29 : Biarkan Bulan Pergi, Mentari Pasti Bersinar

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

"Aku enggak enak badan, jadi enggak ngampus. Kamu berangkat sendiri aja, ya."

Begitulah pesan singkat dari Wira yang baru masuk ke ponsel Dewi. Pagi ini wanita itu sudah siap untuk berangkat, tetapi rupanya Wira tak bisa menjemputnya. Tiba-tiba suara ketukan dipintu terdengar.

Wira? Apa dia cuma bercanda ....

Dewi berjalan ke arah pintu, lalu membukanya. Dilihatnya Jay yang berdiri di depan pintu. Sontak membuat Dewi langsung menutup pintu lagi dengan wajah panik.

"Adaw!" Jaya menyelipkan jari-jarinya untuk menghadang pintu, alhasil kini jari-jarinya terjepit.

Ini orang ngapain ke sini? Jangan-jangan gue mau dihajar juga ... dari mana dia tau alamat kos gue?

"Saya mau bicara sebentar," ucap Jay.

Dewi masih berusaha menahan pintu. Tiba-tiba pinggiran pintu itu remuk. "Sebelum saya berubah pikiran." Nada suara Jay berubah. Dewi merasakan atma yang membuatnya merinding. Wanita itu benar-benar takut Pada Jaya.

Sumpah! Gue enggak tau siapa ini orang, tapi caranya mampusin cowok yang semalem itu terlalu brutal. Bahkan braja total enggak bisa bikin tumbang cowok yang semalem, tapi orang ini bisa menang gitu aja.

Di tengah badai pemikiran itu, tiba-tiba saja pintu terdorong hingga membuat wanita itu terlempar dan jatuh. Jay masuk  ke dalam kosan Dewi, lalu membuka pintunya.

Jangan sampai dia nutup pintunya!

Alih-alih menutup, Jay justru membukanya lebar-lebar. "Biar enggak jadi omongan tetangga. Ayah pernah bilang, kalo nanti punya temen cewek dan main ke kosnya, atau sebaliknya, pintu enggak boleh ditutup."

Sejujurnya Dewi bingung dengan orang di hadapannya itu. "Ma-mau apa kamu ke sini?"

"Tolong jangan bilang siapa-siapa tentang kejadian semalem," ucap Jay.

"Emangnya kenapa?"

"Saya mau kamu dengerin cerita saya, tapi saya harap kamu bisa jaga rahasia ini."

"Kenapa gue harus jaga rahasia lo?"

"Karena nyawa kamu sama pacar kamu dalam bahaya kalo rahasia ini tersebar," ucap Jay.

Dewi meneguk ludah. "Bahaya apa yang akan kami hadapi?"

"Saya sendiri." Jay tersenyum menatap Dewi, ia membuka perban yang menutupi kepalanya. Dewi terbelalak mendapati tato di kening Jay.

"Peti Hitam?!" Terkejut Dewi terheran-heran. Ia pernah mendengar rumor beberapa tahun silam, tentang sebuah organisasi gelap bernama Peti Hitam. Dan sekarang, tepat di hadapannya berdiri orang dengan tato tersebut. "Apa yang kamu mau?" Dewi merubah nada bicaranya.

"Ya--tadi. Jangan bilang siapa-siapa."

"Kenapa harus ngasih tau aku? Kan itu--rahasia. Seharusnya kalo kamu mau aman, kamu enggak kasih tau orang lain, kan?"

Jay tampak berpikir. "Ah--iya juga, ya ... kenapa saya malah ngasih tau kamu?"

Keadaan menjadi akward, tak ada kata yang terucap di antara mereka. Dewi takut jika Jay tiba-tiba menghabisinya karena mengetahui rahasia itu.

"Intinya ...." Jaya mulai membuka obrolan kembali. "Saya datang ke Jogja, karena saya mau ngerubah hidup saya." Tatapnya getir, membuat Dewi secara tak sadar masuk ke dalam emosinya. "Saya mau hidup normal, tanpa terlibat masalah."

"Hidup normal?"

"Kuliah, berteman, pacaran, ikut organisasi sosial, kerja ... saya mau hidup seperti orang yang enggak tahu menahu tentang dunia gelap."

"Kamu--kuliah, kan? Kerja juga? Punya temen juga? Itu udah hidup normal," balas Dewi.

"Tapi kalo saya terlibat masalah, saya enggak akan pernah bisa hidup normal."

"Jadi itu alasan kamu enggak mau orang lain tau apa yang kamu perbuat? Kamu enggak mau orang lain tau masa lalu kamu?"

Jaya hanya mengangguk.

"Yaudah, aku jaga rahasia ini, tapi kamu harus pulang sekarang."

"Sebentar ...." Jaya kini menatap wanita itu.

"Apa lagi?"

"Saya belum pacaran."

Dewi memicingkan matanya. "Terus?"

"Kamu udah punya pacar?" tanya Jaya.

Apa dia suka sama aku?! Wah ... kalo Wira tau dan terjadi konflik, pasti ada yang mati ini.

Dewi menatap Jay yang juga menatapnya dengan penuh harap. Ia meneguk ludah. "U-udah punya."

Jay kemudian tersenyum. "Sudah saya duga."

Ah--dia pasti kecewa.

"Saya suka sama seseorang," ucap Jay sambil berlutut. "Tolong ajarin saya kiat-kiat dalam mendapatkan hati seorang wanita."

"Hah?" Kini Dewi memasang wajah datar.

***

Di sisi lain, Harits baru saja mengancingkan kancing terakhir kemejanya. Hari ini ia ada kelas dan harus berangkat lebih pagi karena belum mengerjakan tugas semalam, ia butuh contekan-contekan dewa sebagai jaminan hidup. Sebelum keluar, Harits mencari keberadaan topinya, tetapi ia teringat bahwa topi itu pernah dikenakan oleh Nada. Niatnya berubah, kini ia berjalan tanpa topi kesayangannya yang entah di mana.

Ketika membuka pintu, ada beberapa kotak hadiah yang tergeletak di depan kamarnya. Hadiah-hadiah itu adalah hadiah dari semua orang yang semalam hadir di acaranya. Harits menghela napas, lalu melangkahi itu semua tanpa mengambil satu pun.

Harits menuruni tangga. Seperti biasa, Deva, Melodi, Nada, dan Abet sedang duduk di bawah. Mereka semua menatap Harits yang berjalan tanpa topi signaturnya.

Nada memegang topi itu, ia sudah mencucinya dan mengeringkannya semalaman dengan cara menggantungnya di depan AC. "Harits, ada yang ketinggalan." Nada berjalan ke arah Harits untuk mengembalikan topinya.

Harits terdiam menatap topi miliknya. Ia mengambil topi itu dan memasangkannya di kepala Nada sambil tersenyum. "Lebih cocok di kepala kamu," ucapnya dengan ekspresi cengangas-cengenges yang biasa ia tunjukkan, lalu berjalan melewati Nada. "Sekarang topi itu terlalu berat di kepalaku ...," ucapnya lirih sambil merubah kembali ekspresi wajahnya menjadi datar, Harits keluar.

Kemarin malam, Nada memilih untuk mengejar Harits daripada duduk bersama Faris. Namun, sepertinya hal itu sudah terlambat sekarang. Semua paham, pria yang kini tak bertopi itu membuang rasanya bersamaan dengan benda kesayangannya. Ia patah hati.

"Enggak bisa gini ...." Nada berjalan cepat mengejar Harits, sementara Deva, Melodi, dan Abet saling bertukar tatap.

"Harits, tunggu, hey." Nada menahan tas milik Harits.

"Kenapa sih?" tanya Harits. "Kamu kok aneh hari ini?" Pria itu mencoba untuk bersikap seperti biasa.

Mata Nada berkaca-kaca menatap Harits.

Sial, kenapa harus pasang muka begitu sih? batin Harits.

"Semua yang aku ucapin kemarin sore itu cuma bercanda. Enggak usah dibikin pusing. Cuma mau tau reaksi kamu aja nyahaha toh, aku paham, kamu udah punya Faris."

"Aku sama Faris tuh ...." Belum sempat Nada menyelesaikan ucapannya, pria itu mendekap tubuh Nada. Membuat Melodi menganga menatap bocah kecil yang berani-beraninya memeluk kembarannya di depan toko.

"Maaf karena bercandaku kelewatan," ucap Harits lirih dengan nada agak gemetar. "Mulai sekarang kamu harus lupain semua bercandaan yang pernah aku ucapin. Sebab aku--enggak akan pernah bercanda lagi dan bilang kalo aku suka kamu. Kemarin yang terakhir, selamat tinggal." Ia melepaskan dekapan itu sambil tersenyum getir menatap Nada.

"Oh iya, topi itu kamu simpen aja, aku enggak mau pake lagi. Ada aroma kamu yang menempel di sana. Bisa-bisa aku nangis gara-gara nyium bau rambut kamu yang enggak pernah keramas itu nyahahaha." Kini Harits sudah menunggangi motornya dan pergi meninggalkan Nada yang terdiam tanpa kata.

Kini Nada berjongkok sambil menangis. "Itu bercanda kamu yang paling enggak lucu ...."

"Gimana nih?" tanya Deva.

Melodi beranjak dari duduknya, matanya berkaca-kaca seolah ia terkoneksi dengan Nada. "Biarin aja." Ia berjalan menuju pintu. "Ini salah satu langkah pendewasaan diri." Melodi berjalan ke arah Nada dan berusaha menenangkannya.

***

Lagi-lagi Harits terkena prank. Kelas pagi ini diliburkan. "Dosen jahanam!" gumamnya sambil memasang wajah pasrah. Kini Harits berjalan menuju parkiran, ia berbaring di kursi panjang bawah pohon dan berusaha memejamkan matanya.

"Harusnya bisa buat berdua atau bertiga, ini malah dibuat sendiri." Ucapan itu membuat Harits membuka matanya kembali, lalu merubah posisinya menjadi duduk.

"Sorry," balas Harits sambil menatap Sekar. "Lah, kirain siapa."

"Ini kursi favorit aku, bisanya aku emang duduk di sini kalo lagi senggang. Enggak tau kenapa, tapi sejuk aja dan ...."

"Dan?"

"Aku merasa punya banyak kenangan di sini," jawab Sekar.

"Misalnya?"

"De javu," jawab Sekar. "Atau--terkadang terbesit imajinasi liar aja gitu."

"Imajinasi liar?" Harits memicingkan matanya. "Wah, jangan-jangan ...."

"Eh, bukan! Bukan yang berbau dewasa!" protes Sekar. "Cuma imajinasi aneh."

"Kayak apa tuh imajinasi aneh?"

Sekar tampak sedang berpikir. "Pertemuan seorang cowok dan cewek di tempat ini. Cewek yang terlihat kesepian, terus suatu hari datang seorang cowok jenaka," ucap Sekar sambil tersenyum seperti menahan tawa. "Cowok yang lucu, yang bisa buat cewek ini tuh merasa nyaman."

"Bentar, kamu penulis, ya?" tanya Harits.

Sekar mengangguk.

"Terus, gimana kelanjutannya?" Harits sepertinya tertarik pada imajinasi Sekar.

"Cewek itu tinggal di sini," lanjut Sekar. "Dan cowok itu entah di mana. Yang jelas, setiap kali cowok itu dateng, dia pasti bawain sebotol minuman. Terus cewek itu suka banget sama minuman itu dan selalu teriak seneng 'Cino-cino!'."

"Masa gitu? Cino-cino? Mokacino apa kapucino kali?" Harits terkekeh mendengar cerita Sekar.

"Serius, lucu, ya?" Sekar pun tertawa dengan isi pikirannya sendiri.

"Tapi, ya, itu enggak berlangsung lama." Sekar merubah ekspresinya, kini ia terlihat getir. "Cewek itu harus pergi dari dunia ini dan ninggalin si cowok sendirian. Saat itu terjadi, semuanya berubah ... si cowok yang sekarang kesepian."

"Ah--sad ending ternyata nyahaha." Entah, Harits sedang tak berminat dengan cerita berbau bawang. Ia beranjak dari duduknya. "Udah sarapan?"

"Belum," jawab Sekar.

"Jajan yuk." Harits mengajak Sekar mencari sesuatu untuk mengganjal perut.

"Jajan apa?"

"Cino-cino," ucap Harits sambil terkekeh.

Sekar beranjak dari duduknya sambil tertawa. "Yuk." Ia berjalan sejajar dengan Harits. Mereka tampak sedang mengorolkan sesuatu yang lucu. Terpampang jelas tawa mereka sepanjang jalan menuju kantin.

.

.

.

TBC




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top