30 : Aroma Kecemburuan

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Deva baru saja kembali setelah berolahraga pagi, ia menatap ke arah tangga. "Lu aneh kalo enggak pake topi?" ucap Deva yang melihat Harits turun dengan kemeja flanel biru dan tas jansport berwarna hitam.

"Lama-lama juga terbiasa," balas Harits sambil mengambil sepatunya yang berada di rak depan.

"Cepet sembuh, Rits."

"Emang gua sakit apaan?" tanya Harits heran.

"Sakit hati?" Deva tersenyum.

Harits membalas senyum itu. "Sejak lahir gua enggak punya hati, jadi gimana caranya sakit hati?"

"Halah, itu kan cuma perumpamaan lu aja. Semua orang sadar, lu suka sama Nada. Lu punya hati, dan--normal."

"Yang enggak normal emangnya gimana?"

"Misalnya--lu suka sama gua maybe?"

Harits menatap Deva dengan wajah datar. "Mending gua pacaran ama bulu babi di laut." Pria itu sudah selesai mengikat tali sepatunya dan beranjak. "Daripada suka sama Mawang. Deva Mawangsa nyahahaha."

"Tumben pagi mulu berangkatnya?" tanya Deva diiringi tawanya ketika mendengar jawaban Harits barusan.

Tiba-tiba saja Nada turun masih mengenakan piyama berwarna putih. Harits tak sengaja menoleh ke arahnya, lalu menatap Deva kembali. "Di sini enggak nyaman," ucap Harits sambil melangkah keluar.

"Harits mau ke mana?" tanya Nada pada Deva. "Kok pagi banget? Harusnya hari ini kan dia kelasnya jam delapan. Dia itu jalan jam setengah delapan biasanya."

"Hafal banget!" Melodi tiba-tiba saja keluar dari kamar mandi. Ia mengenakan kaos putih dibalut cardigan kuning.

"Bukannya hafal, tapi emang udah tau aja kebiasaan dia," balas Nada.

"Ya, itu namanya hafal Nada, karena udah tau kebiasaannya jadinya hafal."

"Ih, beda."

"Ya, terserah deh." Melodi kini menatap Deva. "Yuk, jalan."

"Aku mandi dulu bentar, abis olahraga keringetan, gerah." Deva berjalan ke tempat handuk, lalu mengambil handuk miliknya dan berjalan ke kamar mandi.

"Kalian mau ke mana?" tanya Nada.

"Mau cari sarapan sekalian keliling Jogja," jawab Melodi. "Mau nitip?"

Nada hanya mengangguk sebagai jawaban.

***

Sebagai rutinitas pagi saat tak ada kelas, seperti biasa Nada selalu mengurus tanaman-tanaman di depan Mantra Coffee.

"Selamat pagi, Nada" ucap Cakra yang datang membawa secangkir teh hangat.

"Pagi, Cakra," balas Nada dengan senyum manisnya.

"Emang selalu begini setiap libur?"

Nada hanya mengangguk menanggapi pertanyaan Cakra.

"Pantes masuk Instiper."

"Iya gitu deh ...," balas Nada sambil tersenyum.

"Gimana, masih suka mimpi buruk?"

Nada mengangguk.

"Mau aku bantu? Biar enggak mimpi buruk lagi."

"Caranya?" Nada memicingkan matanya menatap Cakra, mengingat selama ini upaya teman-temannya tak pernah berhasil.

"Lima belas menit lagi aku tunggu di dalem, ya." Cakra berjalan masuk ke dalam kafe, mempersiapkan kebutuhan untuk terapi yang akan ia lakukan pada Nada.

Kalo kasusnya disebabkan karena hal-hal mistis, wajar kalo hipnoterapi enggak cocok ....

Lima belas menit telah berlalu, kini Nada masuk ke dalam kafe. Dilihatnya sebuah tikar yang sudah tergelar dan ada beberapa lilin aroma terapi. "Ini mau ngapain, Cak?"

"Udah, ikutin aja. Sekarang tiduran di tiker sambil telentang."

"Ih kok serem sih." Nada tampak takut dengan suasana ini. "Kayak ritual pemujaan setan."

"Kalo kamu takut, kita bisa udahan," Balas Cakra. "Enggak ada paksaan, daripada kamu enggak bisa rileks."

Nada mencoba percaya pada Cakra, kini ia berbaring menatap langit-langit, lalu memejamkan matanya. Cakra menyuruhnya untuk rileks. "Tarik napas lewat hidung, terus keluarin lewat mulut," ucap Cakra. "Terus begitu sampai kamu tenggelam lebih dalam ke alam bawah sadar kamu."

Nada merasakan air  menyentuh permukaan kulitnya, rasanya seperti sedang mengapung di atas air. "Terus fokus," tutur Cakra. "Semakin dalam." Nada tenggelam dalam air itu. Rasanya begitu nyaman, seakan semua permasalahannya hilang begitu saja. Perlahan suara Cakra mulai memudar dan terdengar semakin lirih, seolah tertelan air tersebut, hingga tak terdengar lagi.

Senyum itu terukir di wajah Nada. Ia masih memejamkan matanya dan merasakan angin sepoi yang menerpa kulitnya.

"Buka mata kamu." Tiba-tiba saja suara Cakra begitu tegas dan dekat, membuat Nada refleks membuka matanya dengan cepat.

"Cakra ... kita di mana?" Nada menatap langit gelap yang tak berbintang.

"Ini adalah Alam Bawah sadar kamu," jawab Cakra. "Biasanya tempat ini adalah tempat yang paling nyaman untuk semua orang, tempat yang indah, tapi dalam diri kamu kasusnya beda."

Cakra menatap Nada. "Kamu sempat merasa nyaman, kan? Beberapa saat lalu."

Nada mengangguk sebagai jawaban.

"Kalo dalang dibalik ini semua bisa ngambil seluruh kesadaran kamu, enggak akan ada lagi rasa nyaman kayak tadi."

"Maksud kamu apa?" Nada tampak bingung.

"Bukan air yang menyambut kamu, tapi kobaran api," jelas Cakra dengan pandangan yang tegas. Nada meneguk ludah dan berjalan di belakang Cakra.

"Sekarang kita mau ngapain, Cak?" Nada ketakutan, ia mencengkeram baju Cakra dengan kuat, seolah takut kehilangan orang itu karena gelap semakin menyeluruh ketika mereka berjalan semakin dalam.

"Maksa kamu bermimpi buruk," ucap Cakra.

"Kenapa harus gitu?"

"Biar dia muncul." Kini Cakra menunjuk lurus tepat ke arah depan. Sontak membuat Nada mengikuti arah yang pria itu tunjuk.

"Rizwana!" pekik Nada sambil berjalan mundur.

"Sebelum orang ini pergi dari sini, kamu enggak akan pernah lepas dari mimpi buruk," tutur Cakra.

Rizwana berjalan ke arah mereka berdua sambil bertepuk tangan. "Baru kali ini ada kasus orang yang bisa sampai ke sini."

"Terimakasih pujiannya," balas Cakra sambil tersenyum. Kini Cakra mengarahkan tangan kanannya pada Rizwana. "Enyahlah." Rizwana yang ada dalam diri Nada perlahan berubah menjadi abu.

"Kita akan segera bertemu lagi dalam wujud yang nyata," ucap Rizwana sebelum ia menghilang seutuhnya.

Cahaya mulai masuk menerangi alam bawah sadar Nada. Ia dan Cakra sedang berdiri di tengah danau.

"Jangan takut kecebur, ini dunia kamu, jangankan jalan di atas air, terbang pun kamu bisa."

"Masa bisa terbang?" Nada memicingkan matanya.

"Kondisi ini disebut lucid dream. Coba deh bayangin kamu bisa terbang."

"Cakra ada-ada aj ...." Belum selesai kalimat yang harusnya keluar dari mulut Nada, kini ia perlahan melayang. Nada mengambang di udara.

"See?" Cakra pun melakukan yang serupa, ia mengambang di udara, melesat tinggi meninggalkan Nada. "Ayo sini kejar aku!"

Nada seperti bayi yang baru belajar berjalan, ia melayang dengan sangat pelan dan hati-hati. "Kok bisa gini sih?"

"Ini dunia kamu! Kamu bebas mau ngapain aja dan bayangin apa aja!"

"Aku mau ada Faris di sini!" teriak Nada.

Tiba-tiba dari atas, Nada melihat Faris yang sedang berlari mengejarnya jauh di bawah sana. "Fariiiisss!" Nada tersenyum melihat Faris, kemudian menoleh ke arah Cakra. "Ini kemampuan kamu?"

Cakra hanya menggeleng. "Semua yang hadir di sini itu berkat pemikiran kamu. Kamu pemegang kendali di sini, tapi yang harus kamu sadari adalah semua ini enggak nyata."

"Kalo aku pengendalinya, kenapa ada Rizwana? Dia penyusup atau apa?"

"Karena kamu tahu ada dia di dalam sini, kamu pasti berharap dia pergi, kan?" tanya Cakra.

Nada hanya mengangguk.

"Nah, sebelumnya kamu tau dia ada di sini?"

Nada kini menggeleng.

"Ketika kamu tau dia di sini dan ingin dia pergi, maka itulah yang terjadi."

"Tapi kenapa kamu ngerti semua ini dan bisa bawa aku ke tempat ini?" tanya Nada.

"Karena aku seorang dream bender," jawab Cakra. "Aku bisa masuk ke alam bawah sadar orang lain, masuk ke mimpi dia, tapi tanpa kuasa."

"Kereeeen!" Nada tertawa. Ia sangat senang dengan ini semua. "Aku mau banget kalo bisa kayak kamu, Cak!"

Cakra merubah raut wajahnya, kini pria itu terlihat sendu. "Ketika manusia berada di sini, enggak jarang mereka lebih milih mimpinya daripada kenyataan. Mereka membuang kenyataan dan bertahan di dunia yang fana ini."

"Terus apa yang terjadi dengan orang-orang itu?"

"Mereka lupa kalo mereka punya kehidupan nyata, dan mati tanpa mereka sadari." Cakra kini mendarat di pinggir danau. Nada mengikutinya. "Ayo, kita pulang. Sebelum kamu terlena sama semua kepalsuan ini." Nada mengangguk dan berjalan sejajar dengan Cakra.

***

Rizwana membuka matanya, ia tertawa dan membuat seluruh pasukan Kencana Selatan menatapnya. "Aku kehilangan berlian," ucapnya sambil mengeluarkan air mata di balik seringainya. Kini Rizwana beranjak dari duduknya. "Aku ingin Nada, apa pun yang terjadi, bawa dia ke sini hidup-hidup. Tanpa luka."

***

Di sisi lain, Nada dan Cakra sudah membereskan bekas-bekas ritual mereka. Tak lama setelah itu Deva dan Melodi pulang membawa sarapan.

"Nanti ke Malioboro lagi yuk?" ajak Melodi.

"Naik apa?" balas Nada.

"Mobil aja, toh kalo si Harits enggak mau ikut, sekarang ada supir baru!"

Mendadak Cakra bersin, ia menatap Melodi. "Aku?"

"Iya, emang siapa lagi?"

"Deva?"

Melodi tersenyum sambil menatap ke arah Deva. "Deva enggak bisa bawa mobil, dia udah terlalu nyaman bawa aku di sisinya."

"Apa sih." Deva terkekeh sambil menggelengkan kapala mendengar gombalan Melodi.

"Ternyata betul kata ayah dan ibu ...." Kini semua mata tertuju pada Cakra. "Jogja betul-betul istimewa." Mendengar itu Deva, Melodi, dan Nada tersenyum.

Sehabis sarapan, Deva dan Melodi berangkat ke kampus. Hari ini mereka hanya ada satu kelas, dan setelah kelas berakhir mereka memutuskan untuk menghabiskan hari dengan pergi ke Malioboro bersama.

***

Waktu begitu cepat berlalu, tak terasa Deva dan Melodi sudah pulang kembali dari aktivitasnya. kini Deva, Melodi, Nada, dan Cakra sudah bersiap-siap. Sengaja mereka menunggu Harits pulang, mengingat sebentar lagi waktunya bocah itu pulang. Benar saja, suara motornya membuat mereka semua menoleh ke arah depan.

"Rits ...," panggil Deva ketika suara lonceng di pintu mulai berbunyi.

"Males banget," balas Harits sambil berjalan melewati mereka semua.

"Yeh, belom juga selesai ngomong ini gua." Deva menatap Harits yang berjalan ke arah tangga. "Pada mau ke Malioboro, ikut enggak?"

"Enggak, selamat bersenang-senang tanpaku." Namun, langkahnya terhenti, tangan mungil itu menarik tasnya, Harits menoleh ke arah Nada.

"Ayo ikut ...," ucap Nada lirih.

Harits menatap Nada. "Sibuk, banyak tugas," tegas Harits yang lanjut berjalan naik.

"Nad, jangan dipaksa," ucap Melodi. Nada hanya mampu menatap Harits yang perlahan menjauh.

Singkat cerita, mereka semua kini dalam perjalanan menuju Malioboro, semua saling melempar guyonan di dalam mobil, kecuali Nada. Gadis itu mengambil ponselnya dan masih saja menatap profil Instagram milik Harits hingga mereka tiba di Malioboro.

Melodi, nenek sihir itu yang mengajak Cakra dan Nada, tetapi ia juga yang tiba-tiba menghilang bersama Deva.

"Tuh, kan! Malah pacaran, terus kita ditinggal berdua," ucap Nada sambil menggembungkan pipinya dengan wajah jutek. "Menyebalkan."

Cakra hanya tertawa dan berjalan di belakang Nada yang sibuk menggerutu. Hingga gadis itu berhenti dan duduk di salah satu kursi karena lelah.

"Udah ngeluhnya?" Cakra memberikan Nada sebotol air mineral. "Nih minum dulu, abis itu dilanjut lagi."

"Maaf ya, Cakra," ucap Nada. "Aku bawaannya kesel sama semua orang. Sama Harits yang ngejauh, aku sadar dia sakit hati, tapi aku juga sakit! Emang sih aku yang jahat karena bisa-bisanya suka sama dua orang sekaligus, tapi gimana, ya, Cak? Faris itu spesial banget buat aku, tapi di sisi lain tuh Harits selalu ada buat aku, denger ketawanya yang aneh itu disekelilingku, aku merasa nyaman."

"Aku tau kamu suka sama dia, tapi denger kamu ngomong secara langsung gini itu artinya kamu percaya sama aku, bener enggak?"

Nada tak berkomentar, hanya saja ia paham, Cakra adalah sosok yang sikapnya paling dewasa di antara semua orang di Mantra, di bawah mas Abet.

"Kamu juga kesel sama Melodi dan Deva, kan? Karena mereka egois banget malah ninggalin kita?"

Nada mengangguk.

"Berapa lama kamu jadi barista?" tanya Cakra.

"Belum ada setahun."

"Tapi ngerti kopi, kan?"

"Aku lebih ke non coffee, tapi ya paham juga sih, kenapa?"

Cakra menghela napas sambil menatap sebuah bangunan, lalu menoleh ke arah Nada sambil tersenyum. "Kopi dan manusia itu sama," ucap Cakra.

"Samanya?" Nada terlihat tertarik dengan ucapan Cakra. Kata-kata yang keluar dari anak ini selalu saja membuat Nada merasa damai.

"Kopi itu semakin lama diekstrak, karakternya akan semakin muncul. Manusia pun begitu. Semakin kita tinggal lama dengan seseorang, semakin kita mengenal karakter orang tersebut. Tinggal bagaimana cara kita terbiasa menerima dan memaklumi sifat-sifat mereka. Sejatinya, manusia itu tempatnya salah dan khilaf. Jangan merasa sempurna. Sempurna itu definisi Tuhan."

Nada tertohok mendengar ucapan itu.

"Mereka semua punya kelebihan dan sifat yang kamu suka, tapi mereka juga punya kekurangan yang mungkin kamu benci," lanjut Cakra. "Ada saatnya kita merasa jengkel, tapi itu enggak merubah apa pun."

"Manusia itu punya sebuah system dalam diri mereka, yang di mana ketika mereka merasa orang lain enggak suka sama sifat-sifat mereka, mereka akan berpikir dan enggak nutup kemungkinan buat berubah ke arah positif, tapi ada kalanya system itu aktif ketika mereka sadar akan dampak yang akan terjadi di masa depan, dan hal itu menyebabkan perubahan dalam diri mereka secara sebaliknya."

"Contoh, Deva enggak suka kalo Melodi deket-deket sama cowok lain. Tanpa harus Deva bilang secara berulang, lambat laun Melodi mengerti dan tanpa sadar dia membatasi diri dari cowok lain untuk membuat Deva nyaman. Dan contoh satunya adalah Harits. Ketika dia sadar kalo suka sama kamu itu adalah pisau bermata dua, dia memilih mundur. Selama masih ada Faris di hati kamu, Harits enggak mau ambil resiko buat stay."

"Aku harus gimana, Cakra?" Nada terlihat murung.

"Cuma kamu yang bisa menjawab pertanyaan kamu sendiri. Aku cuma bisa bantu semampuku."

"Aku engga tau harus gimana ...."

"Untuk sekarang jalanin aja dulu. Terkadang ada hal yang emang enggak punya jawaban, dan cuma Sang waktu yang bisa menjawab itu semua, Nad."

"Makasih, ya, Cakra."

Cakra beranjak dari duduknya. "Yuk, kita jalan-jalan sambil cari dua orang itu." Nada mengangguk, ia beranjak dan berjalan sejajar dengan Cakra.

***

Di sisi lain, Harits sedang duduk di taman belakang kampus sambil menatap tiket kereta api yang baru saja ia beli. Rasanya pria itu ingin menghilang untuk beberapa waktu demi membasuh perihnya. Menunggu adalah hal yang menyebalkan untuknya, jadi pria itu pulang dulu ke Mantra, lalu kembali lagi ke kampus untuk menjemput Sekar.

"Hey," sapa Sekar yang baru saja selesai kelas dan langsung menemui Harits.

"Hey," balas Harits.

Sekar menatap tiket yang Harits pegang. "Kamu mau pulang? Liburan kan baru aja selesai, kenapa baru pulang sekarang?"

"Banyak cerita deh," jawab Harits. "Betewe, jadi kan, main ke Mantra?"

"Yuk," balas Sekar sambil tersenyum. Harits membonceng Sekar menuju Mantra Coffee.

Sesampainya di Mantra, Abet dan Jaya sibuk dengan toko. Mereka berdua kekurangan orang, mengingat empat personilnya pergi ke Malioboro.

"Biasanya rame, pada ke mana?" tanya Sekar.

"Pada main ke Malioboro," jawab Harits.

"Kamu enggak ikut?"

"Males nyahahaha."

"Aku bantu bebenah toko, ya," ucap Sekar.

"Eh, enggak usah."

"Tapi gratis minum," lanjut wanita itu.

"Sial, harusnya aku tau ujungnya." harits terkekeh. "Yaudah, terserah."

Sekar akhirnya membantu mereka bertiga uuntuk persiapan buka toko.

***

Untungnya malam ini kafe sepi, jadi tanpa empat cecunguk itu tak jadi masalah. Malahan, Harits sedang duduk bersantai semeja dengan Sekar.

"Pacar kamu ikut pergi?"

"Uhuk, uhuk ...." Pertanyaan itu membuat Harits tersedak pilu. "Pacar? Siapa?"

"Itu loh, yang kalo aku ke sini dan kita ngobrol kayak gini, dia selalu liatin aku sinis?"

"Melodi? Dia yang paling sinins dan suka blak-blakan."

"Hmm ... yang apronnya cokelat pokoknya. Aku enggak bisa bedain karena mereka kembar."

"Oh, Nada ...."

Tiba-tiba saja mobil Deva tiba di Mantra. Deva, Melo, Nada, dan Cakra turun dari mobil sambil berlari kecil karena panik. Mereka takut membuat Abet marah.

"Mampus deh kena kepret mas Abet," tutur Melodi.

"Ya kamu sih tiba-tiba ilang, kita jadi nyariin," balas Nada. Namun, Nada menghentikan langkahnya ketika melihat Harits dan Sekar yang sedang duduk berduaan. Ia kemudian membuang tatap dan melanjutkan langkahnya.

"Yang itu tadi," ucap Sekar. "Kalian pacaran, kan?"

"Dia udah punya pacar," balas Harits. "Aku cuma orang asing yang kebetulan kenal."

Ketika sudah berada di dalam, Nada kembali menatap Sekar yang berada di luar. Dia siapa sih? Dia suka sama Harits, ya?

.

.

.

TBC



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top