26 : Hilang
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Kurang lebih sudah satu jam Deva dan Nada keluar mencari Harits, kini Nada kembali. Ia meletakkan payungnya di depan sambil memasang wajah murung. Nada sempat mencari keberadaan Faris, tetapi pria itu sudah pergi rupanya.
"Enggak ketemu?" tanya Melodi, dibalas gelengan kepala oleh Nada. "Yaudah, kita tunggu Deva aja, siapa tau dia lagi ngobrol sama Harits sekarang."
Di sisi lain Deva berdiri di taman dengan payungnya, ia menatap topi yang sangat familiar tergeletak di lumpur. Keadaan taman tak seperti biasanya, banyak jejak kaki dan juga bercak darah. Deva menatap sekelilingnya, tetapi tak ada siapa pun di sana. Hanya ada seorang pria bertopi yang kebetulan lewat menggunakan jas hujan.
***
Gemerincing lonceng berbunyi, Deva menjadi sorotan semua orang di kafe. Seandainya malam ini Mantra Coffee tutup, pastinya semua akan ikut mencari, tetapi karena pelanggan yang cukup banyak, jadi hanya Deva dan Nada yang keluar mencari.
"Ada topinya doang." Deva memberikan topi milik Harits pada Nada. "Sejujurnya gua agak khawatir, soalnya di taman ada bekas darah. Gua takut dia bunuh diri."
Nada sontak mengambil topi yang tadi sore sempat ia kenakan. Dalam perjalanan menuju warung makan, ia ingat betul ucapan Harits yang tak tersorot di chapter sebelumnya.
"Bukanya ini topi sakti kamu? Yang kalo dilepas, kamu jadi lemah?" tanya Nada yang percaya pada bercandaan Harits. Pria itu pernah berkata bahwa topi miliknya ajaib dan mampu memberikan kekuatan sakti.
"Ini kali pertamanya dia ada di kepala orang lain. Biasanya aku marah kalo topi itu dibuat mainan, apa lagi sampe dipake. Jangan PEDE! Aku yang ngajak ke warung, aku cuma tanggung jawab biar kamu enggak sakit gara-gara keujanan. Jadi aku pinjemin sedikit kesaktianku."
Nada sangat khawatir pada Harits. Ia membuka sarung tangannya, matanya terpejam merasakan setiap tekstur topi sakti milik Harits yang sebenarnya tidak sakti. Keluar darah dari hidung Nada.
"Nada, kamu berdarah." Melodi menghampiri Nada membawa tisu.
Nada membuka matanya kembali. "Rizwana ...."
Semua terbelalak mendengar ucapan Nada. "Harits ...." Nada menangis. "Harits dibawa sama Rizwana, persis dia bawa Kirana dulu."
Wira yang sedari tadi berada di Mantra kini tersenyum tipis, ia beranjak dari duduknya. "Mau ke mana?" tanya Dewi.
Wira meletakkan sejumlah uang. "Ini buat kopi sama ongkos kamu pulang."
"Aku pulang sendiri gitu?" Raut wajah Dewi berubah. "Penting banget po urusan kamu?"
"Penting," jawab Wira tegas dengan sorot mata yang tajam. Wira melepaskan jaket hitamnya. "Kamu pake ini, aku enggak mau mata cowok lain ngegerayangin body kamu." Ia berjalan keluar. Dewi memukul keras meja hingga semua terkejut dan menatapnya.
Cakra berjalan keluar. Ia melihat Wira yang sepertinya berubah ketika mendengar nama Rizwana. Hanya instingnya saja, Cakra merasa bahwa ada keterkaitan antara Wira dan pria bernama Rizwana itu, sampai harus meninggalkan pacarnya sendirian.
Di sisi lain, ponsel Jaya berdering. "Saya izin angkat telpon dulu." Ia berjalan keluar. "Halo, Weng."
"Harits ada di sini."
Jaya terbelalak. Ia berusaha mengingat nama itu. "Rizwana itu siapa?" tanya Jaya.
"Itu pimpinan Kencana Selatan," jawab orang di balik telpon.
Raut wajah Jay berubah. "Gimana keadaan dia?"
"Penuh luka."
Jaya meremas ponselnya hingga mengeluarkan bunyi remuk.
"Ah--Emil, jangan marah," ucap suara di dalam panggilan. "Aku pastiin Harits enggak kenapa-kenapa."
"Ya, saya serahkan Harits sama kamu. Dia itu teman saya, kalo dia kenapa-kenapa, saya bunuh kamu, Wengi."
"Sekarang jangan bergerak dulu, jangan kepancing sama umpan kecil ini. Rizwana itu licik, kita enggak akan pernah tau pergerakan dia. Dia selangkah di depan kita."
Jaya mematikan ponselnya dan segera masuk ke dalam. Di sana terlihat Cakra yang sedang berbincang dengan Deva. Melodi mengumumkan bahwa Mantra Coffee akan tutup lebih cepat malam ini.
"Kak, kita udah mau tutup," ucap Melodi pada Dewi.
"Ya bodo amat! Sebelum Wira jemput, aku enggak mau pergi."
Melodi kini berjalan ke arah Deva. "Gimana nih?"
"Yaudah biarin aja dia," jawab Deva. "Kamu sama Nada temenin aja, ajak dia ngobrol sampe Wira balik."
"Ih! Gimana ceritanya?"
"Cakra punya rencana, sekarang kita cuma bisa ngikutin rencana dia."
Akhirnya mereka semua setuju untuk mengikuti rencana Cakra. Jaya dan Deva mengikuti Cakra berjalan ke lantai atas, sementara Melodi dan Nada duduk bersama Dewi. Setidaknya mereka berdua harus melakukan sesuatu agar wanita bar-bar itu tidak melakukan hal-hal aneh diluar nalar, seperti hal yang radikal maybe.
***
Enam orang sedang berkumpul di bangunan tua yang terletak di Gunung Kidul. Banyak puing-puing dan tanaman menjalar di dalam bangunan itu.
"Kenapa kita tidak hajar mereka secara langsung saja?" tanya salah satu dari mereka.
"Semakin sulit didapatkan, semakin bagus buahnya," jawab Rizwana. "Dan lagi, selama orang itu ada di sana, kita tidak bisa bergerak bebas."
"Dia itu cuma anggota dari kelompok yang udah abis eranya. Peti Hitam udah enggak sekuat dulu," ucap pria berkacamata. "Dan lagi, mana Rawasura?"
"Rawasura masih berada di taman," ucap Rizwana. "Dan kau salah kaprah, Ganapatih. Bukan Martawangsa itu yang membuat kita mati langkah, tapi orang itu."
"Orang itu?" Ganapatih tampak terkejut. "Jangan-jangan--Sakageni?"
"Cie, cie, lagi ngomongin gua." Pria yang disebut Sakageni itu tiba-tiba muncul dari pintu depan. "Sebuah reuni yang mengharukan."
Rizwana tersenyum menatapnya. "Wira Sakageni."
Wira menjadi pusat sorotan mereka semua. "Tinggal menunggu Rawasura, akhirnya tujuh keluarga terkutuk kembali utuh. Angkara, Vajira, Kusumadewa, Gandring, Ganapatih, Rawasura, Sakageni."
"Ah--ada sedikit kesalahpahaman di sini," ucap Wira. "Gua mau jemput temen gua, katanya--denger-denger--dia ada di sini."
"Itu namanya bunuh diri, kau itu sendirian!" ucap Ganapatih. "Dasar pengkhianat!"
"Maheswara melakukan pemberontakan, itu artinya ada satu kursi kosong untuk posisi sepuluh keluarga Agung. Kalian itu cuma sekumpulan orang bodoh yang bangga menyebut keluarganya terkutuk. Kalo gua sih malu. Siapa yang mau punya keluarga terkutuk?"
"Jaga bicaramu, Sakageni." Seorang pria agak pendek beranjak dari duduknya. Ia mengeluarkan sebua keris dan hendak berjalan ke arah Wira.
"Gandring, sejarah itu ada untuk dijadikan pelajaran. Bukannya malah diteruskan, apa lagi tradisi yang buruk," balas Wira.
"Ah--sebaiknya kita sabar dulu, Gandring." Pria dengan rambut panjang seperti wanita itu menahan Gandring.
Wira memicingkan matanya. "Lu kan--yang sering nongkrong di Mantra Coffee. Kiweng."
"Halo," sapa Kiweng. "Aku harap kita bisa duduk satu meja."
"Sakageni." Rizwana membuat semua orang terdiam. Ia memberikan tekanan yang luar biasa. "Jika kau tidak berniat untuk kembali, sebaiknya jangan datang ke tempat ini. Orang itu pasti membunuhmu." Rizwana menunjuk pria bertopi yang baru saja tiba. Ia berdiri menutup jalur keluar Wira.
"Rawasura ...," ucap Wira lirih. Ia kemudian tertawa. "Alasan gua dateng ke sini karena gua PEDE bisa pulang bawa Harits. Toh, gua sadar, selama ini kalian mondar-mandir di sekeliling Mantra, makanya gua main mulu ke sana. Dan terbukti, kalian enggak berani bergerak selama ada gua."
"Sakageni, kalau kau mau temanmu, ambilah." Rizwana memberikan isyarat ke arah sebuah ruangan. Tak lama Harits keluar dari bangunan itu. "Toh, sekarang Mantra kosong, kan?"
"Harits, my bro ...."
Tatapan Harits kosong. Ia membawa sebuah buku hitam. Matanya yang berwarna hitam dengan iris biru membuat Wira paham, bahwa itu bukanlah Harits yang ia kenal.
"Dilema, ya? Harus melawan orang yang niatnya kau tolong? Ditambah beberapa pasukanku sudah bergerak ke Mantra. Di sana juga ada pacarmu, kan? Kau terdesak, Tuan pemarah." Rizwana terkekeh.
Wira menyeringai. "Enggak ada yang berubah, semua masih sesuai perkiraan gua." Aura disekitar bangunan itu mendadak panas. Wira mengepalkan tinjunya. "Agni ...."
***
Sementara itu orang-orang aneh muncul di depan Mantra Coffee. Melodi dan Nada menatap orang-orang itu dari balik jendela.
"Mereka enggak baca, ya? Ini kan udah tutup." Melodi hendak berjalan ke arah pintu, tetapi Dewi menahannya. "Pergi, kalian tidak sedang dalam kondisi yang bagus."
Nada dan Melodi sama-sama menatap Dewi dengan tatapan yang bingung.
"Pergi sana! Naik ke atas!" Sontak membuat Nada dan Melodi berjalan agak cepat menuju kamar para lelaki. Mereka mendadak ketakutan.
Orang-orang itu masuk ke dalam kafe dan berjalan menuju Dewi. Salah seorang pria bertubuh kekar berjalan di depan, ia tersenyum menatap Dewi, lalu bersiul menatap tato di dada Dewi. "Harimau lucu."
Dewi hanya tersenyum. "Kami sudah tutup," ucapnya tegas.
"Khusus untukmu, aku punya penawaran menarik," ucap pria itu. "Bermain denganku, aku akan biarkan kau selamat." Pria itu melesatkan tangannya meraih telinga Dewi.
"Bagaimana dengan orang-orang ini?" Dewi memasang wajah nakal sambil menyentuh dada pria kekar itu. Otot-ototnya sangat kekar, tak seperti Wira.
***
"Sebaiknya kau lebih mengkhawatirkan pacarmu itu," ucap Rizwana. "Vajira itu terkenal mesum."
"Vajira, ya? Si otot itu yang maju ke Mantra?" Wira menahan tawanya.
"Memangnya kau sedang dalam posisi bisa tertawa?"
"Ah, maaf, tapi perlu lu tau, kalo gua itu enggak minat pacaran," balas Wira.
"Kasian Dewi," tutur Rizwana.
"Lu tau kenapa gua tunduk sama Dewi?"
Rizwana memicingkan matanya.
"Karena dia lebih kuat daripada gua."
***
"Braja ...."
Vajira terbelalak mendengar kalimat itu. Belum sempat ia bereaksi, sengatan listrik membuatnya kejang. Dewi Putri Lohia, rambut wanita itu kini berwarna putih agak kebiruan. "Teknik pertama, langkah petir." Dalam sekejap mata ia menghilang dari pandangan antek-antek Vajira.
"Kemana jalang itu?"
"Jalang?" Dewi tak suka dengan kata-kata itu. "Teknik kedua, tinju petir." Ia memukul perut orang itu dan segera berpindah ke hadapan orang lainnya hingga mereka semua tumbang dalam waktu singkat karena efek kejut pukulan Dewi yang seperti stun gun.
***
"Kita kehilangan kontak dengan Vajira," tutur Kiweng.
Rizwana menatap seringai Wira.
"Ya, tentu saja ketika melawan seorang wanita, aku menurunkan 99% kemampuanku."
"Rizwana, orang ini berbahaya!" ucap Ganapatih dengan nada tinggi.
Wira melesat ke arah Rizwana, tetapi tiba-tiba Harits muncul menunggangi seekor anjing hitam yang agak besar. "Minggir Harits! Atau lu bakal mampus." Wira memukul Harits hingga terpental dari tunggangannya. "Cepet sadar dan pulang, brother. Banyak yang khawatir di rumah." Wira memasang kuda-kuda bertarung. Seluruh orang mengitarinya, mereka berniat menghabisi Wira dengan cepat.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top