32 : Kerdil
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Pagi ini Harits baru saja tiba di Mantra Coffee bersama dengan Andis. Semua menyambut Andis begitu ramah. Andis, pria ini paham bahwa Nada adalah gadis yang disukai Harits. Tidak ada kesulitan dalam menebak hal itu, sudah tersirat dari dua pasang bola mata mereka yang malu beradu tatap. Namun, Andis sengaja diam dan memilih untuk segera menaruh tasnya di kamar Harits.
"Hari ini mau ke mana?" tanya Harits ketika mereka berdua tiba di kamar.
"Enggak usah urusin ayah, kamu lanjutin aja aktivitas kamu biasanya. Ayah mau nostalgia." Andis tersenyum, lalu turun ke bawah. Ia berjalan ke dapur dan mengambil botol kosong.
"Signature Andis, cino-cino spesial," ucap Abet yang baru saja tiba membawa beberapa buah segar untuk bahan non coffee.
Andis menoleh ke arah Abet. "Oi, apa kabar lu?" Sambil melanjutkan racikannya. "Signature Andis, ya?" Andis tersenyum penuh dengan kenangan.
"Kabar baik," jawab Abet. "Kangen juga, liat pria bertopi yang setiap hari pasti bikin moka botolan buat sesajen."
"Aneh, ya?"
"Unik," balas Abet. "Dan momerable."
Andis selesai dengan mokacinonya, ia melemparnya ke atas, kemudian menangkapnya kembali sambil berjalan keluar.
"Mau ke mana?" tanya Abet.
Andis tersenyum. "Ngasih sesajen." Andis ingat betul, tidak pernah ia absen sehari pun membuat sebotol mokacino untuk Sekar. Meskipun pada akhirnya ia harus meminum kopi yang intisarinya sudah dihisap itu. Andis memakai motor Harits, ia dengan kecepatan yang pelan menuju ke kampusnya dahulu.
Sesampainya di kampus, Andis memarkirkan motornya, kemudian ia duduk di kursi biasa saat bertemu dengan kuntil anak yang dahulu mengisi hari-harinya.
"Hey, apa kabar?" ucap Andis lirih dengan tatapan sendu. "Udah berapa tahun, ya ...."
Andis beranjak dan berjalan ke pohon besar yang membuat tempat itu terlihat teduh. Ia menyentuh dan meresapi setiap teksturnya. Rasa-rasanya ia seperti Tama, kenangan-kenangan masa lalunya mulai mencoba menampilkan cuplikan yang penuh dengan kerinduan. Andis menghela napas, sambil tersenyum. Namun, ketika ia hendak pergi dan memutar tubuhnya, sosok itu berdiri di depan kursi sedang menatapnya.
Botol yang Andis pegang terjatuh. Ia terdiam beberapa saat untuk mencerna semua ini. Bagaimana tidak? Sekar, wanita itu berdiri tepat di hadapannya.
"Sekar?"
Sekar memicingkan matanya. Ia tak kenal siapa orang itu, tetapi aroma tubuhnya membuat wanita itu perlahan meneteskan air mata. "Eh?" Ia menghapus air mata yang berusaha keluar. "Maaf, bapak, siapa ya?"
"Ah ...." Andis tiba-tiba saja menggaruk kepalanya sambil mengambil botolnya yang terjatuh. "Saya alumni sini." Ia berjalan lagi ke bangku itu dan duduk di sana, sementara Sekar duduk di sebelahnya.
"Oh, ya?"
Andis tersenyum sambil mengangguk.
"Tapi barusan bapak panggil nama saya? Apa kita kenal?"
"Sekar?" Andis mengerutkan dahinya.
"Iya, Sekar."
Andis tertawa kecil. "Dulu di sini juga ada yang namanya Sekar, dia persis mirip banget sama kamu, persis mirip banget. Sampe saya pikir, kamu orang yang sama."
"Enggak mungkin dong, pasti sekarang Sekar yang anda maksud udah jadi ibu-ibu." Sekar tersenyum pada Andis.
"Sebelum saya lulus, dia udah pergi ... udah enggak ada di dunia."
"Sorry ...."
Andis menatap gadis muda itu. "Kamu kenapa tadi sedih gitu waktu lihat saya?"
Sekar menggeleng. "Entah, anda mengingatkan saya pada kenangan yang kosong. Rasanya familiar. Wajah, aroma, tutur kata ... semuanya. Rasanya begitu familiar."
Andis memberikan botol yang ia bawa pada Sekar. "Buat kamu."
"Apa ini?" Sekar mengambil botol itu.
"Cino-cino," ucap Andis sambil terkekeh.
Sekar memicingkan matanya. "Cino-cino?" Wanita itu ikut tertawa mendengar jawaban Andis. Ia membaca brand dari botol tersebut. "Mantra Coffee? Ini dari Mantra Coffee?"
"Oh, ini kafe saya dulu waktu kuliah di Jogja, kebetulan saya sama temen-temen baru buka lagi ...."
"Kenal Harits?" tanya Sekar memotong ucapan Andis.
Andis mulai paham. Ini bukanlah sebuah kebetulan semata. Begitu, ya? Itu yang kamu incar?
"Harits itu anak saya," ucap Andis sambil beranjak dari duduknya. "Dia baru aja patah hati." Andis memberikan wanita itu sebuah kode.
Seandainya reinkarnasi itu ada, apa ini adalah kamu? Apa ini yang kamu incar? Keturunanku? Andis tersenyum menatap langit.
"Kok bisa?" tanya Sekar.
"Bisa, kan punya hati," jawab Andis dengan candan tuanya. "Biasalah, namanya anak muda." Andis berjalan meninggalkan Sekar.
"Tunggu!" Sekar pun ikut bangkit. "Siapa nama bapak?"
"Andis." Andis menoleh, ia tersenyum pada Sekar. "Andis Sagara."
Angin berhembus kencang hingga membuat rambut panjang Sekar terurai. "Andis ...." Sambil menatap punggung itu menjauh, Sekar kembali menitihkan air mata. Ia pun bingung, bagaimana bisa ia menangis semudah itu tanpa alasan. Pria bertopi barusan adalah orang asing baginya, Sekar sama sekali tak memiliki memori tentang orang itu, tetapi rasanya mereka sudah kenal lama dan telah melalui hari-hari bersama. Semua itu terangkum menjadi memori liar yang mengalir bagaikan imajinasi. "Jadi kamu yang selama ini berkeliaran di kepala saya?" ucapnya lirih.
***
Di sisi lain, lagi-lagi Harits hanya berdua dengan Nada di kafe. Harits kali ini memilih untuk duduk di depan sambil mengamati jalanan. Seekor anak kucing tertangkap oleh sudut matanya. Harits mengamati anak kucing itu.
Jadi kucing seru kali ya ....
Hingga sebuah motor menghantam anak kucing itu yang melintas di jalan, dan kabur begitu saja.
"Woy! Tolol!"
Nada sontak menoleh ke arah depan mendengar teriakan ngegas Harits. Ia menatap pria itu yang kini berlari ke jalan.
Harits, ngapain?
Tak ada yang peduli dengan anak kucing itu. Harits menyebrang ke tengah jalan dan menggendongnya. Anak kucing itu sekarat. Kini ia berlari ke kafe dan membuka pintu.
"Hey! Ambil kunci motornya Melodi!" teriak Harits pada Nada.
"Kenapa?"
"Cepet!"
Mendengar bentakkan itu Nada merasa takut dan berlari mengambil kunci motor milik Melodi secara refleks.
Itu orang ngapain si nyebelin banget! Pake marah-marah!
Nada turun dan berlari ke arah Harits. Dilihatnya Harits yang sedang menyiram sesuatu dengan air keran.
"Berani pegang kucing?" tanya Harits.
Nada hanya mengangguk.
"Pegang! Peluk dia biar tetap hangat!"
Kini Nada menatap kucing sekarat yang berada dalam dekap Harits. "Cepet!"
Nada segera menggendong kucing itu, sementara Harits langsung berlari ke motor. Tanpa diperintah, Nada naik ke motor itu. Harits segera tancap gas ke vet terdekat.
"Harits, kita enggak pake helm! Kafe juga enggak dikunci," ucap Nada.
Harits tak memberikan komentar, ia fokus dengan kecepatan tinggi melesat bahkan menerobos lampu merah.
"Harits, kamu gila, ya?!"
"Diem! Yang kamu peluk sekarang itu makhluk hidup Nada. Enggak ada ambulans yang bakal peduli sama makhluk itu. Enggak akan ada siapa pun yang akan datang menolong makhluk sekarat itu, selain aku."
Begitu mereka sampai, Harits merebut anak kucing itu dan berlari ke dalam. "Doker, ada?!" Ia meletakkan anak kucing itu di atas meja. "Tolongin, plis! Saya yang bayar semua biayanya."
Beruntung dokter hewan sudah berada di sana, mereka segera memberikan pertolongan pertama untuk anak kucing itu. Nada hanya bisa terdiam menatap Harits yang duduk terlihat khawatir. Ia mencoba mendekatinya. "Harits ...."
Pria itu menahan air matanya untuk tidak terjatuh, tetapi tak bisa. Ia benar-benar mengkhawatirkan anak kucing itu hingga menangis.
"Harits, jangan nangis ih, Nada jadi sedih." Tanpa sadar, melihat Harits yang seperti itu membuat Nada pun ikut menangis.
Tak lama dokter hewan keluar. Harits beranjak dari posisinya. "Gimana, dok?!"
"Kami sudah berusaha semaksimal mungkin ...."
"Ah ...." Harits terlihat lemas. Nada menggenggam tangan Harits. Kini pria itu bersandar di bahu Nada dengan pandangan kosong.
"Anda pikir kucing itu mati, kan?" tanya Dokter dengan mimik wajah menyebalkan. "Padahal enggak, saya cuma ikut-ikutan dokter di televisi aja. Itu kucingnya selamat kok."
"Sial, aku tertipu," balas Harits sambil tertawa.
"Sial, aku juga," timpal Nada.
"Tapi dia butuh perawatan untuk beberapa hari ini," balas Dokter. "Beruntung dia udah dapet pertolongan pertama. Kucing yang tertabrak itu harus dibasahi bagian yang terluka, dikompres. Setelah itu dijaga agar tetap hangat.
"Berapa biaya pengobatan dan rawat inapnya, dok?" tanya Harits.
"Itu kucing kamu?"
Harits menggeleng. "Tadi enggak sengaja liat dia ketabrak motor."
"Enggak usah bayar," balas dokter.
"Jangan gitu, dok. Saya enggak bisa begitu ...."
"Kamu menolong kucing ini dengan hati nurani. Enggak banyak orang yang rela bawa-bawa hewan sekarat ke tempat ini. Saya pun enggak mau kalah, kalo kamu nolong kucing ini karena hati nurani, saya pun nolong dengan hati nurani saya sendiri, saya enggak butuh biaya."
"Terimakasih banyak, dok," ucap Harits sambil membungkuk.
"Kamu cuma perlu bertanggung jawab. Setelah dia bisa dibawa pulang, kamu harus rawat."
Harits menatap kucing yang tergeletak lemas itu dari luar ruangan. "Saya pasti rawat dia sebaik mungkin."
***
Ketika Harits dan Nada kembali, Abet dan Andis sudah berada di sana. Ada Cakra juga yang baru saja pulang setelah beerkeliling Jogja sendirian.
"Kamu gimana sih! Keluar enggak pake helm, pintu dibiarin enggak dikunci! Kemana kamu?" tanya Abet dengan nada agak tinggi. Memang Abet lah yang bertanggung jawab dengan mereka semua, termasuk masalah kedisiplinan. Bukannya ia ingin marah, tetapi ini demi kebaikan mereka semua.
Nada hendak berbicara, tetapi Harits terlebih dahulu memotong. "Aku ada hal urgent yang harus banget ke ATM, dan aku ajak Nada dengan paksa, karena aku enggak punya uang dan minjem uang dia. Jadi dia enggak salah, dia cuma terpaksa harus ikut aku karena takut. Maaf karena bertindak egois dan mengabaikan kedisiplinan perihal toko dan keselamatan." Harits menunduk.
"Harits ...." Nada tak mengerti, kenapa harus berbohong seperti itu. Toh, jika ia jujur pasti semua orang akan mengerti.
Harits menatap Nada. "Maaf karena udah nyeret kamu ke dalam masalah, dan makasih atas bantuannya." Kini pria itu berjalan melewati semua orang dan naik ke kamarnya.
"Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Andis. Cakra dan Abet kini menatap pria bertopi beanie itu. Kemudian Nada menceritakan yang sebenarnya.
"Kenapa enggak bilang aja?" tanya Abet yang merasa bersalah.
"Aku ngajarin dia, kalo kita bersedekah dengan tangan kanan, sebaiknya tangan kiri jangan sampe tau. Dan Harits mengimplementasikan itu untuk segala perkara yang sifatnya kebaikan. Menurut dia, kebaikan murni itu adalah di mana kita berbuat baik dan enggak ada orang yang tahu perihal itu. Hanya dia dan Allah."
"Jadi karena itu, dia selalu berbohong dan bersikap kasar?" tanya Nada. "Buat nutupin jejak kebaikannya?"
"Ya, begitulah, dia enggak mau ada orang yang tahu perihal kebaikan apa aja yang udah dia lakukan," jawab Andis. "Sebagian orang menganggap dia itu anak nakal, tapi percaya deh. Harits itu anak yang baik.".
"Nada paham," ucap Cakra. "Saya pun paham, bahkan Deva dan Melodi paham. Kita semua paham kalo Harits emang anak yang baik. Dia mungkin bisa bohongin orang lain, tapi dia enggak bisa bohongin kita karena kita tinggal di bawah atap yang sama."
"Terimakasih, Cakra, Nada," balas Andis tersenyum menatap Cakra dan Nada.
***
Tiga hari berlalu, Harits dan Nada baru saja kembali. Nada tampak menenteng sebuah kandang. Sementara Deva, Cakra, Melodi, Andis dan Abet berada di kafe untuk persiapan buka.
"Apa itu?" tanya Melodi.
"Kucing," jawab Nada.
"Wah, jadi inget Noir."
Noir merupakan kucing hitam yang dipelihara oleh Nada di Bandung. Nada kini membuka kandang itu, dan seekor anak kucing berwarna putih ke abu-abuan berjalan keluar. Ia menatap semua orang tanpa rasa takut.
"Ya, begitu harusnya sikap seorang prajurit!" tutur Harits. "Jangan takut melihat sekumpulan manusia bodoh." Namun, ia baru ingat, ada Andis di antara orang-orang yang ia hina itu.
"Bodoh?" ucap Andis sambil berjalan ke arahnya.
"Kecuali anda dan mas Abet," balas Harits tersenyum pasrah.
"Kucing ini harus dikasih nama, kan?" ucap Cakra yang membuat Andis dan semua orang kini menatap kucing itu.
Melodi mengangkat tangan. "Aku, aku, aku ... aku yang kasih nama."
"Enggak! Harus Harits!" bantah Nada.
"Kenapa harus dia?" balas Melodi. "Kamu udah enggak percaya sama aku ternyata?" Melodi memicingkan matanya.
"Ya karena ini kucing dia! Ih, sumpah ya, Melo!"
"Yakin Harits yang kasih nama?" celetuk Deva. "Bukannya aku belain Melodi, tapi kamu yakin, Nad?"
Nada menatap Deva dengan sorot mata yang tegas. "Yakin," ucapnya tegas dengan suara khodam.
"Nad, kok suara kamu bisa gitu?" tanya Melodi heran. "Serem ah kayak artis Lutidakcinta Luna."
"Diam kalian semua!" ucap Harits berjalan ke arah kucing itu. Ia berjongkok dan menggendong kucing tersebut. "Jika kalian memang memilihku untuk memberi nama, apa boleh buat nyahahaha."
"Enggak, cuma Nada tuh yang setuju," celetuk Melodi.
Namun, setelah sekian purnama melakukan berdebatan, akhirnya Harits lah yang memberikannya Nama.
"Karena dia kecil dan tidak bedaya, namanya adalah ...."
Semua menatapnya penuh harap, termasuk Nada yang tersenyum menatap Harits yang kini sudah ceria kembali.
"Kerdil."
Semua memasang wajah datar, termasuk Nada.
"Kan ...." Deva sudah mencoba memperingati Nada.
"Nama panjangnya si otak kerdil yang tidak berguna nyahahaha karena nyebrang jalan aja ketabrak."
"Aku berubah pikiran," ucap Nada dengan tatapan yang kosong. "Melo, ayo kasih dia nama."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top