3 : Mantra Coffee
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Orang bilang tingkat persahabatan yang paling tinggi itu adalah ketika kita bisa saling memaklumi dan menerima kekurangan masing-masing dari kita, tapi bagiku bukan seperti itu.
Level tertinggi dalam persahabatan adalah, ketika kita menganggap masing-masing dari kita adalah keluarga. Bukan hanya saling memaklumi dan menerima, juga menjaga dan mengayomi. Ketika aku salah, bukannya malah mendukung seolah-olah aku benar dan terbuai dalam fana keegoisanku sendiri, tetapi berani berdiri di garis depan dan mengatakan bahwa aku salah. Mengembalikan ke jalan yang lurus, lalu kembali melangkah bersama-sama.
Nada baru saja selesai menata halaman depan. Ia memang ingin melayout sendiri bagian depan dengan nuansa hijau, agar pengunjung merasa adem jika memilih spot meja di sana. Si bocah insecure itu mampu membuat tempat yang sangat krusial. Bagaimana tidak? Halaman depan Mantra Coffee disulap menjadi tempat yang instagramable. Dari pinggir jalan, tentunya akan menarik perhatian para pengunjung untuk sekadar mampir dan berfoto-foto.
Sementara itu Deva dan Melodi masih sibuk menata bagian dalam. "Masih banyak?" tanya Nada sambil menyeka keringatnya yang bercucuran.
"Udah selesai nih. Baru aja," jawab Deva yang sedang mencoba-coba mesin kopi.
"Capeeek!" Melodi duduk di kursi sambil meminum milkshake vanilla buatannya sendiri. "Harits mana, Dev?"
"Masih tidur," jawab Deva sambil melirik ke arah atas.
Alasan Melodi mengerjai Harits dulu adalah karena ia tak begitu menyukai Harits. Menurutnya Harits adalah orang yang terlalu banyak drama. Berwajah manis di depan orang-orang, tetapi nyatanya berbanding terbalik.
"Kita capek-capek, dia malah asik tidur," tutur Melodi.
"Harits itu udah sampe di sini dari hari kamis," balas Abet yang sedang menghitung stok barang. "Dia sendirian udah kerja keras buat beresin ruko sebelah. Ini kan dua ruko digabungin, sebelum kalian dateng, itu ruko sebelah masih kosongan. Baru selesai dibobok doang temboknya."
"Harits yang beresin itu semua?" tanya Nada sambil melihat bangunan ruko sebelah. Memang Mantra Coffee yang sekarang lebih luas daripada di era Dirga. Bahkan di era Dirga sekali pun, ia membutuhkan Andis, Tama, dan Ajay untuk membereskan segala hal. Namun, Harits bisa melakukan itu seorang diri. Ya, dengan sedikit bantuan Abet.
"Semalem, waktu kalian naik ke atas buat istirahat. Harits di bawah sendirian ngelap gelas-gelas supaya enggak ada debu," lanjut Abet. "Sebenernya dia bilang enggak usah bilang-bilang sama kalian, tapi denger kalian ngomongin Harits dengan konteks yang negatif, aku buka sekalian bira kalian bisa saling ngerti aja. Tolong anggap kalian enggak pernah denger ini, ya. Nanti aku dimarahin gara-gara ember bocor."
"Maaf," ucap Melodi tertunduk.
Harits itu indigo tipikal youtuber yang bisa liat-liat setan. Makanya dia pun kayak setan. Enggak pernah kelihatan, apa lagi waktu berbuat kebaikan.
"Aku enggak tau ada masalah apa di antara kalian, tapi kalian ini akan tinggal dalam jangka waktu yang cukup panjang. Alasan aku mau bantu di sini karena aku inget solidaritas anak-anak Mantra Coffee dulu, dan jujur--aku kangen masa-masa itu."
Tiba-tiba saja Harits turun. Ia mengenakan celana pendek, dengan kaus lengan buntung. Dan yang langkanya adalah, ia tak mengenakan topi aenhnya. Tipikal orang yang baru saja terbangun dari tidurnya.
"Ah, laper!" pekik Abet.
Harits menatap Abet dengan mata yang masih terlihat mengantuk.
"Har, aku suka nasi gorengmu. Aku enggak mau tau. Dalam waktu lima belas menit, nasi gorengnya udah tersedia di meja situ." Sambil menunjuk salah satu meja pelanggan.
"Lah?" Harits memicingkan matanya. Jika saja Abet bukan mantan preman, tentu saja Harits akan berani menentang. Mungkin.
Abet melirik ke arah jam tangannya. "Tiga puluh detik berlalu."
Harits mungkin menggerutu, tetapi ia berjalan melewati Melodi ke arah dapur. Harits mengambil bahan-bahan makanan, lalu mulai mengolahnya.
Lima belas menit hampir berlalu. Harits, membawakan nasi goreng buatannya untuk Abet ke meja pelanggan. Deva, Melodi, dan Nada sejujurnya lapar dan berharap dapat mencicipi nasi goreng yang terlihat menggoda itu. Harits menoleh ke arah mereka. "Ambil piring sana. Enggak sengaja nasinya tumpah ke penggorengan. Jadi masih sisa banyak."
Abet tersenyum tipis. Ia sudah tau, Harits, si bocah sok jaim itu mirip dengan Andis, bahkan sangat persis tingkah lakunya. Andis, adalah orang yang paling kecil egonya di antara para Mantra, tetapi letak perbedaan Andis dan Harits adalah, Harits pemalu. Ia gengsi untuk mengakui sebuah kebaikan dan malah bersikap seolah-olah sebaliknya.
Deva, Melodi, dan Nada berjalan mengambil nasi goreng yang masih berada di penggorengan. "Kamu enggak makan?" tanya Nada yang mengambil porsi terakhir. Tidak ada porsi tersisa untuk Harits. "Mau berdua aja sama aku? Aku makannya dikit, enggak kayak Melodi yang rakus."
"Heh! Rakusan kamu, ya!" protes Melodi.
Deva menghela napas. Ia mengambil piring kosong, lalu memisahkan sedikit makanannya ke piring itu. "Ayo, ayo iuran. Donasi untuk Harits Sagara."
"Hah?! Donasi?" Harits memicingkan matanya.
Melodi, Nada, dan Abet memisahkan sedikit porsi nasi gorengnya ke piring itu. Deva mengambil piring tersebut, lalu berjalan ke arah Harits. "Gua enggak akan makan. Kalo yang masak belum makan duluan," ucapnya pada Harits.
Harits hanya tersenyum sambil menggeleng. "Ribet!"
"Sore ini kita opening. Jangan sampe lu tepar gara-gara loyo belum makan."
"Enggak perlu. Jangan samain fisik gua sama anak-anak manja."
"Kalo tokoh utamanya sakit--terus karakter sampingannya gimana?" tanya Deva. "Enggak keren, dong?"
Telinga Harits bergerak. Ia mengambl piring yang disodorkan oleh Deva. "Bagus kalo ternyata lu semua paham posisi lu hahaha."
Nyesel gua muji ini orang, batin Deva.
Harits berjalan ke meja yang berbeda. Ia duduk sendiri membelakangi yang lainnya, tetapi Melodi dan Nada beranjak dari posisinya dan pindah ke tempat Harits. "Yakin enggak mau makan bareng Nada?" ledek Melodi.
Iblis ini bener-bener ... untung cantik.
"Kenapa pada ke sini sih?" tanya Harits.
Deva dan Abet menyusul ke sana. Abet menarik kursi agar mereka semua dapat berkumpul dalam satu meja.
"Rusuh dah. Ngapain sih?" Harits menatap mereka semua.
"Har, denger." Abet membuka obrolan. "Suka enggak suka. Mau enggak mau. Sudi enggak sudi. Sekarang kalian ini keluarga. Kalian emang enggak terikat hubungan darah, tapi siapa pun yang tinggal di bawah atap ini, berpayung pada nama Mantra Coffee. Mereka adalah keluarga."
Keempat bocah tengik itu merinding mendengar kata-kata Abet.
"Aku, Dirga, Tama, Andis, Ajay, Mila--bahkan pelanggan kayak Aqilla, Sarah, dan semua orang yang hadir di tempat ini, adalah keluarga. Kalian itu jauh dari orang tua. Pasti akan terjadi, ketika kalian akan saling membutuhkan. Jadi mulai dari sekarang kalian harus terbiasa menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing."
"Har, maafin aku, ya. Enggak seharusnya aku berbuat seperti itu. Maaf udah neglukain harga diri kamu," tutur Melodi. "Aku--minta maaf."
"Gua juga," timpal Deva. "Dulu enggak nanya alasan kenapa lu keluar dari jalan kita, dan lebih memilih gunain kemampuan lu buat cari duit."
"Drama," balas Harits. "Yang lalu ya udah berlalu. Gua enggak baper. Cuma emang sifat gua begini. Udah, itu aja. Jadi enggak perlu minta maaf, rasanya enggak nyaman."
"Aku, aku, aku." Semua menoleh ke arah Nada. "Aku belum pengakuan dosa!"
"Yaudah cepet. Bentar lagi kita buka toko," balas Abet.
"Maaf udah ngintip masa lalu kamu." Nada menatap Harits.
Harits beranjak dari duduknya. "Cuciin piring gua kalo kalian merasa bersalah hahahaha." Sambil tertawa jahat, Harits berjalan pergi, lalu mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi.
Abet perlahan mulai tertawa menatap raut wajah ketiga pemuda dan pemudi di hadapannya.
"Kan! Nyesel minta maaf. Emang ngeselin." Melodi beranjak dari duduknya dan berjalan menuju dapur.
Deva pun menghela napas sambil berjalan di belakang Melodi. Nada menatap piring Harits dan hendak mengambilnya, tetapi Abet menghentikannya dan justru malah mengambil piring mereka berdua. "Kamu prepare aja sana." Anak Betawi, alias Abet berjalan ke dapur membawa tiga piring kotor.
Sementara itu, Nada teringat sesuatu. Hal yang paling ingin ia lakukan ketika tiba di Mantra Coffee, yaitu mengintip seluruh kenangan yang pernah hadir mengisi ruangan ini. Nada melepas sarung tangannya dan mulai menyentuh sudut demi sudut ruangan di ruko satu, yang merupakan rumah dari Ayahnya dulu. Mungkin karena sudah terlalu lama, butuh waktu bagi Nada untuk mencari berkas-berkas memori dari bangunan ini. "Ah, ketemu ...." Nada terdiam sambil memejamkan matanya, tangannya masih sibuk meraba tekstur dari dinding-dinding yang dingin ini.
Pelanggan pertama Mantra Coffee pada saat itu adalah tiga orang wanita yang kira-kira berusia dua puluh tahun. Dua orang memesan milkshake dan satu lagi memesan aceh gayo. Wanita aceh gayo itu meminta Dirga untuk meramalnya menggunakan kartu tarot.
Tiga hari setelahnya, wanita yang sangat familiar untuk Nada datang ke kafe itu mengenakan kaus abu-abu dengan cardigan kuning. Ia duduk sambil membuka laptopnya untuk mengerjakan tugas kampus.
"Ah, Bunda. Cantiknya bunda."
Ya, wanita itu adalah Aqilla Maharani. Kala itu, ia meninggalkan pick gitar berharganya di Mantra Coffee, sementara beberapa jam lagi ia akan segera naik panggung untuk acara makrab. Tama, barista yang menjadi pahlawan pada malam hari itu mengejar Aqilla karena mengintip masa lalu dari pick gitar tersebut. Malam itu, pria pendiam tersebut diam-diam jatuh hati.
Rangkaian demi rangkaian tertanam di dalam pikiran Nada. Ada kalanya ia tertawa sendiri, ada pula marah, kecewa, bahkan menangis. Setelah semua ia saksikan, Nada membuka matanya kembali sambil menatap keadaan Mantra Coffee yang sekarang.
Padahal baru dua hari ia tinggal di sini, tetapi rasa-rasanya sudah empat tahun Nada hidup dan bernapas di tempat Mantra Coffee. Entah, Nada hanya merasa, ia sudah melewati banyak hal berdasarkan pengalaman orang tuanya dulu.
Nada menatap Abet. Pria bertato itu pernah berlumuran darah ayahnya, ketika seorang pria misterius menusuk tangan Tama menggunakan gunting. Mungkin bagi beberapa orang, Abet terlihat garang dan menyeramkan, tetapi bagi Nada, Abet adalah pria yang lembut dan mampu diandalkan. Orang itu yang menjaga Mantra Coffee dari gangguan preman-preman setempat.
Waktu baru bergulir selama lima menit semenjak Nada menggunakan kemampuannya. Ia kini mulai mengambil lap basah, dan mulai membersihkan kaca depan sebelum pelanggan mulai ramai berdatangan.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top