31 : Pulang

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Pagi ini langit terlihat murung, aroma hujan tercium pekat seiring dengan datangnya gerombolan awan hitam.

"Mau ke mana?" tanya Nada yang menghadang jalur Harits. Pria itu membawa koper dan perpakaian rapi.

"Pulang."

"Pulang ke mana?"

"Depok, emang pulang ke mana lagi?"

Hari ini memang Harits sudah memesan tiket kereta menuju Jakarta, tetapi entah apa yang membuat pria itu ingin pulang, sementara liburan akhir tahun sudah selesai.

"Kamu tuh kenapa sih? Kalo ada masalah bilang?"

Harits kini menatap Cakra. "Cak, panasin mobil gih. Gua ada urusan bentar." Memang, Harits meminta tolong Cakra untuk mengantarnya ke stasiun. Kini Cakra berjalan ke arah pintu.

"Cakra! Diem di tempat." Kini Nada menatap Harits kembali. Ia ingin menyelesaikan masalah ini secepatnya.

Harits menatap jam tangan miliknya. "Minggir deh, udah mepet banget waktunya."

"Aku enggak akan minggir sebelum kamu jelasin, kamu tuh kenapa? Aku merasa perlakuan kamu ke aku itu beda sama yang lain. Udara hari ini emang dingin, tapi lebih dingin sikap kamu ke aku akhir-akhir ini, Rits."

Harits melangkah hingga ia berhadapan dengan Nada. "Kamu itu bukan siapa-siapa, jadi enggak usah merasa mau tau apa yang aku pikirin." Ia menggeser tubuh Nada dan membuka pintu. Cakra tak tau harus berbuat apa melihat kedua orang itu.

"Cak, buru!" ucap Harits.

"Oh, oke, oke." Cakra melewati Nada dan masuk ke dalam mobil.

Mata gadis itu memerah, ia menoleh ke arah mobil yang kini mulai menghilang dari pandangannya. Rinai hujan mulai turun mengguyur bumi, membasahi jiwa-jiwa yang penuh dengan tanya.

***

"Apa enggak berlebihan?" tanya Cakra yang sedang mengemudi.

"Berlebihan deketin dua cowok? Berlebihan bikin cowok yang bukan pilihannya berharap? Apa gimana?" timpal Harits.

Cakra terdiam. Ya, ia paham Harits adalah korban di sini, tetapi ia juga tak bisa membiarkan Nada terlarut dalam kesedihan. Gadis itu hanya bingung.

"Lu suka kan, sama Nada?"

"Sorry?" Cakra mengerutkan dahinya melirik ke arah Harits.

"Enggak, lupain aja." Setelah itu perjalanan menuju stasiun Tugu berlangsung tanpa sepatah kata pun.

Sesampainya di stasiun, Harits langsung turun dan berlari karena hujan. Ia tak berpamitan pada Cakra, atau bahkan sekadar mengucapkan terimakasih karena sudah diantar. Memang akhir-akhir ini Cakra terlihat dekat dengan Nada, hal itu mungkin yang memicu Harits agak bersikap dingin juga pada Cakra. Jika saja Deva bisa mengemudi, ia pasti sudah meminta tolong Deva ketimbang Cakra.

Sepanjang jalan pulang, Cakra merasa tak enak pada Harits. Ia hanya berusaha membantu Nada yang mengalami sebuah gejolak dalam dirinya. Cakra paham, perkara wanita saja bisa menghancurkan sebuah hubungan persahabatan, makanya ia berusaha untuk menjaga perasaan orang-orang di sekitarnya, tetapi saat ini Harits bagaikan api yang berkobar liar, ia membakar apa pun disekelilingnya.

***

Tak terasa, gelap mulai menjemput hari. Pasalnya, Harits hanya tidur di kereta untuk mempersingkat waktu, dan kini ia baru saja turun dari mobil taxi, berdiri menatap sebuah rumah mungil dengan nuansa cat berwarna putih. Harits menghela napas, lalu melangkah masuk ke dalam rumahnya.

"Assalamualaikum," ucap Harits sambil membuka pintu.

"Waalaikumsalam." Seorang wanita menoleh ke arah pintu, ia kebetulan sedang duduk di ruang tengah yang langsung menyorot ke arah pintu. "Harits, kok pulang enggak bilang-bilang?"

"Iya, libur dadakan. Minggu ini kampus libur, bu." Harits berbohong pada Ibunya.

"Libur dalam rangka apa?"

Harits tampak sedang berpikir. "Persiapan wisuda angkatan atas. Sebenernya enggak seminggu, tapi tiba-tiba kangen rumah. Karena sok-sokan enggak pulang pas libur tahun baru, eh akhirnya tumbang juga, mau pulang."

"Kalo kamu bilang, ibu kan bisa masakin apa gitu buat nyambut kamu. Kamu pasti laper, kan? Ini di rumah enggak ada makanan."

"Nanti Harits order makanan online aja."

"Assalamualaikum." Andis baru saja pulang dari pekerjaannya. Ia menatap Harits yang duduk di lantai. "Loh, kamu kapan sampe?"

"Baru aja sampe," jawab Harits.

Andis tersenyum. "Kebetulan, Ayah bawa soto tangkar nih. Yuk kita makan."

Andis bukanlah orang kaya seperti halnya Tama, Dirga, atau bahkan Ajay. Ia hanyalah seorang pria sederhana yang hidup pas-pasan. Namun, Andis merasa dirinya kaya melebihi teman-temannya, karena ia memiliki keluarga kecil yang sangat ia sayangi.

Andis membawa dua porsi soto, tetapi ia mengambil mangkuk besar dan mencampurkan kedua soto itu ke dalam mangkuk agar bisa dinikmati bertiga.

"Makan apa pun kalo bareng-bareng itu rasanya mewah," ucap Andis. "Kuncinya satu, bersyukur."

Harits tersenyum. Rasanya sangat hangat dan nyaman berada di tengah keluarga. Padahal sebelumnya ia sangat membenci kehadian Andis, dan ia juga jarang berada di rumah karena muak dengan pekerjaan-pekerjaan rumah seperti bebenah.

"Kamu enggak akan pernah ngerti arti rumah, sebelum kamu pergi jauh. Kamu enggak akan paham makna sebuah keluarga, sebelum kamu jauh dari mereka. Sekarang kamu belum ngerti apa yang ayah bilang, tapi suatu saat kamu akan paham dengan sendirinya. Sana merantau, tulis kisah kamu sendiri."

Makanan sederhana itu terasa sangat nikmat, hingga membuat Harits hampir menangis. Tidak ada orang yang paling peduli terhadap mu, lebih dari orang tuamu sendiri.

"Makasih ya, udah sabar ngehadapin Harits yang kayak gini ...," ucap Harits lirih.

"Hah?" Andis kurang mendengar kata-kata itu, ia hanya mendengar putranya berucap sesuatu.

"Makasih, makanannya enak! Budeg."

"Lu, masih aja kurang ajar sama orang tua, enggak ada kapoknya." Andis menjewer telinga Harits hingga merah. "Enggak ada berubahnya, heran, ini anak tambeng bener."

Namun, beda halnya dengan sosok ibunya. Wanita itu mendengar suara Harits yang lirih. Ia tersenyum menatap suami dan anaknya yang kerap bertengkar. Sudah lama rasanya tidak ada gelak tawa, atau omelan-omelan pedas yang menghiasi rumah ini. "Jangan berantem mulu ah, udah malem," ucap wanita itu sambil menjewer Andis dan Harits.

***

Malam kian gulita, dicumbunya aroma nestapa. Harits sedang duduk di atap rumah, memang ada spot khusus untuk menjemur, tidak luas, tetapi cukup untuk duduk sembari menikmati semilir angin malam.

Andis tiba-tiba muncul membawa dua cangkir kopi panas. "Malem masih panjang, mau nemenin ayah ngopi?"

Harits tersenyum. Pertama kali ia menyukai kopi adalah ketika ia mencoba kopi buatan ayahnya. Bukan kopi manis atau pun sejenis kopi susu. Hanya kopi racik tubruk tanpa gula, tapi dibuat penuh cinta.

"Siapa yang bisa nolak kopi buatan ayah? Udah lama aku enggak ngerasain tubruk racik khas barista Mantra Coffee Classic."

Andis duduk di samping anaknya. "Mantra Coffee Classic, ya? Kalo kamu next generation berarti?"

"Whatever." Harits mengambil cangkirnya dan menyeruput pelan kopinya. "Nyahaha jos tenan!"

"Jadi, ada masalah apa kamu sampe pulang ke rumah?" tanya Andis mendadak.

"Nyahaha everything is gonna be okay, dad."

"Pasti Cakra udah gabung ya? Jadi bisa bahasa inggris gitu kamu."

"Iya, dia udah dateng."

"Jangan menghindar, kamu belum jawab pertanyaan Ayah loh?"

"Aku enggak ada masalah."

Andis memeluk Harits dan menempelkan kepala anak itu pada dada bidangnya. "Kamu bisa bohongin semua orang di dunia, tapi ayah enggak bisa dibohongin."

"Apaan sih enggak jelas banget." Harits berusaha melepaskan dekapan itu. Menurutnya itu adalah hal yang memalukan.

"Enggak usah malu, kita cuma berdua. Ibu udah tidur, jadi enggak ada yang lihat, selain Allah."

"Aku serius, elah!" Harits masih berusaha melepaskan diri dari Andis.

Andis mendekapnya semakin erat. "Enggak perlu cerita, cukup luapin aja semua di sini. Ayah enggak akan biarin kamu nanggung semua beban itu sendirian."

Perlahan upaya Harits melemah, ia mencengkeram lengan baju Andis dan kini berpasrah dalam dekap ayahnya. Tetes demi tetes hujan yang tertahan di bola matanya mulai mencoba keluar melalui celah-celah kecil, hingga secara bar-bar menerobos keluar. Samar-samar isaknya terdengar lirih di telinga Andis.

"Bukan artinya saat seorang pria menangis, bermakna lemah," tutur Andis sambil menatap padang bintang di atas kepalanya. Ia membelai mesra kepala putranya. "Terkadang ada beban yang cuma bisa dikeluarin lewat air mata. Kamu boleh nangis sekeras yang kamu mau buat luapin semua itu, keluarin semuanya sekaligus di sini, tapi jangan terlarut dalam kesedihan. La Tahzan, Innallaha Ma'ana, jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita."

Harits, kali pertamanya ia mencintai seorang wanita, dan kali pertama juga ia dibuat patah hati. Orang yang terlihat tengil di depan dan selalu melempar kata-kata kasar itu pada akhirnya memiliki hati serapuh kelopak mawar. Ia tidak setangguh yang terlihat. Belasan luka bersarang di tubuhnya, tetapi tak ada yang mampu membuatnya menangis. Hanya seorang Nada Regina Mahatama yang mampu membuatnya seterpuruk itu.

Entah, kopi hitam tak ada efeknya malam ini. Andis menggendong tubuh Harits seperti seorang bocah kecil, meskipun memang ia kecil nyahahaha. Harits langsung tertidur pulas dengan senyum di wajahnya. Beban itu telah hilang melebur bersama dengan tetes air matanya.

***

Andis mengambil cuti, ia ingin menghabiskan waktu bersama Harits. Kini mereka berdua duduk di sebuah pemancingan.

"Cuti di awal tahun?" ucap Harits. "Mana cuma mancing doang lagi, ke mana kek gitu yang asik."

"Ini asik," balas Andis. "Duduk doang, enggak capek."

"Yah elah ketauan banget mageran orangnya."

"Semua yang ada dalam hidup ini punya makna," tutur Andis. "Memancing itu melatih kestabilan emosi dan konsentrasi. Bukan cuma sekedar emosi berupa amarah, tetapi juga berbagai kegelisahan, kesedihan, kebimbangan, dan perasaan lainnya yang kita rasakan. Memancing itu melatih kesabaran."

Harits hanya diam sambil duduk memegang pancingannya.

"Wasbir alaa maa ashobaka, dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu."

Sabar, ya?

"Aku patah hati ...," ucap Harits lirih.

Andis tiba-tiba saja tersedak lelucon baru Harits. "Patah hati?"

Harits mengangguk tanpa menoleh ke arah Andis. "Dia cantik, wangi, unik, sempurna. Dia juga baik dan kita deket, tapi pada akhirnya ...."

"Ada pria yang bersemayam di hatinya." celetuk Andis.

Kini Harits tersenyum getir.

"Percaya apa enggak, ayah pernah ngalamin hal itu. Ayah suka sama cewek dari jaman sekolah sampe kuliah semester akhir. Ayah tau dia suka sama orang lain, tapi ayah masih berusaha ngejar dia."

"Dan pada akhirnya dia adalah ibu?" tanya Harits.

"Ah, rahasia. Di sekuel Hati yang Miris Dibalik Jiwa Humoris belum terungkap, makanya dinarasi awal enggak disebut nama ibu, kan? Intinya--pada saat itu ayah memutuskan untuk berhenti suka sama dia." Andis menatap Harits dalam-dalam. "Kamu beruntung. Kamu berbeda generasi sama Tama. Kalo orang yang kamu suka, suka sama Tama, kelar."

"Ayah kalah sama om Tama? Wajar sih. Jangankan om Tama, aku pun kalo jadi cewek pasti jadiin ayah opsi terakhir, atau mungkin enggak masuk opsi. Pertama om Tama, kedua om Dirga ...."

"Diem!" Andis menjitak kepala Harits hingga benjol.

Hartis terkekeh sambail memegangi kepalanya. "Tapi Ayah pernah pacaran?"

"Pernah sehari," jawab Andis.

"Sekali?"

"Sehari!" tegas Andis. "Jadi tuh ceritanya ayah bilang sama dia kalo ayah mau berhenti ngejar dia. Rasanya capek, ngejar hal yang enggak mungkin bisa kita raih."

"Terus?"

"Ngelihat komitmen ayah, dia pun ngelakuin hal yang sama. Dia yang enggak bisa dapetin Tama akhirnya memutuskan untuk berhenti ngejar Tama. Kita sama-sama memutuskan berhenti, di jalur yang berbeda." Andis tersenyum mengingat masa-masa kuliahnya. "Ayah dan dia memutuskan buat pacaran sampai hari itu selesai. Kita keliling Jogja, kulineran, ketawa bareng, ngobrolin sesuatu yang enggak pernah terbesit topiknya. Hari itu pertama kali ayah ngerasain yang namanya cinta dua arah."

Harits tanpa sadar tersenyum mendengar cerita itu.

"Sedih emang mengingat itu hari pertama dan terakhir ayah bareng dia masih dengan rasa yang sama. Sementara besoknya ayah berusaha ngehapus dia dari sini." Andis menyentuh dadanya.

"Nyesel enggak pernah mau tau kisah ayah. Ternyata aku punya ayah sekeren ini." Harits menatap Andis dengan senyumnya. "Hari ini masih panjang dan membosankan. Ayo, hibur aku dengan cerita ayah dulu di Jogja. Aku mau denger semuanya."

"Angkat jangkar dan turunkan layar, nak! Ini akan menjadi cerita yang panjang kekeke." Andis menutup sebelah matanya seolah-olah ia adalah seorang bajak laut.

"Roger that, Captain!"

***

"Kamu yakin mau pulang nanti malem? Bukannya libur seminggu?"

"Maaf, Harits bohong tentang itu. Harits cuma punya masalah dan--lari."

"Sekarang udah baikan?"

"Udah, bu."

"Assalamualaikum." Pintu terbuka, membuat dua pasag mata itu menatap Andis yang baru saja pulang membelikan tiket kereta untuk Harits.

"Udah, yah?"

Andis menunjukkan dua buah tiket pada Harits.

"Kok dua sih?" Harits memicingkan matanya.

"Ayah udah ambil cuti, masa kamunya pergi, jadi ayah mutusin buat liburan ke Jogja deh beberapa hari kekeke."

Harits memasang wajah datar. Ia berpikir bahwa nanti teman-temannya akan berpikiran bahwa ia mengadu pada Andis.

"Wuuuu ngaduan mainnya, wuuu!"

"Culun! Gitu aja ngadu."

"Anak papa nich."

Harits menatap Andis. "Enggak, enggak, enggak boleh."

"Sudah terlambat anak muda kekeke."

"Ya elah, berak amat."

"Heh!" Ibunya menjitak Harits ditambah Andis yang menjewer telinganya.

"Keceplosan, ampun!" Hartis melepaskan diri dari jeratan maut.

"Ini anak emang badung bener!" Andis berusaha menangkapnya lagi.

Harits melepaskan diri lagi dan berlari menuju kamarnya. Andis mengejarnya sambil membawa sapu lidi yang sempat ia ambil di atas sofa. "Jangan lari kamu! Harits!"

Ibunya hanya duduk menggeleng sambil tersenyum. Setidaknya suasana seperti inilah yang sering ia rindukan di dalam rumah.

Wahai anak rantau, ketahuilah, bahwa yang paling menunggu kalian dan berharap melihat wajah kalian adalah orang tua kalian! Mereka yang selalu menunggu kepulangan kalian dan menjaga kalian dalam do'a. Maka dari itu, ketika kalian pulang menjemput rindu. Peluk mereka! Prioritaskan waktu bersama mereka. Friend is number two! Family is number one!

.

.

.

TBC



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top