38 : Penyerangan

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Melodi masih berjalan menenteng motornya di tengah hujan. Ban motornya bocor ketika ia hendak pulang. Akhir-akhir ini Deva sering terlambat menjemputnya, hingga pada akhirnya Melodi memutuskan mulai membawa motor sendiri.

"Melodi."

Melodi menoleh ke arah kerumunan orang yang sedang berteduh, Jaya ada di tengah orang-orang itu. Pria itu segera berlari menghampiri Melodi.

"Kenapa hujan-hujanan?"

Melodi tak menjawab, ia masih sibuk berjalan menenteng motornya. Hingga Jaya merebut motor vespa kuning itu.

"Jaya! Apaan sih?" ucap Melodi ketus.

"Di sebelah sana ada bengkel, semoga aja buka." Jaya menenteng Motor Melodi dengan sedikit berlari. Untungnya bengkel tersebut buka dan mereka harus menunggu hingga ban selesai ditambal. Tak ada kata yang terucap di antara dua orang yang basah kuyup itu.

Tak butuh waktu lama, ban Melodi telah selesai diperbaiki. Melodi membayar biaya tersebut dan berterimakasih pada Jaya, tetapi rupanya mesin motornya tak mau menyala.

"Motornya enggak pernah servis dan ganti oli ya, mbak?" ucap penjaga bengkel. Sementara Melodi yang sudah lelah hanya menggeleng. "Turun mesin ini."

"Bisa dibenerin?" tanya Melodi.

"Bisa, tapi lama. Kalo mau nginep motornya, besok pagi atau siang baru diambil. Soalnya ada beberapa antrian."

Rasanya hari ini begitu sial, ingin rasanya Melodi memakan orang.

"Yaudah, daripada enggak ngapa-ngapain, dan bengkel di sini cuma ada ini aja yang terdekat," ucap Jaya. "Saya anterin aja pulangnya."

Sebenarnya Melodi sangat anti dengan Jaya, bukan hanya Jaya, tetapi orang-orang yang mempunyai potensi untuk membuat Deva cemburu, tetapi tak ada pilihan lagi. Mereka yang sudah terlanjur basah berjalan bersama menuju Mamat.

"Motor kamu kalo hujan bukannya nyalanya lama?" tanya Melodi.

"Udah enggak kok." Jaya naik ke atas motornya dan menghidupkan mesin, kemudian Melodi duduk di belakangnya.

Melodi hanya melamun, tak sadar jika arah mereka berlawanan. Jaya membawanya ke kos-kosannya. "Eh, ini ke mana?" tanya Melodi yang baru saja sadar dari lamunannya.

"Kos-kosan saya," jawab Jaya singkat.

Pikiran Melodi mulai tak karuan. "Kamu mau ngapain aku?!"

Jay bersikap biasa saja. "Saya mau ganti baju dulu, jarak dari sini ke Mantra itu jauh, nanti masuk angin naik motor basah-basahan." Jaya masuk ke dalam kosnya dan masuk ke kamar mandi, sementara Melodi ikut masuk ke kamar kos karena di luar dingin.

Gadis itu menatap topeng-topeng yang tergantung di dinding, bahkan ada beberapa topeng yang masih setengah jadi, dan tergeletak di atas meja. Sekeluarnya Jaya dari kamar mandi, Melodi pun bertanya. "Topeng-topeng ini kamu yang buat?"

"Iya, ayah saya punya banyak topeng, saya tertarik dan akhirnya ngambil jurusan seni rupa."

"Ini topeng-topengnya kamu jual?"

"Iya, saya pernah bilang kalo saya punya kerjaan lain. Ini kerjaan saya, pengrajin topeng." Jay memberikan baju milik Wengi yang masih tertinggal di lemari. "Kamu ganti juga gih, abis itu kita ke Mantra."

"Mana muat?" Melodi menatap Jay yang memang lebih tinggi dari padanya.

"Ini punya adik saya, dia seukuran kamu," balas Jay sambil tersenyum.

"Adik? Aku baru tahu kamu tinggal sama adik kamu."

"Tapi dia udah pulang ke Garut kemarin, katanya enggak betah di Jogja."

Melodi tak berkomentar, ia hanya mengangguk sambil berjalan ke kamar mandi. Ia mengenakan kaos hitam lengan panjang yang ukurannya pas dengan badannya, di tambah sebuah jaket dengan simbol peti mati.

"Jaketnya serem banget," ucap Melodi.

"Adik saya emang ghotic parah orangnya."

Setelah itu mereka berdua menunggu hujan agak sedikit reda, dan langsung tancap gas menuju Mantra Coffee.

***

Deva, pria gondrong itu duduk menatap keluar sambil menunggu Melodi. Sejujurnya ia khawatir, tetapi Deva sadar, karena beberapa hari ini ia selalu membuat Melodi menunggu lama, sampai akhirnya Melodi memilih untuk berangkat sendiri.

Hal itu bukan tanpa sebab, pasalnya Deva memiliki cidera pada kaki dan punggungnya. Rasanya sakit itu sering datang dan membuat tubuhnya gemetar. Entah sudah berapa lama ia mengubur impiannya untuk menjadi pemain sepak bola, bahkan berhenti dari kegiatan tersebut.

Semenjak serangan Ravenous, Deva diam-diam menyimpan luka yang ia tak beritahu pada yang lainnya. Punggungnya dihantam besi hingga membuatnya mati rasa sejenak kala itu, tetapi karena khawatir pada Melodi, ia memaksakan dirinya hingga melampaui batas.

Suara motor butut memecah lamunannya, ia menatap Melodi dan Jaya yang datang bersama. Kini mereka tampak akrab. Gemrincing lonceng di pintu berbunyi, Melodi masuk ke dalam kafe dan langsung menghampiri Deva.

"Motor kamu mana?" tanya Deva tanpa basa-basi.

"Turun mesin katanya, baru bener besok, jadi aku pulang bareng Jay."

"Terus ini baju siapa?"

"Baju adiknya Jaya," jawab Melodi.

"Kok bisa kamu pake?"

"Iya, aku ujan-ujanan nenteng motor. Nah, enggak sengaja ketemu si Jaya, dan dia nawarin ganti baju dulu, soalnya kan agak jauh dari ISI ke sini, takutnya masuk angin."

"Terus kamu ke kosnya?"

"Ya iyalah Deva, kalo enggak ya aku enggak pake baju ini."

"Berdua doang? Ngapain aja di kosan?"

"Iya berdua doang, tadi cerita-cerita dikit tentang adiknya Jay, sama kerjaan dia yang ternyata tuh pengrajin topeng. Kamar kos dia tuh mirip sama rumah kamu hawanya tau, banyak topeng-topeng gitu."

"Yakin cuma itu?"

"Iya, emang mau ngapain lagi? Jangan mikir aneh-aneh!"

"Kenapa bilang jangan mikir aneh-aneh? Kok jadi aneh," ucap Deva.

"Ya abisnya kamu nanyanya gitu," balas Melodi ketus.

"Jaya itu orang asing, aku cuma takut kamu dibawa terus diapa-apain. Inget enggak dulu, kamu hampir diapa-apain sama mantannya Nada yang geng motor itu? Dikasih obat tidur."

"Deva, cukup!" Melodi tapak kesal. "Aku bisa jaga diri aku sendiri, dan aku enggak murahan sampe harus macem-macem sama cowok mana pun." Melodi beranjak dari duduknya dan berjalan naik ke atas.

Kali ini Harits tak berani untuk mengganggu mereka dengan guyonannya. Bahkan Cakra dan Nada hanya mampu menonton saja, dan Jaya pun hanya bisa diam sambil merasa bersalah.

"Mereka tuh sering gitu," ucap Nada. "Deva over protektif."

"Wajar sih, dia pacaran sama selebgram, sama wanita yang dikagum-kagumi banyak pria, menurutku itu pressure," balas Cakra.

"Kalo seandainya kamu pacaran sama Melodi, apa kamu juga begitu?" tanya Nada.

"Mungkin ...."

"Kalo pacaran sama aku?" tanya Nada dengan nada bercanda.

Cakra terkekeh. "Melodi emang terkenal, jadi cowoknya pasti ada pressure, tapi pacaran sama kamu itu lebih pressure," jawab Cakra.

"Kok gitu?"

"Karena biarpun Melodi disukai banyak orang, dia setia. Nah, kalo kamu ...." Cakra tertawa menatap Nada. "Yang suka dikit, tapi sekalinya ada yang suka, kamu suka balik, pressure lah suka sama cewek yang hatinya enggak seutuhnya buat kita."

Cakra Petang Buana, pria itu adalah orang yang suka blak-blakan bicara. Nada hanya terdiam mendengar itu. Cakra paham kapan harus mendengarkan, kapan harus memberikan motivasi, dan kapan harus memberikan demotivasi seperti Harits agar orang lain sadar akan kesalahan mereka.

"Bukannya aku gimana-gimana," lanjut Cakra. "Kamu harus belajar buat nentuin pilihan, biar kelak siapa pun pria yang kamu pilih enggak terluka kayak pria baik yang di sana itu," ucapnya sambil menunjuk Harits. "Bukan artinya kamu jahat udah nyakitin dia. Ini sebuah pembelajaran, pendewasaan diri."

"Makasih, Cak, kamu orang kedua setelah Melodi yang berani ngomong blak-blakan gitu. Sejujurnya agak nyesek dengernya, tapi aku butuh ucapan-ucapan gitu biar aku bisa berubah," balas Nada dengan tatapan getir. "Karena yang bisa menilai diri kita sendiri adalah orang lain, gitu kan?"

Cakra tersenyum. "Ya, aku akan terus bantu kamu sebisa aku."

"Jangan bosen ya, Cakra."

Cakra menatap senyum Nada dan membalas dengan senyumnya. "Enggak akan bosen kok."

Di sisi lain Harits yang sedang menatap mereka berdua, segera mengalihkan pandangan sambil berpura-pura menggunakan mesin grinder.

Di tengah ke gundahan para pegawai Mantra Coffee, segerombolan pria berjas hitam masuk dan mengisi setiap kursi kosong yang tersedia. Beberapa pengunjung merasa takut dan memutuskan untuk keluar. Alex, salah satu petinggi Ravenous masuk sambil menghisap rokok cerutu.

Sejujurnya jumlah mereka kali ini lebih banyak lima kali lipat dari biasanya. Harits meneguk ludah menatap mereka semua, bukan karena ia takut, tetapi karena khawatir pada orang-orang lemah seperti Nada, Melodi, Cakra dan Jaya.

Deva pun mundur, ia kini berdiri sejajar dengan Harits. "Lu inget siapa mereka, kan?" bisik Deva.

"Ya, dalang di balik kasus penculikan beberapa bulan lalu."

"Jumlah mereka ada sekitar tiga puluh. Masing-masing kita harus ngehajar lima belas," ucap Deva.

"Enggak bisa. Mereka bawa perwira, satu orang itu bisa bernilai sepuluh, bahkan lebih. Dia bisa musnahin anjing dari Alam Suratma dengan satu cengkeraman."

"Maaf, dilarang merokok di dalam." Jay mencabut rokok dari mulut Alex dan membawanya keluar. Semua mata menatapnya, tak ada yang bergerak menatap perilaku Jaya. Jaya meletakkan cerutu Alex di sebuah meja yang memiliki asbak, lalu ia masuk kembali ke kafe. "Silakan di luar kalo mau ngerokok. Di sini no smoking."

Semua anggota Ravenous mengeluarkan pistol dari balik jas mereka dan mengarahkannya pada Jaya. Namun, Alex mengangkat tangannya seolah tak masalah dengan apa yang dilakukan oleh Jaya barusan. Hal itu membuat mereka semua meletakkan kembali pistol ke dalam jas.

Harits sudah bersiap dengan bukunya, sementara Deva juga sudah menggenggam topeng Tumenggung. Namun, mereka ragu untuk bergerak mengingat semua anggota ravenous membawa senjata api.

Alex mempersilakan Jay untuk duduk semeja dengannya. Jay dengan tenangnya duduk menatap Alex. "Aku punya sebuah penawaran," ucap Alex.

"Ah--nawarin produk, ya?" Jay menatap Harits. "Mas, ada sales nawarin barang."

Harits memasang wajah datar. "Sial ... gua pikir selama ini dia pura-pura bego doang."

"Mampuslah kita," timpal Deva dengan wajah tawakal.

Alex mengeluarkan pistol dan menempelkannya di kepala Jaya. Ia menatap tajam ke arah Nada. "Aku mau gadis bersarung tangan hitam itu."

"Maaf ...." ucap Jaya.

Alex terbelalak menatap langit-langit Mantra dalam gerak lambat.

"Nada bukan barang." Jaya menarik lengan Alex dan membantingnya karena tak suka dengan kata-kata pria itu. Kini Alex berbaring di lantai sebelum ia paham apa yang sedang terjadi.

"SEKARANG!" teriak Harits. Deva sudah menghilang dari posisinya, sementara Cakra menarik Nada hingga gadis itu berada dalam gendongannya. Cakra menggendong Nada di depan dan berlari naik ke atas, ia melindungi Nada dengan punggungnya sendiri.

Anggota Ravenous mengarahkan pistolnya pada Cakra. Mereka tak boleh kehilangan Nada, karena Nada adalah permintaan client nya, Kencana Selatan.

Setengah pasukan Ravenous kehilangan pistol, Deva dengan cepat melucutinya. Semua menatap ke arah Deva yang sudah mengenakan Tumenggung, ketika mereka hendak menyerang, tiba-tiba barisan belakang Ravenouse ketar-ketir.

Seorang anak kecil berpakaian hitam menghabisi mereka. "Jangan dibunuh!" ucap Harits dengan mata kiri berwarna hitam berbola mata biru.

"Oke," balas Hara sambil membuat satu per satu anggota mafia itu tak sadarkan diri.

Alex menarik tangan Jaya hingga membuat Jaya hilang keseimbangan, lalu menendang kakinya sehingga kini posisi mereka sama-sama berbaring di lantai. Alex mengangkat tubuhnya menggunakan kedua tangannya dan mengangkat tumitnya tinggi-tinggi. Jaya menyadari ada benda tajam di tumit sepatunya. Ketika Alex melancarkan tendangan tumit tepat ke arah wajah Jaya, Jaya tak bergerak sama sekali, ia mati langkah.

"Jaya!" Harits tak mampu berkutik, ia hanya mampu menatap dalam gerak lambat anak buahnya dihabisi.

Pisau itu patah. Sepatu Alex membentur topeng Bapang. Dalam waktu singkat, Jaya berguling dan bangkit dari posisi yang tidak menguntungkan tersebut tanpa topengnya. Tidak ada yang terlalu sadar akan kehadiran Bapang, kecuali Alex. Bahkan Harits dan Deva tak bisa mengikuti pergerakannya yang cepat.

Orang ini anggota keluarga Martawangsa? batin Alex. Ada dua Martawangsa di sini, tapi kenapa yang kuat ini tidak menggunakan topengnya? Apa dia meremehkanku?

Jaya melirik ke arah Deva dan Harits. Duh, tadi keliatan enggak yah? Jangan sampai temen-temen tau kalo aku orang aneh seperti mereka.

Jaya terdiam beberapa saat. "Bentar ...." Ia menoleh ke arah Deva yang menggunakan Tumenggung. "Itu kan--topeng pusaka? Bentuknya beda sama koleksi punya ayah, apa masih ada topeng lain di luar hutan?"

Di saat suasana mendadak hening, gemerincing lonceng di pintu berbunyi. Alex menoleh ke arah pintu, tetapi ketika ia menoleh sebuah kepalan tinju sudah berada beberapa senti di depan wajahnya.

"Jangan sentuh anakku!"

Jay menatap bayu yang meninju wajah Alex dalam tayangan lambat. "Ayah ...."

Bayu melancarkan pukulan kedua "Jangan ganggu keluargaku!" Lalu ia menghujani Alex dengan pukulan bertubi-tubi.

Siapa orang ini?! batin Alex yang tidak bisa mengimbangi kecepatan dan juga kekuatan fisik Bayu.

Melihat pimpinannya yang terpojok, anak buah Alex hendak membantunya, tetapi tiba-tiba saja lampu-lampu di Mantra Coffee pecah sehingga membuat keadaan menjadi agak gelap. Mereka semua kehilangan pandangan beberapa detik, sebelum terbiasa dengan kegelapan ini.

"Braja ...."

Kilatan petir menghabisi mereka semua dalam waktu singkat. Dirga berdiri dengan rambut berwarna putih kebiruan yang mengambang ke atas. Ia menghabisi minion-minion Ravenous dengan Braja Total, teknik milik keluarga Lohia.

"Ringkus mereka semua," tutur Dirga sambil memasukkan permen lolipop ke dalam mulutnya. Abi dan belasan polisi masuk ke dalam kafe, lalu menangkap semua anggota Ravenous yang terlibat aksi penyerangan di Mantra Coffee malam ini.

.

.

.

TBC



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top