

Deva menghela napas, ia berjalan pergi meninggalkan Agha. Menurutnya kemunculan Dirga dan Bayu adalah alasan utama seorang Agha Wardhana berada di Jogja. Entah, sepertinya Kencana Selatan merencanakan sesuatu yang sangat kelam, hingga membuat unit Dharma bergerak.

Di sisi lain Nada mencari keberadaan Harits yang tak bisa ia temukan. "Nyariin Harits?" tanya Melodi.

"Enggak kok," jawan Nada singkat.

"Kamu lupa? Dia kan hari ini off," sambung Melodi. Memang Mantra Coffee memiliki shift kerja, hari ini giliran Harits dan Cakra yang off. Namun, jika keadaan kafe ramai, terkadang pegawai yang off pun kerap ikut membantu, dengan hitungan lembur.

***

Harits dan Cakra baru saja selesai makan di sekitaran kampus AMIKOM, kini mereka kembali menuju Mantra lewat belakang, karena mereka berdua tak menggunakan helm.

Cakra mengerutkan dahinya saat melewati stadion Maguwo, alih-alih menuju Mantra, Harits menepikan motornya. Daerah stadion merupakan daerah yang sepi dan masih dihuni oleh banyak pepohonan. Keadaan gelap dengan bermodalkan penerangan seadanya.

"Mau ngapain deh?"

Harits mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya, lalu menyalakan korek dan membakar ujung rokoknya. Ia tak menjawab pertanyaan Cakra, dan memilih untuk menghisap rokoknya. Kepulan asap membaur dengan angin malam. "Lu suka sama Nada?" ucap Harits tiba-tiba.

Kini giliran Cakra yang terdiam tak menjawab pertanyaan itu. Sesekali ia tersenyum sambil turun dari motor. "Enggak ...."

Harits menghisap rokoknya kembali, lalu membuang asapnya seraya memotong ucapan Cakra. "Jangan bohong, kita terbuka aja." Ia pun juga turun dari motornya.

Cakra berjalan hingga ia berada di depan motor Harits. "Penting banget, ya?"

"Penting," jawab Harits singkat.

"Entah," balas Cakra. "Cuma itu jawaban gua."

Harits menunduk dan menempelkan ujung rokoknya ke aspal jalan untuk memadamkan apinya. "Sekali lagi gua tanya. Lu suka, kan sama Nada?"

Cakra menghela napas. "Sejujurnya--iya."

Tepat setelah ucapan itu keluar, kepalan tangan Harits sudah berada di pipi Cakra, membuat pria berambut abu-abu itu terjatuh. Hal itu memancing emosi dalam diri Cakra, ia bangun dan membalas pukulan Harits. Harits terbelalak menerima pukulan Cakra, sejujurnya ia terkejut dan tak mengira bahwa Cakra akan membalasnya.

"Apa pukulan barusan sakit?" tanya Harits.

Cakra dia tak menjawab, ia menatap Harits penuh emosi. Sementara harits kembali duduk di motor dan menyalakan mesinnya. "Ayo pulang." Namun, Cakra masih diam sambil menatap tajam ke arah Harits. Harits menoleh ke arah Cakra. "Yang barusan cuma peringatan gua sebagai temen lu. Berani suka sama dia, artinya lu harus berani terluka. Pukulan gua barusan, enggak sesakit ketika harapan lu yang pupus."

"Sejak awal gua paham resikonya." Cakra pun kembali duduk di jok belakang. "Suka bukan artinya harus memiliki. Gua cuma suka sewajarnya aja." Kini ia tersenyum dan menepuk pundak Harits. "Makasih udah reminder di awal, gua pikir lu marah."

"Marah?" Harits berusaha menahan tawanya, tetapi tidak bisa. "Nyahahaha buang-buang energi aja. Mungkin kalo cemburu iya, tapi tinggal masalah waktu aja sampe rasa itu bener-bener ilang seutuhnya."

"Orang bilang--perkelahian antar lelaki itu membuat hubungan pertemanan makin erat, ternyata benar, ya?" tanya Cakra.

"Enggak, yang tadi cuma peringatan. Bukan perkelahian. Kalo tadi kita berkelahi, lu udah pasti babak beluk nyahahaha."

"Hahaha iya juga ya." Kini mereka berdua mengisi perjalanan pulang dengan obrolan-obrolan renyah.

***

Di sisi lain, Ganapatih menjumpai Rizwana di apartemennya. Semenjak informasi perihal markas mereka sudah dibocorkan oleh Wengi, Kencana Selatan mulai mencari markas baru, dan saat ini mereka sedang tercerai berai.

"Ravenous bergerak sendiri, kini mereka semua berada di dalam penjara," tutur Ganapatih.

"Tidak, semua sudah masuk ke dalam rencana," balas Rizwana.

"Rencana?" Ganapatih mengerutkan dahinya.

"Ravenous dipimpin oleh seorang Satu Darah. Kami tidak saling mengenal secara harfiah, hanya secukupnya saja. Orang itu dipanggil Viper."

"Pantas saja Alex tidak takut ketika aku menggunakan nama Satu Darah," ucap Ganapatih.

Rizwana hanya tersenyum. "Ravenous memiliki dua Komandan, Alex dan Doni. Yang tertangkap itu Alex dan pasukannya, Ravenous kehilangan setengah kekuatan tempurnya."

"Dan apa maksud dari rencana yang kau sebutkan tadi?" tanya Ganapatih.

"Polisi tidak tahu siapa pimpinan jelas Ravenous, mungkin saat ini Alex membuat mereka menerka-nerka. Ayahku sudah mati, tidak ada yang bisa mengorek informasi lagi. Dan anak-anak Mantra Coffee itu pasti mengira bahwa mafia yang mengincar mereka sudah ditangkap seutuhnya, kita buat mereka merasa aman sementara."

"Ketika mereka lengah, kita hajar mereka dan merebut Tuan Putri mu itu?"

Rizwana tak berkomentar, ia hanya tersenyum menatap jalan raya di luar apartemennya. "Ah, iya ...."

Ganapatih melirik ke arah Rizwana. "Apa?"

"Sekarang para Mantra muda itu sedang mengalami konflik internal. Kirim paketnya malam ini."

Ganapatih menyeringai. "Kau yakin?"

"Tidak ada yang lebih menarik daripada menciptakan keputusasaan pada manusia dan memberikannya harapan baru."

"Baiklah, aku pergi dulu kalau begitu." Ganapatih berjalan keluar. Sementara Rizwana masih tersenyum menatap keluar jendela. Tangannya gemetar, matanya terpejam sambil menarik napas dalam-dalam.

***

Cakra dan Harits baru saja pulang, melihat pengunjung yang jumlahnya tak karuan, mereka mengambil apron dan memutuskan untuk lembur.

"Muka kamu kenapa?" tanya Nada ketika melihat wajah Cakra yang agak bengkak di bagian pipi atas. Cakra melirik ke arah Harits. "Harits yang mukul?"

"Enggaklah, masa dia," bantah Cakra. "Tadi ada preman yang minta uang, Harits yang nolongin aku malah."

Nada tersenyum, lalu berbisik. "Emang baik dia tuh ...."

Di tengah aktivitas mereka, seorang kurir datang membawa paket. Melihat itu, Cakra segera menuju pintu depan.

"Paket atas nama Emil Jayasentika," ucap kurir itu.

"Oh, Jaya. Iya betul."

Kurir itu memberikan kertas serah terima, dan Cakra langsung membawa paket itu masuk. Sebuah paket besar yang dibungkus kardus sepertinya. "Jay, ada paket."

Jaya menoleh sambil memicingkan matanya. "Paket apa?" Cakra mengangkat bahunya, ia pun tak tahu apa itu.

"Akhirnya, Jaya ngerti cara belanja online! Nyahahaha," gumam Harits.

"Ih, jangan digituin, nanti dia malu," balas Nada sambil mencubit lengan Harits.

"Aw, aw, ampun, sakit ...." Harits berusaha menjauh dari Nada. Cubitan gadis itu benar-benar bukan cubitan manusia biasa.

"Wih apa tuh, Jay?" tanya Melodi.

Deva menatap Melodi yang biasanya hampir tak pernah mengajak Jaya berbicara. Belakangan ini mereka jadi sering berbincang ringan. Bahkan biasanya Melodi yang memulai percakapan.

"Saya enggak tahu ini apa, saya juga enggak merasa beli apa-apa."

Apa ini dari Wengi, ya?

"Coba saya buka deh, daripada penasaran." Jaya memulai unboxing dan yang lainnya menatap dari jarak yang agak jauh dari posisi mereka. Ketika kotak itu terbuka, raut wajah Jaya berubah dalam sekejap.

"Apa isinya, Jay? Paling-paling baju bekas buat bansos nyahahaha," tanya Harits yang penasaran dan berjalan ke arah Jaya.

Jaya tak menjawab, napasnya tak beraturan. Pandangannya kosong menatap lurus ke isi di dalam kotak. Cahaya matanya redup seolah tak ada gairah hidup. Air matanya menetes di wajah datarnya, tak ada ekspresi sedih di wajahnya. Jaya seperti kehilangan ekspresinya.

"Jay, kenapa?" Harits menyentuh pundak Jaya. Ia heran melihat Jaya yang tiba-tiba seperti itu.

"JANGAN SENTUH SAYA!" Jaya mengayunkan tangannya memukul wajah Harits dengan sangat keras. Harits terpental ke dinding dengan hidung berdarah, sepertinya hidungnya patah akibat pukulan barusan. Dalam sekali pukul ia tumbang kehilangan kesadaran. Semua mata terkejut, bahkan Dewi pun teriak histeris dari kursi pelanggan. Melihat Dewi yang ketakutan, Wira merasa ada yang tak beres.

"Harits!" Nada langsung berlari ke arah Harits yang terkapar.

"Jay?" Cakra berjalan mendekat. "Are you okay?"

Jaya mencengkeram meja bar dan melompati meja itu, kini dengkulnya berada tepat di depan wajah Cakra.

"Cakra awas!" teriak Melodi. Namun, terlambat, pergerakan Jaya lebih cepat, kini Cakra mundur beberapa langkah akibat benturan dengan dengkul Jaya. Belum cukup di situ, Jaya berlari ke arah Cakra dan melesatkan tinju ke ulu hatinya hingga Cakra memuntahkan makanan yang belum lama ini ia habiskan.

Deva, pria gondrong itu kini sudah menggunakan Tumenggung dan muncul di belakang Jaya, ia langsung menendang Jaya tanpa bertanya perihal klarifikasi kejadian ini. Namun, Jaya menangkisnya dengan tangan kiri tanpa melihat Deva. Hal itu membuat Deva menghilang kembali, dan muncul di sisi sebelahnya. Kini Jay menoleh. Bapang dan Tumenggung saling bertatapan.

Itu, kan!

Jay mencabut Tumenggung dari wajah Deva, kemudian ia mengepalkan tangannya dan meninju wajah Deva menggunakan tangan Bapang. Memang ketika Jaya meninju, tak ada efek seperti cakarnya, tetapi kulit Bapang yang keras membuat Deva seperti terhantam baja.

Deva terjatuh, ia hendak bangkit, tetapi Jay menginjak dadanya dan meninjunya lagi, lagi, lagi, lagi, dan lagi.

"Jaya! Berhenti!" teriak Melodi sambil menangis. Jaya sedikit berhenti, tetapi kemudian ia melanjutkan aksinya kembali. "Seseorang tolong! Deva bisa mati!" Melodi histeris melihat Deva yang berlumuran darah akibat tinju bertubi-tubi dari Jaya.

"Agni!"

Sebuah tinju di kepalanya membuat wajah Jay yang tertutup topeng terhantam lantai. Jaya menatap Wira sambil beranjak dari posisinya.

"Wira, hati-hati!" teriak Dewi ketakkutan.

"Tenang, selama ada aku ...." Belum sempat Wira menyelesaikan obrolannya, ia dibuat merinding oleh aura yang keluar dari tubuh Jaya. Perlahan keringatnya bercucuran.

Pantes Dewi takut, orang ini punya hawa membunuh yang lebih parah dari Rawasura ....

Semua pengunjung yang hanya penting uangnya saja itu mulai berhamburan karena takut. Hal ini membuat hanya karakter-karakter utama yang tersisa. Hawa panas mulai menyelimuti Mantra, Wira tampaknya mulai serius.

"Maju sini, keparat Martawangsa ...," tutur Wira sambil memprovokasi Jaya yang berdiri menatapnya tajam dari balik topeng Bapang.

Nada menoleh ke arah kotak yang kini terjatuh di lantai karena ditinggalkan pemiliknya, ia berjalan ke arah kotak itu dan ingin melihat apa yang membuat Jaya jadi seperti itu.

"Aaaaaaaaaaaaaaa!" teriakan Nada membuat semua menoleh ke arahnya, kecuali Jaya. Nada terduduk lemas menatap kepala Kiweng di dalam kotak.

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top