34 : Pergerakan Gelap
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Malam semakin larut, dilihatnya pukul sembilan malam. Melodi baru saja selesai dari acara makrab fakultas, kini ia menunggu Deva menjemputnya.
Segerombolan pria berkisar empat orang datang menghampirinya. Melodi hanya berusaha menepis pikiran negatifnya. Mungkin saja orang-orang itu hanya berjalan secara kebetulan ke arahnya, mengingat di belakangnya ada sebuah gang.
Namun, kini keempat pria itu mengelilinginya sambil tersenyum. "Halo, manis."
Duh, takut. Deva mana sih?
"Nyari apa, manis?" ucap salah satu pria yang memergoki Melodi seperti mencari keberadaan orang lain. "Di sini sepi, yuk kita pindah ke tempat yang ramai." Ia menarik tangan Melodi.
Sejujurnya Melodi terkejut, ia hendak melepaskan diri, tetapi tangan satunya dipegangi oleh orang yang lain. Mereka menuntun Melodi masuk ke dalam gang.
"Tolong!" teriak Melodi, tetapi jalur ini terlalu sepi. Bahkan di dalam gang, mereka harus jalan beberapa ratus meter untuk sampai di rumah pertama.
"Udah malem, jangan teriak-teriak." Melodi mulai berkaca-kaca, ia tak bisa melawan keempat pria ini dengan tubuh mungilnya.
Salah satu pria itu terjatuh, sontak membuat Melodi dan ketiga pria lain menoleh ke belakang. "Siapa lo?!" bentak salah satu pria.
Tak ada jawaban, pria dengan kemeja lengan putih panjang yang digulung, di balut jaket rompi berwarna hitam memukul pria lainnya yang mengganggu Melodi.
Melodi menatap pria dengan rambut pendek belah tengah itu. Meskipun belah tengah, ia tak menunjukkan perawakan yang culun. Pria itu menghabisi sisanya tanpa kata.
Setelah semua pria tumbang, ia menghampiri Melodi. "Kamu enggak apa-apa?"
Melodi tak menjawab, ia masih shock dengan kejadian barusan. Melihat Melodi yang seperti itu, pria tersebut membuka jaketnya dan memakaikannya di bahu Melodi. "Di sini rawan begal dan kejahatan," ucapnya. "Rumah kamu di deket sini? Biar aku anter."
"Makasih, ya," ucap Melodi. "Sumpah aku takut banget."
Pria itu tersenyum. "Sekarang kamu aman."
Seorang pria berhoodie hitam, dengan buff berwarna hitam yang menutupi mulutnya. Ia tiba-tiba muncul dan berjalan ke arah mereka berdua. Pria yang barusan menolong Melodi itu terbelalak medapati sosok tersebut. Melihat ekspresi dari orang yang menolongnya, Melodi jadi takut. Sepertinya pria misterius yang baru datang ini adalah bosnya.
"Ippo ...." Kini pria itu berdiri di depan mereka. "Kenapa kalian berantem?"
Ippo? Kalian?
Pria misterius itu menatap Melodi. "Siapa ini orang?"
Pria misterius itu menatap salah satu orang yang terkapar. Matanya memberikan sebuah kode.
"Ah--begitu ternyata," gumamnya. Kini ia menatap pria yang dipanggil Ippo. "Siapa kau?! Berani-beraninya menghajar anak buahku!"
"Ippo," ucap Melodi.
"Ya?" Ippo sontak menoleh.
"Nama kamu Ippo? Kamu kenal sama mereka?" Melodi mengerutkan dahinya.
Ippo mulai berkeringat, suara tawa terdengar lirih dari orang-orang yang terkapar ini. Melodi memicingkan matanya. "Aku pikir kamu orang baik." Ia menampar Ippo dan pergi ke pinggir jalan menunggu Deva kembali.
Suara ngakak gerombolan itu terdengar keras dan mengganggu telinga Melodi. Baru saja tiba di pinggir jalan, Deva muncul. Tanpa kata, Melodi naik ke atas motor dan langsung bergegas pergi.
Di sisi lain, Ippo menatap pria bernuansa hitam yang menggagalkan aksi heroiknya. "Dongo banget Reki, bangke!"
Keempat pria yang terjatuh kemudian serentak bangkit, mereka menertawakan Ippo yang gagal lagi dalam upaya mengait hati wanita.
"Udahlah, Po, nyerah aja. Emang kenapa sih kalo jomblo?"
"Segala bikin skenario bullshit gini, kena karmanya sendiri, kan? Malah ditampar."
Ippo berjalan meninggalkan mereka semua sambil mengacungkan jari tengahnya. Sementara yang lain menyalahkan Reki atas kegagalan Ippo malam ini.
"Lo sih, Rek. Harusnya Ippo dapet cewek nih."
"Tau, dateng-dateng rusuh."
Reki menatap mereka semua. "Ya mana gua tau, orang baru juga dateng."
***
"Kamu kenapa sih?" tanya Deva yang sedang mengendarai motor. "Jutek banget."
"Kamu datengnya lama, aku jadi digodain cowok-cowok enggak jelas!"
"Cowok yang tadi di gang itu?"
"Iya, aku takut ih! Kamu jangan lama-lama lagi." Melo mengetuk-ngetuk helm Deva.
"Iya, besok-besok aku yang nunggu kamu ya, maaf."
Tak terasa kini Deva dan Melodi baru saja tiba di Mantra. Mereka turun dari motor dan berjalan masuk. Melodi menceritakan pengalaman barusan pada Nada.
"Sumpah?!" ucap Nada. "Aku udah nangis kalo gitu mah."
"Namanya juga Deva, kebanyakan bengong!" timpal Harits. "Udah, Jaya aja yang jemput sih. Sekampus juga."
Tak ada respon, hingga semua menoleh ke arah Jaya. Pria itu sedang melamun di balik meja bar.
"Lah, dia juga ngelamun. Kenapa semua yang deket sama Melodi suka ngelamun, ya?" ucap Harits. "Jay! Woy!
Jaya menoleh ke arah Harits. "Kenapa, mas?"
"Kenapa bengong?"
"Saya kurang enak badan," ucap Jaya.
"Kalo sakit enggak usah masuk kali." Nada menghampiri Jay. "Kamu kalo enggak enak badan istirahat aja besok."
"Makasih ya semua," balas Jaya. "Besok saya izin enggak masuk."
Jaya belakangan ini memang agak pendiam, ia memiliki sesuatu yang tak pernah ia ceritakan pada yang lainnya.
Begitu close order tiba, ia sudah bersiap-siap memakai jaketnya. "Saya pulang duluan, ya." Jaya berjalan keluar dan langsung mengendarai si Mamat.
Sesampainya di rumah, pintu dalam keadaan terkunci. Jaya membuka pintu dan menatap kamarnya yang gelap.
"Wengi, kemana kamu?"
Sudah hampir seminggu ini Wengi menghilang, bahkan ia tak memberikan pesan. Ponselnya tidak aktif. Hujan turun secara tiba-tiba, Jaya mengambil payung dan berniat mencari Wengi, tetapi ketika ia membalik tubuhnya, Wengi berdiri di belakangnya.
"Bikin kaget aja," ucap Jaya. "Kemana aja kamu?"
Wengi masuk ke dalam kamar dan langsung menuju kamar mandi karena tubuhnya basah. "Ada tugas kelompok," balasnya. Ketika Wengi berkata tugas kelompok, itu artinya berhubungan dengan Kencana Selatan.
"Tugas apa?"
"Merebut jabatan komandan."
Jaya berjalan dan berdiri di depan pintu kamar mandi yang tertutup. "Bukannya kamu bilang, kalo mau jadi Komandan harus membunuh Komandan yang mau kamu ambil posisinya?"
Menurut informasi yang selama ini Wengi berikan, Kencana Selatan memiliki tiga peringkat di dalam kelompok. Yaitu, Prajurit, Kapten, dan Komandan. Prajurit merupakan manusia-manusia dengan kemampuan supranatural yang direkrut oleh Rizwana. Kapten adalah mereka yang memiliki kemampuan di atas rata-rata prajurit biasa, sementara Komandan adalah tujuh keluarga terkutuk.
Wengi merupakan salah satu Kapten, tetapi barusan ia bilang jika dirinya merebut jabatan Komandan, yang artinya ....
Jaya memukul pintu kamar mandi. "Kamu bunuh orang?!"
Wengi membuka pintu kamar mandi. Ia keluar mengenakan celana pendek dan kaos lengan buntung berwarna hitam. Rambut panjangnya berkibar, ketika ia menyalakan kipas tepat di hadapannya. Matanya menyorot ke arah Jaya.
"Iya, aku bunuh salah satu Komandan mereka, dan naik peringkat."
"Kita udah ngomongin ini, kan?! Jangan bunuh orang." Jaya menarik kerah kaos Wengi dan melempar pria itu ke dinding. Jay menjepit leher Wengi dengan sikunya.
"Itu berlaku cuma buat kamu," ucap Wengi santai. "Kamu yang mau hidup normal. Aku cuma memonitor kamu di sini dan mastiin semua aman kedepannya. Aku enggak ada urusan, toh yang aku bunuh orang jahat." Wengi mencengkeram lengan Jaya. "Lagi juga orang yang aku bunuh itu adalah orang yang hampir kamu bunuh."
Jay melepaskan sikunya dari leher Wengi. "Saya harap ini yang terakhir."
"Oh iya, ada berita menarik. Rizwana, dia mengincar Nada."
"Nada?" Jay memicingkan matanya.
"Tolong kamu bawa boneka ini kalo kamu pergi ke sana. Boneka ini langsung terkoneksi sama Rizwana, apa yang dia ucapkan akan terekam di boneka ini. Jadi seumpama ada pergerakan, kamu tau dan bisa ambil satu langkah di depan mereka."
Jay terdiam menatap boneka kayu berbentuk Rizwana.
"Kamu tau kan artinya boneka itu? Boneka manusia yang terkoneksi langsung dengan orang aslinya. Dia bisa melacak, menyadap, bahkan ketika orangnya meninggal, kita akan tahu. Boneka itu mahakarya, buatnya butuh waktu. Tanpa aku jadi Komandan, enggak mungkin aku dapet info tentang Nada," ucap Wengi.
"Terimakasih, Wengi."
Wengi kini merebahkan dirinya. "Mulai dari sekarang aku akan jarang di sini. Kamu harus jaga keluarga baru kamu. Sampai aku bisa ngehancurin mereka dari dalem, kamu jangan bertindak."
***
Di sisi lain, tangan kanan Rizwana dari keluarga Ganapatih sedang duduk berdua dengan pria berjas hitam. Pria itu adalah Alex, mafia yang sempat dibuat kacau oleh Harits beberapa bulan lalu.
"Jadi bagaimana dengan kesepakatannya?" ucap Ganapatih sambil menyodorkan foto anak-anak Mantra. Alex menatap foto Harits. "Ya, si berengsek ini orangnya."
"Aku mau yang ini." Ganapatih menunjuk foto Nada. "Sisanya terserah. Jika kau berani menyentuh yang satu itu, Rizwana akan membunuhmu."
Alex menyeringai. "Aku menghormati uang." Ia mengambil amplop tebal berwarna cokelat yang diletakkan di atas meja oleh Ganapatih. "Tapi tidak dengan atasanmu."
Seekor ular putih keluar dari jubah jubah hitam milik Ganapatih. "Suatu hari, kau dan kelompokmu akan sadar betapa mengerikannya dia."
Alex berdiri dan memasukkan amplop berisi uang itu ke dalam jasnya. "Pimpinan kami juga anggota Satu Darah. Tidak ada yang lebih mengerikan darinya, bahkan pimpinanmu sekali pun." Ia pergi meninggalkan Ganapatih seorang diri.
"Sampaikan pada Rizwana, mereka menerima tawaran kita." Ular itu segera pergi untuk menyampaikan pesan dari Ganapatih.
Kencana Selatan menyewa jasa mafia untuk membuat Mantra lemah. Keluarga Ganapatih itu licik, ia memiliki informasi bahwa Harits dan Deva pernah terlibat kasus dengan kelompok ini, maka dari itu, Ganapatih berusaha untuk memanfaatkan keadaan tersebut. Selagi mafia ini mengurus Harits dan Deva, Kencana Selatan hanya perlu menghampiri Nada tanpa perlu kekerasan.
***
Keesokan harinya, Melodi lagi-lagi harus pulang malam karena kesibukannya di UKM musik. Hujan malam ini membuatnya kedinginan.
Duh, Deva lama banget sih! Kebiasaan.
Ia mencoba menelpon Deva, tetapi nomornya mendadak tidak aktif.
Ih! Si Deva! Sebal!
Di sisi lain ....
Deva menghentikan motornya ketika sejumlah orang berpayung hitam, dengan setelan jas berwarna hitam menghalangi jalannya. Deva paham siapa orang-orang ini.
"Kita berjumpa lagi," ucap seorang pria besar berkepala botak.
"Sial," gumam Deva sambil membuka helm dan jas hujannya. Kini tubuhnya diguyur hujan. Di tangannya sudah ada Tumenggung yang setia menemaninya. "Ini nih yang bisa ngerusak hubungan orang." Deva berjalan ke arah mereka semua sambil mengenakan topeng Tumenggung. Ia berniat untuk mengakhiri ini dengan cepat, jika tidak, Melodi akan mengamuk.
Kembali pada Melodi ....
Ia berjalan agak cepat karena diikuti orang-orang berpayung hitam. Wajah Melodi pucat, ia tak tahu siapa orang-orang ini, yang jelas Melodi berusaha mengulur waktu sampai Deva tiba. Kampus sudah sepi, Melodi tak menangkap satu pun orang di sudut matanya, bukan hal yang normal.
Namun, di ujung gedung, terlihat seorang pria sedang duduk asik memainkan ponselnya. "Hey!" panggil Melodi dengan suara yang keras. Sontak pria itu menoleh ke arah Melodi. Melihat wajahnya, Melodi menjadi tak bersemangat. Rupanya itu adalah Ippo, pria itu juga salah satu mahasiswa ISI ternyata.
Kalo ada dia, berarti orang-orang ini temennya dong?
Melodi menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah orang-orang berpayung hitam. Gadis itu menatap marah ke arah mereka semua. "Enggak lucu!"
"Dia orangnya?" tanya salah satu orang itu.
"Iya, client kita mau dia hidup-hidup." Mafia ini pikir jika Melodi adalah Nada, mereka mengejar orang yang salah.
Salah seorang mafia itu mencengkeram lengan Melodi dengan keras hingga membuat Melodi kesakitan. Sontak Melodi berteriak dan menoleh ke arah Ippo di belakangnya, tetapi sosok Ippo menghilang, ia sudah tak berada di sana.
"Aw, sakit!" pekik Melodi yang ditarik begitu saja. Ia dipaksa untuk mengikuti orang-orang payung hitam ini.
Perasaan waktu itu enggak sekeras ini ....
Melodi berusaha melepaskan diri. Namun, hal itu justru membuat orang yang membawanya marah dan menjambak rambut Melodi. "Kalo kamu bisa diam, ini akan mempermudah pekerjaan kami dan kamu enggak akan terluka."
Tiba-tiba saja orang itu melepaskan Melodi. Ippo tiba-tiba muncul dan memelintir pergelangan orang itu. Sontak membuat yang lainnya terkejut.
"Siapa kalian?" tanya Ippo.
Bagi Melodi, drama ini begitu real. Hati kecilnya bimbang, apakah ini nyata atau drama seperti sebelumnya?
Namun, suara lengan yang patah dan teriakan orang yang sempat membawa Melodi ikut dengannya itu, membuat Melodi tersadar bahwa Ippo dan orang-orang ini tidak saling mengenal.
"Siapa nama kamu?" tanya Ippo sambil melirik ke arah Melodi.
"Melodi."
Ippo tersenyum. "Alunan Melodi, ya? Nama yang cantik."
Alunan? Siapa yang bilang alunan?
"Kamu kenal orang-orang ini, Alunan?"
"Namaku Melodi, bukan alunan, dan aku enggak kenal sama mereka."
"Kamu tunggu di sini ya, jangan pergi, nanti aku anter pulang. Enggak ada jaminan kamu aman jauh dari aku."
Sejujurnya Melodi takut pada Ippo, tetapi benar kata Ippo. Kali ini hanya Ippo yang membuatnya merasa aman. Bisa saja di luar sana ada banyak orang-orang berpayung hitam yang menunggunya. Melodi memutuskan untuk diam.
Tapi kalo Ippo kalah gimana?
"Jangan takut, Alunan. Aku enggak akan biarin siapa pun nyentuh kamu."
Orang-orang ini mengeluarkan pistol dan mengarahkannya pada Ippo. Melodi yang melihat secara langsung adegan itu hendak berteriak karena takut.
"Menunduk ...," ucap Ippo lirih. Sontak membuat Melodi dengan refleks menunduk di belakang Ippo. Suara pistol tak terlalu terdengar nyaring akibat peredam yang mereka gunakan pada masing-masing pistol mereka. Namun, ada sekitar empat butir peluru yang sedang mengarah pada Ippo.
Ippo menutup matanya. Ketika peluru tersebut berada beberapa meter di hadapan Ippo, pria itu tersenyum dan berjalan lurus tanpa membuka matanya. Kepalanya bergerak sedikit ke kanan dan ke kiri. Ippo seakan tahu pergerakan peluru-peluru itu dan dengan santai menghindarinya. Setelah menghindar, ia membuka mata dan berlari sebelum mereka nemembak untuk yang kedua kalinya.
Ippo menendang kepala salah satu mafia itu dan langsung melesat menjambak dua kepala pria yang menjadi lawannya, kemudian membenturkannya. Ketika ada yang ingin melakukan tembakan lanjutan, Ippo menggunakan tubuh rekannya sebagai tameng, dan melemparnya. Ketika tubuh itu terlempar, Ippo menggunakan sudut buta lawannya untuk bergerak mengelabuhi pandangan. Ia muncul dari sisi kanan dan meninju rusuk satu orang yang tersisa. Dalam sekejap ia menumbangkan orang-orang itu.
"Kamu aman, Alunan," ucap Ippo sambil berjalan ke arah Melodi. Namun, Ippo menghentikan langkahnya, ia bergerak ke samping untuk menghindari sebuah serangan kejutan. Ippo kini menatap pria bertopeng yang berdiri di depan Melodi. "Martawangsa ...."
Deva agak terkejut ketika Ippo menyebut nama belakangnya. Orang itu tahu tentang Martawangsa.
Melihat Deva yang melindungi Melodi, Ippo sadar bahwa orang itu bukanlah musuh. Ia mengangkat tangannya sebagai tanda bahwa ia tak berniat jahat.
"Deva jangan! Dia udah nolongin aku dari orang-orang ini," ucap Melodi.
"Dia yang ngalaih orang-orang ini?" Deva menatap senjata yang terjatuh di lantai. Tentu saja menghadapi lima orang bersenjata sekaligus sangat mustahil, tetapi pria itu berhasil membungkam para mafia tersebut.
"Oke, kamu kenal dia, kan? Kalo gitu aku pergi dulu." Ippo berjalan mengambil tasnya. "Selamat malam, Alunan."
Deva dan Melodi menatap pria itu yang berjalan dengan santainya. "Ayo kita pulang," ucap Deva sambil membantu Melodi untuk berdiri.
"Aku takut, Dev."
"Jangan takut, aku udah di sini." Deva menggandeng Melodi menuju motornya.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top