39 : Musim Semi Untuk Diri Sendiri

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Sudah terhitung tiga hari setelah serangan Ravenous, kini pasukan yang melakukan penyerangan terhadap Mantra Coffee itu sudah dimasukan ke dalam penjara. Tentu saja Alex, sebagai atasan mereka di tempatkan di tempat yang berbeda, mengingat ia bukan sembarangan orang, dan merupakan salah satu buronan unit Dharma.

Malam ini Bayu mengajak Jaya mencicipi salah satu makan kesukaannya ketika berkuliah di Jogja dahulu. Namanya gongso, sejenis tongseng ayam yang berada di daerah Monjali. Tentu saja kini tempat makan itu sudah berpindah tangan pada anak si penjual, mengingat Bayu berkuliah di Jogja bertahun-tahun silam. Ajaib mengetahui bahwa warung tendaan itu masih eksis sampai sekarang. Setelah memesan, mereka kini terdiam hingga beberapa saat, tetapi Jaya mulai memecah keheningan.

"Wengi sehat?"

Bayu memejamkan matanya sambil menghela napas, kini ia membuka matanya sambil menatap Jaya. "Ya, dia baru aja pulang pas sebelum ayah berangkat," jawab Bayu dengan wajah datar seperti biasanya.

Jaya terlihat sedih. "Jaya--minta maaf ... selama ini Wengi jadi harus repot-repot ngikutin Jaya. Padahal bukan itu yang dia mau."

Bayu kembali memejamkan matanya, ia berusaha menjaga sikap agar Jaya tak mengetahui tentang kematian Wengi, ada sesak yang menumpuk di hatinya. Tentu saja Bayu paham, Wengi tidak ingin Jaya tau perihal kematiannya, karena itu akan membuatnya marah. Wengi pernah berkata, jika ia ingin mewujudkan impian Jaya ancol--eh, impian Jaya doang deng. Wengi ingin melihat masa depan yang selalu Jaya bicarakan ketika mereka selalu bersama.

"Dulu kamu pertama kali masuk sekolah itu digangguin sama anak-anak nakal. Katanya kamu orang utan, gara-gara kamu tinggal di dalam hutan," ucap Bayu. "Kamu inget itu?"

"Ya." Jaya tertawa sambil mengingat masa lalunya. "Wengi yang selalu nyuruh aku bersabar buat enggak ngebunuh mereka. Dia bilang, ketika aku menumpahkan darah, maka aku enggak akan pernah lepas dari keadaan pada saat itu."

"Sejak saat itu kamu enggak pernah lagi berburu orang-orang dengan niat jahat yang masuk ke hutan kita. Kamu berusaha buat hidup seperti anak-anak normal. Belajar, mengerjakan tugas, kamu mulai belajar memasak, membaca, menggambar, dan hal-hal yang enggak pernah dilakuin anak lain di Peti Hitam." Bayu kembali menghela napas. "Semua itu berkat Wengi--dan ayah akan memastikan bahwa kamu enggak akan berubah dan tetap menjadi Jaya yang seperti ini."

"Aku beli hadiah buat Wengi, bisa aku titip ke ayah?"

Bayu menggeleng. "Enggak. Suatu saat, kamu yang harus ngasih dia secara langsung."

"Iya juga ya, biar dia kaget," ucap Jaya sambil tertawa. Namun, tiba-tiba Jaya tersenyum getir menatap ke arah kakinya sendiri. "Maaf--kalo selama ini Jaya selalu ngelawan dan enggak hormat sama Ayah."

"Ayah tau, kamu benci Ayah karena ngelarang kamu untuk tahu dunia luar. Juga tentang tato ke kening kamu yang selalu kamu tutupi itu. Ayah yakin, rasa sakit itu masih membekas." Bayu tersenyum tak kalah sendu. "Ayah mendidik kamu dan adik-adik kamu bukan sebagai manusia selama ini. Ayah enggak berbakat jadi orang tua ...."

"Wengi pernah bilang, kalo tanpa Ayah, kami semua mungkin jadi makanan hewan buas di hutan. Kalo enggak ada Ayah, kita semua enggak akan jadi keluarga. Aku mulai berpikir bahwa, aku yang terlalu egois. Aku sangat berterimakasih karena Ayah udah sudi buat ngurusin Jaya, Wengi dan yang lainnya. Maaf kalo selama ini belum bisa buat Ayah bangga."

Bayu beranjak dari duduknya. "Ayah mau ke Indomaruk dulu, kamu di sini aja." Bayu berjalan menyebrang jalan menuju Indomaruk. Sesekali ia mengusap matanya. Bayu hanya tak menyangka kalimat itu keluar dari anak yang paling membencinya.

Tentu saja, Bayu akan menuntaskan masalah kematian Wengi dan membalaskan dendam agar Jaya tak perlu repot-repot menanggung separuh kemarahannya. Misi utamanya adalah untuk menjaga Jaya agar tidak kehilangan kendali atas dirinya karena kematian Wengi.

***

Berbeda dengan Bayu dan Jaya yang menghabiskan waktu dengan kuliner malam, kini Cakra sedang bermain basket di sebuah lapangan komplek dekat kafe. Ia hanya bermain sendiri dan melakukan tembakan ke arah ring.

"Yeeey hebat."

Cakra menoleh ke pinggir lapangan. Nada berdiri di sana membawa sebotol air mineral untuk Jaya. Segera Cakra meninggalkan bola dan berjalan ke arah Nada. "Kamu ngapain?" tanya Cakra.

"Aku lagi iseng jalan malem sendirian, eh enggak sengaja denger suara bola basket dan tertarik buat liat. Eh, ternyata Cakra Petang Buana."

"Bisa main basket?"

Nada membalasnya dengan gelengan kepala.

"Sini aku ajarin." Cakra menarik tangan Nada dan membawanya ke tengah lapangan kecil itu.

"Cakra, aku enggak bisa." Nada berusaha menahan langkahnya agar tak bergerak dari tempatnya, tetapi Cakra lebih kuat, ia menuntun Nada sambil mengambil bola.

"Bisa kalo dicoba." Kini Cakra berdiri di belakang Nada dan membantunya membentuk postur shoot.

"Cakra, aku enggak bisa ih."

Cakra masih saja membantu Nada melakukan gestur menembak. Ia kini menarik tangan itu ke belakang. "Hitungan ketiga, tembak ya."

"Satu, dua, tiga!" Cakra yang masih memegang tangan Nada, membantu Nada untuk mendorong bola. Nada melepaskan bola ketika mendengar aba-aba dari Cakra. Mereka seakan menatap bola itu dalam tayangan lambat.

Begitu bola masuk ke dalam ring, nada tersenyum sambil melakukan selebrasi secara refleks. Ia menggoyangkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Melihat itu Cakra pun tersenyum. "Ketika seorang manusia masih belum berhenti berjuang. Maka, kemungkinan nol persen itu enggak akan ada."

Nada menoleh ke arah Cakra, ia tersenyum sambil menyampingkan poninya. "Makasih ya, Cakra."

Cakra membalas senyum itu. "Sama-sama." Cakra berjalan mengambil bola basketnya. "Oh iya, gimana kondisi kamu sama Harits?"

"Udah biasa aja sih, tapi masih agak canggung gitu. Ya, seenggaknya si Harits enggak jutek, dia masih bisa petakilan, itu udah cukup sih."

"Syukur deh," balas Cakra. "Kalo sama Faris?"

Nada terlihat murung. "Sejujurnya, sejak terakhir dia ke sini, aku udah enggak kontakan lagi."

"Kenapa gitu? Kamu merasa enggak enak sama dia?"

"Bukan, Faris menghilang. Semua sosmednya enggak aktif dan chat whatsapp ku pun cuma centang satu."

"Rumit, ya ...." Cakra duduk dan melempar bola ke atas sambil memutarnya. Sementara Nada hanya berusaha tersenyum.

"Di saat aku mulai mencoba membuka hati, aku malah kehilangan dua-duanya, Cakra ...."

"Enggak. Kamu enggak kehilangan apa pun, karena sejatinya mereka berdua bukan punya kamu, kan?"

"Iya sih ...."

"Dan besok, selepas musim dingin berlalu ...," ucap Cakra. Nada terdiam menatap pria yang tampak sedang berpikir itu. "Salju perlahan mencair ...." Nada masih menatapnya. "Tiada lagi rindu yang membeku."

"Sayangnya, musim dingin tiada pernah berakhir ...," balas Nada. Kini Cakra yang menatapnya. "Sebab dia yang menghilang, pergi membawa musim semiku."

Cakra tersenyum, ia menoleh ke arah langit. "Tak mengapa ia yang pergi, mencuri musim semimu, sebab ...." Nada terdiam menatap Cakra, tetapi Cakra hanya tertawa tanpa suara.

"Sebab apa, Cakra?! Kok malah ketawa-tawa?"

Cakra beranjak dari duduknya. "Sebab aku pusing mikirin lanjutannya hahaha." Kini giliran Nada yang tertawa mendengar itu, tetapi dengan suara yang cukup keras dan menggelitik.

Terbentuk guratan di sudut-sudut bibir Cakra hingga membentuk kurva. Sebab kamu adalah musim semi untuk diri kamu sendiri.

"Mau es krim enggak? Hadiah karena udah masukin bola ke dalem ring," ucap Cakra.

"Mau! Mau! Mau!" jawab Nada dengan antusias.

"Ayo, kita ke Indokaret!" balas Cakra yang berjalan keluar lapangan diikuti Nada.

"Es krim mochi vanilla, boleh?" tanya Nada.

"Ambil sebanyak yang kamu mau, mumpung musim dingin belum berakhir," jawab Cakra.

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top