28 : Keluarga
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Semua berkumpul di lantai bawah, Harits dan Wira baru saja kembali. Dewi melemparkan jaket milik Wira, pria itu pulang tanpa mengenakan pakaian bagian atas.
"Pake jaketnya, nanti kamu masuk angin," ucap Dewi. "Aku enggak mau badan kamu yang kekar itu dilihat cewek lain."
Wira memang tidak tinggi, tetapi tubuhnya cukup kekar dan berisi. Begitu Wira mengenakan jaketnya, wanita itu menamparnya hingga membuat semua orang terkejut.
"Maaf ...," ucap Wira lirih.
Dewi kemudian memeluk Wira sambil menangis. "Jangan sok kuat, kamu mau mati dateng ke sana sendirian?!"
Di sisi lain Nada menatap Harits yang memiliki banyak luka. Pria itu tampak asing tanpa topinya. Ah, ini pasti gara-gara Harits kehilangan topi saktinya.
Nada berjalan ke arah pria itu. "Harits ...." Namun, pria itu melewatinya begitu saja. Kini ia dan Nada yang menjadi sorotan utama. Tanpa kata, Harits berjalan naik ke atas, dan masuk ke kamarnya. Nada menundukkan kepalanya, ia memegang sebuah kotak hadiah.
"Nad ...."
"Lagi-lagi aku bikin kacau, ya?" Ia berusaha tersenyum sambil berjalan ke kamarnya.
Dari semua rangkaian ini, Dewi memandang Jay dengan sorot mata penuh ketakutan. Wira menyadari itu. "Aku denger salah satu anggota keluarga Vajira ke sini?"
Memang ketika Wira dan Harits kembali, orang-orang yang terlibat aksi penyerangan sudah dibereskan oleh Dewi, dan lagi Vajira dilarikan ke rumah sakit karena sosok Jay.
Jaya menatap Dewi, sehingga membuatnya merinding. Dewi menoleh ke arah Wira. "Enggak ada siapa-siapa, aman."
"Rizwana bilang kalo dia ngutus Vajira buat ke sini. Seingetku dia agak mesum, jadi aku kepikiran terus tadi, takut kamu di apa-apain."
Hanya Dewi yang merasakan tekanan dari sorot mata Jay, ia tersenyum pada Wira dan menutupi kebenarannya. Bahkan Melodi menjadi bingung, bukannya belum lama ini ada segerombolan orang? Memang setelah Jay turun, tak lama orang-orang itu menghilang.
"Jay, kamu ya yang ngusir orang-orang tadi?" tanya Melodi.
"Orang-orang tadi?" Wira memicingkan matanya.
Dewi dan Jay menatap ke arah Melodi. "Orang-orang apa?" ucap mereka bersamaan.
"Tadi kan banyak orang tuh ...." Melodi menghentikan ucapannya ketika Dewi menatapnya dengan tatapan membunuh.
"Oh, iya, yang itu, ya" ucap Jay berkeringat. "Saya yang ngusir, soalnya kan kafe udah tutup, jadi mereka enggak bisa order menu."
"Ngokhey." Melodi mengerti kodenya, ia tak ingin membahas itu lagi.
"Banyak yang harus diobrolin," ucap Wira menatap Cakra. "Tapi bukan sekarang. Gua pikir kita semua capek, jadi bisa diatur kapan buat ngobrolin masalah ini."
"Yups, bener," balas Cakra.
Mereka semua kini bubar. Wira bersama Dewi pergi dengan motornya, begitu juga dengan Jay yang pulang ke kosannya.
***
Jaya baru saja tiba di kosnya, ia membuka pintu tanpa harus membuka kuncinya. "Aku pulang."
"Selamat datang," ucap Kiweng yang sedang duduk merajut boneka, ia tersenyum menyambut kepulangan Jaya. "Jadi, gimana kabar Bima?"
"Bima?" Jay memicingkan matanya.
"Bima Vajira, pria berotot yang harusnya dateng ke Mantra."
"Oh, itu." Jay menggaruk kepalanya sambil tertawa.
Kiweng menghentikan aktivitasnya. "Kamu enggak ngebunuh orang itu, kan, Mil?"
"Hampir ...."
"Inget alasan kamu dateng ke kota ini. Kamu mau hidup normal, kan? Sebaiknya jangan terlibat apa pun."
"Mantra itu udah saya anggap ...." Emil, pria itu jadi terbiasa dengan bahasa bakunya. "Mantra itu udah aku anggap keluarga sendiri. Enggak mungkin enggak terlibat."
"Kalo gitu kamu enggak akan bisa hidup normal, selamanya kamu akan terlibat." Emil menatap tato Peti Hitam di lengan kanan Wengi. "Kamu tau kan, alasan aku ikut ke sini?"
Emil merebahkan dirinya. "Buat mantau dan ngelapor ke Ayah, kan?"
"Meskipun kalian sering bertengkar, akhirnya ayah ngizinin kamu buat keluar dari hutan dan hidup seperti orang normal, tapi dia ngutus aku buat monitoring itu semua dan ngebantu kamu kalo ada hal-hal kayak gini. Jadi serahin semua urusan berbahaya ini buat aku, kamu cuma perlu hidup normal. Kuliah, belajar, menjalin persahabatan, cari pacar, menikah ...."
"Aku mau ngerasain, gimana rasanya punya keluarga asli ...," ucap Emil.
Wengi mengepalkan tangannya. "Apa kamu pikir selama ini kita cuma keluarga palsu?" Nadanya memberikan tekanan pada Emil seakan memperingatinya bahwa Wengi tak suka dengan ucapan barusan.
"Kita cuma anak haram yang diterlantarkan di hutan dan kebetulan dirawat sama orang bernama Bayu Martawangsa ...."
"Jaga bicaramu, Emil. Kau bisa mati kapan saja." Wengi menempelkan jarun di leher Emil.
Emil mencengekram lengan Wengi. "Kau pikir dengan siapa kau berbicara, Wengi? Kau mengancamku?" Mereka berdua saling memberikan tekanan. "Orang itu memberikan kita nama-nama rekannya, kau pikir aku sudi? Jangan panggil aku Emil, cukup 'Jay'."
"Bagaimana pun juga, ayah adalah orang yang merawat kita! Jangan berbicara hal yang buruk padanya!"
Jaya menghela napas, ia melepaskan cengkeramannya pada lengan Wengi. "Ya, aku minta maaf."
"Sebagai adikmu, aku berusaha untuk mewujudkan impianmu itu untuk hidup normal. Tentu saja sakit ketika mendengar kamu enggak nganggap aku sebagai saudaramu." Wengi kembali membelakangi Jaya, ia melanjutkan aktivitasnya. "Kita semua tumbuh di Hutan Larangan dan bertarung bersama melindungi sisa-sisa peninggalan pusaka milik keluarga Martawangsa, agar tidak jatuh ke tangan yang salah. Suka dan duka sudah kita lalui bersama. Bahkan, bersama semuanya, kita bisa lolos dari kematian sejauh ini."
Jaya tak berkomentar.
"Aku tidak tahu siapa ayah dan ibuku. Yang aku tahu cuma kalian," lanjut Wengi. "Ayah, kamu, aku, Isabel, Ronggeng, Suro, dan Petrus."
Jaya berbaring menatap langit-langit kamarnya, ia bernostalgia mengingat kenangan-kenangan manisnya bersama anggota Peti Hitam.
Emil Jayasentika adalah anak pertama yang ditemukan Bayu di dalam hutan. Memang, Hutan Larangan menjadi tempat yang sering digunakan untuk membuang bayi-bayi yang tak diinginkan orang tuanya.
Bayu tak pernah keluar dari hutan. Terkadang ia merindukan Peti Hitam yang sudah tiada. Semua anggotanya sudah tewas, menyisakan luka yang dalam untuk pemilik topeng Bapang itu.
Semenjak menemukan seorang Bayi, Bayu berusaha menghubungi Dirga untuk bertanya perihal bagaimana cara merawat seorang anak, mengingat hanya Dirga dan Tirta yang sering berkunjung ke dalam hutan untuk menengok keadaan Bayu di dalam sana. Sisanya hanyalah orang-orang yang berusaha mencuri topeng-topeng itu.
Perlahan Bayu mulai mengumpulkan anak-anak yang dibuang oleh orang tuanya. Ia merawat dan menamai mereka semua dengan nama-nama rekannya di Peti Hitam. Bayu juga memberikan tato pada mereka semua ketika mulai beranjak dewasa.
Tidak sampai di situ, Bayu pun mengajarkan mereka cara melindungi diri, tetapi karena mereka tinggal di hutan yang banyak penunggunya. Tak jarang dari mereka justru mempelajari ilmu hitam untuk benteng mereka.
Seperti Wengi, ia mampu memberikan jiwa-jiwa yang tak bisa pulang ke alamnya, sebuah wadah berupa boneka. Setiap boneka yang ia buat, tak jarang melakukan pergerakan, dari mulai menoleh, hingga berpindah tempat, bahkan ada yang dapat berbicara.
"Kau serius ingin hidup normal dan keluar dari hutan?" tanya Bayu pada Jaya.
"Ya, aku sangat serius, ayah," jawab Jaya yang penuh dengan luka dan raut wajah tegas menatap mata Bayu.
Bayu berjalan mengambil sebuah kotak. "Ambil ini." Ia memberikan Jaya sebuah warisan. "Ini adalah salah satu topeng, namanya Bapang. Dia itu teman ayah, cuma dia yang ayah percaya bisa jagain kamu di luar sana. Bapang itu pemarah, jadi sebisa mungkin jaga emosi kamu. Jangan gunain Bapang kalo kamu enggak terdesak, dan jangan bunuh siapa pun. Sekali kamu membunuh orang lain, selamanya kamu akan terus membunuh."
Jaya hanya mengangguk sambil memegang kotak itu.
"Wengi akan ikut kamu ke Jogja, nantinya dia yang akan mantau kamu. Paling enggak, sampai satu tahun ke depan. Setelah kamu mulai terbiasa hidup normal, ayah akan tarik dia pulang."
Jaya tersenyum pada Bayu. "Terimakasih, ayah ...."
Semua saudara-saudaranya memeluk Jaya yang akan pergi meninggalkan mereka semua. Adik-adik kecilnya menangis.
"Kak Emil jangan lupain kita, ya," ucap Isabel kecil sambil menarik ingusnya agar tidak keluar. Gadis kecil itu berusaha menahan air matanya untuk tidak menetes. Ia menarik baju Jaya dengan satu lengannya, sementara lengan lainnya memeluk boneka pemberian Wengi.
"Kalo suatu saat kamu udah sukses, jangan lupa kalo kamu punya keluarga di sini. Kalo dunia menyakiti kamu, kamu enggak harus menanggung semua beban itu sendiri. Ini rumah kamu, kalo kamu lelah--kamu boleh pulang kapan aja," ucap Bayu.
Jaya tersenyum mengingat itu semua. Keluarga, ya?
Kini ia beranjak dari posisinya dan meletakkan telapak tangannya di atas kepala Wengi. "Ya, meskipun kita enggak ada hubungan darah, kita itu tetap keluarga. Maaf karena udah ngomong kayak tadi."
Wengi tersenyum mendengar permintaan maaf dari kakaknya.
"Sisanya aku serahkan padamu, Wengi."
"Ya," balas Wengi. "Serahkan semuanya padaku."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top